Jumat, 10 September 2010

Kasus Bank Century vs Independensi Bank Indonesia

Sinar Harapan, Selasa, 06 Oktober 2009 14:19
Kasus Bank Century vs Independensi Bank Indonesia

OLEH: MAQDIR ISMAIL

Menjelang berakhirnya masa bakti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2004-2009, masih tersisa masalah besar yang akan tetap menjadi beban bagi anggota DPR periode berikutnya, yaitu masalah Bank Century (kini MutiaraBank-red).

Sebagaimana banyak diberitakan media massa bahwa DPR menduga adanya penyalahgunaan wewenang dan kesalahan dalam memberikan penilaian oleh Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Penyalahgunaan we-wenang itu ditengarai sengaja dilakukan BI dengan cara mengubah ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum atau Capital Adequacy Ratio (CAR).
Perubahan itulah yang menyebabkan Bank Century mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Selain itu, dalam rapat KSSK pun terdapat error of judgment di mana kesalahan dalam penilaian terhadap Bank Century mengakibatkan dana yang tadinya dikucurkan hanya Rp 630 miliar menjadi Rp 6,76 triliun.
Suntikan dana besar ini konon dilakukan untuk menutup kerugian akibat penipuan yang dilakukan pemegang saham dan manajemen bank. Hal ini terjadi karena lemahnya fungsi penga-wasan BI dan karena tidak adanya keberanian bank sentral bertindak tegas.

Perubahan Peraturan BI
Dugaan bahwa BI menyalahgunakan kewenang-an bersumber pada perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/1/PBI/2006 menjadi PBI No 10/31/PBI/2008. Perbedaan pokok pada kedua peraturan tersebut khususnya mengenai Fasilitas Pembiayaan Darurat.
Secara khusus dalam Pasal 3 Ayat 2 PBI No 8/1/PBI/2006 dikatakan, “Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) Bank mengalami Kesulitan Likuiditas; b) Bank berdampak sistemik; c) rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank pa-ling sedikit 5 persen; dan d) dijamin dengan agunan.
Sedangkan dalam Pasal 5 Ayat (2) PBI No 10/31/PBI/2008 persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: a. Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik; b. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) positif; dan c. Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan.
Tidak adanya rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank paling sedikit 5 persen dan dijamin dengan agunan inilah yang dianggap sebagai akar permasalahan yang menimbulkan suntikan dana diberikan kepada Bank Century. Sebab dalam PBI No 10/31/PBI/2008, rasio kewajiban penyediaan modal minimum positif tidak jelas ukurannya, menjadi longgar dan jaminannya menjadi tidak mutlak, karena dikatakan memiliki aset yang dapat dijadikan agunan. Dengan demikian, di sini tidak tegas lagi bahwa aset dari bank itu digunakan sebagai jaminan, kalau bank memperoleh fasilitas pembiayaan darurat.
Penyusunan syarat untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan darurat dalam PBI yang longgar ini tentu dapat dite-ngarai sebagai kesengajaan untuk melindungi kepentingan tertentu. Secara khusus dalam hal ini diduga perubahan PBI tersebut untuk menyelamatkan Bank Century dan memberi akses bagi bank bermasalah ini agar menda-patkan fasilitas pembiayaan darurat. Kalau hal ini betul demikian, maka ini adalah salah satu bentuk high crime yang dilakukan secara sitematis oleh pemegang kekuasaan di bank sentral.
Dalam undang-undang BI, fungsi pengawasan diatur secara bersama dengan fungsi pengaturan bank dan selama ini kedua hal tersebut berjalan seiring. Kaitannya dengan Bank Century, BI yang dianggap tidak mampu melakukan pengawasan secara ketat dan baik. Ketidakmampuan melakukan pengawasan ini menurut media massa telah terjadi sejak tahun 2005.
Bahkan, dikatakan juga, terhadap pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank Century tidak pernah diproses secara hukum dan tegas oleh BI. Asumsi ini bisa benar dan bisa juga tidak benar. Kebenaran tentang ini tentu harus dibuktikan secara hukum. Tidak bisa dipandang remeh.
Mungkin bukan kelemah-an pada pengawasan BI yang menonjol, tetapi sikap toleran para pengawas dan petinggi BI. Jika hal ini yang terjadi, BI dan Menteri Keuangan harus segera menata ulang fungsi pengawasan terhadap bank, sebelum fungsi ini disapih dari BI. Ini penting dalam rangka persiapan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Penulis adalah Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.

Tidak ada komentar: