Jumat, 10 September 2010

Filosofi "Dewi Keadilan"

Filosofi
"Dewi Keadilan"
Maqdir Ismail
Advokat, Staf Pengajar FH Universitas
Al Azhar Indonesia

Suara Karya, Selasa, 19 Januari 2010
Gegap gempita berita penegakan hukum tahun 2009 sungguh luar biasa, tapi berita tentang pemberantasan korupsi sebenarnya tidak sedahsyat tahun 2008. Tahun 2009 tidak mencatat ada perkara korupsi yang spektakuler. Yang justru mengharu-biru pemberitaan adalah perkara yang melilit pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu perkara mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang didakwa sebagai penganjur pembunuhan almarhum Nasruddin Zulkarnain, perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah yang disangka menyalahgunakan wewenang.

Kontroversi demi kontroversi muncul seiring dengan berjalannya perkara pimpinan KPK ini. Perkara Antasari Azhar mengungkap pengakuan Wiliardi Wizard bahwa ada upaya dari pimpinan Polri untuk menjadikan Antasari sebagai target, meski hal ini dibantah secara bersama oleh pejabat Polri baik melalui keterangan pers maupun bersaksi di hadapan persidangan.

Perkara Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah melahirkan rekaman percakapan antara pimpinan kejaksaan, Polri, dan pihak swasta yang mengindikasikan adanya "penukangan" terhadap perkara tersebut. Kebenaran dari semua itu tentu telah dicatat oleh sejarah dalam penegakan hukum kita.

Yang tidak kalah menarik adalah perkara yang menimpa orang kecil seperti perkara Ibu Minah yang didakwa mengambil tiga buah kakao dan dihukum percobaan 1,5 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto. Juga kasus pencurian semangka yang dilakukan Basar Suyanto dan Kholil yang kemudian diputus bersalah dengan hukuman 15 hari penjara. Keputusan dalam kedua kasus itu--sesuai sistem peradilan formal--adalah benar belaka dan harus dijatuhkan hukuman, apalagi mereka terbukti melakukan perbuatan pidana.

Di sini hakim, jaksa, dan kepolisian hanya melihat perbuatan kriminalnya saja, sedangkan aspek sosial cenderung diabaikan. Itulah filosofi dari "Dewi Keadilan" dengan mata tertutup. Dengan demikian, timbul kesan bahwa lembaga peradilan hanya melihat aspek teknis hukum daripada mempertimbangkan kualitas putusan secara adil. Perkara ini begitu berbeda dengan putusan hakim di Pengadilan Tangerang yang membebaskan Prita Mulyasari.

Peran pers membuka kasus-kasus tersebut memang tidak bisa diabaikan. Hanya karena gigihnya perslah, maka kasus-kasus tersebut menjadi perhatian orang banyak. Bahkan, dukungan yang besar dari masyarakat kepada Prita tidak lepas dari peran pers. Begitu juga dalam perkara Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah serta Antasari Azhar.

Pada tahun 2010 ini, peran pers dalam membuka kasus-kasus yang melukai rasa keadilan diharapkan dapat makin besar. Saya kira masih banyak perkara korupsi yang belum dapat diselesaikan pada 2009. Kita berharap tahun 2010 dapat merupakan tahun terakhir pemberantasan korupsi. Perkara korupsi yang ada adalah perkara-perkara lama yang ke depan ini harus diselesaikan.***

Tidak ada komentar: