Senin, 04 Februari 2008

Suara Badan Kehormatan DPR bak 'Infotainment'

Suara Badan Kehormatan DPR bak 'Infotainment'
Penulis: Maqdir Ismail, Pemerhati masalah hukum perbankan,
Jika menilik hingar-bingar pemberitaan pers sebagai akibat turut sertanya Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menangani kasus aliran dana Bank Indonesia yang 'diterima' anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu menimbulkan pertanyaan. Apa pun bentuk pertanyaannya adalah wajar dan dapat dimengerti. Pernyataan dukungan atau celaan juga suatu hal yang lumrah. Pernyataan setuju dan atau tudingan akan mengambil manfaat untuk keuntungan pribadi juga sama lumrahnya.
Salah satu kasus menonjol yang melibatkan Dewan Kehormatan DPR adalah menyangkut aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp31 miliar ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya telah menetapkan status tersangka kepada Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simajuntak, dan Direktur Hukum BI Oey Hoey. KPK juga telah meningkatkan status penerima dana aliran BI, yang disebut Ketua KPK Antasri Azhar berinisial AZA dan Hy, keduanya anggota DPR, dari penyelidikan ke penyidikan.
Di tengah proses hukum yang sedang dilakukan KPK, Badan Kehormatan DPR juga telah melakukan hal sama. Badan Kehormatan (BK) DPR bahkan terus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menuntaskan kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR.
Politisasi?
Timbulnya anggapan adanya politisasi dengan campur tangan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sama lumrahnya dengan alasan dan keinginan Badan Kehormatan untuk mengawal penanganan kasus ini secara baik dan transparan.
Adalah fakta tidak terbantahkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu adalah lembaga politik. Semua keputusan lembaga ini merupakan keputusan politik. Keputusan yang berlaku secara intern atau berlaku secara umum menyangkut kepentingan publik adalah juga keputusan politik. Dengan begitu, segala keputusan dari instrumen yang ada pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat adalah keputusan politik. Paling kurang, keputusan politik dari instrumen itu dapat menjadi sandaran bagi ide Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengambil keputusan.
Penanganan satu kasus atau campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam satu kasus adalah penanganan secara politik atau campur tangan lembaga politik. Sehingga tidak jarang ikut campurnya Dewan Perwakilan Rakyat ini disebut sebagai politisasi kasus.
Campur tangan lembaga politik dalam menangani satu kasus tidak selamanya buruk. Tidak selamanya keikutsertaan lembaga politik itu terjadi politisasi, dalam arti campur tangan lembaga politik itu tidak selamanya untuk kepentingan politik dari yang ikut menangani kasus itu, tidak juga untuk kepentingan politik partainya. Meskipun tidak jarang, turut sertanya lembaga politik itu, menguntungkan pihak tertentu, atau ada pihak yang menuai keuntungan secara langsung atau tidak langsung dari keikutsertaan lembaga politik itu.
Bersisi dua
Hampir dapat dipastikan, campur tangan lembaga politik dalam satu kasus itu menimbulkan kerugian dan keuntungan. Kerugian dan keuntungan itu seperti dua sisi dari satu mata uang. Keuntungan yang paling kasat mata bahwa akan ada perhatian yang cukup dari masyarakat terhadap kasus yang ditangani Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Kerugiannya, akan memunculkan potensi, penanganan kasus itu hanya akan dilihat dari kepentingan orang atau partai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. Bahkan tidak jarang akan ada keuntungan politik dan 'ekonomi' yang diperoleh bagi yang menangani kasus itu. Paling kurang, orang-orang yang 'vokal' berbicara dalam satu kasus akan mendapat perhatian dan tidak jarang juga pujian dari masyarakat. Pujian dan apresiasi dari masyarakat ini dapat menjadi modal bagi sang politikus dalam masa pencalonan sebagai anggota badan legislatif.
Hal yang pasti, timbulnya bermacam anggapan dan dugaan miring terhadap Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat ini,terjadi karena tidak adanya standar yang jelas yang ditentukan Dewan Perwakilan Rakyat tentang batas penanganan satu kasus oleh Badan Kehormatan. Tidak ditentukan aturan main yang baku. Semuanya diserahkan mengalir sesuai dengan arus yang membawa kasus itu sendiri. Semuanya diserahkan kepada orang yang lebih banyak menyediakan waktu untuk menangani satu kasus. Tidak ditentukan dengan satu aturan ketat dan mengikat.
Tidak superaktif
Pada galibnya, penanganan satu kasus menyangkut pelanggaran etika dilakukan secara tertutup, kecuali dalam pembacaan keputusan. Bukan itu saja, sifat yang ditonjolkan peradilan kode etik itu, adalah bersifat menunggu. Tidak superaktif menyampaikan pemberitaan atau mencari fakta dengan publisitas. Semua itu tidak terjadi pada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menangani banyak kasus pelanggaran kode etik oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Aturan main yang baku dan transparan dalam menangani satu kasus oleh Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sangat mutlak diperlukan. Tanpa aturan baku dan transparan, itu akan melahirkan sikap dan tindakan yang kontroversial. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, dalam pengambilan keputusan oleh Dewan Kehormatan tidak dilakukan karena adanya tenggat dan tidak pula dilakukan secara terburu-buru.
Sambil menunggu aturan main yang baku itu, sepatutnya Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan penyelidikan terhadap satu kasus tidak melakukannya dengan hingar-bingar melalui pemberitaan yang gegap-gempita seperti infotainment. Pernahkah kita membayangkan seandainya apa yang dilakukan oleh kita terhadap orang lain juga akan menimpa kita?
http://www.mediaindonesia.com/

Media Indonesia 4 Pebruari 2008

Keterangan dalam Penyelidikan

(Bagian akhir dari dua tulisan)Oleh Maqdir Ismail
Kamis, 31 Januari 2008Dalam tindak pidana umum, penyelidikan satu perkara dilakukan oleh polisi negara Republik Indonesia, karena dalam KUHAP yang ditegaskan sebagai penyelidik itu hanya polisi. Sedangkan dalam perkara korupsi penyelidikan dan penyidikan perkara dapat dilakukan oleh kejaksaan dan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara umum, penyelidikan itu dilakukan sebagai tindak lanjut dari adanya laporan masyarakat sehubungan dengan adanya tindak pidana. Penyelidikan dianggap perlu sebagai upaya persiapan pengumpulan bukti, berupa bukti tertulis atau kesaksian sehingga memudahkan pelaksanaan penyidikan. Dalam pelaksanaannya, penyelidikan tidak jarang dilakukan dengan cara-cara yang tidak formal, penyelidik bersikap lebih santai dan lebih familiar dibandingkan dengan pada waktu penyidikan. Meskipun tidak jarang ada juga penyelidik yang bersikap garang, karena tuntutan kewajiban untuk mencari bukti permulaan yang cukup.
Pelaksanaan penyelidikan pun biasanya dilakukan secara tertutup. Namun, sedikit agak berbeda dalam waktu beberapa tahun belakangan ini. Hasil penyelidikan yang belum lengkap pun tidak jarang disampaikan kepada pers secara terbuka, dengan jumpa pers yang berulang. Sehingga penyelidikan itu menjadi berubah arah, bukan lagi untuk memudahkan penyidik melakukan penyidikan, tetapi untuk membuka aib orang yang belum tentu bersalah. Untuk membuka aib itu maka hasil penyelidikan itu patut diumbar. Hasil penyelidikan digunakan sebagai sarana untuk menghukum lawan politik. Penyelidikan itu juga digunakan untuk merusak harkat dan martabat orang lain.
Agar penyelidikan perkara itu tidak salah arah dan digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, maka sepatutnya pemberitaan hasil penyelidikan itu tidak disebarluaskan secara terbuka dalam bentuk apa pun, mengingat sifat dari penyelidikan itu masih tertutup dan perkaranya belum jelas siapa yang akan menjadi tersangka atau saksi yang memberatkan.
Dalam praktik pemberian keterangan pada masa penyelidikan, hampir tidak bebeda dengan pemeriksaan pada waktu penyidikan. Hasil wawancara antara pemeriksa dan terperiksa dituangkan dalam satu berita acara, ditandatangani oleh pemeriksa dan terperiksa. Pemberian keterangan dengan cara seperti ini adalah salah kaprah, karena penyelidikan merupakan tahap awal pencarian kebenaran laporan atau dugaan adanya tindak pidana.
Umumnya keterangan pada penyelidikan diberikan sebelum ditetapkan tersangkanya dalam panggilan permintaan keterangan. Kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi belum sekeras pada masa penyidikan. Tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang secara tegas mengatur kewajiban terperiksa dalam masa penyelidikan. Tidak juga diatur secara jelas sebagai out put dari penyelidikan harus dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), karena dalam KUHAP diindikasikan bahwa penyelidikan itu dilakukan tidak dengan pemeriksaan seperti dalam penyidikan. Berita acara yang dimaksud oleh Pasal 102 ayat 3 KUHAP adalah berita acara penerimaan laporan dan berita acara kalau ada yang tertangkap tangan.
Dalam KUHAP, keterangan seorang saksi baru dapat dinyatakan sebagai alat bukti bila keterangan itu disampaikan dalam persidangan. Artinya keterangan yang disampaikan dalam satu proses penyelidikan belum dapat dikatakan sebagai alat bukti, meskipun itu penting. Keterangan dalam penyelidikan adalah upaya pengumpulan fakta yang nantinya dapat digunakan sebagai alat bukti permulaan ketika terjadi penyidikan. Keterangan yang disampaikan di hadapan penyelidik itu baru merupakan bukti permulaan yang dapat digunakan untuk menentukan arah penyidikan; sedangkan keterangan dalam penyidikan merupakan bukti permulaan untuk melakukan penuntutan.
Ada perbedaan mendasar dari nilai keterangan dalam penyelidikan dan penyidikan. Keterangan dalam penyelidikan dapat diberikan secara informal maupun secara formal, sedangkan keterangan dalam penyidikan harus diberikan secara formal, mengikuti ketentuan yang secara tegas diatur cara penyampaiannya oleh KUHAP, yaitu dengan cara dibuat dalam Berita Acara Pemeriksaan dan harus mencatat seteliti mungkin; berita acara itu pun baru ditandatangani oleh penyidik setelah disetujui oleh tersangka atau saksi. Jika saksi atau tersangka menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, penyidik hanya mempunyai hak untuk mencatat serta alasan saksi atau tersangka tidak menandatangani berita acara pemeriksaan.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa berita acara pemeriksaan dalam penyidikan pun dapat ditolak untuk ditandatangani dengan menyebutkan alasannya. Hal ini tentu berlaku sama terhadap keterangan yang disampaikan dalam proses penyelidikan, yaitu bahwa seorang yang memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses penyidikan dapat saja mencabut kembali keterangan yang pernah disampaikan kepada penyelidik dengan alasan apa pun. Tidak ada pembatasan atau syarat yang ditentukan oleh undang-undang bagi saksi untuk menarik keterangan yang pernah disampaikan kepada penyelidik.
Umumnya penyelidikan satu perkara dilakukan secara tertutup. Akan tetapi kalau mengikuti pemberitaan surat kabar, beberapa minggu terakhir ini, khususnya mengenai "kasus aliran dana BI", terutama pemberitaan yang bersumber dari wakil ketua Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR), maka hasil penyelididkan itu itu menjadi terbuka untuk umum.
Keterangan Wakil Ketua Badan Kehormatan Prof Dr Gayus Lumbuun, SH, MH, yang mengungkap adanya pengakuan terperiksa yang bersumber dari hasil penyelidikan KPK, menunjukkan bahwa beliau mengetahui apa yang diterangkan oleh terperiksa Rusli Simanjuntak. Baik keterangan tentang penerimaan dana BI dan kemudian pencabutan keterangan tersebut beserta alasannya di hadapan penyidik.
Terlepas dari mana keterangan tersebut diperoleh oleh wakil ketua BK DPR, mengingat sifat penyelidikan itu umumnya masih tertutup, bukan seperti sidang pengadilan yang selalu dinyatakan terbuka untuk umum, tentunya hasil penyelidikan itu tidak patut dijadikan sebagai konsumsi publik, apalagi kalau dijadikan konsumsi politik. Dan, adalah juga tidak etis bagi penyelidik dengan segala kepentingannya untuk menyerahkan hasil penyelidikan kepada pihak lain, mengingat penyelidikan tersebut belum merupakan kegiatan yang dapat dikatakan sebagai pro justisia.***
Penulis adalah advokat dan pengamat hukum perbankan
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=191722