Antasari dan Kehormatan Jabatan
Maqdir Ismail
Dosen FH Universitas Al Azhar Indonesia
Suara Karya, Selasa, 5 Mei 2009
Pemberitaan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen menuju klimaksnya, terutama yang berhubungan dengan dugaan keterlibatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Sejak Kamis, 30 April 2009, berita ini menggeser pemberitaan koalisi partai-partai besar, bahkan menghilangkan berita tentang gugatan terhadap daftar pemilih tetap (DPT).
Terlepas dari ada tidaknya kepentingan politik mengalihkan isu masalah pemilihan umum (pemilu), mengamati masalah tersebut sungguh memerlukan kecerdasan tersendiri. Pengalihan berita ini sungguh sangat efektif. Paling tidak, banyak orang begitu terhenyak dan berpikir ada yang salah di negeri ini.
Kesalahan yang cukup besar adalah pemberitaan yang disampaikan oleh petinggi Kejaksaan Agung bahwa Antasari Azhar telah ditetapkan sebagai tersangka sebelum dia diperiksa dan perlu dicekal selama satu tahun. Tentu pencekalan ini dianggap penting karena Antasari dianggap bisa melarikan diri ke luar negeri. Inilah bumbu penyedap dalam pemberitaan.
Kesalahan lain, pemberitaan ini tanpa mempertimbangkan kehormatan jabatan Antasari Azhar sebagai salah seorang pejabat negara dalam bidang penegakan hukum. Kita setuju, harus ada kesamaan di depan hukum bagi seluruh warga negara. Tetapi yang perlu dipikirkan, sepatutnyalah perlakuan dalam pengungkapan kasus warga negara biasa dan warga negara yang kebetulan menjadi pejabat negara tentu berbeda. Perbedaannya, karena pejabat negara itu di dalam dirinya melekat kehormatan jabatan yang harus dihargai, sedangkan pada warga negara biasa tidak demikian adanya.
Dalam rangka menegakkan kehormatan jabatan ini adalah etis kalau pemeriksaan terhadap pejabat itu dilakukan terlebih duhulu agar ada bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan status seorang pejabat negara. Bisa dikatakan ada pemeriksaan berjenjang dan bertahap sebelum ditetapkan statusnya. Bukan dengan cara mengumunkan dalam satu konferensi pers. Ini adalah etika kehormatan jabatan. Kalau etika jabatan ini tidak ditegakkan, maka kehormatan jabatan itu akan sirna.
Yang penting juga harus diperhatikan adalah pengembangan proses penegakan hukum yang bemartabat dan bukan dengan cara mempermainkan kekuasaan dengan meminta bantuan pers menghukum orang yang belum tentu bersalah.
Apa yang ingin ditegaskan di sini, kita setuju bahwa proses penegakan hukum terhadap semua warga negara tidak boleh membedakan kedudukan warga negara itu. Tetapi adalah layak setiap proses penegakan hukum yang menyangkut seorang pejabat harus dilakukan dengan mempertimbangkan kehormatan jabatan pejabat itu. Dan, yang tidak kalah pentingnya juga adalah proses penegakan hukum itu harus dilakukan secara bemartabat dengan mempertimbangkan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasaan atau balas dendam.***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar