Jumat, 10 September 2010

Menggali Kubur BLBI BDNI

Sinar Harapan, Jumat, 11 September 2009 13:34
Menggali Kubur BLBI BDNI

OLEH: MAQDIR ISMAIL

Upaya menyelesai­kan BLBI se­cara tun­tas, tidak ku­rang-ku­rang aturannya.

Mulai Ke­­te­­ta­pan MPR No X/MPR/­2001, yang memberi tugas ke­pada pre­­siden untuk menetapkan ke­bijakan dan mengambil lang­­kah konkret yang kom­pre­hen­sif dan fokus pada perce­patan pemulihan ekonomi, dan se­cara khusus dikatakan “Pe­me­rintah perlu konsisten me­laksanakan MSAA dan MRA”. Se­lanjutnya sesuai dengan Ke­te­ta­pan MPR RI No VI/MPR/­2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk me­ningkatkan kepastian hu­kum atas tugas yang diberikan sesuai dengan TAP MPR RI No X/MPR/2001. Untuk melaksa­nakan Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2002 dan No X/­MPR/­2001, presiden mengeluarkan In­pres No 8 Tahun 2002, tentang pemberian jaminan ke­pas­tian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan ke­wajibannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, inpres ini digunakan sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah BLBI yang penyelesaiannya tidak kun­jung usai.
Meski sudah di­mulai pada masa Pemerintahan Presiden Habibie dan dilanjut­kan oleh pemerintahan Presi­den Abdur­rahman Wahid, ma­salah BLBI ini selalu menjadi ba­han perdebatan.
Inpres ini ada­lah upaya dari pemerintah memberikan kepastian hukum bagi para obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Pada tahun 2004, terhadap ob­ligor yang telah menyelesaikan kewajibannya tersebut, BPPN mengeluarkan surat ketera­ngan lunas (SKL), kemudian Ke­jak­saan Agung mengeluar­kan Surat Perintah Peng­hen­tian Penyidikan (SP3).
Dalam rangka penutupan BPPN, BPK melakukan pe­me­riksaan akhir terhadap seluruh kewajiban pemegang saham bank yang selama ini menjadi tugas BPPN menyelesaikannya. Dari laporan Hasil Pemerik­saan Penyelesaian Kewajiban Pe­megang Saham tertanggal 30 November 2006 yang bertujuan menilai kepatuhan pada peraturan, kebijakan pemerintah serta perjanjian yang telah di­sepakati (MSAA), kewajaran Jumlah Kewajiban Pemegang Saham yang telah ditetapkan, efektivitas pengalihan dan pe­ngelolaan aset eks Pemegang Saham Pengendali dan penye­le­saian akhir Kewajiban Peme­gang Saham (PKPS), dalam kesimpulan terhadap pemeriksaan MSAA-BDNI, BPK me­nyatakan: SKL layak diberikan ke­­pada pemegang saham BDNI, karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai de­ngan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Artinya masalah BLBI ini selesai sudah. Masalah penyelesaian BLBI yang sudah me­nahun, menguras banyak energi dan waktu dikubur su­dah. Pemerintah senang karena telah menyelesaikan utang pekerjaannya, para pemegang saham bank merasa lega sebab sudah dianggap menyelesaikan kewajibannya.

***

Namun, pada masa Jaksa Agung Hendarman Supandji menduduki jabatannya, mulai bulan Juli tahun 2007 BLBI yang sudah dikubur pada masa pemerintahan Presiden Mega­wati di tahun 2004 digali kembali oleh tim jaksa. Pendapat tim jaksa penyelidik ada kekurangan nilai aset yang diserahkan pemegang saham BDNI di­bandingkan dengan kewaji­bannya.
Hasil tim ini pula nam­pak­nya yang dijadikan dasar dari pendapat hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usa­ha Negara Edwin Pamim­pin Situmorang yang dise­rahkan kepada Jaksa Agung dan Menteri Keuangan yang me­nyatakan bahwa ada wanprestasi yang dilakukan oleh pemegang saham BDNI. Nilai ingkar janji itu sebesar Rp 4,758 triliun.
Pendapat adanya kekura­ngan nilai penyerahan aset mun­­cul secara terbuka pada wak­tu anggota tim Hendro De­wanto memberikan keterangan sebagai saksi di sidang Pe­ngadilan Tipikor dalam per­kara Urip Tri Gunawan. Me­nurut Hendro Dewanto, kekurangan ini sebagai hasil perhitungan dari nilai aset yang di­serahkan.
Adanya kekurangan nilai aset ini tidak pernah di­sampaikan ketika pengumuman hasil penelitian tim Urip Tri Gunawan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Pendapat tim yang di­pimpin Urip Tri Gunawan ini mengabaikan hasil audit Audit BPK RI No 34G/XII/11/2006 tang­gal 30 November 2006 Ha­laman 63 mengatakan bahwa PS BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang dise­pakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002.
Ada hal yang patut dicermati yang seharusnya dibuka secara transparan, terutama oleh pihak Kejaksaan, alasan tim penyelidik tidak meminta keterangan kepada pengambil kebijakan menyelesaikan BLBI ini pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Dari informasi yang diperoleh, Menteri Ekuin yang me­mutuskan me­nye­lesaikan BLBI ini tidak di­periksa. Pimpinan BPPN yang menyelesaikan BLBI ini tidak ada satu pun yang diminta ke­terangannya.
Ada beberapa pejabat BPPN memang yang dimintai keterangan, tetapi bu­kan pimpinan BPPN dan bu­kan pengambil keputusan. Yang dipanggil hanya sampai tingkat Deputi Ketua. Sedangkan para mantan Ketua BPPN semuanya diperiksa, termasuk mantan Men­teri Keuangan Bambang Su­bianto. Bahkan, dua mantan Menteri Ekuin yaitu Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie juga diperiksa.

***

Hal yang patut dicatat bahwa penyelesaian BLBI ini adalah kebijakan pemerintah se­suai kebijakan yang digaris­kan oleh Majelis Permusya­waratan Rakyat. Artinya ini bukan hanya kebijakan pemerintah, tetapi juga kebijakan rakyat yang direpresentasikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengingat peralihan pemerintah terjadi secara konstitusional maka sangat layak kalau semua keputusan atau kebijakan pemerintahan yang lalu dihargai dan dihormati oleh pemerintah yang baru.

Penulis adalah Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.

Tidak ada komentar: