Selasa, 14 September 2010

Ketua KPK dan Kasus Politik

Ketua KPK dan Kasus Politik
Maqdir Ismail
Advokat, dosen FH Universitas Al Azhar Indonesia

Suara Karya, Selasa, 14 September 2010
Tantangan serius bakal dihadapi pejabat baru Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siapa pun nanti yang dipilih DPR sebagai Ketua KPK, M Busyro Muqoddas atau Bambang Wijayanto, dia harus menghadapi kasus korupsi yang sarat muatan politis.

Ada dua kasus besar yang berimpit dengan politik ini. Pertama, penetapan status tersangka terhadap 26 anggota dan mantan anggota DPR dalam dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom. Sebagian besar tersangka bukan pendukung pemerintah, sehingga berpotensi penetapan status itu bisa melahirkan politik balas dendam.

Kedua, perkara Bank Century yang oleh kalangan anggota DPR dianggap mengandung unsur pidana.

Sengaja atau tidak, kasus-kasus itu mengingatkan kita kepada Antasari Azhar ketika baru saja terpilih sebagai Ketua KPK. Ketika itu, Antasari dan kawan-kawan dibenturkan dengan kasus suap oleh BI kepada anggota DPR dalam rangka amandemen UU BI. Meski tidak maksimal, kasus tersebut mengakhiri jabatan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan memenjarakan Aulia Pohan yang merupakan besan SBY.

Meski kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI hanya melibatkan beberapa anggota DPR aktif, toh masing-masing tersangka diduga terkait dengan uang ratusan juta rupiah saja, tetapi di antara mereka terdapat banyak tokoh yang ditunggu oleh pengapnya dinding penjara. Ada mantan menteri, mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga mantan sekretaris fraksi di DPR.

Apakah KPK siap melanjutkan rekomendasi DPR untuk meneruskan proses hukum kasus "korupsi" kasus Bank Century? Namun, sampai sekarang memang belum pernah ada kejelasan justisi atas kasus itu.

Sudah tentu Ketua KPK yang baru bakal ditunggu kasus-kasus lama yang belum terselesaikan. Seperti pesulap yang menyebut mantra "abra kadabra" untuk menjadikan tersangka, kasus ini sudah lama dipilin-pilin dan diselidiki, tetapi baru sekarang ditetapkan tersangkanya.

Sulit untuk menyangkal bahwa penetapan kasus yang melibatkan sejumlah tersangka mantan pejabat dan tokoh politik ini bukan tanpa tujuan. Pasti ada maksud untuk mempersiapkan pekerjaan besar bagi Ketua KPK yang baru, sekaligus menguji nyalinya. Apakah Ketua KPK yang baru mampu dan sanggup menuntaskan kasus-kasus besar yang melibatkan lembaga politik dan partai politik?

Tentu kita harus yakin bahwa kedua kasus besar itu mencuat terutama demi penegakan hukum. Jadi, bukan karena ada agenda "balas dendam" untuk mengancam oposisi yang tidak pernah bisa ditakut-takuti.

Konon, kasus itu akan dibarter dengan keadaan politik tertentu. Ini menyusul suara-suara tentang impeachment terhadap Presiden yang makin kencang disuarakan. Tentu kita sebagai anak bangsa tidak menghendaki lembaga penegak hukum seperti KPK digunakan oleh kelompok kepentingan tertentu untuk mengancam atau menakut-nakuti lawan politik penguasa.

Sekali lembaga penegak hukum dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu, itu sangat mahal harganya bagi penegakan demokrasi. Sebab, akan terlalu sulit untuk mengembalikannya kepada posisi netral. Pembaga penegak hukum agar lebih fokus dalam membidani dan menukangi kasus tertentu. Apalagi lembaga seperti KPK yang tidak mengenal mekanisme penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Batu uji bagi Ketua KPK yang baru terlalu berbahaya bagi kelangsungan dan kemandirian penegakan hukum oleh KPK. Meski masih tertatih-tatih membenahi diri, Ketua KPK yang baru bakal menghadapi setumpuk masalah pelik--yang dihadapi pimpinan lama.***
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=261663

Tidak ada komentar: