Tebang Pilih dalam
Penegakan Hukum
Maqdir Ismail
Advokat, Staf Pengajar FH Universitas
Al Azhar Indonesia
Suara Karya, Kamis, 18 Februari 2010
Antiklimaks ini bisa jadi merupakan kata yang tepat atau bisa juga tidak untuk mengukur kemajuan perkara "dugaan suap" dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Secara faktual keempat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini masih merupakan orang-orang "pinggir" dari masing-masing fraksi di DPR.
Kejadian seperti ini sudah pernah terjadi dalam perkara "suap" aliran dana Bank Indonesia Rp 100 miliar. Terdakwa dari DPR hanya sampai pada Antony Zedra Abidin dan Hamka Yandhu karena didakwa menerima Rp 31,5 miliar. Mereka berdua dihukum dengan hukuman yang terpaut jauh dan tidak fair karena Antony mendapat hukuman lima tahun, sedangkan Hamka hanya tiga tahun penjara.
Adapun Asnar Ashari, yang mengembalikan uang sebesar Rp 3 miliar, dimaafkan begitu saja. Ini berbeda dengan Rusli Simandjuntak yang mendapat ganjaran hukuman 3 tahun 6 bulan, karena bersama Asnar Ashari menyerahkan uang. Sedangkan penerima lain seperti mantan Gubernur Bank Indonesia dan mantan direksi Bank Indonesia, hanya dijadikan saksi karena sudah membuat pengakuan berutang sebesar Rp 68,5 miliar.
Negosiator untuk mendapatkan uang tersebut tidak pernah jelas dan tidak pernah diupayakan untuk diungkap secara baik. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya mampu menetapkan Gubernur Bank Indonesia dan beberapa deputi gubernur, dua orang setingkat direktur di Bank Indonesia, serta dua anggota DPR sebagai saksi.
Dalam mengambil keputusan terhadap masalah besar seperti pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, tidak mungkin hanya diputuskan oleh empat anggota komisi di DPR, meskipun berasal dari fraksi yang berbeda. Hal yang ganjil dalam perkara ini, sudah ada penerima suap, tetapi belum ada pemberi suap. Ada empat anggota DPR yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, tetapi belum ada tersangka pemberi suap. Tentu diharapkan penetapan dan penahanan empat tersangka ini bukan antiklimaks pengusutan kasus.
Kalau tujuan pemberantasan korupsi itu adalah pengembalian uang dan kerugian negara sebanyak-banyaknya, maka tidak perlu ada penambahan tersangka pemberi atau penerima dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Cukup semua orang yang menerima uang disuruh mengembalikan uang dan pemberi disuruh membayar sejumlah uang sebesar yang pernah diserahkan kepada para anggota DPR.
Ancaman hukuman dibayar dengan uang itu bukan barang baru karena di Belanda sudah ada financial penalties act 1983, termasuk untuk hukuman seumur hidup. Kita ambil ini sebagai pelajaran yang baik dalam menegakkan hukum. Meski hal ini akan menimbulkan anomali dan tentu akan dirasakan oleh yang sudah menjadi tersangka sebagai bentuk tebang pilih yang melahirkan ketidakadilan.***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar