Senin, 17 Desember 2007

Ironi Pimpinan Bank Sentral di Indonesia

Suara Karya Selasa, 18 Desember 2007
Ironi Pimpinan Bank Sentral di Indonesia(Bagian kedua dari dua tulisan)

Oleh Maqdir Ismail

Ironi, tampaknya sangat melekat, dan seperti mejadi satu kesatuan dengan pimpinan bank sentral di Indonesia. Ironi itu sepertinya berimpit dengan jabatan tinggi di Bank Indonesia. Paling kurang ada tujuh fakta yang dapat dicatat sebagai ironi dalam kepemimpinan Bank Indonesia.
Fakta pertama, ketika masih bernama De Javasche Bank di tahun 1951, Presiden De Javasche Bank Dr Houwink berhenti dari jabatannya karena berselisih dengan pemerintah Indonesia, yang waktu itu menghendaki dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank. Kemudian kedudukan Dr Houwink diisi oleh salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Mr Sjafruddin Prawiranegara, atas persetujuan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia;
Fakta kedua, pemberhentian Mr Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia terjadi karena beliau dituduh ikut dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Fakta ketiga, Mr Loekman Hakim berhenti dari jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia karena merasa dilangkahi oleh pemerintah yang direpresentasikan oleh Perdana Menteri Ir Djuanda, sebagai Ketua Dewan Moneter dalam melakukan sanering di tahun 1959, tanpa membicarakan kebijakan moneter tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Fakta keempat, Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral Indonesia T Jusuf Muda Dalam, adalah Gubernur Bank Indonesia yang paling banyak dihujat, karena dianggap sebagai biang-keladi merosotnya ekonomi Indonesia pada masa Orde Lama. Dia juga dituding sejak tahun 1964 hingga tahun 1965 lebih banyak menggunakan kredit untuk membiayai kepentingan sendiri dan keperluan presiden.
Fakta kelima, Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono adalah Gubernur Bank Indonesia yang diberhentikan menjelang masa jabatannya berakhir. Selain itu, dia adalah juga seorang Gubernur Bank Indonesia yang ditengarai bermasalah dan dianggap bertanggung jawab terhadap pengucuran BLBI. Penyidikan perkara Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono dihentikan karena diangap bukti tidak cukup. Masih terkait dengan pengucuran BLBI pada masa J Soedradjad Djiwandono memimpin Bank Indonesia, tiga orang direktur Bank Indonesia masing-masing akhirnya dihukum 1,5 tahun penjara.
Fakta keenam, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mengalami penahanan beberapa bulan dan diadili, karena diduga terlibat dalam "skandal Bank Bali", meskipun dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh pengadilan. Catatan Syahril Sabirin sendiri mengungkap bahwa perkaranya berasal dari desakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengundurkan diri, kemudian dijanjikan untuk diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung atau duta besar.
Desakan Presiden Abdurrahman Wahid ini didasari oleh keinginan untuk mengganti Gubernur Bank Indonesia, namun desakan ini diabaikan oleh Gubernur Syahril Sabirin. Dia menolak dan melawan desakan mundur dari Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, menggunakan ketentuan UU No 23 Tahun 1999 tentang Pemberhentian Anggota Dewan Gubernur yang hanya dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan atau berhalangan tetap. Oleh pengadilan, Syahril Sabirin dianggap tidak terbukti melakukan tindak pidana, sehingga dia mengakhiri masa jabatannya sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Jabatannya lebih panjang dari masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Fakta ketujuh, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pada akhir tahun 2006 menyampaikan laporan kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya dugaan korupsi dan penyuapan dalam penggunaan dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar. Itu sehubungan dengan permasalahan hukum yang dihadapi mantan gubernur dan direksi Bank Indonesia, serta penyelesaian BLBI dan amandemen UU NO 23 Tahun 1999. Dalam Laporan Ketua BPK ini, yang diduga telah melakukan penyimpangan dan berindikasi telah melakukan tindak pidana korupsi adalah Dewan Gubernur Bank Indonesia. Penerima dana diseminasi dalam laporan ini adalah anggota DPR dari komisi IX.
Ironinya, salah satu dari orang yang memberikan persetujuan untuk melakukan diseminasi kepada anggota DPR untuk menyelesaikan BLBI dan amandemen UU N0.23 Tahun 1999 itu adalah sang pelapor Anwar Nasution, yang ketika itu menduduki jabatan sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Jika Laporan Ketua BPK ini mengandung kebenaran, dalam arti ada bukti formal yang kuat, ada pengakuan dari kurir, ada penerimaan uang yang dapat ditelusuri bahwa dana dari YPPI ini digunakan sebagai "sogok" untuk membeli keputusan dari DPR, maka ini akan menjadi skandal bank sentral abad ini. Bukan hanya Gubernur Bank Indonesia yang akan menjadi tersangka, tetapi juga para deputinya dan semua pejabat Bank Indonesia yang terlibat juga akan menjadi tersangka.
Dan, sudah barang tentu anggota DPR yang menerima uang akan merasakan panasnya kursi pesakitan. Namun, jika laporan Ketua BPK ini tidak mengandung kebenaran, karena dana dari YPPI untuk diseminasi kegiatan, maka ini akan menjadi cermin betapa tidak kredibelnya Ketua BPK. Laporan ini tidak sesuai dengan UU Bank Indonesia, yang mewajibkan BPK melaporkan terlebih dahulu kepada DPR hasil pemeriksaan laporan keuangan Bank Indonesia. Jika laporan ini tidak mengandung kebenaran, maka laporan ini paling kurang akan menjadi pengaduan palsu yang diancam oleh Pasal 317 atau Pasal 318 KUH Pidana dengan ancaman pidana paling lama empat tahun penjara. (Habis)***
Penulis adalah pengacara

Minggu, 16 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik

Suara Karya Senin, 17 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik(Tulisan pertama dari dua tulisan)
Oleh Maqdir Ismail

Sejarah Bank Indonesia (BI) adalah sejarah yang panjang. Sejarah yang penuh dengan liku-liku. Bahkan sejarah mencatat bahwa Bank Indonesia termasuk bank sentral yang didirikan pada abad ke 19. BI didirikan dengan nama De Javasche Bank pada tanggal 24 Januari 1928, dengan tugas berat menanggulangi kesulitan ekonomi Hindia Belanda. Kesulitan demi kesulitan dilalui hingga masa pendudukan Jepang.
Kontroversi tentang Bank Indonesia bukanlah masalah baru. Hal ini sudah terjadi pada masa awal kemerdekaan, dan terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Kalau dirunut ke belakang, ironi tentang bank sentral Indonesia ini sudah melekat dengan keberadaannya. Meskipun Indonesia telah merdeka, hingga tahun 1951 De Javasche Bank tetap menjadi bank yang diatur dan tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terjadi karena dalam Konferensi Meja Bundar De Javasche Bank disepakati sebagai bank sentral, sedangkan Bank Negara Indonesia (1946) diberi tugas sebagai bank pembangunan.
Ironi berawal ketika tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan Republik Indonesia Jusuf Wibisono melontarkan kebijakan pemerintah Indonesai untuk melakukan nasionalisasi terhadap De javasche Bank, yang pada saat itu masih merupakan bank swasta. Kebijakan ini tentu tidak dapat diterima oleh Dr Houwink sebagai presiden De Javasche Bank, karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal 19 keputusan Konferensi Meja Bundar.
Kedaan ini menimbulkan sengketa antara Presiden De Javasche Bank dan Pemerintah Indonesia yang berujung pada pengunduran diri Dr Houwink, karena merasa tidak dipercaya oleh pemerintah.
Salah seorang penentang nasionalisasi ini adalah Mr Sjafruddin Prawiranegara, yang khawatir kalau nasionalisasi dilaksanakan De Javashe Bank tidak bekerja secara efisien, sehingga berpengaruh buruk terhadap kehidupan ekonomi. Sedangkan yang setuju nasionalisasi adalah A Karim, karena dengan nasionalisasi ini akan menjadikan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah dalam mengambil keputusan dan dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi semua bank di Indonesia dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
Ironi nasionalisasi ini berakhir setelah dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank, pada masa kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang diangkat menggantikan Dr Houwink.
Ironi lain berlanjut, ketika Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara diberhentikan oleh pemerintahan Presiden Soekarno atas usul Ketua Dewan Moneter dalam rapat kabinet tanggal 30 Januari 1958, karena dituduh terlibat dalam PRRI/Permesta.
Pengganti Sjafruddin Prawiranegara adalah Mr Loekman Hakim yang diangkat sejak tanggal 8 April 1958 hingga mengundurkan diri pada bulan Agustus 1959, karena merasa wewenangnya dilangkahi oleh pemerintah. Kenapa? Beliau tidak diajak berunding oleh Perdana Menteri Ir H Djuanda yang melakukan sanering pada tanggal 25 Agustus 1959. Sejak saat itu Bank Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, terlebih lagi setelah era Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Jusuf Muda Dalam diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia, pangkat yang juga disandang oleh beliau adalah menteri urusan bank sentral. Pada masa itu diintroduksi fungsi baru dari Bank Indonesia, yaitu bank berjuang. Tugasnya bukan hanya mempertahankan stabilitas moneter dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga sebagai alat mencapai tujuan politik, bank menjadi alat revolusi. Mottonya, bank berjuang di bawah "Pemimpin Besar Revolusi".
Ketika masa Orde Baru, Bank Indonesia sebagai bank sentral bertugas membantu pemerintah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan rupiah. Selain itu juga bertugas mendorong kelancaran produksi, pembangunan dan memperluas kesempatan kerja. Bank Indonesia hanya menjalankan kebijakan moneter yang dirumuskan oleh pemerintah melalui dewan moneter. Kedudukan gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat tinggi disamakan dengan menteri negara.
Dalam era reformasi, Bank Indonesia dijadikan bank sentral yang independen sebagaimana disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang dinyatakan dalam butir 22 Letter of Intent (LOI) II tanggal 15 januari 1998. Independensi diberikan, karena selama ini Bank Indonesia selelau digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan kekeuasaan. Independensi Bank Indonesia ini kemudian dituangkan dalam UU Bank Indonesia No 23 Tahun 1999.
Apa yang hendak dikemukakan dari sejarah tersebut adalah bahwa selama hayatnya Bank Indonesia selalu berimpit dengan kepentingan politik pemerintah. Bahkan tidak jarang digunakan untuk kepentingan politik, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Independensi yang diberikan kepada bank sentral, khususnya Bank Indonesia pada era reformasi, adalah untuk menghindarkan bank sentral digunakan untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, terutama agar bank sentral tidak digunakan untuk mencetak uang agar dapat membeli kekuasaan pada masa pemilihan umum (pemilu). Mengingat pemilu tidak terlalu lama lagi, sepatutnya independensi Bank Indonesia tidak diganggu gugat demi apa pun, terutama tidak boleh diganggu untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara membeli suara rakyat. (Bersambung)***
Penulis adalah pengacara