Aliran Dana BI & Sikap Presiden
Maqdir Ismail
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar
Suara Karya, Selasa, 12 Agustus 2008
Pengakuan dan kesaksian Hamka Yandhu--anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI)--di persidangan Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong bahwa hampir semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menerima aliran dana dari BI mendapat koor bantahan yang tak kalah bergaung dibanding pengakuan Hamka Yandhu.
Bantahan itu pun dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang mengadakan konferensi pers disertai ancaman gugatan, ada yang membantah dalam ceramah, dan ada juga yang membantah setelah diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU).
Pengakuan Hamka Yandhu itu secara hukum memang belum menjadi bukti bahwa orang-orang yang disebut "menerima" uang telah terbukti menerima dana saweran BI. Namun, pengakuan Hamka Yandhu ini menjadikan kasus penerimaan aliran dana BI semakin seksi untuk dibicarakan. Pengakuan Hamka Yandhu bukan hanya memberi arah baru dan perluasan perkara, tetapi juga menunjukkan kualitas kader partai di parlemen.
Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendengarkan pembelaan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta terkait aliran dana BI ini patut dihargai. Sikap Presiden SBY mau mendengarkan pembelaan kedua menteri tanpa terburu-buru mengambil tindakan drastis harus dihormati oleh penegak hukum. Apalagi tindakan Presiden ini diambil setelah mendengar penjelasan Jaksa Agung dan Kapolri yang mahfum tentang proses penegakan hukum dan makna pengakuan seorang saksi.
Sikap Presiden SBY dalam menanggapi pemberitaan kesaksian Hamka Yandhu dengan lebih dulu mendengarkan pembelaan kedua menteri, baru kemudian memberikan keterangan dan jawaban kepada pers, merupakan proses hukum yang patut diteladani. Kebijakan Presiden mendengarkan, kemudian baru memberi keterangan tanpa opini, merupakan bentuk konkret prinsip due process of law.
Sikap tidak gegabah dan tidak mentang-mentang punya kekuasaan yang ditunjukkan Presiden SBY mengandung makna bahwa proses hukum yang sedang berjalan tidak layak diintervensi siapa pun dan untuk kepentingan apa pun, termasuk oleh Presiden SBY yang mempunyai kekuasaan memberhentikan pembantu-pembantunya.
Kebijakan Presiden SBY mengedepankan proses hukum ketimbang mendengarkan tekanan politik merupakan wujud kepercayaan Presiden SBY terhadap kedua pembantunya belum luntur. Sikap itu juga merupakan bentuk penghormatan Presiden terhadap proses hukum yang sedang berjalan.***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar