Jumat, 10 September 2010

Menguji Pasal Impeachment

Jakarta, 11 Mei 2010
Kepada Yth:
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta Pusat 10110

HAL: PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG – UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

Dengan hormat,
Kami yang bertanda-tangan di bawah ini :
1. Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M;
2. Dr. S.F. Marbun, S.H., M.Hum;
3. M. Rudjito, S.H., LL.M;
4. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H;
5. Dasril Affandi, S.H., M.H;
6. Sugito, S.H;
7. Mirza Zulkarnain, S.H., M.H;
8. Masayu Donny Kertopati, S.H;
9. Ilham Nur Akbar, S.H;
10. Ade Kurniawan, S.H;

Para Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih domisili hukum di MAQDIR ISMAIL & PARTNERS, Jl. Bandung No. 4, Menteng, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus terlampir, bertindak selaku Kuasa Hukum dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama :
A. Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai Pemohon I (Para Anggota DPR), yang terdiri dari:
1. LILY CHADIDJAH WAHID, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, beralamat di KP. Rawa Selatan RT.010/RW.04 Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

2. BAMBANG SOESATYO, SE., MBA, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, beralamat di Jl. Bala Dewa B/11 RT.014/RW.006 Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

3. AKBAR FAIZAL, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, beralamat di KKDR Anggrek-3 Blok F1 RT.07/RW.06 Kelurahan Tirta Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.


B. Perorangan warga Negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai Pemohon II, yang terdiri dari :

1. ABDULRACHIM KRESNO, beralamat di Jl. Senayan 32, RT. 006/RW. 006, Kelurahan Hawa Barat, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

2. AGUS SUROTO, beralamat di Komplek Nata Endah Blok V No.1, Cibabat, Cimahi, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

3. Ir. DARWIS DARLIS, beralamat di Jl. Tegal Parang Selatan I no. 21 RT.01/RW.05, Kelurahan Tegal Parang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

4. Drs. DODY RUDIANTO, MM, beralamat di Komp Wirana No. 17 RT.006/RW.008, Kelurahan Jati Makmur, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi, . berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

5. DWI SOEBAWANTO, beralamat di Jl. Patrakomala No. 40, RT.05/RW.06, Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumurbandung, Bandung, Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

6. ELONG SUCHLAN beralamat di Jl. Galaxy Raya No.94, RT 004/RW 007 Kelurahan Sekejar, Kecamatan Buah batu, Bandung, Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

7. ERFANTO SANAF, beralamat di Jl. Singaraja 29, RT. 005 RW. 010, Kelurahan Antapani Kidul, Kecamatan Antapani, Bandung, Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

8. Ir. ALWISMAN DAHLAN, beralamat di Jl. Pulo Mas II/c No.6, Villa Sari Mas, Jakarta, 13210, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

9. Ir. S. INDRO TJAHYONO, beralamat di Jl. Lumbu Tengah VI A/51, RT 002, RW 028, Bojong, Raisalumbu, Kota Bekasi, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

10. Ir. SAYUTI ASYATHRI, beralamat di Jl. Ciliwung I, RT 010/006, Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

11. MACHMUD MADJID, beralamat di Jl. Riung Mungpulung IB No.14 Komp Riung Bandung, RT. 008/RW. 009, Kelurahan Babarancem Kidul, Kecamatan Gedebage, Bandung, Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

12. MOHAMMAD HATTA TALIWANG, beralamat di Jl. Bako III No.36, Komplek Pharmindo, Cimahi, Bandung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

13. MUCHTAR EFFENDY HARAHAP, beralamat di Jl. Mustika Jaya IV RT.002/RW.011, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Polo Gadung, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

14. Ir.SULUH TJIPTADI, beralamat di Jl. Nusa Indah No. 177 A KPAD RT.09/RW.02, Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Bandung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

15. TASHUDI YANTO, beralamat di Jl. Ikan Pari Blok A No.66/29, RT/RW 001, Kelurahan Teluk Betung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

16. UMAR MARASABESSY, beralamat di Jl. Bengkong Padurenan No. 53, RT.002/RW.03 Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustika Jaya , Bekasi, Jawa Barat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 April 2010.

Dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043 (”UU No. 27 Tahun 2009”) (vide Bukti P-1) terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II secara bersama-sama disebut sebagai ”Para Pemohon”.

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LEGAL STANDING PARA PEMOHON
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (“MK”) melakukan pengujian terhadap Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU No. 27 Tahun 2009”)
2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (”UU MK”), yang menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”).
Pasal 24 C ayat (1) UUD Tahun 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, ….”
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk”:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, …”
3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD Tahun 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang;
4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.

B. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

1. Kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon I
1.1. Bahwa menurut Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi :
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1.2. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat bertindak sebagai pihak dalam mengajukan permohonan pengujian suatu Undang-Undang, yakni pertama, mereka yang memiliki kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon atau legal standing dalam perkara pengujian suatu undang-undang. Kedua, adanya kerugian hak konstitusional pemohon oleh berlakunya suatu undang-undang.

1.3 Bahwa Pemohon I adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang merupakan “perorangan” dan warga Negara Indonesia yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Penjelasannya. Oleh karena itu Pemohon I memenuhi kualifikasi sebagai pemohon pengujian atas UU No. 27 Tahun 2009 tersebut terhadap UUD Tahun 1945.

1.4. Bahwa menurut UU No. 27 Tahun 2009, Pasal 67 yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang terpilih melalui pemilihan umum, sedangkan Pemohon I adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UUD Tahun 1945 jo Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat itu terdiri dari warganegara yang merupakan anggota-anggota partai politik yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum;

1.5. Bahwa Pemohon I selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat, memiliki hak yang dijamin dalam Pasal 20A ayat (3) UUD Tahun 1945, yakni : hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; Selanjutnya menurut Pasal 20A ayat (4) UUD Tahun 1945 “ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam Undang-Undang.” Akhirnya, ketentuan hak DPR dan hak anggota DPR tersebut diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009, yakni Pasal 77 mengenai hak DPR dan Pasal 78 mengenai hak anggota DPR, namun ketentuan mengenai penggunaan hak anggota DPR menyampaikan usul dan pendapat tersebut tidak diatur secara rinci dalam UU No. 27 Tahun 2009;

1.6. Bahwa di dalam UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 184 ayat (4) ditentukan hak DPR untuk menyampaikan USUL menyatakan pendapat dan UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 187 ditentukan hak DPR untuk MENYATAKAN PENDAPAT adalah hak institusional DPR; Oleh karena DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum, jelaslah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat itu terdiri dari warganegara yang merupakan anggota-anggota partai politik yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum, maka sesungguhnya hak institusional DPR itu juga merupakan hak anggota DPR. Dengan demikian Pemohon I memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini.

1.7. Bahwa menurut UU No. 27 tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) hak DPR untuk menyatakan pendapat ditentukan sebagai berikut:

Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

1.8. Bahwa mekanisme untuk menggunakan hak menyatakan pendapat tersebut diatur secara rinci dalam UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 184 s/d 187. Pada Pasal 184 ayat (4) dinyatakan :
“(4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.”
Sedangkan pada Pasal 187 UU No. 27 Tahun 2009 dinyatakan :
“(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
(2) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.
(4) Keputusan sebagaiman dimaksud pada ayat (3) (menurut PEMOHON seharusnya berbunyi ayat (1), (2) dan (3)) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.”

1.9. Bahwa UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 184 mengatur mekanisme tentang Usul menyatakan pendapat dan Pasal 187 mengatur mekanisme menyatakan pendapat, padahal Pasal 7B UUD Tahun 1945 tidak mengenal istilah/terminologi beserta mekanisme usul menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009. Pasal 7B UUD Tahun 1945 hanya mengenal istilah/ terminologi menyatakan pendapat. Dengan demikian ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan pasal 7B UUD Tahun 1945, karenanya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I .

1.10. Bahwa lebih-lebih lagi Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 menentukan mekanisme dan quorum Usul menyatakan pendapat untuk menjadi hak menyatakan pendapat itu, harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Hal tersebut semakin potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I, karena Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945 hanya mengenal hak menyatakan pendapat dengan ketentuan didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR. Oleh karena itu apabila ketentuan Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku, maka ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, karenanya potensial merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I.
1.11. Bahwa disamping itu pula apabila ketentuan Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku, maka Pemohon I selaku anggota DPR potensial akan mengalami kerugian hak-hak konstitusionalnya, karena kesulitan untuk menggunakan haknya dalam menyatakan pendapat, sehingga prinsip-prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD Tahun 1945 tidak dapat diwujudkan dengan optimal.

1.12. Bahwa berdasarkan uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon I (Para anggota DPR RI) memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.

2. Kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon II

2.1. Bahwa Pemohon II adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan oleh berlakunya Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Penjelasannya. Oleh karena itu Pemohon II memenuhi kualifikasi sebagai pemohon pengujian atas UU No. 27 Tahun 2009 tersebut terhadap UUD Tahun 1945;

2.2. Bahwa Pemohon II sebagai konstituen dalam pemilihan umum telah memilih wakil-wakilnya di DPR, berarti sesuai dengan teori perwakilan politik, Pemohon II telah memberikan mandat kepada wakil-wakilnya yaitu anggota DPR untuk melakukan tugas dan fungsi DPR, sebagaimana pengertian mandat menurut G.N. Garmonsway adalah:
“Mandate : instruction and authorization to pursue a specified policy, esp that given by electors to their delegates or representatives; …
Dengan demikian Pemohon II telah memberikan mandat kepada wakil-wakilnya di DPR, sehingga DPR dapat melakukan tugas dan fungsinya berupa : fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, serta memiliki hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945.

2.3 Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 yang menentukan usul menyatakan pendapat oleh anggota DPR harus memenuhi syarat kehadiran ¾ dari jumlah anggota DPR RI dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR RI yang hadir, maka ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon II;

2.4. Bahwa ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 mengenai usul menyatakan pendapat dari anggota DPR adalah merupakan “pembatasan” terhadap hak-hak konstitusional anggota DPR sebagai wakil Pemohon II, sehingga ketentuan tersebut potensial merugikan hak konstitusional Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia prinsip checks and balances dilaksanakan oleh DPR diantaranya melalui hak menyatakan pendapat. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 tahun 2009 yang mengatur tentang usul menyatakan pendapat, maka hak konstitusional DPR untuk menyatakan pendapat tersebut potensial terhalang oleh adanya ketentuan usul menyatakan pendapat. Dengan demikian hak konstitusional Pemohon II selaku Warga Negara Indonesia juga potensial terhalangi.

2.5. Bahwa berdasarkan uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon II (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.

Merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji legal standing PEMOHON dalam perkara Pengujian Undang-undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan. Ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon. Kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan.

Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Para Pemohon potensial dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, utamanya Pasal 184 ayat (4), karena Para Pemohon potensial tidak dapat melaksanakan fungsinya melakukan pengawasan terhadap Pemerintah berupa hak menyatakan pendapat dengan optimal. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tidak lagi potensial dirugikan. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) dan potensi kerugian Para Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku;

II. ALASAN-ALASAN PARA PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 184 ayat (4) UNDANG-UNDANG No. 27 Tahun 2009, tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
1. Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan dilakukan agar prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat diwujudkan secara optimal, sehingga terjelma kesetaraan kedudukan diantara lembaga negara seperti MPR, Presiden dan DPR serta Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain;
2. Bahwa dengan terjadinya perubahan dan penataan ulang sistem ketatanegaraan negara tersebut, maka telah pula terjadi perubahan dan peningkatan terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utamanya fungsi pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan secara efektif;
3. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 20A ayat (2) dan ayat (3) menyediakan Instrumen berupa hak-hak yang dapat digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi pengawasan tersebut, yakni :
a. hak interpelasi
b. hak angket dan
c. hak menyatakan pendapat;
d. hak mengajukan pertanyaan;
e. hak menyampaikan usul dan pendapat, serta
f. hak imunitas.
4. Bahwa menurut ketentuan Pasal 20A ayat (4), ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut diatur dalam undang-undang. Namun pada kenyataannya, undang-undang tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, sampai saat ini belum diatur dalam undang-undang yang khusus mengatur hak-hak tersebut. Ketentuan mengenai hak DPR dan hak anggota DPR itu baru diatur sebagai bagian dari Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
5. Bahwa menurut Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga pada hakekatnya Dewan Perwakilan Rakyat itu terdiri anggota-anggota partai politik sebagai warganegara yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum;
6. Bahwa dengan mengikuti logika yuridis dari Pasal 67 UU No.27 Tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat itu terdiri anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum, maka berarti hak Dewan Perwakilan Rakyat itu juga merupakan hak seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
7. Bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD Tahun 1945 yaitu hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat itu pada hakekatnya juga merupakan hak dari seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun dalam penggunaan hak menyatakan pendapat secara khusus oleh Pasal 7B UUD Tahun 1945 diberi quorum sekurang-kurangnya dihadiri 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan disetujui paling kurang oleh 2/3 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir;
8. Bahwa khusus mengenai Hak Menyatakan Pendapat, dalam UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (1) huruf c dan ayat (4) serta Pasal 184 dinyatakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai hak Menyatakan Pendapat, dengan persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 184, yang menyatakan :
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR.
(2) Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau
d. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c.
(4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

9. Bahwa ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 yang mengatur tentang USUL menyatakan pendapat dan Pasal 187 mengatur mekanisme menyatakan pendapat, padahal Pasal 7B UUD Tahun 1945 tidak mengenal istilah/terminologi beserta mekanisme usul menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009. Pasal 7B UUD Tahun 1945 hanya mengenal istilah/ terminologi menyatakan pendapat. Dengan demikian ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan pasal 7B UUD Tahun 1945, karenanya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I .

10. Bahwa lebih-lebih lagi Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 menentukan mekanisme dan quorum Usul menyatakan pendapat untuk menjadi hak menyatakan pendapat itu, harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Hal tersebut semakin potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I, karena Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945 hanya mengenal hak menyatakan pendapat dengan ketentuan didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR. Oleh karena itu apabila ketentuan Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku, maka ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, karenanya potensial merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I.

11. Bahwa disamping itu pula apabila ketentuan Pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku, maka Pemohon I selaku anggota DPR potensial akan mengalami kerugian hak-hak konstitusionalnya, karena kesulitan untuk menggunakan haknya dalam menyatakan pendapat, sehingga prinsip-prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD Tahun 1945 tidak dapat diwujudkan dengan optimal.

12. Bahwa ketentuan tentang USUL Menyatakan Pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, pada kenyataannya bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan :
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

13. Bahwa UUD Tahun 1945 memberikan hak kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyatakan pendapat agar prinsip checks and balances dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga negara terjaga dengan baik, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah, berupa kesempatan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
14. Bahwa sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan accountability. Prinsip accountability berarti adanya pertanggung-jawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat. Dalam hal ini rakyatlah yang memberikan mandat kekuasaan kepada Pemerintah untuk memerintah dan karenanya bertanggung-jawab kepada rakyat. Dalam pandangan Miriam Budiardjo, accountability atau pertanggung-jawaban dari pihak yang memerintah kepada rakyat merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai syarat mutlak dari konsep kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam suatu negara yang menganut faham atau asas kedaulatan rakyat (negara demokrasi), terselenggaranya accountability menjadi suatu keniscayaan.
15. Bahwa menurut A.D.Belinfante, agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi, maka pengorganisasiannya harus memenuhi beberapa aturan dasar (grondregels). Salah satu diantaranya, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggung-jawabkannya atau pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol. Dalam makna kontrol itu sendiri terkandung makna pertanggung-jawaban, artinya, setiap penyelenggara negara harus dapat mempertanggung-jawabkan tindak tanduknya. Hal demikian merupakan salah satu asas penting dalam negara demokrasi, yaitu setiap orang yang diberi kekuasaan oleh rakyat harus dapat mempertanggung-jawabkan hal-hal yang dilakukannya dan yang tidak dilakukannya. Untuk mendapatkan suatu tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, maka institusi seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan instansi utama bagi terselenggaranya accountability, karena melalui DPR-lah kekuasaan rakyat dioperasikan. Pengoperasian kekuatan rakyat itu tercermin antara lain dari fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh DPR merupakan salah satu wujud dari penyelenggaraan prinsip accountability yang dilaksanakan oleh DPR dalam negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi);
16. Bahwa apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkehendak menggunakan wewenangnya mengontrol dan/atau meminta pertanggung-jawaban dan/atau mengusulkan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru dapat menggunakan wewenangnya mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK);
17. Bahwa menurut ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 untuk dapat menggunakan wewenangnya mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) haruslah terlebih dahulu mengajukan USUL untuk menyatakan pendapatnya terhadap dugaan tersebut;
18. Bahwa menurut ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945, untuk menguji kebenaran “pernyataan pendapat” dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus “pernyataan pendapat” Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
19. Bahwa pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut ketentuan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, Pasal 184 ayat (4) harus lebih dahulu mengajukan USUL menyatakan pendapat kepada DPR. usul “menyatakan pendapat” DPR tersebut harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir;

20. Bahwa ketentuan USUL menyatakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tersebut, nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena terminologi atau mekanisme USUL menyatakan pendapat tersebut tidak dikenal dalam Pasal 7B UUD Tahun 1945. dengan demikian, ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 nyata-nyata bertentangan secara hierarki dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004;

21. Bahwa apabila persyaratan hak menyatakan pendapat tersebut dicermati dengan seksama, ternyata terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perbedaan kedua ketentuan tersebut nyata-nyata telah menimbulkan ketidak-pastian hukum dan kesimpangsiuran hukum yang dapat membawa dampak negatif terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia sesuai UUD Tahun 1945, bahkan melanggar prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

22. Bahwa sesungguhnya ketentuan syarat USUL menyatakan pendapat yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut, nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan syarat hak menyatakan pendapat yang tercantum dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga telah terjadi ”perampasan” atau pengurangan hak atau kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945;
23. Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat mengalami kesulitan dalam menggunakan haknya menyatakan pendapat, karena terganjal baik karena adanya persyaratan mekanisme USUL, maupun karena persyaratan harus memenuhi quorum dihadiri oleh ¾ (tiga perempat) anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut, potensial menimbulkan “kerugian konstitusional” bagi Pemohon I sebagai anggota DPR dan Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia;

24. Bahwa ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 potensial mempersulit Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif, dimana Pemohon I sebagai anggotanya, sehingga mengalami kesulitan dan terhambat melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah, sebagaimana dijamin dalam Pasal 20A UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, sangat beralasan bilamana Para Pemohon menengarai bahwa penambahan persyaratan mekanisme USUL dan persyaratan quorum untuk melaksanakan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tersebut merupakan upaya merusak tatanan kehidupan demokrasi nasional, bagi kepentingan kekuasaan dan para politisi yang mempunyai vested interest.

25. Bahwa pembiaran terhadap ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 juga merupakan pelanggaran serius terhadap Pembukaan UUD Tahun 1945, karena dengan tidak terselenggaranya sidang paripurna yang dirancang secara sengaja oleh kelompok kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan sesaat adalah merupakan pelanggaran terhadap sila keempat, yakni ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”:

26. Bahwa Penghapusan ketentuan Pasal 184 ayat (4) ini sangat penting, utamanya untuk melindungi prinsip demokrasi sesuai ketentuan UUD Tahun 1945, sehingga demokrasi tidak diselewengkan atau disalahgunakan hanya untuk sekedar mempertahankan kepentingan kekuasaan jangka pendek. Oleh karena itu konstitusi perlu dijaga agar terhindar dari penyelewengan dari mereka yang memegang kekuasaan pemerintahan dan agar tidak memanfaatkan undang-undang sebagai tempat berlindung;

27. Bahwa ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009, potensial telah menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat melaksanakan fungsinya mengajukan pengujian politik terhadap pemerintah, karena adanya penambahan mekanisme USUL dan sulitnya memenuhi quorum yang secara sengaja dan sistematis dihambat melalui proses politik. Ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 juga potensial berdampak terhadap peranan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak lagi dapat melaksanakan fungsinya melakukan pengujian judisial, akibat dihambat oleh ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009;

28. Bahwa kerugian konstitusional anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan hak untuk menyatakan pendapat ini, nyata-nyata bertentangan dengan jiwa Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang memberikan hak seluas-luasnya bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun hak tersebut secara sistematis dikurangi dan dirampas oleh ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 sebagai satu produk legislasi;

29. Bahwa ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 tersebut, potensial merugikan hak konstitusional anggota Dewan Perwakilan Rakyat, namun in casu juga seluruh warga negara yang telah melaksanakan hak konstitusionalnya memilih wakil rakyat untuk memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan rakyat, utamanya dalam menegakkan demokrasi;

30. Bahwa dalam kerangka menjaga konstitusi dan menegakkan demokrasi, maka Mahkamah Konstitusi haruslah menjalankan fungsi dan peranannya sebagaimana diamanatkan oleh UUD Tahun 1945, dimana Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of the Constitution dan the final interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk berkenan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan pasal 7B UUD Tahun 1945. Dengan demikian maka keseluruhan Pasal 184 utamanya Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, yang berbunyi “…hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir”. bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 adalah inkonstitusional dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

31. Bahwa pada dasarnya pengambilan keputusan dalam satu negara demokrasi dilakukan dengan suara terbanyak, tanpa dibatasi oleh jumlah prosentase tertentu dan secara umum dikenal dengan prinsip lima puluh persen ditambah satu ;

32. Bahwa prinsip dasar pengambilalihan keputusan yang dianut dalam Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah dengan suara terbanyak dengan quórum paling sedikit 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan diputuskan oleh paling sedikit 2/3 dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir;

33. Bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebanyak 560 (lima ratus enam puluh orang), maka quórum kehadiran dan pengambilan Keputusan untuk hak menyatakan pendapat sesuai dengan Pasal 7B UUD Tahun 1945 dan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:
No.
Quorum
Berdasarkan
Pasal 7B UUD 1945
Berdasarkan
Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009
1 Quorum Kehadiran Paling Sedikit 2/3 x 560 = 373 orang anggota DPR atau = 66 % dari anggota DPR 3/4 x 560 = 420 orang anggota DPR atau = 75 % dari anggota DPR

2 Quorum Pengambilan Keputusan paling sedikit disetujui 2/3 x 373 orang = 248 orang anggota DPR atau = 44 % dari anggota DPR 3/4 x 420 orang = 315 orang anggota DPR atau = 56 % dari anggota DPR


Dengan demik
34. Bahwa dalam Pasal 173 UU No. 27 Tahun 2009, pengambilan keputusan tentang Hak Interpelasi, diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi, dan hak interpelasi DPR akan dianggap sah, apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir;

35. Bahwa mengenai Hak angket menurut Pasal 177 UU No. 27 Tahun 2009, diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi dan akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir;

36. Bahwa dalam hal mengenai USUL menyatakan pendapat menurut Pasal 184 ayat (4) diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan akan menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir;

37. Bahwa perbedaan penentuan jumlah suara dan atau quorum dalam pengambilan keputusan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terhadap hak interplasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat yang ditegaskan dalam UU No. 27 Tahun 2009, telah menimbulkan ketidak pastian hukum, merusak sistem dan tatanan hukum dalam mengambil keputusan pada negara yang menganut sistem demokrasi;

38. Bahwa politik legislasi dalam pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terutama mengenai USUL menyatakan pendapat yang disyaratkan dengan syarat yang lebih berat ini adalah satu kesengajaan untuk menghilangkan atau mengurangi potensi Dewan Perwakilan Rakyat dalam menggunakan hak menyatakan pendapat, khususnya terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

39. Bahwa hal demikian terjadi karena politik legislasi tetap dimonopoli oleh kepentingan politik dan atau pemegang kekuasaan untuk melindungi dan melanggengkan kedudukan pemegang kekuasaan yang pada dasarnya hanya untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan jangka pendek, dengan kecenderungan mengabaikan kepentingan demokrasi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Sehingga undang-undang acap-kali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan tidak berpihak pada kepentingan menegakkan demokrasi;

40. Oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi tegaknya demokrasi dimana anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sepenuhnya merupakan perwakilan rakyat secara lahir dan bathin, benar-benar mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mengandung “cacat sengaja” demi kepentingan politik jangka pendek;

41. Bahwa penggunaan hak untuk menyatakan pendapat ini pada hakekatnya untuk mencegah segala bentuk protes di jalanan yang dapat menimbulkan chaos sebagai akibat kesalahan dalam proses pembentukan undang-undang yang mengabaikan suara rakyat;
42. Bahwa para PEMOHON juga menyadari, apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 7B UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka akan terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai syarat-syarat pelaksanaan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, apabila, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat berkehendak untuk melakukan sidang paripurna untuk menyatakan pendapat. Untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, para PEMOHON memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan problem konstitusi untuk menghindari kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, dengan menetapkan, sepanjang belum ada ketentuan yang secara khusus diatur oleh undang-undang mengenai hak menyatakan pendapat dan quorum hak menyatakan pendapat, maka hak menyatakan pendapat dan quorum hak menyatakan pendapat tersebut harus dimaknai sesuai yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menegaskan hak menyatakan pendapat oleh DPR cukup didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka nyata-nyata terbukti bahwa Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009, telah menimbulkan ketidak-pastian hukum, merusak dan bertentangan dengan prinsip checks and balances sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD Tahun 1945 dan merampas hak demokrasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945, serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945.

C. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang – undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Menyatakan bahwa Pasal 184 UU No. 27 Tahun 2009, tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 7B ayat (3); dan

3. Menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang memenuhi syarat harus didukung sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Kuasa Pemohon




Dr. Maqdir Ismail, S.H.,LL.M Dr. S.F. Marbun. S.H.,M.Hum





M. Rudjito, S.H., LL.M Ari Yusuf Amir, S.H., M.H





Dasril Affandi, S.H., M.H Mirza Zulkarnain, S.H., M.H





Sugito, S.H Masayu Donny Kertopati, S.H





Ade Kurniawan, S.H

Tidak ada komentar: