Sabtu, 02 Agustus 2008

Independensi Bank Sentral dalam Undang-Undang dan Praktik di Indonesia

Independensi Bank Sentral dalam Undang-Undang dan Praktik di Indonesia

Oleh : Maqdir Ismail

Pengantar
Sebagai produk sejarah yang panjang, keberadaan bank sentral telah mengalami berbagai tahap perkembangan sejak abad ke-17. Dari catatan sejarah, bank sentral yang tertua adalah Sveriges Riksbank di Swedia yang didirikan pada tahun 1668, menyusul kemudian Bank of England yang dijadikan sebagai bank sentral pada tahun 1694 dan dianggap sebagai cikal bakal bank sentral modern.[1] Dalam pada itu The Federal Reserve di Amerika Serikat, yang didirikan di tahun 1913 dianggap sebagai bank sentral independen sejak didirikan.[2] Sedangkan De Javasche Bank sebagai perusahaan swasta yang merupakan cikal bakal Bank Indonesia didirikan pada tanggal 29 Desember 1826 melalui Surat Perintah Raja Willem I dan menjadi bank sentral yang independent sejak tahun 1999.

Sekarang semakin menguat kecenderungan untuk menjadikan bank sentral bersifat independen, sejalan dengan berlangsungnya perkembangan pemikiran-pemikiran baru yang mempengaruhi terjadinya perubahan peran bank sentral di seluruh dunia.[3] Kalau sebelum periode 1980an bank-bank sentral umumnya tidak independen, maka setelah periode tersebut hampir seluruh bank sentral di dunia menjadi bank sentral yang independen. Sebagai contoh, pada abad 19 hanya ada 18 bank sentral, 16 di Eropa ditambah di Jepang dan Indonesia,[4] dan pada awal abad ke-20 masih tetap delapan belas bank sentral, tetapi jumlah ini meningkat menjadi 59 pada 1950an, dan meningkat lagi menjadi 161 pada tahun 1990.[5] Bahkan meningkat lagi menjadi 172 bank sentral pada tahun 2000,[6] sedangkan dari data yang ada pada Bank for International Settlements dan sumber yang lain sampai dengan akhir 2004 ada 175 bank sentral di dunia.

Patut juga dicatat bahwa bank-bank sentral independen sebelum periode 1980an hanya Federal Reserve di Amerika Serikat, Bundesbank di Jerman, dan Bank Nasional Swiss.[7] Akan tetapi dewasa ini muncul pula fenomena bahwa di Dunia Ketiga banyak bank sentral berubah menjadi bank sentral yang independen akibat perubahan kerangka hukum dan konstitusional yang diterapkan di negara-negara tersebut. Gejala seperti ini terjadi di Chili (1989), Argentina (1992), Filipina (1993),[8] dan Indonesia (1999).[9]
Tulisan ini hendak mendiskusikan dan mengkaji Undang-undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 dengan beberapa usulan perubahan tehadap pasal-pasal tertentu dari Undang-undang Bank Indonesia.

Kedudukan hukum Bank sentral
Ada yang beranggapan bahwa bank sentral itu adalah lembaga yang terpisah dari pemerintah dan merupakan entity tersendiri yang tidak mengambil tanggung jawab pemerintah. Bank Indonesia sebagai misal dinyatakan sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.[10]

Sebagai contoh lain bahwa bank sentral merupakan entity yang terpisah dari pemerintah dapat dilihat dari putusan pengadilan dalam perkara Trendtex Trading Corp. v Central Bank of Nigeria [11] yang dalam kesimpulannya menyatakan bahwa bank sentral Nigeria bukan merupakan bagian dari pemerintah Nigeria, tetapi merupakan legal entity yang terpisah.

Menurut Goodhart, sebelum abad kedua puluh hubungan antara bank sentral dan pemerintah dalam mengatur macro-policy sangat dekat, begitu juga dalam mengatur nilai mata uang. Sehingga Goodhart[12] menyatakan, bank sentral itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, bahkan disebut sebaga mesin dalam pembuatan kebijakan, terutama dalam hubungannya dengan gold standard atau silver satandard sebagai tangung jawab macro-economy dari bank sentral.
Kekuasaan yang independen pada bank sentral hanya terbatas pada kekuasaan yang oleh undang-undang atau oleh pemerintah dan parlemen disepakati untuk didelegasikan kepada bank sentral. Pemisahan kekuasaan itu bukanlah dalam pengertian politik, tetapi lebih merupakan pemisahan fungsi, sebab bank sentral diberi fungsi secara khusus mengenai kebijakan moneter dan finansial pada satu Negara. Pemisahan kekuasaan itu hanyalah merupakan pendelegasian kekuasaan dalam menjalankan kebijakan yang spesifik[13] terlepas dari campur tangan pemerintah agar terjadi efisiensi.[14]


Alasan-alasan independensi bank sentral
Sejauh ini alasan yang sering digunakan untuk mendukung perlunya bank sentral independen adalah kepentingan kesinambungan program ekonomi dan untuk menghindarkan bank sentral dari campur tangan politik. Independensi dari segi ekonomi diartikan bahwa bank sentral dapat menggunakan seluruh instrumen keuangan dan tidak dibatasi oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan moneter.[15]
Independensi bank sentral dari segi ekonomi dianggap semakin penting karena tidak jarang manipulasi oleh para politisi untuk mendapatkan dukungan menjelang pemilihan umum selalu dilakukan. Selain itu, dengan independensi berarti juga bank sentral dapat mengontrol kredit yang diterima oleh pemerintah serta dapat pula menentukan bunga dari pinjaman pemerintah. Dengan demikian maka independensi bank sentral ini juga mencakup kontrol bank sentral terhadap instrumen-instrumen yang menetapkan kebijakan dalam bidang keuangan.

Selain alasan ekonomi, independensi bank sentral juga didukung oleh berbagai alasan politik. Bagi mereka yang mendukung pandangan mengenai perlunya independensi bank sentral dari perspektif politik, mereka berpandangan bahwa agar terhindar dari arena politik sehari-hari maka bank sentral harus dijadikan bank sentral yang independen, karena keberadaan bank sentral yang tidak independen akan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu yang berniat menyerang kebijakan moneter dan finansial pemerintah yang dianggap tidak populer.[16] Menurut Laurence H. Meyer, "...central bank independence is designed to insulate the central bank from the short-term and often myopic political pressures associated with the electoral cycle."[17] Ini karena, "Politicians not only strive to remain in office as long as possible, they are also partisan and wish to deliver benefits to their constituencies."[18] Berdasarkan pandangan semacam ini maka harus ada keputusan politik untuk menempatkan bank sentral menjadi lembaga yang independen atau paling tidak harus ada dukungan politik yang cukup dari para politisi untuk mempertahankan kedududkan bank sentral sebagai bank sentral yang independen.[19]

Jika tidak demikian, maka kebijakan bank sentral tidak akan pernah menjadi kebijakan yang berkesinambungan. Menurut pandangan seperti itu, independensi bank sentral, dengan kata lain, juga harus mencakup independensi dari lembaga-lembaga politik, termasuk dalam menentukan pimpinan bank sentral, anggota dewan pimpinan bank sentral; serta termasuk pula dalam menentukan tanggung jawab bank sentral dalam memberikan laporan secara periodik kepada legislatif.
Pandangan semacam ini tampaknya memberikan basis argumen yang menghubungkan secara erat antara sistem ekonomi-politik yang demokratis dengan keharusan bank sentral menjadi satu institusi yang independen. Argumen semacam ini memang sering dituding sebagai alasan untuk membenarkan indepenensi bank sentral sebagai semacam entitas yang terpisah dari nagara sehingga muncul kesan bahwa bank sentral yang independen ibarat "negara dalam negara."

Namun demikian, untuk menghilangkan kesan bahwa independensi bank sentral itu menjadi seperti "negara di dalam negara" - sebagaimana pernah dikatakan oleh Helmut Schmidt mengenai Bundesbank,[20] maka diperlukan ketentuan yang tegas mengenai pertanggung jawaban bank sentral kepada eksekutif, kepada legislatif, dan lembaga peradilan.[21]

Adalah N.W. Barber[22] yang pernah menyinggung isu independensi bank sentral ini dalam konteks pemisahan kekuasaan menurut konsep trias-politica. Dalam pandangannya, konsep trias-poltica sendiri sebenarnya sering dipahami dengan interpretasi yang berbeda-beda; dan karena itu keragaman pandangan mengenainya juga harus dianggap valid. Namun demikian, kritik utamanya terhadap berbagai pandangan itu adalah kecenderungannya untuk melihat konsep pemisahan ataupun pembagian kekuasaan melulu dalam pengertian teori politik. Barber kemudian mengajukan pendekatan lain yang lebih cenderung melihat konsep itu dalam teori konstitusional - bukan dari jenisnya yang utopian, tetapi lebih pragmatis.
Dalam hubungan ini ia kemudian melihat pentingnya meletakkan isu independensi kekuasaan bank sentral dalam perspektif efisiensi kekuasaan.

Benar, kata Barber, bahwa bank sentral independen dan otonom dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tetapi ini tidak berarti bahwa bank sentral yang independen dan otonom itu mempunyai kekuasaan tersendiri yang terpisah dari tiga entitas kekuasaan tersebut. Bank sentral yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif; namun terpisah untuk menjalankan kebijakannya yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur tangannya. Secara teoritis pemisahan kekuasaan bank sentral dari eksekutif ini dikenal dengan teori the principal - agent.[23]

Bank Indonesia dalam Undang-undang dan Praktik
Bank Indonesia sebagai bank sentral, cikal bakalnya berasal dari De Javasche Bank, satu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang pada tahun 1828 mendapat hak octrooi sebagai bank sirkulasi.[24]

Setelah proklamasi, niat untuk mendirikan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, terhambat oleh adanya aturan formal karena harus ditetapkan dengan undang-undang,[25] maka kemudian didirikanlah " Poesat Bank Indonesia" sebagai satu yayasan, berdasarkan Akte Notaris No.14 R.M. Soerojo, Notaris di Jakarta, tanggal 9 Oktober 1945. Pembentukan Jajasan Poesat Bank Indoensia ini sebagai langkah awal dalam membentuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945.[26]
Bank Indonesia sebagai bank sentral didirikan berdasarkan undang-undang No.11 Tahun 1953, pada tanggal 1 Juli 1953. Meskipun secara de facto proses nasionalisasi De Javasche Bank telah terjadi sejak diangkatnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank.[27] Dengan undang-undang Bank Indonesia No.11 Tahun 1953, maka kekuasaan untuk menetapkan kebijakan moneter dilakukan oleh Dewan Moneter, sedangkan penyelenggaraan kebijakan moneter yang ditetapkan Dewan Moneter dilakukan oleh Direksi Bank Indonesia.

Dengan kedudukan sebagai Ketua Dewan Moneter Perdana Menteri Djuanda yang merangkap sebagai Menteri Keuangan melakukan sanering dibulan Agustus tahun 1959.[28] Tindakan moneter yang diambil oleh pemerintah ini dapat dikatakan sebagai tekanan yang besar terhadap Bank Indonesia sebagai penjaga stabilitas moneter, terlebih lagi tindakan moneter tersebut diambil tanpa sepengetahuan Gubernur Bank Indonesia, sehingga berujung pada pengunduran diri Gubernur Bank Indonesia Mr. Lukman Hakim.[29]

Perubahan yang lebih penting dan besar terhadap Bank Indonesia terjadi pada tahun 1963, ketika jabatan Gubernur Bank Sentral ditetapkan sebagai anggota Kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan yang ditunjuk untuk memangku jabatan itu adalah Teuku Jusuf Muda Dalam.[30] Kemudian dalam kedudukan sebagai Menteri Urusan Bank Sentral, Teuku Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk melakukan reorganisasi terhadap seluruh sistem perbankan yang berada dibawah kekuasaannya.[31] Selain itu Jusuf Muda Dalam juga mengintrodusir fungsi baru Bank Indonesia sebagai bank berjuang, yang bukan hanya melaksanakan tugasnya secara konvensional mempertahankan stabilisasi moneter dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga harus mengabdi kepada tujuan revolusi Indonesia, yang berarti Bank Indonesia bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi tetapi juga adalah alat untuk mencapai tujuan politik.[32]

Dengan doktrin bahwa bank sebagai Alat Revolusi dan "Program Perdjoangan Bank Berdjoang", maka dilontarkan ide untuk melakukan integrasi antara Bank Indonesia dengan bank-bank milik pemerintah, terutama untuk membantu program pemerintah yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi. Akibatnya semua bank dikaitkan dengan program departemen-departemen, dan semua bank menjadi semacam "Bank Pembangunan".[33]

Sebagai tindak lanjut dari ide ini, maka berdasarkan Penetapan Presiden No.17/1965, diputuskan untuk membentuk sistem perbankan "Bank Tunggal" dengan nama "Bank Negara Indonesia".[34] Bank Indonesia diubah menjadi Bank Negara Indonesia Unit I; Bank Koperasi Tani dan Nelayan menjadi Bank Negara Indonesia Unit II; Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit III; Bank Umum Negara menjadi Bank Negara Unit IV; Bank Tabungan Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit V.[35] Hanya dua bank pemerintah yang tidak digabungkan menjadi unit dari Bank Negara Indonesia yaitu Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia.[36]

Sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru, dengan Undang-undang Bank Sentral, yaitu Undang-Undang No.13 Tahun 1968, maka salah satu yang diatur secara tegas adalah memulihkan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan cara melepaskan kegiatan bank sentral dibidang perbankan komersial, meskipun tidak ada perubahan dan penambahan yang radikal dalam undang-undang yang baru, tidak juga ada perubahan yang baru terhadap otonomi bank sentral dalam hubungannya dengan pemerintah.[37]

Keududukan Dewan Moneter menurut Undang-Undang No.13 Tahun 1968 adalah sangat penting. Dewan Moneter ini adalah lembaga yang merumuskan kebijakan moneter yang hendak dilakukan oleh bank sentral. Keputusan yang diambil oleh Dewan Moneter ditetapkan dengan proses negosiasi yang dilakukan secara berhati-hati sampai lahir satu kesepakatan.[38] Oleh karena itu maka Dewan Moneter ini dapat disebut sebagai alat pemerintah dan pembantu Presiden dalam memikirkan, merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.[39] Dengan demikian maka kekuasaan untuk menetapkan kebijakan moneter berada ditangan Dewan Moneter.[40] Dalam penjelasan umum dikatakan bahwa Dewan Moneter adalah sebagai alat dari Pemerintah yang diperlukan untuk membantu pemerintah agar effisien dalam mempersiapkan sarta memimpin pelaksanaan Kebijakan moneter.

Keanggotaan Dewan Moneter terdiri dari Menteri yang membidangi Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank Sentral.[41] Dalam undang-undang ditentukan bahwa Menteri Keuangan adalah sebagai penanggung jawab bidang keuangan dan sebagai faktor terpenting dalam pelaksanaan kebijakan moneter, sehingga Menteri Keuangan ditentukan sebagai Ketua Dewan Moneter,[42] dan bertanggung jawab untuk mengorganisir sekretariat.[43] Dengan demikian secara fungsional Dewan Moneter bukan hanya sebagai lembaga yang diperlukan untuk melakukan koordinasi antara kebijakan pemerintah dan bank sentral. Dewan Moneter dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan dari Presiden untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh pemerintah.[44] Hal ini mengingat keberadaan bank sentral berada di luar departemen-departemen dan Gubernur Bank Sentral tidak berkedudukan sebagai Menteri.

Namun menurut Soedradjad Djiwandono, sejak Kebinet Pembangunan II Tahun 1983 dalam Keppres pengangkatan Gubernur Bank Indonesia disebutkan bahwa status Gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat tinggi disamakan dengan Menteri Negara,[45] dan pemerintah memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah.[46]

Independensi Bank Indonesia
Rencana perubahan yang besar terhadap Bank Indonesia dilakukan setelah ditanda tangani Letter of Intent (LOI) II tanggal 15 Januari 1998 butir 22 antara Pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund yang menyatakan antara lain bahwa Bank Indonesia akan diberi otonomi di dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.[47] Untuk melaksanakan kesepakatan tersebut Presiden Soheharto kemudian meminta Bank Indonesia menyiapkan konsep independensi bank sentral dalam pengelolaan moneter dan konsep tersebut kemudian dituangkan dalam Keppres No.23 Tahun 1998.[48]
Pasal 1 Keppres tersebut menyatakan " Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter". Sedangkan dalam pelaksanaan kebijakan moneter penetapan sasaran moneter termasuk suku bunga instrument moneter, sasaran nilai tukar dan kebijakan devisa dilakukan Bank Indonesia, dengan memperhatikan perkiraan laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.[49] Namun oleh karena secara hukum Keppres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No.13 Tahun 1968, maka Keppres tersebut belum dapat dilaksanakan.[50]

Dalam rangka mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana diminta oleh Pemerintah, Bank Indonesia kemudian mengundang banyak ahli termasuk ahli hukum, ahli ekonomi dan praktisi perbankan untuk mendiskusikan dan menyempurnakan konsep Rencana Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang telah dipersiapkan oleh Bank Indonesia.[51] Bahkan menurut Fachry Ali dkk, Presiden Habibie secara khusus meminta bantuan Helmut Kohl untuk mengirim Helmut Schlesinger mantan Gubernur Bundesbank guna membantu merumuskan tentang independensi Bank Indonesia.[52]

Dari pemandangan umum dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan oleh Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hampir tidak ada perbedaan pendapat antara Fraksi-fraksi dan Pemerintah, terutama menyangkut independensi Bank Indonesia. Begitu juga mengenai kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum. Dalam hal menetapkan kebijakan moneter Pemerintah dan Fraksi-fraksi di DPR berpendapat sama yaitu merupakan tugas dari Bank Indonesia.

Ada perbedaan pendapat antara Pemerintah dan Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal pengangkatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur; menurut usulan Pemerintah pengangkat Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diangkat oleh Presiden, sedangkan menurut usulan Fraksi ABRI dan Karya Pembangunan (GOLKAR), Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sedangkan Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP) berpendapat Gubernur dan Deputi Gubernur Senior dipilih dan ditetapkan oleh DPR dan diresmikan oleh Presiden, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berpendapat Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden.

Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia
Meskipun di dalam De Javasche Bank Wet, dinyatakan De Javasche Bank adalah sebagai Perseroan Terbatas, akan tetapi di dalam praktik campur tangan kekuasaan Pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank terlihat dengan nyata, hal ini dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan penentuan besarnya gaji dari pengurus yang harus mendapat persetujuan dari Gubernur-Jenderal.[53] Selain itu De Javasche Bank juga mendapat pengawasan yang langsung dari pemerintah,[54] seperti halnya kebijakan moneter harus mengikuti kebijakan dari pemerintah Belanda, sebab pemerintah mempunyai hak prerogrative untuk melakukan supervisi terhadap aktifitas dari bank.[55] Pengawasan terhadap De Javasche Bank dilakukan secara langsung oleh Komisaris yang ditempatkan dan mewakili Pemerintah.[56]

Hampir tidak berbeda dengan De Javasche Bank dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1953 pun, Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum kepunyaan Negara.[57] Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tugas Bank Indonesa sebagai bank sentral adalah mengatur nilai satuan mata uang agar nilai itu seimbang untuk kemakmuran bagi nusa dan bangsa, untuk itu Bank menyelenggarakan peredaran uang di Indonesia.[58] Sedangkan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan moneter adalah Dewan Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank.[59] Sehingga yang menjadi tugas dari Direksi Bank adalah menyelenggarakan kebijaksanaan moneter umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter.[60]

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 13 tahun 1968, Bank Indonesia dinyatakan sebagai milik Negara dan merupakan badan hukum,[61] tetapi Bank Indonesia tetap ditempatkan sebagai pembantu Pemerintah,[62] bahkan didalam menjalankan tugasnya itu Bank Indonesia harus berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.[63] Sedangkan Dewan Moneter hanya membantu Pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.[64] Peranan Presiden menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 ini sangat besar, karena Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-direktur Bank Indonesia, jika melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank atau bertentangan dengan kepentingan Negara.[65]

Sementara itu setelah lahirnya Undang-Undang No.23 tahun 1999 jo Undang-undang No.3 Tahun 2004, Bank Indonesia dikatakan sebagai lembaga Negara yang independen.[66] Bank Indonesia juga dinyatakan sebagai badan hukum.[67] Bank Indonesia bukan saja independen dari pengaruh Pemerintah, tetapi juga independen dari pengaruh lembaga legislatif, sehingga kedudukan Bank Indonesia sangat kuat. Selain itu Bank Indonesia juga diberi hak untuk menetapkan kebijakan moneter. Bahkan Undang-Undang memberikan satu kekebalan terhadap Gubernur Bank Indonesia meskipun melakukan kesalahan dalam menetapkan kebijakan sepanjang sejalan dengan tugas dan wewenang serta dilakukan dengan iktikad baik.[68] Adapun pengangkatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan deputi Guberenur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Untuk memudahkan memahami persamaan dan perbedaan kedudukan bank sentral sesuai dengan Undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia dapat dilihat pada UU No. 11 Tahun 1953, UU No.13 Tahun 1968 dan UU No.23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004.

Meskipun De Javasche Bank didirikan sebagai perusahaan swasta, bahkan Du Bus sendiri adalah seorang kapitalis Belgia,[69] akan tetapi modalnya kemudian disediakan oleh pemerintah dan Nederlandsche Handel Maatschappij (N.H.M) sebuah perusahaan dagang besar yang pemegang saham utamanya adalah Raja Belanda.[70] Namun secara organisatoris tidak ada hubungan lansung antara De Javasche Bank dan Pemerintah, karena terdapat pemisahan organisasi antara Pemerintah dan De Javasche Bank.[71] Akan tetapi di dalam praktik campur tangan kekuasaan Pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank terlihat dengan nyata, hal ini dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan penentuan besarnya gaji dari pengurus yang harus mendapat persetujuan dari Gubernur-Jenderal.[72]

Campur tangan pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank ini semakin kuat, karena sesuai dengan Undang-Undang De Javasche Bank tahun 1922, selain adanya hak pemerintah kolonial untuk memberikan supervisi kepada De Javasche Bank, tetapi juga karena pemerintah mempunyai hak untuk menunjuk komisaris yang mewakili pemerintah pada Dewan Komisaris.[73] Penunjukan Komisaris oleh Pemerintah ini secara tegas dinyatakan oleh undang-undang.[74] Hal yang sama juga menjadi hak dari Ratu Belanda untuk mengangkat Presiden dari Bank.[75] Selain itu ada juga batasan lain dari kegiatan bank yang memerlukan persetujuan Gubernur-jendral, seperti misalnya untuk pembukaan kantor cabang.[76]
Dalam Undang-undang No.11 Tahun 1953 batas organisasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi tidak tegas, sebab menurut Dawam Rahardjo hal tersebut terjadi karena pimpinan tertinggi dari bank sentral bukan lagi direksi Bank Indonesia melainkan Dewan Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank yang mempunyai hak suara.[77] Hal ini secara tegas dinyatakan oleh pasal 21 UU No.11 Tahun 1953.[78] Begitu juga halnya tugas Dewan Moneter ditetapkan pula oleh Undang-undang.[79]

Tidak ada satu ketentuan yang secara tegas menyatakan tentang independensi Bank Indonesia dalam Undang-undang No.11 Tahun 1953. Hanya saja yang agak lebih jelas adalah pengakuan bahwa Bank Indonesia sebagai badan hukum kepunyaan negara yang melakukan tugas-tugas berdasarkan undang-undang No.11 Tahun 1953.[80]

Selain itu Bank Indonesia juga memiliki independensi dalam menetapkan instrumen moneter yang akan digunakan, meskipun hanya terbatas pada penetapan suku bunga dan arah perkreditan.[81] Direksi Bank Indonesia dalam menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang telah ditetapkan Dewan Moneter melakukannya tanpa ada campur tangan dari pihak lain.[82]

Hubungan Bank Indonesia dan Pemerintah diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1968.[83] Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah institusi yang merupakan Lembaga Negara yang bertugas membantu Pemerintah tertutama dalam menjalankan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Bahkan dalam penjelasan umum dikatakan secara tegas tugas bank sentral sebagai pembantu Presiden, sehingga dalam menjalankan tugasnya itu Bank Sentral harus menyesuaikannya dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Kontrol Pemerintah terhadap Bank Indonesia sebagai bank sentral ini semakin kuat terutama sejak tahun 1983, sebab dalam Keppres tentang pengangkatan Gubernur Bank Indonesia yang disebut mempunyai status sebagai pejabat tinggi disamakan dengan Menteri Negara. Ini semakin menjadi bukti bahwa Bank Indonesia ditempatkan dalam kedudukan sebagai Pembantu Presiden, selain itu Presiden dapat juga memberhentikan Gubernur dan Direktur-direktur meskipun masa jabatannya belum berakhir.

Bahkan Undang-Undang secara tegas menyebutkan bahwa Gubernur dan Direktur diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter,[84] begitu juga terhadap pemberhentian Gubernur atau Direktur-direktur meskipun masa jabatannya belum berakhir dapat diberhentikan sementara dari tugasnya oleh Pemerintah.[85] Namun Undang-Undang memberikan hak kepada Gubernur atau Direktur yang diberhentikan sementara untuk membela diri secara tertulis kepada Presiden dalam waktu dua minggu setelah pemberhentian,[86] dan jika dalam waktu satu bulan sejak pemberhentian sementara tidak ada pengesahan atas keputusan Presiden tentang pemberhentian sementara itu, maka pemberhentian sementara itu batal demi hukum.[87] Adapun besarnya gaji dan penghasilan lain dari Gubernur atau para Direktur juga ditetapkan oleh Presiden[88] atas usul dari Dewan Moneter.[89]

Kedudukan Bank Indonesia sebagai Badan Hukum
Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum oleh Undang-undang diakui secara tegas. Begitu juga halnya dengan independensi Bank Indonesia secara tegas diakui pula oleh undang-undang. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 setelah amandemen keempat, menyatakan, " Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang".[90] Oleh undang-undang diakui pula kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum[91] dan Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.[92] Sehingga dengan kedudukan sebagai badan hukum ini Bank Indonesia selain sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan, Bank Indonesia juga dapat mempunyai standard dan pedoman tersendiri dalam memberikan kemudahan dan memberikan pembatasan dalam lingkup wewenangnya.

Meskipun penyebutan tentang Bank Indonesia adalah badan-hukum kepunyaan Negara, sudah dilakukan oleh Pasal 1 ayat 2 UU No.11 Tahun 1953 dan dinyatakan pula oleh Pasal 1 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968, yang menyatakan "Bank Indonesia adalah milik negara dan merupakan badan hukum,...". Akan tetapi dari kedua undang-undang ini tidak ada penjelasan mengenai kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara tersebut.

Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum, tidak diatur sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978 atau oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka Bank Indonesia harus tetap dilihat sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi setara dengan lembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[93] tetapi Bank Indonesia tugasnya adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Jika dihubungkan dengan tata kerja antara pemerintah dan Bank Indonesia, maka peran dan tugas Bank Indonesia sangat penting dan berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah ekonomi, perbankan dan keuangan.

Peranan dan tugas Bank Indonesia yang sangat besar dan berpengaruh dalam masalah ekonomi dan perbankan ini dapat disetarakan dengan fungsi Mahkamah Agung dalam penegakan hukum dan keadilan. Kemudian dengan independensi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang Bank Indonesia, kedudukan Bank Indonesia tidak berada di bawah kontrol Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan apalagi mengingat pengangkatan Gubernur Bank Indonesia baru dapat dilakukan oleh Presiden setalah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun demikian kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, tidak dapat disamakan dengan lembaga tinggi negara, dan tidak mungkin pula dapat disamakan dengan kedudukan Presiden sebagai kepala negara sebagaimana dikemukakan oleh Didik J Rachbini, Suwidi Tono dkk.[94] Seperti juga dikemukakan oleh Nico Daryanto, "Karena Presiden itu juga kepala negara, maka pasti tidak akan ada tingkat dari Bank Indonesia ini ditempat Presiden itu, pasti di bawahnya".[95] Sebagaimana juga dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra, konsekwensinya apabila Bank Indonesia menjadi lembaga tinggi negara, Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat sewaktu-waktu untuk memanggil Bank Indonesia kecuali dalam rapat konsultasi, sehingga akibatnya akuntabilitas Bank Indonesia menjadi berkurang.[96]

Dari Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, kedudukan bank sentral tidak pernah ditegaskan sebagai lembaga tinggi negara atau sebagai alat perlengkapan Negara. Pada UUD 45 sebelum diamandemen, yang diakui sebagai lembaga tinggi negara adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, [97] Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung dan kemudian hal ini semakin ditegaskan oleh Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978. Begitu juga dengan UUD Sementara 1950, yang dinyatakan sebagai alat perlengkapan Negara adalah Presiden dan Wakil Presiden; Menteri-menteri; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.[98] Adapun dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang dinyatakan sebagai alat-alat perlengkapan Federal Republik Indonesia Serikat ialah Presiden; Menteri-menteri, Senat; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan Pengawas Keuangan.[99]

Pasal-pasal tertentu dari UUD yang pernah berlaku di Indonesia semua menunjukkan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral atau juga disebut sebagai bank sirkulasi tidak pernah dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara, kalaupun Gubernur Bank Indonesia diperlakukan sebagai pejabat tinggi negara disamakan dengan menteri negara seperti pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tetapi pemerintah tetap memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah.

Dengan diakuinya independensi bank sentral oleh konstitusi, maka posisi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral mutatis mutandis diakui pula oleh UUD 1945, sehingga kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral diakui pula independensinya, artinya Bank Indonesia adalah lembaga negara yang terpisah dari Pemerintah. Tetapi terpisahnya Bank Indonesia dari pemerintah harus dilihat terpisah dalam menjalankan fungsinya, sedangkan secara institusi tetap merupakan bagian dari pemerintah, dengan kata lain, "Bank Indonesia berada di luar kabinet tetapi tetap dalam struktur Pemerintahan",[100] Bank Indonesia tetap menjadi bagian integral dari Pemerintah.[101] Sehingga hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah adalah hubungan koordinatif khususnya dalam bidang moneter,[102] sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia.

Dari sisi fungsinya maka Bank Indonesia dapat dikategorikan sama dengan fungsi kementerian negara, tetapi bukan bagian dari kabinet,[103] dan peraturan yang dibuatnyapun sejajar dengan keputusan Menteri, sebagaimana dikemukakan oleh pejabat Departemen Kehakiman dalam Rapat ke 15, penyusunan Undang-Undang Bank Indonesia tanggal 25 Maret 1999,[104] atau dengan istilahnya Stern "the highest executive state bodies".[105]

Kalau dilihat dari sisi konstitusi, terutama dalam kaitannya dengan studi lembaga negara, maka penyebutan "Bank Indonesia adalah lembaga negara negara......." sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 juncto UU No. 3 Tahun 2004 ini tidak dikenal dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang secara tegas menyatakan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara, sedangkan Presiden, DPA, DPR, BPK dan Mahkamah Agung disebut sebagai lembaga tinggi negara. Dengan demikian maka penyebutan lembaga negara yang tidak ada landasan konstituionalnya ini dapat menimbulkan kerancuan[106] dan mudah juga menimbulkan multi tafsir tehadap posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Untuk menghindari kerancuan dan multi tafsir tentang Bank Indonesia maka seharusnya dalam undang-undang tentang Bank Indonesia penyebutan Bank Indonesia sebagai "lembaga negara" dihilangkan, tetapi cukup disebut Bank Indonesia adalah bank sentral[107] yang independen.

Alasan lain untuk menghilangkan sebutan lembaga negara, karena kedudukan Bank Indonesia sebagai kembaga negara jika dihubungkan dengan pasal 24 C Undang Undang Dasar 1945, bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, akan tetapi kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga diatur oleh undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 D UUD '45. Dengan demikian maka akan menjadi sangat jelas posisi Bank Indonesia adalah sebagai bank sentral yang independen, bukan sebagai lembaga negara yang tidak jelas posisinya.

Dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dan terpisah secara fungsional dari pemerintah, pertanyaaan yang timbul apakah dengan konsep Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen ini tidak merupakan pelanggaran terhadap asas kekeluargaan dengan rujukan konstitusionalnya Pasal 33 UUD 1945 ?
Dari ketentuan undang-undang menjawab pertanyaan ini tidak terlalu mudah, namun dari ketentuan Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2004, secara umum dapat dikemukakan bahwa dengan independensi Bank Indonesia tidak terjadi pelanggaran konstitusional khususnya Pasal 33 UUD 1945. Argumen ini dasarnya karena tujuan Bank Indonesia itu adalah memelihara kestabilan nilai rupiah, dengan cara melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Sebagaimana diterangkan dalam penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1999 bahwa "kebijakan moneter adalah merupakan bagian penting dari kebijakan pembangunan ekonomi" dan "kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat". Ini berarti dari segi tujuannya Bank Indonesia bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah yang diharapkan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat.

Selain itu, Bank Indonesia juga masih mempunyai kewajiban untuk memberikan pertimbangan dan pendapat kepada pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain.[108] Sehingga ini dapat diartikan, sebagai bentuk partisipasi Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan dan menyusun perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan untuk sebesar-besarnya mencapai kemakmuran bagi rakyat. Penyelenggaraan perekonomian nasional atas dasar perinsip kebersamaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat 4 UUD 1945, ditegaskan pelaksanaannya dalam ketentuan Pasal 58 ayat 6 (b), dimana Bank Indonesia berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka mengenai rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran moneter. Ini berarti bahwa informasi tentang kebijakan moneter sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat, disampaikan agar masyarakat dapat mengetahuinya secara terbuka dan transparan. Apalagi mengingat bahwa secara umum diakui, diberikannya independensi kepada bank sentral adalah sebagai upaya untuk menjadikan bank sentral lebih efisien dalam melaksanakan tugasnya. Dengan independensinya Bank Indonesia tidak meninggalkan landasan konstitutional tentang pengaturan ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Pemisahan fungsi Bank Indonesia dari Pemerintah adalah untuk menciptakan efisiensi bagi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya, karena menurut Didik J Rachbini, "asas efisiensi adalah refleksi berlakunya sistem ekonomi pasar",[109] dan menurut Didik J Rachbini, ekonomi pasar sosial ini terlihat ideal sebagaimana berkembang di Eropa Barat dan Skandinavia.[110] Namun penggunaan kata efisiensi terutama dalam hubungannya dengan pasal 33 UUD '45 ini bukan tidak menuai kritik seperti dikemukakan oleh Mubyarto, "efisiensi sebetulnya keliru disebut sebagai asas karena hanya sekedar prinsip alokasi sumberdaya",[111] begitu juga dalam Sumbang Saran dari Simposium UUD '45 Pasca Amandemen, yang diselenggarakan The Habibie Center bahwa, " Kata efisiensi merupakan representasi dari liberalisasi ekonomi dan kedaulatan pasar".[112] Menurut hasil simposium ini, "Penekanan pada efisiensi dikhawatirkan akan mengorbankan aspek keadilan..".[113]

Alasan lain, yang dapat digunakan untuk mengukuhkan pandangan bahwa dengan independensi Bank Indonesia tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, adalah dengan menggunakan argumen-argumen yang digunakan dalam melihat independensi Bundesbank; sebagaimana dalam konstitusi Jerman sebagai negara yang menganut faham welfare state kepada Bundesbank diberikan independensi sejak awal dan diakui oleh konstitusi secara tegas. Menurut Amtenbrink garansi dari konstitusi terhadap independensi ini adalah untuk memberi pangakuan prinsip keadilan sosial dan negara kesejahteraan, dengan alasan, "..this principle obliges the State to enforce monetary stability, which in return can only be provided for by an independent monetary institution".[114] Apalagi mengingat pengakuan independensi Bundesbank dari pemerintah oleh konstitusi ini hanya terbatas pada hak tertentu sebagaimana dikatakan oleh Stern adalah "..will not find that the Bundesbank is independent per se, but rather that it is independent in respect of certain functions".[115] Dalam pada itu apa yang dilakukan oleh Bundesbank membantu ekonomi dari pemerintah, yang tujuannya adalah menciptakan keadilan sosial dan menciptakan kemakmuran, karena menurut Amtenbrink, "... a healthy currency and monetary sistem is certainly an important element supporting a democracy based on the principle of social justice and the welfare state,..".[116] Hal ini sama dengan yang terjadi terhadap independensi Bank Indonesia, yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah, untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dan menurut penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999, kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar adalah merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuhnya perekonomian berkelanjutan yang akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.

Dalam pada itu kalau dilihat pada teks menimbang No. 1, maka UU No. 23 Tahun 1999 dan UU No. 3 tahun 2004, secara tegas menjadikan Pasal 33 UUD '45 sebagai landasan konstituionalnya, sehingga ini berarti UU tentang Bank Indonesia disusun dengan mengingat jiwa dari Pasal 33 UUD ‘45. Dengan meminjam cara penafsiran terhadap UU No. 7 /1992 tentang Perbankan yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie,[117] maka akan dikemukakan bahwa dengan dijadikannya konsideran mengingat No.1. "...Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", dalam UU No. 23 tahun 1999 dan dalam UU No. 3 Tahun 2004 yang juga menyatakan, "...Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", maka kebijakan yang dipilih untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia adalah sebagai satu kebijakan yang dianggap merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD '45. Artinya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia didasarkan pada jiwa Pasal 33 UUD '45 dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 UUD '45. Sehingga dapat disimpulkan bahwa independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tidak bertentangan dengan cita-cita luhur dari Pasal 33 UUD '45.

Badan Supervisi
Badan Supervisi adalah badan baru yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2004. Pembentukan badan Supervisi ini mengikuti anjuran dari Team Panel yang dibentuk oleh Bank Indonesia bersama IMF.[118] Meskipun rumusan tentang tugas Badan Supervisi dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2004 sangat berbeda dari yang diusulkan oleh Team Panel, terutama mengenai tugas Dewan Supervisi yang berhubungan dengan usulan pengangkatan Gubernur dan anggota Dewan Gubernur kepada Presiden sebelum Presiden menyampaikan usulan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat, begitu juga halnya tentang usulan pemberhentian anggota Dewan Gubernur kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam rangka menghindari kemungkinan kesulitan yang akan dialami Bank Indonesia pada masa yang akan datang karena adanya perselisihan antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berkuasa dan juga menguasai Dewan Perwakilan Rakyat, maka mekanisme penilaian kinerja Bank Indonesia harus diatur secara jelas dalam undang-undang. Selain itu harus ditentukan pula bahwa dasar dan cara penilaian yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat dengan cara menyampaikan penilaian itu secara terbuka melalui media massa.

Dengan kemungkinan terjadinya kondisi seperti disebutkan di atas, maka disini pentingnya peran dari Badan Supervisi,[119] yang akan membantu Dewan Perwakilan Rakyat untuk melaksanakan fungsi pengawasan dibidang tertentu terhadap Bank Indonesia sebagai upaya meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi dan krediblitas Bank Indonesia.[120] Apalagi mengingat dalam melaksanakan tugasnya itu Badan Supervisi menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan atau setiap waktu sesuai permintaan dari Dewan Perwakilan Rakyat.[121]
Oleh karena itu Badan Supervisi ini sangatlah penting karena badan inilah yang akan bertugas melakukan pengawasan terhadap bidang tertentu, memberikan kajian terhadap laporan keuangan tahunan Bank Indonesia,[122] telaahan terhadap anggaran operasional dan investasi Bank Indonesia,[123] dan kajian atas prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional diluar kebijakan moneter dan pengelolaan aset Bank Indonesia.[124] Meskipun dalam penjelasan lebih lanjut dinyatakan bahwa Badan Supervisi dalam menjalankan tugasnya ini tidak melakukan penilaian terhadap kinerja Dewan Gubernur dan tidak ikut dalam mengambil keputusan dan memberikan penilaian terhadap kebijakan di bidang sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasan bank serta bidang lain yang merupakan penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter.

Akan tetapi dengan pembatasan yang diberikan oleh undang-undang terhadap cakupan luasnya tugas pengawasan dari Badan Supervisi sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 58 A ayat 1, maka Badan Supervisi ini tidak akan bermanfaat banyak bagi kepentingan akuntabilitas Bank Indonesia. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Supervisi ini lebih merupakan "pengawasan intern", karena Badan Supervisi ini tidak diperbolehkan mencampuri dan menilai kebijakan Bank Indonesia, tidak pula mempunyai hak untuk mengevaluasi kinerja Dewan Gubernur, tidak pula dapat menyampaikan informasi secara langsung mengenai pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat.

Kalau tugas Badan Supervisi dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2004 ini dibandingkan dengan tugas Komisaris, menurut ketentuan dalam Pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968, maka akan terlihat kemiripan fungsi antara Badan Supervisi ini dengan Komisaris Pemerintah, meskipun dalam beberapa hal ada perbedaan, seperti misalnya Badan Supervisi tidak berhak untuk menghadiri rapat Dewan Gubernur,[125] sementara Komisaris Pemerintah mempunyai hak untuk menghadiri rapat Direksi,[126] meskipun kesamaan tugasnya adalah dalam melakukan pengawasan terhadap Bank Indonesia.
Oleh karena itu Badan Supervisi ini sepatutnya diberi kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap kebijakan dan kinerja Gubernur Bank Indonesia dan dengan dasar penilaian ini pula kelak Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan salah satu alasan penilaian terhadap kinerja Bank Indonesia secara obyektif. Artinya fungsi Badan Supervisi ini seharusnya diperluas, bukan berfungsi untuk melakukan "pengawasan intern" terhadap Bank Indonesia, tetapi juga berhak memberikan penilaian terhadap kebijakan dan terhadap kinerja Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian, maka Badan Supervisi ini tidak hanya menjadi perpanjangan tangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam tugas yang sangat terbatas, seperti mengkaji laporan keuangan tahunan, mengkaji anggaran operasional dan investasi Bank Indonesia, serta melakukan telaahan terhadap prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan aset Bank Indonesia.

Perluasan tugas Badan Supervisi ini selayaknya juga dipertimbangkan seperti Federal Advisory Council dari Fed, yang bertugas selain sebagai penasehat dari Board of Governors, tetapi juga berhak membuat opini secara lisan dan tertulis mengenai masalah yang dihadapi oleh Board dan juga membuat rekomendasi terhadap pelaksanaan kebijakan moneter.[127] Ini berarti tugas dari Badan Supervisi selain melaksanakan tugas memberikan kajian terhadap laporan keuangan tahunan Bank Indonesia,[128] telaahan terhadap anggaran operasional dan investasi Bank Indonesia,[129] dan kajian atas prosedur pengambilan keputusan kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan aset Bank Indonesia.[130] Tetapi selain melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban Dewan Gubernur, juga dapat memberikan nasehat kepada Dewan Gubernur, dan dapat bertindak untuk menjadi penghubung dan penerus komunikasi antara Bank Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Meskipun anggota dari Badan Supervisi ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai integritas, moralitas, kemampuan/kapabilitas/keahlian, professionalisme dan berpengalaman dibidang, ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum, tetapi ini semua tidak menjamin bahwa semua anggota Badan Supervisi dapat menjalankan tugasnya secara baik dan sempurna, bila tidak ada jaminan bahwa mereka dapat bekerja secara baik dan hasil pekerjaannya mendapat penghargaan. Oleh karena itu sepatutnya diatur tentang tata cara pemberhentian dan harus ditentukan syarat-syarat yang dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan seorang anggota Badan Supervisi.

Perubahan Dalam Rangka Independensi
Untuk tetap menjadikan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen, harus dilakukan perubahan termasuk penegasan independensi dalam beberapa pasal pada UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004. Pertama, usul perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, yaitu pada bunyi Pasal 4 ayat 2. Dalam Pasal 4 ayat 2 ini, harus ada penegasan dan penjelasan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang independen dan berada di luar pemerintahan, seperti termuat dalam penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD 45, "Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang." Dengan demikian, ketentuan Undang-Undang Dasar ini merupakan landasan konstitusional bagi independensi Bank Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 secara pasti dapat dikatakan sebagai pengaturan mengenai bank sentral, termasuk independensinya.

Dengan landasan konstitusional itu, independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia sangat jelas dan sangat tegas, bahkan tidak terbantahkan. Penegasan independensi semakin nyata dengan bunyi Pasal 4 ayat 2 UU No.3 Tahun 2004, yang menyatakan, "Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini." Adapun yang menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia tersebut secara jelas dinyatakan oleh Pasal 8 UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004. Dalam pelaksanaannya, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan, bahkan Bank Indonesia wajib menolak dan harus mengabaikan segala bentuk campur tangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya tersebut.

Dengan bunyi Pasal 4 ayat 2 yang baru ini, dan tidak adanya keterangan dalam penjelasan umum tentang kedudukan Bank Indonesia yang berada di luar pemerintahan, sehinga akibatnya posisi Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan menjadi tidak setegas seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1999. Di sini dinyatakan, "Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini." Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya conflict of interest, sebagaimana pernah terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid -- padahal ketika itu kedudukan Bank Indonesia secara tegas telah dinyatakan sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan.

Untuk menghindari timbulnya interpretasi yang berbeda terhadap kedudukan Bank Indonesia, maka penegasan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dan berada di luar pemerintahan akan lebih baik bila secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar sebagai landasan konstitusional. Penyebutan kedudukan Bank Indonesia dalam Undang-Undang Dasar ini akan memperkuat fungsi Bank Indonesia yang sama dengan fungsi lembaga tinggi negara yang lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Namun jika hal ini tidak mungkin dilakukan maka cukup ditegaskan dalam pasal dari undang-undang yang mengaturnya, paling tidak ada dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal; begitu juga penggunaan kata "lembaga negara" dalam Pasal 4 ayat 2 sebaiknya dihilangkan, agar tidak menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen.
Sebagai landasan bagi pemikiran untuk menempatkan Bank Indonesia pada fungsi sama dengan lembaga tinggi negara yang lain, karena pentingnya fungsi Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selian itu, karena tugas Bank Indonesia berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah ekonomi, perbankan dan keuangan. Penting dan besarnya pengaruh tugas Bank Indonesia sama seperti luasnya cakupan tugas Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Bank Indonesia layak ditempatkan dalam kedudukan sebagai lembaga negara, yang setara dengan kementerian.

Namun dengan independensi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral ini tidak berada di bawah kontrol Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dan juga pemilihan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tetap harus dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pertanggung jawabannyapun harus dilakukan kepada lembaga perwakilan ini. Independensi Bank Indonesia ini harus ditegaskan bukan hanya terbatas pada penetapan kebijakan moneter atau independen secara fungsional, sehingga tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk memberikan fasilitas kredit kepada pemerintah. Selain itu, Bank Indonesia juga tetap harus independen secara organisasi dalam arti independen dalam melakukan pemilihan personil atau pemberhentian personil pejabat senior Bank Indonesia, dan adanya kekuasaan untuk memberhentikan atau mengangkat pegawai Bank Indonesia. Bank sentral Indonesia ini juga harus independen secara finansial, yang berarti tidak ada pengaruh pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat secara mutlak dalam menentukan anggaran tahunan untuk kegiatan opertasionalnya.

Ketegasan Pemisahan Fungsi antara Bank Indonesia dan Pemerintah
Alasan lain yang juga sangat penting dalam menempatkan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang berada di luar pemerintahan adalah dalam hubungan dengan kedudukan lembaga keuangan ini sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum Bank Indonesia harus dianggap sebagai badan hukum yang terpisah dari pemerintah, dan bukan merupakan bagian dari pemerintah, sehingga kedudukannya tidak sama dengan pemerintah, meskipun kegiatan yang dilakukannya adalah untuk kepentingan pemerintah sebagaimana menjadi putusan dalam perkara "Trendtex Trading Corp. vs Central Bank of Nigeria".
Oleh karena adanya pemisahan fungsi antara Bank Indonesia dan pemerintah, maka harus ada satu perubahan pasal yang secara tegas mengatur hubungan Bank Indonesia dan pemerintah yang dengan jelas dan tegas menyatakan adanya pemisahan fungsi antara Bank Indonesia dan pemerintah. Hal ini sebagaimana diatur oleh Bab VIII, yaitu Pasal 52, 53, 54, 55 dan Pasal 56, terutama dalam menjalankan kebijakan moneter.

Sebagai contoh bisa dilakukan perubahan pada Pasal 52, dengan menambahkan satu ayat yang secara tegas menyatakan adanya pemisahan fungsi antara Bank Indonesia dan pemerintah. Dengan terpisahnya fungsi Bank Indonesia dengan pemerintah ini, Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah.

Dengan adanya pemisahan fungsi antara pemerintah dan Bank Indonesia, hubungan dan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia mengenai kebijakan ekonomi dan perbankan harus dilakukan secara langsung oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Pengaturannya didasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2004, sedangkan kewajiban untuk berkoordinasi mengenai penerbitan surat utang negara agar tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, hal itu harus dilakukan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 55 UU No.3 Tahun 2004.

Perubahan untuk Menetapkan Target yang Hendak Dicapai
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam rangka perubahan ini adalah mengenai pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1, UU No. 3 Tahun 2004. Di sana dinyatakan bahwa "...tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah." Tujuan seperti ini sudah menjadi tujuan umumnya dari bank-bank sentral yang ada.
Mengingat dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah itu juga tergantung pada laju inflasi, maka seharusnya sasaran laju inflasi tidak hanya ditetapkan oleh pemerintah, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 10 ayat 1 huruf a UU No. 3 Tahun 2004. Tetapi selayaknya hal tersebut ditetapkan secara bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia, seperti Target Policy Agreement yang dibuat oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Reserve Bank of New Zealand.
Keputusan tentang sasaran laju inflasi ini ditentukan secara bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia, agar ada alat ukur untuk menilai keberhasilan Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Adapun dasar penilaiannya ditentukan secara bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Kesepakatan antara pemerintah dan Bank Indonesia tentang sasaran laju inflasi ini akan menjadi dasar bagi Dewan Perwakilan Rakyat ketika memberikan penilaian terhadap kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia. Penilaian keberhasilan itu tentu berdasarkan laporan triwulan atau laporan tahunan Bank Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 58 UU No.3 Tahun 2004.

Jadi yang ingin ditegaskan di sini adalah perubahan terhadap penjelasan atau bunyi Pasal 10 ayat 1 UU No.3 Tahun 2004, yaitu bahwa sasaran laju inflasi ditetapkan secara bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia, yang pelaksanaannya ditentukan sebagai satu perjanjian antara pemerintah dan Bank Indonesia. Perjanjian ini merupakan hal yang akan dicapai oleh Bank Indonesia dalam tugasnya memelihara kestabilan nilai rupiah, sebagaimana dinayatakan dalam pasal 7 ayat 1 UU No.3 Tahun 2004.

Perubahan tentang Pemberhentian Dewan Gubernur
Hal yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan adalah Pasal 48 UU No.3 Tahun 2004, yaitu mengenai pemberhentian Anggota Dewan Gubernur. Jika ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 58 ayat 3, seharusnya ada alasan lain yang dapat digunakan untuk pemberhentian dewan gubernur dari jabatannya, sehingga bukan hanya anggota dewan gubernur yang dapat diberhentikan secara perseorangan, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 48. Akan tetapi undang-undang memberikan ruang bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan seluruh anggota dewan gubernur. Pemberhentian dewan gubernur dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat bahwa menurut penilaian Dewan Perwakilan Rakyat kinerja Bank Indonesia itu selama tiga tahun berturut-turut tidak sesuai dengan target yang telah disepakti oleh pemerintah dan gubernur Bank Indonesia, sebagaimana diusulkan dalam perubahan pasal 10 ayat 1.

Pemberhentian terhadap anggota dewan gubernur harus dilakukan secara kolektif, sebab, tanggung jawab dalam melaksanakan kesepakatan antara pemerintah dan Gubernur Bank Indonesia adalah tanggung jawab seluruh anggota dewan gubernur, bukan hanya menjadi tanggung jawab Gubernur sendiri. Dengan demikian, yang dapat diberhentikan bukan hanya Gubernur, seperti yang terjadi di New Zealand, tetapi juga seluruh Anggota Dewan Gubernur. Namun tata cara pemberhentian dewan gubernur harus diatur juga, agar tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap kegiatan dari Bank Indonesia.
Dalam hal pemberhentian secara kolektif ini, pemberhentiannya baru dapat dilakukan setelah melewati kurun waktu tertentu. Secara definitif, pemberhentian baru dapat dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Perubahan tentang Pencalonan Kembali Anggota Dewan Gubernur
Ketentuan lain yang harus diatur berhubungan dengan pemberhentian dewan gubernur adalah tentang pencalonan kembali anggota dewan gubernur untuk menjadi gubernur, deputi gubernur senior, deputi gubernur yang telah diberhentikan karena kinerjanya dinilai oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat oleh gubernur Bank Indonesia dan pemerintah. Yang sangat patut, seharusnya gubernur, deputi gubernur senior, deputi gubernur tidak dapat dicalonkan kembali untuk menduduki jabatan yang pernah dipegangnya, karena mereka telah dinilai gagal dalam melaksanakan tugas yang menjadi kewajibannya. Oleh karena itu, ketentuan pencalonan anggota dewan gubernur Pasal 40 UU No.3 Tahun 2004 harus ditambahkan dengan syarat lain, yaitu: belum pernah diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur bagi calon gubernur, deputi gubernur senior bagi calon deputi gubernur senior dan deputi gubernur bagi calon deputi gubernur.

Perubahan tentang Akuntabilitas Sosial Dewan Gubernur
Yang juga patut dipertimbangkan adalah perubahan pada Pasal 58 ayat 6 UU No.3 Tahun 2004. Pada Pasal 58 ayat 6 atau penjelasannya paling tidak harus dinyatakan bahwa informasi kepada masyarakat harus merupakan bentuk tanggung jawab sosial dari dewan gubernur atau Bank Indonesia, sebagai lembaga publik, secara langsung kepada masyarakat. Dengan laporan ini pula masyarakat dapat memberikan penilaian terhadap kinerja dewan gubernur Bank Indonesia dan Bank Indonesia. Penilaian oleh masyarakat tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan Bank Indonesia ini dapat digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam memberikan penilaian terhadap kinerja bank sentral itu. Selain itu, penilaian oleh masyarakat ini penting agar tidak terjadi politisasi ketika penilaian dilakukan oleh lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerja Bank Indonesia. Artinya bias penilaian oleh Dewan Perwakilan Rakyat dapat diketahui dari penilaian yang dilakukan oleh masyarakat.

Perubahan untuk lebih Transparan
Agar Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen menjadi lebih transparan dan lebih tegas tanggung jawabnya kepada masyarakat, Bank Indonesia tidak hanya menyampaikan informasi kepada masyarakat, yakni mengenai evaluasi terhadap kebijakan moneter tahun sebelumnya dan rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran moneter tahun yang akan datang. Tetapi, selain hal tersebut, dasar-dasar dari rencana kebijakan dan penetapan moneter yang akan diambil juga harus disampaikan oleh Bank Indonesia.

Dengan demikian, yang patut untuk dipertimbangkan adalah penambahan ayat dari Pasal 58 tersebut, yang memberi kewajiban kepada Bank Indonesia agar secara transparan menyampaikan alasan-alasan dan dasar-dasar rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran moneter untuk tahun yang akan datang. Selain itu, harus ditetapkan juga kewajiban dari Bank Indonesia untuk menyampaikan segala informasi mengenai hasil perdebatan internal di lingkungan Bank Indonesia mengenai satu kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Perubahan Fungsi Badan Supervisi
Perubahan fungsi badan supervisi yang dinyatakan oleh Pasal 58 A UU No.3 Tahun 2004 layak juga dipertimbangkan. Dengan ketentuan yang ada, fungsi badan supervisi sangat terbatas, karena badan ini hanya membantu Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan terhadap Bank Indonesia di bidang tertentu. Pengawasan oleh badan supervisi serupa dengan pengawasan internal, meskipun laporan hasil pengawasannya disampaikan kepada Dewan Perwakialan Rakyat. Sehingga, badan supervisi tidak berhak melakukan evaluasi terhadap kinerja dewan gubernur. Badan supervisi tidak pula mempunyai hak untuk melakukan penilaian terhadap kebijakan gewan gubernur.

Perubahan yang patut dilakukan adalah memperluas fungsi badan supervisi, selain melakukan pengawasan bidang tertentu terhadap dewan gubernur, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Supervisi dapat berfungsi sebagai badan penasehat bagi dewan gubernur. Dalam fungsinya itu, badan supervisi dapat memberikan opini dan juga membuat rekomendasi kepada dewan gubernur, selain dapat juga menjadi penghubung bagi dewan gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan perluasan fungsi badan supervisi ini, fungsinya akan dapat disetarakan dengan Federal Advisory Council dari Federal Reserve di Amerika Serikat.

Bibliografi:

Ali, Fachry, Bachtiar Effendy, Umar Juoro, Musfihin Dahlan dkk: 2003, Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam Mempertahankan Independensi, Lspeu.
Amtenbrink, Fabian : 1999, The Democratic Accountability of Central Banks, Hart Publishing, h 25-26.
Arndt, Heinz : 1966, Banking in Hyperinflation, Bulletin of Indonesian Economic Studies, No.5, October
Arndt, H.W : 1971, Banking in Hyperinflation and Stabilization, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press.
Arndt, Heinz: 1971, Perbankan di Indonesia, PT. Badan Penerbit Indonesia Raya, Jakarta.
Asshidiqie, Jimly: 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Barber, N.W: 2001, "Prelude to the Separation of Powers," Cambridge Law Journal, March 2001, h. 59-88.
Berger, Helge and Jakob de Haan: 1999, "A State Within the State? An Event Study on the Bundesbank (1948-1973)," Scottish Journal of Political Economy, Vol. 46, No.1, February 1999.
Binhadi and Paul Meek: 1992, Implementing Monetary Policy, dalam Anne Both (ed), The Oil Boom and After, Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto Era, Oxford University Press.
Blair Q.C, William: 1998, "The Legal Status of Central Bank Investments under English Law," CLJ, 57(2).
Briault, Clive B, Andrew G Haldana and Mervyn A King: 1996, "Independence and Accountability," Bank of England Working Paper Series No. 49;
Buiter, Willem H: 1999, "Alice in Euroland," CEPR Policy Paper No.1 dan Journal of Common Market Studies, Vol. 37, No.2, h 181-209;
Burkit, Brian and Mark Baimbridge: 1994, An independent Central Bank: An End to Democratic Economic Policies ?, Full Employment Forum.
Capie, Forerest, Charles Goodhart, Stanley Fischer, & Norbert Schnadt l :1994 , The Future of Central Banking, Cambridge University Press;
Capie, Forest : 1995, "The Evolution of General Banking," Policy Research Working Paper 1534, The World Bank.
Cukierman, Alex and Steven B Webb : 1995, "Political Influence on the Central Bank: International Evidence," The World Bank Economic Review, Vol. 9, No.3.
Cukirerman, Alex: 2000, "Accountability, Credibility, Transparency and Stabilization Policy in the Eurosystem," http://econ.tau.ac.il/alec/;
de Haan, Jakob and Jan Egbert Strum: 1994, "The Case for Central Bank Independence," dalam Michael Parkin (ed.), The Theory of Inflation, Edward Elgar Publishing Limited, London
De Kock, M.H.: 1961, Central Banking, Staples Press, London.
Djiwandono, J. Sodradjad: 2001, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, LP3ES.
Djojohadikusumo, Sumitro: 1953, Persoalan Ekonomi di Indonesia, Indira, Jakarta.
Djojohadikusumo, Sumitro: 1953, The Central Bank of Indonesia, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Tahun ke VI No.2/3, Feb/Maret, 94-98.
Eijffinger, Sylvester C.W and Marco M Hoebrichts: 2000, "Central Bank Accountability and Transparency: Theory and Some Evidence," Discussion Paper 6/00, Economic Research of the Deutche Bundesbank.
Elgie, Robert : 1998, Democratic Accountability and Central Bank Independence: Historical and Contemporary, National and European Perspective, West European Politics, Vol. 21,No.3.
Elgie, Robert and Helen Thompson: 1998, The Politics of Central Banks, Routledge.
Elgie, Robert: 2002, The politics of the European Central Bank: principal-agent theory and the democratic deficit, Journal of European Public Policy 9:2 April, 186-200;
Fischer, Stanley : 1994, "Modern Central Banking," dalam Forrest Capie, Charles Goodhart, Stanley Fischer & Norbert Schnadt, The Future of Central Banking, Cambridge University Press.
Franchino, Fabio : 2002, Efficiency or credibility? Testing the two logics of delegation to the European Commission, Journal of European Public Policy 9:5.
Goodhart, Charles : 1988, The Evolution of Central Banks, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England.
Hamilton-Hart, Natasha: 2002, Asian States, Asian Bankers, Central Banking in Southeast Asia, Cornell University Press.
Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Asril: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Issing, Otmar: 1999, "The Eurosystem: Transparent and Accountable or ‘Willem in Euroland'," Journal of Common Market Studies, h. 503-19;
Lastra, Rosa Maria : 1996, Central Banking and Banking Regulation, Financial Markets Group, LSE.
Lupia, Arthur & Mathew D McCUBINS: 2000, Representation or abdication ? How citizens use institutions to help delegation succeed, European Journal of Political Research 37: 291-307.
McNAMARA, Kathleen R : 2002, Rational Fictions: Central Bank Independence and the Social Logic of Delegation, West European Politics, Vol.25, No.1, January, 47-76;
Meyer, Laurence H : 2001, Comparative Central Banking and the Politics of Monetary Policy, Speech At the National Association for Business Economics Seminar on Monetary Policy and the Markets, Washington , D.C, May 21, 2001.
Meyer, Laurence H.: 2000, "The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability," Remarks at the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, BIS Review 94.
Mubyarto: 2001, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Edisi Pertama, Aditya Media Yogyakarta, h. 49.
Noyer, Christian: 1999 , "Politics and Central Banks," pidato pada Estonian Central Bank, Tallinn, Estonia pada tanggal 3 May 1999, h. 1, http://www.ecb.int/ (download April 2002).
Pollack, Mark A: 1997, Delegations, agency, and agenda setting in the European Community, International Organization 51, 1, h 99-134;
Prawiro, Radius: 1968, Kata Pengantar, Laporan Bank Negara Indonesia Unit I, Tahun Pembukuan 1966-1967, PN.Percetakan Negara R.I.
Prawiroardjo, Priasmoro: 1987, Perbankan Indonesia 40 Tahun, dalam Hendra Esmara (ed), Teori Ekonomi dan Kebijakansanaan Pembangunan, Kumpulan Esei untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Prince, G.H.A : 1996, Monetary Policy in Colonial Indonesia and Position of the Java Bank, dalam J. Th. Lindblad (ed), Historical foundations of a national economy in Indonesia, 1890s-1990s, North-Holland, Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo.
Rachbini, Didik J & Suwidi Tono, dkk : 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT Mardi Mulyo, Jakarta.
Rachbini, Didik J: 2004, Ekonomi Politik - Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Granit.
Rahardjo, M. Dawam, et al : 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Cidesindo, Jakarta.
Rahardjo, M. Dawam, dkk : 1995, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, Jakarta.
Sayers, R.S.: 1958, Central Banking After Bagehot, Oxford, At The Clarendon Press.
Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Peroses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999.
Sekretariat Komisi VIII: 1999, Peroses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Sekretariat Jenderal DPR RI, Sidang 10 Maret 1999.
Siklos, Piere L: 2000, "Monetray Policy and Transparency, Public Commentary, and Market Perceptions about Monetary Policy in Canada," Discussion Paper 8/00, Economic Research Centre of the Deutsche Bundesbank;
Sjahdeini, S.H., Prof. Dr.Sutan Remy : 2005, Badan Supervisi Bank Indonesia: Tugas dan Wewenangnya, Paper tidak diterbitkan.
Sjahdeini, Sutan Remy : tt, Kumpulan Paper.
Sjahdeini, Sutan Remy: 2001, Tingkatkan Peran DPR untuk pertajam akuntabilitas BI, Bisnis Indonesia, 5 Februari 2001.
Stern, Klaus : 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, in Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Gemany since 1948, Oxford University Press.
Sutter, John O: 1959, Indonesianisasi; Politics in a Changing Economy, 1940-1955, Vol. I,II,III,IV, Data paper Number 36-IV, Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York.
Tallberg, Jonas: 2002, Delegation to Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences ?, West European Politics, Vol. 25, No.1, h 23-46;
The Habibie Center: 2004, Sumbang Saran dari Simposium UUD ‘45 Pasca Amandemen tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, The Habibie Center, h. 26.
To, Oey Beng : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta.
Trichet, Jean-Claude: 2000, "Introductory Remarks," dalam Banque de France, Bicentennial Symposium Independence and Accountability, Developments in Central Banking.
Wardhana, Ali: 1971, The Indonesian banking System: The Central Bank, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press, Ithaca and London.
Winkler, Bernhard: 2000, "Which Kind of Transparency ? On the Need for Clarity in Monetary Policy-Making," European Central Bank, Working Paper No. 26;

ENDNOTE:
[1] M.H. De Kock, : 1961, Central Banking, Staples Press, London, h. 11.
[2] Laurence H. Meyer: 2000, "The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability," Remarks at the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, BIS Review 94, h. 4.
[3] Lihat Charles Goodhart : 1988, The Evolution of Central Banks, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, khususnya Bab III.
[4] Lawrence H Meyer : 2000, Op. cit, h. 3.
[5] Forest Capie: 1995, "The Evolution of General Banking," Policy Research Working Paper 1534, The World Bank, h 5.
[6] Lawrence H Meyer : 2000, Op. cit, h. 3.
[7] Rosa Maria Lastra: 1996, Central Banking and Banking Regulation, Financial Markets Group, LSE, h .15; lihat juga Robert Elgie and Helen Thompson: 1998, The Politics of Central Banks, Routledge, h. 22.
[8] Ibid, h 9.
[9] Posisi BI sebagai bank sentral yang independen secara tegas disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999.
[10] Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 tahun 1999.
[11] [1997] Q.B. 529
[12] Goodhart, C.A.E: 1995, The Central Bank and the Financial System, The MIT Press, h 60
[13] Laurence H Meyer : 2001, Comparative Central Banking and the Politics of Monetary Policy, Speech At the National Association for Business Economics Seminar on Monetary Policy and the Markets, Washington , D.C, May 21, 2001, h 2;
[14] Fabio Franchino : 2002, Efficiency or credibility? Testing the two logics of delegation to the European Commission, Journal of European Public Policy 9:5, h 678.
[15] Robert Elgie,: 1998, Democratic Accountability and Central Bank Independence: Historical and Contemporary, National and European Perspective, West European Politics, Vol. 21,No.3, h. 55.
[16] Rosa Maria Lastra: 1996, Op.cit, h. 19.
[17] Laurence H. Meyer:2000, Op. cit, h. 2.
[18] Jakob de Haan and Jan Egbert Strum: 1994, "The Case for Central Bank Independence," dalam Michael Parkin (ed.), The Theory of Inflation, Edward Elgar Publishing Limited, London, h. 310
[19] Charles Goodhart: 1988, Op cit, h. 64.
[20] Die Zeit (8 November, 1996, p. 3) dikutip dari Helge Berger and Jakob de Haan: 1999, "A State Within the State? An Event Study on the Bundesbank (1948-1973)," Scottish Journal of Political Economy, Vol. 46, No.1, February 1999, h. 17.
[21] Rosa Maria Lastra: 1996, Op.cit, h. 53-58.
[22] N.W Barber: 2001, "Prelude to the Separation of Powers," Cambridge Law Journal, March 2001, h. 59-88.
[23] Ada beberapa studi monographis tentang teori "the principal-agent" ini misalnya yang dilakukan oleh, Robert Elgie: 2002, The politics of the European Central Bank: principal-agent theory and the democratic deficit, Journal of European Public Policy 9:2 April, 186-200; Kathleen R McNAMARA, : 2002, Rational Fictions: Central Bank Independence and the Social Logic of Delegation, West European Politics, Vol.25, No.1, January, 47-76; Jonas Tallberg,: 2002, Delegation to Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences ?, West European Politics, Vol. 25, No.1, h 23-46; Mark A Pollack: 1997, Delegations, agency, and agenda setting in the European Community, International Organization 51, 1, h 99-134; Arthur Lupia & Mathew D McCUBINS: 2000, Representation or abdication ? How citizens use institutions to help delegation succeed, European Journal of Political Research 37: 291-307.
[24] John O. Sutter : 1959, Indonesianisasi; Politics in a Changing Economy, 1940-1955, Vol. I, Data paper Number 36-IV, Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York, h 87; M Dawam Rahardjo, dkk: 1995, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, h 3.
[25] Penjelasan pasal 23 UU 1945.
[26] Oey Beng To : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta, h, 91.
[27] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit , h 3.
[28] Ibid, h. 109.
[29] M. Dawam Rahardjo et al: 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Cisendo, Jakarta, h. 21.
[30] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit, h. 114.
[31] Heinz Arndt : 1971, Perbankan di Indonesia, PT. Badan Penerbit Indonesia Raya, Jakarta. h. 32.
[32] Sumarlin dalam pengantar pada Heinz Arndt : 1971, Ibid. h. 16.
[33] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit. h. 121.
[34] Priasmoro Prawiroardjo : 1987, Perbankan Indonesia 40 Tahun, dalam Hendra Esmara (ed), Teori Ekonomi dan Kebijakansanaan Pembangunan, Kumpulan Esei untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, h. 195; Radius Prawiro: 1968, Kata Pengantar, Laporan Bank Negara Indonesia Unit I, Tahun Pembukuan 1966-1967, PN.Percetakan Negara R.I, h. v.
[35] Heinz Arndt : 1966, Banking in Hyperinflation, Bulletin of Indonesian Economic Studies, No.5, October, h. 50; Priasmoro Prawiroardjo, Loc.cit. Heinz Arndt : 1971, Op.cit. h. 32; M Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit. h. 124.
[36] Ibid, Priasmoro Prawiroardjo : 1987, h. 196.
[37] Heinz Arndt : 1971, Op.cit , h 51; M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit , h 179.
[38] Binhadi and Paul Meek: 1992, Implementing Monetary Policy, dalam Anne Both (ed), The Oil Boom and After, Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto Era, Oxford University Press, h. 106.
[39] Pasal 9 UU No.13 Tahun 1968; M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op. cit, h. 183.
[40] H.W Arndt : 1971, Banking in Hyperinflation and Stabilization, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press, h. 389 dan Heinz Arndt : 1971, Op. cit, h. 51.
[41] Pasal 10 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[42] Pasal 11 (1), UU No.13 Tahun 1968.
[43] Binhadi and Paul Meek: 1992, Op. cit, h. 106.
[44] Pasal 9 (2) UU No.13 Tahun 1968.
[45] J. Sodradjad Djiwandono : 2001, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, LP3ES, h. 290.
[46] Sutan Remy Sjahdeini : tt, Kumpulan Paper, h. 7.
[47] J. Sodradjad Djiwandono : 2001, Op.cit , h 290.
[48] M. Dawam Rahardjo et al: 2001, Op.cit, h 34.
[49] Pasal 2 Kepres No. 23 Tahun 1998.
[50] M. Dawam Rahardjo et al: 2001, Op.cit , h 51.
[51] Ibid, h 34-35.
[52] Fachry Ali, Bachtiar Effendy, Umar Juoro, Musfihin Dahlan dkk: 2003, Politik Bank Sentral, Posisi Gubernur Bank Indonesia dalam Mempertahankan Independensi, Lspeu, h 83.
[53] Pasal 23 ayat 5, terjemahan bebasnya, " Atas usulan rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Presiden (Direktur) dalam mewakili jabatannya oleh Gubernur-Jendral dapat diskors, atau dengan persetujuan kemudian dari Kami diberhentikan. Dalam usulan skorsing sekaligus diusulkan tentang penggantian sementara"; ayat 6, "Dengan usulan serupa anggota lain dari Direksi dan para Wakilnya oleh Gubernur_jendral dapat juga diberhentikan"; ayat 7, " Gaji Presiden (Direktur) dan masing-masing direktur ditetapkan oleh Gubernur-Jendral".
[54] Ali Wardhana : 1971, The Indonesian banking System: The Central Bank, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press, Ithaca and London, h 339; John O Sutter : 1959, Vol. I, Op.cit, h 87.
[55] G.H.A Prince : 1996, Monetary Policy in Colonial Indonesia and Position of the Java Bank, dalam J. Th. Lindblad (ed), Historical foundations of a national economy in Indonesia, 1890s-1990s, North-Holland, Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo, h 58.
[56] Pasal 24 ayat 1, terjemahan bebasnya, " Dari pihak Pemerintah diselenggarakan pengawasan atas tindakan Bank oleh seorang Komisaris Pemerintah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur -Jenderal.
[57] Pasal 1 ayat 2 UU No.11 Tahun 1953.
[58] Pasal 7 (1dan 2) UU No.11 Tahun 1953.
[59] Pasal 22 (1) UU No.11 Tahun 1953.
[60] Pasal 26 (a) UU No.11 Tahun 1953.
[61] Pasal 1 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968.
[62] Pasal 7 UU No.13 Tahun 1968.
[63] Pasal 8 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[64] Pasal 9 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[65] Pasal 17 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[66] Pasal 4 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999 jo pasal 4 ayat 2 UU No.3 Tahun 2004.
[67] Pasal 4 ayat 3 UU No.23 Tahun 1999 jo pasal 4 ayat 3 UU No.3 Tahun 2004.
[68] Pasal 45 UU No.23 Tahun 1999.
[69] Natasha Hamilton-Hart : 2002, Asian States, Asian Bankers, Central Banking in Southeast Asia, Cornell University Press, h 32.
[70] Loc.cit.
[71] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit, h 84.
[72] Pasal 23 ayat 5, terjemahan bebasnya, " Atas usulan rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Presiden (Direktur) dalam mewakili jabatannya oleh Gubernur-Jendral dapat diskors, atau dengan persetujuan kemudian dari Kami diberhentikan. Dalam usulan skorsing sekaligus diusulkan tentang penggantian sementara"; ayat 6, "Dengan usulan serupa anggota lain dari Direksi dan para Wakilnya oleh Gubernur_jendral dapat juga diberhentikan"; ayat 7, " Gaji Presiden (Direktur) dan masing-masing direktur ditetapkan oleh Gubernur-Jendral".
[73] G.H.A Prince : 1996, Op. cit, h. 65.
[74] Pasal 24 ayat 1 terjemahan bebasnya, " Dari pihak Pemerintah diselenggarakan pengawasan atas tindakan Bank oleh seorang Komisaris yang mewakili Pemerintah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur-Jendral".
[75] Pasal 23 ayat 1, terjemahan bebasnya, " Presiden (direktur) Bank, dengan persetujuan kemudian dari Kami, diangkat untuk jangka waktu lima tahun"; pasal 23 ayat 2 "Dalam rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris untuk pengangkatan sebagai Presiden (Direktur) Bank diajukan dua orang sebagai usulan kepada Gubernur-Jendral".
[76] Pasal 4 ayat 5, terjemahan bebasnya, " Pengorganisasian serta lingkungan kerja Cabang Bank, kegenan dan penghubung sebagai koresponden tunduk pada persetujuan Gubernur-Jenderal".
[77] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit, h 85.
[78] Pasal 21 UU No.11 Tahun 1953, " Bank Indonesia dipimpin oleh: a. Dewan Moneter, b. Direksi dan, C. Dewan Penasehat, ....".
[79] Pasal 22 (1) UU No.11 taun 1953, "Tugas Dewan Moneter ialah: a. menetapkan kebijakan moneter umum dari Bank; b. memeberi petunjuk-petunjuk kepada Direksi tentang kebijaksanaan Bank dalam urusan-urusannya yang lain, sekedar kepentingan umum memerlukannya; ....".
Pasal 21 (2). "Tanggung jawab atas kebijaksanaan moneter berada pada Pemrintah".
[80] Pasal 1 ayat 2, UU No.11 Tahun 1953
[81] M. Dawam Rahardjo et al : 2001, Op. cit, h 20; Sumitro Djojohadikusumo: 1953 (a), Op. cit, h. 232.
[82] Oey Beng To: 1991, Op.cit , h. 255.
[83] Pasal 8 UU No.13 Tahun 1968 (1) " Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah". (2) " Dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut pada ayat (1) Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter".
[84] Pasal 15 ayat 3 (a) UU No.13 Tahun 1968
[85] Pasal 17 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968.
[86] Pasal 17 ayat 3 UU No.13 Tahun 1968.
[87] Pasal 17 ayat 4 UU No.13 Tahun 1968.
[88] Pasal 19 UU No.13 Tahun 1968.
[89] Penjelasan pasal 19 UU No.13 Tahun 1968.
[90] Pasal 23 D UUD 1945.
[91] Pasal 4 ayat 3 UU No. 3 Tahun 2004.
[92] Penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.23 Tahun 1999 jo penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.3 Tahun 2004.
[93] Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.
[94] Didik J Rachbini, Suwidi Tono dkk : 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta, h. 167.
[95] Sekretariat Komisi VIII: 1999, Peroses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku II, Sekretariat Jenderal DPR RI, Sidang 10 Maret 1999, h. 27.
[96] Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara Seabiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001.
[97] Dihapus dalam Perubahan IV 10 Agustus 2001.
[98] Pasal 44 UUD Sementara 1950.
[99] Bab III, Perlengkapan Indonesia Serikat Ketentuan Umum, Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
[100] H. Soelaiman Biyamiho, dalam Sekretariat Komisi VIII: 1999, Buku II, Op. cit, Rapat Kerja I, tgl 2 Maret 1999, h. 36.
[101] Nico Daryanto dalam ibid, h 41.
[102] Suwadji M, SIP, dalam ibid, h 29.
[103] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Asril: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h 88.
[104] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Peroses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, h. 79.
[105] Klaus Stern : 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, in Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Gemany since 1948, Oxford University Press, h. 111.
[106] Sutan Remy Sjahdeini: 2001, Tingkatkan Peran DPR untuk pertajam akuntabilitas BI, Bisnis Indonesia, 5 Februari 2001.
[107] Loc. cit.
[108] Pasal 54 ayat 2 UU NO. 3 Tahun 2004.
[109] Didik J Rachbini: 2004, Ekonomi Politik - Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Granit, h. 187.
[110] Ibid, h. 187-188.
[111] Mubyarto: 2001, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Edisi Pertama, Aditya Media Yogyakarta, h. 49.
[112] The Habibie Center: 2004, Sumbang Saran dari Simposium UUD ‘45 Pasca Amandemen tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, The Habibie Center, h. 26.
[113] Ibid, h. 27.
[114] Fabian Amtenbrink : 1999, The Democratic Accountability of Central Bank, Hart Publishing, Oxford and Portland, h.161.
[115] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 150.
[116] Fabian Amtenbrink : 1999, Op. cit, h.162.
[117] Jimly Asshidiqie : 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, h. 241.
[118] Anggota team panel ini terdiri dari Dr. Boediono; Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, Roberto Zahler dan Donald Brash ( lihat Panel Report on Proposed Amendements of Bank Indonesia Law: 2001, h 2). Saya mendapatkan dokumen ini atas jasa baik Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini.
[119] Pasal 58 A UU No.3 Tahun 2004
[120] Pasal 58 A ayat 1 UU No.3 Tahun 2004
[121] Pasal 58 A ayat 6 UU No.3 Tahun 2004
[122] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (a) UU No.3 Tahun 2004
[123] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (b) UU No.3 Tahun 2004
[124] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (c) UU No.3 Tahun 2004
[125] Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, hal ini harus ditafsirkan bahwa tidak ada larangan bagi Ketua atau anggota Badan Supervisi untuk hadir dalam rapat Dewan Gubernur apabila Dewan Gubernur memintanya, lihat Prof. Dr.Sutan Remy Sjahdeini, S.H. : 2005, Badan Supervisi Bank Indonesia: Tugas dan Wewenangnya, Paper tidak diterbitkan, h. 7.
[126] Pasal 23 ayat 3 UU No.13 Tahun 1968.
[127] 12 USC Sec. 262.
[128] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (a) UU No.3 Tahun 2004
[129] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (b) UU No.3 Tahun 2004
[130] Penjelasan pasal 58 A ayat 1 (c) UU No.3 Tahun 2004

(Penulis (DR. MAQDIR ISMAIL, S.H., LL.M.) Lahir di Baturaja, 18 Agustus 1954. Riwayat pendidikan: S1 Hukum di Universitas Islam (1979), S2 School of law the University of Western Australia, Perth (1999), S3 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (2005). Riwayat pekerjaan: LBH Jakarta (1980-1983), Adnan Buyung Nasution & Associate (1983-1984), Maqdir Ismail & Associate (1984-1989), Pratiwi, Maqdir & Partners (1989-1994), Nasution, Soedibyo & Maqdir (1995-1998), Adnan Buyung Nasution & Partners (1998-2000), Maqdir & Mulyadi Law Firm (2001-2004), Maqdir & Anullah Law Firm (2004-2005), Maqdir, Pieter & Ishak Law Firm (2005-Sekarang), Dosen Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta (2002-sekarang). Praktik: Arbitrase, Perdata, Pidana, Hukum Perbankan, Hukum Perburuhan, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sering menjadi pembicara dalam seminar Hukum Perbankan, Hukum Dagang, Arbitase dan Hukum Perusahaan dan menjadi anggota tim penyusun RUU Hukum Acara Perdata)


http://www.legalitas.org/?q=node/306

Jumat, 01 Agustus 2008

Bukan Kutukan BLBI

Bukan Kutukan BLBI
Maqdir Ismail
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia


Rabu, 2 Juli 2008

Landasan hukum untuk penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di luar pengadilan dimulai dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Propernas. Bab IV butir C 3,4,2 UU tersebut menegaskan bahwa debitor yang telah menandatangani MSAA dan telah melaksanakan kewajiban sesuai MSAA harus diberikan jaminan kepastian hukum.

Hal ini dikuatkan oleh Tap MPR No X/MPR/2001 bahwa presiden bertugas menetapkan kebijakan dan mengambil langkah konkret dalam percepatan pemulihan ekonomi. Tap MPR No VI/MPR/2002 pun memberi rekomendasi kepada presiden untuk meningkatkan kepastian hukum atas tugas sesuai Tap MPR No X/MPR/2001.

Dengan landasan hukum tersebut, akhirnya presiden (waktu itu) mengambil kebijakan penyelesaian BLBI dengan Inpres No 8 Tahun 2002 sebagai upaya memberikan kepastian hukum bagi pemegang saham yang telah melaksanakan kewajibannya, berupa pemberian release and discharge. Terhadap pemegang saham yang mempunyai masalah pidana pun dilakukan penghentian proses pidananya. Kepada para pemegang saham itu diberikan juga Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN dan SP3 oleh Jaksa Agung.

Penyelesaiannya dianggap tidak adil. Untuk menegakkan keadilan dituntut agar para pemegang saham bank diadili dan dihukum dengan hukuman yang tinggi.

Dengan tuntutan yang tiada henti, akhirnya Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap kasus BLBI terkait dengan BDNI dan BCA. Akhir penyelidikan menyatakan BDNI dan BCA tidak melakukan perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi.

Sekarang, penyelidikan BLBI oleh Kejaksaan Agung menuai perkara baru yang hiruk-pikuk, mengharu-biru pemberitaan, bahkan dapat meluluhlantakkan Gedung Bundar sebagai simbol pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Direktur Penyidikan Pidana Khusus dialihtugaskan karena diduga terkait masalah pemberian kemudahan supaya terjadi pembayaran "gratifikasi" yang sempat dibantah sebagai pinjaman untuk bisnis.

Kita percaya apa yang menimpa Kejaksaan Agung ini bukan gambaran nyata tentang pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung. Ini bukan pula kutukan kepada pemerintahan SBY-JK dan Kejaksaan Agung yang menggali kuburan BLBI yang telah dikubur oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Apa yang terjadi pada Kejaksaan Agung adalah proses manusiawi. Kejadian ini tidak akan sampai menghancurkan kredibilitas institusi kejaksaan. Dan, memang, institusi kejaksaan tidak boleh dihancurkan.

Tentu berlebihan dan menghina kemanusiaan jika kita tidak pernah mau mempercayai apa yang disampaikan oleh pejabat Kejaksaan Agung. Sebenarnya, menjadikan percakapan mantan pejabat kejaksaan dengan orang yang diduga melakukan perbuatan pidana sebagai "nada panggilan telepon", akan mengingatkan orang bahwa ada hukuman secara sosial. Tetapi menghukum orang tidak sesuai dengan kejahatannya merupakan bentuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan.***

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=203531

Bukan Kutukan BLBI

Bukan Kutukan BLBI
Maqdir Ismail
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia


Rabu, 2 Juli 2008

Landasan hukum untuk penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di luar pengadilan dimulai dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Propernas. Bab IV butir C 3,4,2 UU tersebut menegaskan bahwa debitor yang telah menandatangani MSAA dan telah melaksanakan kewajiban sesuai MSAA harus diberikan jaminan kepastian hukum.

Hal ini dikuatkan oleh Tap MPR No X/MPR/2001 bahwa presiden bertugas menetapkan kebijakan dan mengambil langkah konkret dalam percepatan pemulihan ekonomi. Tap MPR No VI/MPR/2002 pun memberi rekomendasi kepada presiden untuk meningkatkan kepastian hukum atas tugas sesuai Tap MPR No X/MPR/2001.

Dengan landasan hukum tersebut, akhirnya presiden (waktu itu) mengambil kebijakan penyelesaian BLBI dengan Inpres No 8 Tahun 2002 sebagai upaya memberikan kepastian hukum bagi pemegang saham yang telah melaksanakan kewajibannya, berupa pemberian release and discharge. Terhadap pemegang saham yang mempunyai masalah pidana pun dilakukan penghentian proses pidananya. Kepada para pemegang saham itu diberikan juga Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN dan SP3 oleh Jaksa Agung.

Penyelesaiannya dianggap tidak adil. Untuk menegakkan keadilan dituntut agar para pemegang saham bank diadili dan dihukum dengan hukuman yang tinggi.

Dengan tuntutan yang tiada henti, akhirnya Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap kasus BLBI terkait dengan BDNI dan BCA. Akhir penyelidikan menyatakan BDNI dan BCA tidak melakukan perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi.

Sekarang, penyelidikan BLBI oleh Kejaksaan Agung menuai perkara baru yang hiruk-pikuk, mengharu-biru pemberitaan, bahkan dapat meluluhlantakkan Gedung Bundar sebagai simbol pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Direktur Penyidikan Pidana Khusus dialihtugaskan karena diduga terkait masalah pemberian kemudahan supaya terjadi pembayaran "gratifikasi" yang sempat dibantah sebagai pinjaman untuk bisnis.

Kita percaya apa yang menimpa Kejaksaan Agung ini bukan gambaran nyata tentang pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung. Ini bukan pula kutukan kepada pemerintahan SBY-JK dan Kejaksaan Agung yang menggali kuburan BLBI yang telah dikubur oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Apa yang terjadi pada Kejaksaan Agung adalah proses manusiawi. Kejadian ini tidak akan sampai menghancurkan kredibilitas institusi kejaksaan. Dan, memang, institusi kejaksaan tidak boleh dihancurkan.

Tentu berlebihan dan menghina kemanusiaan jika kita tidak pernah mau mempercayai apa yang disampaikan oleh pejabat Kejaksaan Agung. Sebenarnya, menjadikan percakapan mantan pejabat kejaksaan dengan orang yang diduga melakukan perbuatan pidana sebagai "nada panggilan telepon", akan mengingatkan orang bahwa ada hukuman secara sosial. Tetapi menghukum orang tidak sesuai dengan kejahatannya merupakan bentuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan.***

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=203531