Sinar Harapan, Jumat, 11 September 2009 13:34
Menggali Kubur BLBI BDNI
OLEH: MAQDIR ISMAIL
Upaya menyelesaikan BLBI secara tuntas, tidak kurang-kurang aturannya.
Mulai Ketetapan MPR No X/MPR/2001, yang memberi tugas kepada presiden untuk menetapkan kebijakan dan mengambil langkah konkret yang komprehensif dan fokus pada percepatan pemulihan ekonomi, dan secara khusus dikatakan “Pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA dan MRA”. Selanjutnya sesuai dengan Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk meningkatkan kepastian hukum atas tugas yang diberikan sesuai dengan TAP MPR RI No X/MPR/2001. Untuk melaksanakan Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2002 dan No X/MPR/2001, presiden mengeluarkan Inpres No 8 Tahun 2002, tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, inpres ini digunakan sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah BLBI yang penyelesaiannya tidak kunjung usai.
Meski sudah dimulai pada masa Pemerintahan Presiden Habibie dan dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masalah BLBI ini selalu menjadi bahan perdebatan.
Inpres ini adalah upaya dari pemerintah memberikan kepastian hukum bagi para obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Pada tahun 2004, terhadap obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya tersebut, BPPN mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL), kemudian Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Dalam rangka penutupan BPPN, BPK melakukan pemeriksaan akhir terhadap seluruh kewajiban pemegang saham bank yang selama ini menjadi tugas BPPN menyelesaikannya. Dari laporan Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham tertanggal 30 November 2006 yang bertujuan menilai kepatuhan pada peraturan, kebijakan pemerintah serta perjanjian yang telah disepakati (MSAA), kewajaran Jumlah Kewajiban Pemegang Saham yang telah ditetapkan, efektivitas pengalihan dan pengelolaan aset eks Pemegang Saham Pengendali dan penyelesaian akhir Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), dalam kesimpulan terhadap pemeriksaan MSAA-BDNI, BPK menyatakan: SKL layak diberikan kepada pemegang saham BDNI, karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Artinya masalah BLBI ini selesai sudah. Masalah penyelesaian BLBI yang sudah menahun, menguras banyak energi dan waktu dikubur sudah. Pemerintah senang karena telah menyelesaikan utang pekerjaannya, para pemegang saham bank merasa lega sebab sudah dianggap menyelesaikan kewajibannya.
***
Namun, pada masa Jaksa Agung Hendarman Supandji menduduki jabatannya, mulai bulan Juli tahun 2007 BLBI yang sudah dikubur pada masa pemerintahan Presiden Megawati di tahun 2004 digali kembali oleh tim jaksa. Pendapat tim jaksa penyelidik ada kekurangan nilai aset yang diserahkan pemegang saham BDNI dibandingkan dengan kewajibannya.
Hasil tim ini pula nampaknya yang dijadikan dasar dari pendapat hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Edwin Pamimpin Situmorang yang diserahkan kepada Jaksa Agung dan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa ada wanprestasi yang dilakukan oleh pemegang saham BDNI. Nilai ingkar janji itu sebesar Rp 4,758 triliun.
Pendapat adanya kekurangan nilai penyerahan aset muncul secara terbuka pada waktu anggota tim Hendro Dewanto memberikan keterangan sebagai saksi di sidang Pengadilan Tipikor dalam perkara Urip Tri Gunawan. Menurut Hendro Dewanto, kekurangan ini sebagai hasil perhitungan dari nilai aset yang diserahkan.
Adanya kekurangan nilai aset ini tidak pernah disampaikan ketika pengumuman hasil penelitian tim Urip Tri Gunawan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Pendapat tim yang dipimpin Urip Tri Gunawan ini mengabaikan hasil audit Audit BPK RI No 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 Halaman 63 mengatakan bahwa PS BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002.
Ada hal yang patut dicermati yang seharusnya dibuka secara transparan, terutama oleh pihak Kejaksaan, alasan tim penyelidik tidak meminta keterangan kepada pengambil kebijakan menyelesaikan BLBI ini pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Dari informasi yang diperoleh, Menteri Ekuin yang memutuskan menyelesaikan BLBI ini tidak diperiksa. Pimpinan BPPN yang menyelesaikan BLBI ini tidak ada satu pun yang diminta keterangannya.
Ada beberapa pejabat BPPN memang yang dimintai keterangan, tetapi bukan pimpinan BPPN dan bukan pengambil keputusan. Yang dipanggil hanya sampai tingkat Deputi Ketua. Sedangkan para mantan Ketua BPPN semuanya diperiksa, termasuk mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto. Bahkan, dua mantan Menteri Ekuin yaitu Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie juga diperiksa.
***
Hal yang patut dicatat bahwa penyelesaian BLBI ini adalah kebijakan pemerintah sesuai kebijakan yang digariskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Artinya ini bukan hanya kebijakan pemerintah, tetapi juga kebijakan rakyat yang direpresentasikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengingat peralihan pemerintah terjadi secara konstitusional maka sangat layak kalau semua keputusan atau kebijakan pemerintahan yang lalu dihargai dan dihormati oleh pemerintah yang baru.
Penulis adalah Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar