Senin, 17 Desember 2007

Ironi Pimpinan Bank Sentral di Indonesia

Suara Karya Selasa, 18 Desember 2007
Ironi Pimpinan Bank Sentral di Indonesia(Bagian kedua dari dua tulisan)

Oleh Maqdir Ismail

Ironi, tampaknya sangat melekat, dan seperti mejadi satu kesatuan dengan pimpinan bank sentral di Indonesia. Ironi itu sepertinya berimpit dengan jabatan tinggi di Bank Indonesia. Paling kurang ada tujuh fakta yang dapat dicatat sebagai ironi dalam kepemimpinan Bank Indonesia.
Fakta pertama, ketika masih bernama De Javasche Bank di tahun 1951, Presiden De Javasche Bank Dr Houwink berhenti dari jabatannya karena berselisih dengan pemerintah Indonesia, yang waktu itu menghendaki dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank. Kemudian kedudukan Dr Houwink diisi oleh salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Mr Sjafruddin Prawiranegara, atas persetujuan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia;
Fakta kedua, pemberhentian Mr Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia terjadi karena beliau dituduh ikut dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Fakta ketiga, Mr Loekman Hakim berhenti dari jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia karena merasa dilangkahi oleh pemerintah yang direpresentasikan oleh Perdana Menteri Ir Djuanda, sebagai Ketua Dewan Moneter dalam melakukan sanering di tahun 1959, tanpa membicarakan kebijakan moneter tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Fakta keempat, Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral Indonesia T Jusuf Muda Dalam, adalah Gubernur Bank Indonesia yang paling banyak dihujat, karena dianggap sebagai biang-keladi merosotnya ekonomi Indonesia pada masa Orde Lama. Dia juga dituding sejak tahun 1964 hingga tahun 1965 lebih banyak menggunakan kredit untuk membiayai kepentingan sendiri dan keperluan presiden.
Fakta kelima, Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono adalah Gubernur Bank Indonesia yang diberhentikan menjelang masa jabatannya berakhir. Selain itu, dia adalah juga seorang Gubernur Bank Indonesia yang ditengarai bermasalah dan dianggap bertanggung jawab terhadap pengucuran BLBI. Penyidikan perkara Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono dihentikan karena diangap bukti tidak cukup. Masih terkait dengan pengucuran BLBI pada masa J Soedradjad Djiwandono memimpin Bank Indonesia, tiga orang direktur Bank Indonesia masing-masing akhirnya dihukum 1,5 tahun penjara.
Fakta keenam, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mengalami penahanan beberapa bulan dan diadili, karena diduga terlibat dalam "skandal Bank Bali", meskipun dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh pengadilan. Catatan Syahril Sabirin sendiri mengungkap bahwa perkaranya berasal dari desakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengundurkan diri, kemudian dijanjikan untuk diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung atau duta besar.
Desakan Presiden Abdurrahman Wahid ini didasari oleh keinginan untuk mengganti Gubernur Bank Indonesia, namun desakan ini diabaikan oleh Gubernur Syahril Sabirin. Dia menolak dan melawan desakan mundur dari Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, menggunakan ketentuan UU No 23 Tahun 1999 tentang Pemberhentian Anggota Dewan Gubernur yang hanya dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan atau berhalangan tetap. Oleh pengadilan, Syahril Sabirin dianggap tidak terbukti melakukan tindak pidana, sehingga dia mengakhiri masa jabatannya sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Jabatannya lebih panjang dari masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Fakta ketujuh, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pada akhir tahun 2006 menyampaikan laporan kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya dugaan korupsi dan penyuapan dalam penggunaan dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar. Itu sehubungan dengan permasalahan hukum yang dihadapi mantan gubernur dan direksi Bank Indonesia, serta penyelesaian BLBI dan amandemen UU NO 23 Tahun 1999. Dalam Laporan Ketua BPK ini, yang diduga telah melakukan penyimpangan dan berindikasi telah melakukan tindak pidana korupsi adalah Dewan Gubernur Bank Indonesia. Penerima dana diseminasi dalam laporan ini adalah anggota DPR dari komisi IX.
Ironinya, salah satu dari orang yang memberikan persetujuan untuk melakukan diseminasi kepada anggota DPR untuk menyelesaikan BLBI dan amandemen UU N0.23 Tahun 1999 itu adalah sang pelapor Anwar Nasution, yang ketika itu menduduki jabatan sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Jika Laporan Ketua BPK ini mengandung kebenaran, dalam arti ada bukti formal yang kuat, ada pengakuan dari kurir, ada penerimaan uang yang dapat ditelusuri bahwa dana dari YPPI ini digunakan sebagai "sogok" untuk membeli keputusan dari DPR, maka ini akan menjadi skandal bank sentral abad ini. Bukan hanya Gubernur Bank Indonesia yang akan menjadi tersangka, tetapi juga para deputinya dan semua pejabat Bank Indonesia yang terlibat juga akan menjadi tersangka.
Dan, sudah barang tentu anggota DPR yang menerima uang akan merasakan panasnya kursi pesakitan. Namun, jika laporan Ketua BPK ini tidak mengandung kebenaran, karena dana dari YPPI untuk diseminasi kegiatan, maka ini akan menjadi cermin betapa tidak kredibelnya Ketua BPK. Laporan ini tidak sesuai dengan UU Bank Indonesia, yang mewajibkan BPK melaporkan terlebih dahulu kepada DPR hasil pemeriksaan laporan keuangan Bank Indonesia. Jika laporan ini tidak mengandung kebenaran, maka laporan ini paling kurang akan menjadi pengaduan palsu yang diancam oleh Pasal 317 atau Pasal 318 KUH Pidana dengan ancaman pidana paling lama empat tahun penjara. (Habis)***
Penulis adalah pengacara

Minggu, 16 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik

Suara Karya Senin, 17 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik(Tulisan pertama dari dua tulisan)
Oleh Maqdir Ismail

Sejarah Bank Indonesia (BI) adalah sejarah yang panjang. Sejarah yang penuh dengan liku-liku. Bahkan sejarah mencatat bahwa Bank Indonesia termasuk bank sentral yang didirikan pada abad ke 19. BI didirikan dengan nama De Javasche Bank pada tanggal 24 Januari 1928, dengan tugas berat menanggulangi kesulitan ekonomi Hindia Belanda. Kesulitan demi kesulitan dilalui hingga masa pendudukan Jepang.
Kontroversi tentang Bank Indonesia bukanlah masalah baru. Hal ini sudah terjadi pada masa awal kemerdekaan, dan terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Kalau dirunut ke belakang, ironi tentang bank sentral Indonesia ini sudah melekat dengan keberadaannya. Meskipun Indonesia telah merdeka, hingga tahun 1951 De Javasche Bank tetap menjadi bank yang diatur dan tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terjadi karena dalam Konferensi Meja Bundar De Javasche Bank disepakati sebagai bank sentral, sedangkan Bank Negara Indonesia (1946) diberi tugas sebagai bank pembangunan.
Ironi berawal ketika tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan Republik Indonesia Jusuf Wibisono melontarkan kebijakan pemerintah Indonesai untuk melakukan nasionalisasi terhadap De javasche Bank, yang pada saat itu masih merupakan bank swasta. Kebijakan ini tentu tidak dapat diterima oleh Dr Houwink sebagai presiden De Javasche Bank, karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal 19 keputusan Konferensi Meja Bundar.
Kedaan ini menimbulkan sengketa antara Presiden De Javasche Bank dan Pemerintah Indonesia yang berujung pada pengunduran diri Dr Houwink, karena merasa tidak dipercaya oleh pemerintah.
Salah seorang penentang nasionalisasi ini adalah Mr Sjafruddin Prawiranegara, yang khawatir kalau nasionalisasi dilaksanakan De Javashe Bank tidak bekerja secara efisien, sehingga berpengaruh buruk terhadap kehidupan ekonomi. Sedangkan yang setuju nasionalisasi adalah A Karim, karena dengan nasionalisasi ini akan menjadikan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah dalam mengambil keputusan dan dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi semua bank di Indonesia dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
Ironi nasionalisasi ini berakhir setelah dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank, pada masa kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang diangkat menggantikan Dr Houwink.
Ironi lain berlanjut, ketika Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara diberhentikan oleh pemerintahan Presiden Soekarno atas usul Ketua Dewan Moneter dalam rapat kabinet tanggal 30 Januari 1958, karena dituduh terlibat dalam PRRI/Permesta.
Pengganti Sjafruddin Prawiranegara adalah Mr Loekman Hakim yang diangkat sejak tanggal 8 April 1958 hingga mengundurkan diri pada bulan Agustus 1959, karena merasa wewenangnya dilangkahi oleh pemerintah. Kenapa? Beliau tidak diajak berunding oleh Perdana Menteri Ir H Djuanda yang melakukan sanering pada tanggal 25 Agustus 1959. Sejak saat itu Bank Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, terlebih lagi setelah era Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Jusuf Muda Dalam diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia, pangkat yang juga disandang oleh beliau adalah menteri urusan bank sentral. Pada masa itu diintroduksi fungsi baru dari Bank Indonesia, yaitu bank berjuang. Tugasnya bukan hanya mempertahankan stabilitas moneter dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga sebagai alat mencapai tujuan politik, bank menjadi alat revolusi. Mottonya, bank berjuang di bawah "Pemimpin Besar Revolusi".
Ketika masa Orde Baru, Bank Indonesia sebagai bank sentral bertugas membantu pemerintah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan rupiah. Selain itu juga bertugas mendorong kelancaran produksi, pembangunan dan memperluas kesempatan kerja. Bank Indonesia hanya menjalankan kebijakan moneter yang dirumuskan oleh pemerintah melalui dewan moneter. Kedudukan gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat tinggi disamakan dengan menteri negara.
Dalam era reformasi, Bank Indonesia dijadikan bank sentral yang independen sebagaimana disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang dinyatakan dalam butir 22 Letter of Intent (LOI) II tanggal 15 januari 1998. Independensi diberikan, karena selama ini Bank Indonesia selelau digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan kekeuasaan. Independensi Bank Indonesia ini kemudian dituangkan dalam UU Bank Indonesia No 23 Tahun 1999.
Apa yang hendak dikemukakan dari sejarah tersebut adalah bahwa selama hayatnya Bank Indonesia selalu berimpit dengan kepentingan politik pemerintah. Bahkan tidak jarang digunakan untuk kepentingan politik, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Independensi yang diberikan kepada bank sentral, khususnya Bank Indonesia pada era reformasi, adalah untuk menghindarkan bank sentral digunakan untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, terutama agar bank sentral tidak digunakan untuk mencetak uang agar dapat membeli kekuasaan pada masa pemilihan umum (pemilu). Mengingat pemilu tidak terlalu lama lagi, sepatutnya independensi Bank Indonesia tidak diganggu gugat demi apa pun, terutama tidak boleh diganggu untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara membeli suara rakyat. (Bersambung)***
Penulis adalah pengacara

Kamis, 22 November 2007

Implikasi Putusan Bebas Kasus Korupsi dan Illegal Logging

Implikasi Putusan Bebas Kasus Korupsi dan Illegal Logging
Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia[1]
Oleh: Maqdir Ismail[2]
I. Latar Belakang
Korupsi bukan sesuatu fenomena yang baru di dunia. Bisa jadi korupsi itu sama tuanya dengan keberadaan pemerintah yang pernah ada di dunia. Kautilya, seorang yang pernah menjadi Perdana Menteri di India, menulis buku Arthastra yang membahas korupsi lebih dari 2000 tahun lalu. Ada kalimat yang sangat terkenal dan cukup sering dikutip oleh banyak penulis dari buku tersebut, “Just as it is impossible not to taste the honey (or the poison) that finds itself at the tip of the tongue, so it is impossible for a government servant not to eat up, at least, a bit of the king’s revenue”.[3] Pernyataan ini menunjukkan bahwa korupsi itu seolah-olah melekat erat dan seperti menjadi satu kesatuan dengan kehidupan pekerja pada negara.
Di Indonesia, menurut Amin Rahayu, “budaya-tradisi korupsi” sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka, terutama didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Korupsi di masa lalu berjalin berkelindan dengan perebutan kekuasaan, sebagaimana terjadi di Singosari, Majapahit, Demak, bahkan kehancuran Sriwijaya tidak terlepas dari prilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.[4]
Ini semua menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan sesuatu yang baru, sehingga tidak salah kalau pada tahun 1970 Bung Hatta menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.[5] Hal ini paling tidak tercermin dari banyaknya kosa-kata yang digunakan dan dianggap sebagai bentuk pengesahan korupsi, seperti uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, biaya transportasi atau tanda terimakasih.
Jika pernyataan Bung Hatta ini benar adanya, maka bangsa Indonesia menganggap bahwa korupsi sesuatu hal yang wajar, sesuatu yang tidak tercela, karena wajar dan sudah menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, korupsi dianggap sebagai satu keniscayaan. Dalam persfektif seperti ini menjadi wajar juga kalau banyak putusan pengadilan yang mengadili perkara korupsi, membebaskan para koruptor, karena korupsi dianggap tidak ada dan tidak terbukti.
Sebagai negara berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka pemberantas korupsi melalui pengadilan, harus terus menerus dilakukan tanpa lelah dan rasa putus asa. Sebab memberantas korupsi itu tidak cukup hanya dengan berwacana dan menambah panjang lembaga pemberantasan korupsi, tetapi yang lebih penting adalah sikap konsisten dalam memerangi korupsi. Pemberantasan korupsi itu sekarang ini bukan lagi janji kampanye, bukan pula sarana untuk memperbaiki image, tetapi pemberantasan korupsi itu adalah satu kebutuhan dalam menegakkan hukum dan keadilan, karena korupsi itu telah mendatangkan ketidakadilan.
Hal yang penting diingat dalam pemberantasan korupsi ini, harus dilakukan dengan cara yang baik dan terhormat, dalam arti harus melalui suatu peroses penyidikan yang cukup, bukan sekedar asal sidik, asal tahan kemudian serahkan ke penuntut dan ke pengadilan untuk menghukum atau membebaskan terdakwanya.
Agak sedikit berbeda pemberantasan korupsi ini yaitu pemberantasan illegal logging, karena pemberantasan illegal logging baru mulai diwacanakan oleh pengamat dan pemerhati kehutanan di Indonesia pada tahaun 1980-an, meskipun belum mendapat perhatian yang cukup selama pemerintahan Orde Baru. Bahkan ada yang beranggapan bahwa terjadinya illegal logging pada masa pemerintahan Orde Baru karena adanya “keterlibatan” pemegang kekuasaan yang mempunyai kepentingan bisnis dalam illegal logging ini. Dan kegiatan illegal logging itu dalam praktiknya menjadi satu kesatuan dengan korupsi, yang dimulai dari sejak pembagian Hak Pengusahaan Hutan sampai pada proses pemberian jatah tebangan setiap tahunnya.
Dalam masa Pemerintahan Presiden Habibie, Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan masa Pemeritahan Megawati Soekarnoputri, pemberantasan terhadap illegal logging termasuk prioritas utama dalam sektor kehutanan, tetapi pada masa pemerintahan ketiga Presiden ini kegiatan illegal logging bukannya berhenti, tetapi semakin marak. Ketidakmampuan pemerintah memberantas illegal logging tidak saja menambah besar kerugian negara, tetapi juga kerusakan lingkungan sehingga ongkos yang harus dibayar atas seluruh kerusakan itu sangat mahal untuk masa depan negeri ini.
Lebih kontroversi lagi, karena masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR justru mengesahkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang ijin penambangan di kawasan hutan lindung beserta peraturan pemerintahnya yang menetapkan ijin penambangan untuk 13 perusahaan pertambangan. Meskipun sebelumnya sempat ditentang kalangan pemerhati lingkungan, tetap saja perpu tersebut disahkan. Inilah salah satu bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam melakukan pemberantasan illegal logging, meskipun pemberantasan illegal logging merupakan program prioritas pemerintah dalam bidang kehutanan. Kontroversi-kontroversi yang lahir akibat tidak tegasnya sikap dasar pemerintah ini bukan hanya berdampak buruk bagi program pemerintah, tetapi hal semacam ini dapat melahirkan sikap resistensi yang kuat dari masyarakat atau sikap yang tidak peduli dari masyarakat.
Yang pasti akibat buruk yang timbul dari adanya illegal logging ini bukan hanya kerugian secara ekonomi yang yang besar diderita oleh negara, tetapi juga adalah kerusakan hutan yang menimbulkan banjir dengan korban manusia, seperti terjadi di Aceh dan Sumatra Utara. Upaya penegakan hukum untuk memberantas illegal logging yang berdampak buruk bagi kehidupan ini, dianggap tidak didukung sepenuhnya oleh pengadilan, karena banyaknya terdakwa perkara illegal logging dibebaskan oleh pengadilan. Namun pihak Mahkamah Agung, misalnya, membantah bahwa pengadilan berlaku tidak patut dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa perkara illegal logging, karena menurut Ketua Mahkamah Agung adalah tidak mungkin menjatuhkan hukuman yang tinggi terhadap orang yang bukan menjadi pemilik atau cukong dalam illegal logging.
Untuk menghindari hilangnya semangat pemberantasan illegal logging pemerintahan SBY-JK mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005, sebagai instruksi untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal. Instruksi ini bertujuan untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Khusus kepada Menteri Kehutanan diinstruksikan untuk meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait sesuai dengan ketentuan yang ada, termasuk melakukan kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi; menetapkan dan memberikan insentif bagi yang berjasa dalam pemberantasan penebangan kayu ilegal dan peredarannya; mengusulkan kepada Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat penebangan kayu secara ilegal.
Pemberantasan korupsi oleh pemerintah SBY-JK bukan hanya dijadikan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah,[6] tetapi juga dijadikan sebagai rencana pembangunan jangka panjang.[7] Hal yang sama terhadap illegal logging.[8] Untuk melakukan pemberantasan korupsi pemerintah membentuk Timtas Tipikor berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005. Begitu juga halnya dengan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, Presiden mengeluarkan Instruksi No. 4 Tahun 2005. Ini semua menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi dan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan.
Dengan apa yang digambarkan diatas terlihat adanya korelasi yang jelas antara korupsi dan illegal logging, karena ilegal logging ini membantu perkembangan korupsi.[9] Paling-kurang, dalam bebas atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa dalam perkara-perkara illegal logging ada dugaan korupsi. Begitu juga halnya lahirnya kemudahan-kemudahan pada saat pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan atau pengawasan terhadap kegiatan pengusahaan hutan tercium aroma kolusi dan sogok menyogok.
II. Permasalahan
Terlepas dari benar dan tidak benarnya alasan bahwa bebas atau ringannya hukuman pelaku korupsi dan illegal logging di Indonesia karena ada korupsi di lembaga peradilan, yang pasti bahwa korupsi tetap saja terjadi seperti halnya illegal logging, meskipun pemerintah tidak kenal lelah membentuk tim dan melakukan upaya memerangi korupsi dan illegal logging.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah selama Indonesia merdeka dalam melakukan pemberantasan korupsi ?
2. Apa saja langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemberantas korupsi ?
3. Apa dan dimana letak korelasi antara korupsi dan illegal logging di Indonesia?
4. Apa yang menjadi penyebab gagalnya sistem pencegahan korupsi dan illegal logging meskipun pemerintah dan msyarakat telah berusaha mencegahnya dengan cara-cara yang mungkin?
5. Apakah perkara korupsi itu dan illegal logging sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ? Apa implikasi putusan bebas perkara korupsi dan illegal logging terhadap hak asasi manusia ?
III. Pembahasan
1. Usaha Pemerintah dalam meberantas korupsi
Sejarah pemberantasan Korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama dilakukan. Secara formal pembentukan badan pemberantasan korupsi itu sudah dimulai sejak tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957.[10] Kemudian ini berlanjut dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1960, dimana upaya pemberantasan korupsi ini dipimpin oleh Jaksa Agung Soeprapto. Kegiatan pemberantasan korupsi ini kemudian dilanjutkan dengan ”Operasi Budhi”, yang dipimpin AH. Nasution dan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro, dengan sasaran lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan praktik korupsi. Operasi Budhi ini mengalami hambatan karena adanya perlindungan dari Presiden terhadap orang-orang tertentu.[11] Tidak lama kemudian Operasi Budhi ini dibubarkan dan diganti dengan KOTAR (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin Presiden Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan Letjen A. Yani. Pemberantasan korupsi pada masa itu juga tidak menghasilkan apapun.[12] Kegiatan pemberantasan korupsi ini dilanjutkan kembali dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 228/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantas Korupsi. Sebagai tindak lanjut dari Pidato Kenegaraan RI Presiden Soeharto di hadapan anggota DPRGR/MPRS pada 16 Agustus 1967, yang mempersalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi, karena kebijakan ekonomi dan politik berpusat di istana.[13]
Pada masa Orde Baru dengan maksud untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi, dan supaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efisien maka dikeluarkan Keputusan Presiden No.12 Tahun 1970. Kemudian pemerintah membentuk Komisi Empat yan terdiri dari Wilopo, S.H; I.J Kasimo; Anwar Tjokroaminoto, dan Prof. Ir. Johannes; dengan Mohammad Hatta sebagai Penasehat.[14] Tugas dari Komisi Empat ini adalah melakukan penelitian, pengkajian terhadap kebijakan serta melihat hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus besar yang pernah menjadi pemberitaan diawal tahun 70an ini adalah kasus pertamina, meskipun tidak sampai ke pengadilan. Untuk menunjukkan keseriusan dalam pemberantas korupsi ini maka di tahun 1971 diundangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan memerangi korupsi pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa yang tercatat cukup besar adalah kasus-kasus yang diungkap oleh Operasi Tertib (Osptib) yang mulai melakukan operasinya pada bulan Juli 1977 dengan publikasi yang luar biasa.[15] Operasi ini didasarkan kepada Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1977.[16] Operasi ini di tingkat pusat secara operasional dipimpin Pangkopkamtib dibantu oleh Kapolri, Jaksa Agung dan para Irjen Departemen, sedangkan di tingkat daerah ada Opstibda yang dipimpin Laksusda, Kapolda, Kajati dan Irwilda. Ada beberapa kasus menarik perhatian masyarakat yang sampai ke pengadilan hingga tahun 1981. Di tahun 1982 pemerintah membentuk Tim Pemberantas Korupsi yang dipimpin oleh Menpan JB. Soemarlin, meskipun tidak ada catatan kebehasilan dari tim ini.
Komitmen memberantas korupsi puncaknya pada Sidang Umum MPR pada bulan Agustus Tahun 1998 yang melahirkan Tap MPR XI/MPR/1998, yang secara tegas menghendaki adanya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka diundangkanlah Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu diundangkan pula Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai upaya melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Sebagai tindakan nyata untuk memberantas korupsi kemudian dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000. Tim ini dianggap oleh banyak pihak tidak efektif, karena kurangnya dukungan dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya TGPTK dibubarkan tahun 2001, setelah ada gugatan judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung.[17]
Sementara itu dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka dibentuk pula Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) berdasarkan Keputusan Presiden No. 127 Tahun 1999. Salah satu kasus yang menarik perhatian masyarakat yang dilaporkan oleh KPKPN kepada Kepolisian Republik Indonesia adalah kasus kepemilikan rumah Jaksa Agung (waktu itu) M. A. Rahman yang tidak dilaporkan ketika mengisi laporan kekayaan.[18]
Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.[19] Wewenang yang luas itu termasuk, memonitor penyelenggaraan pemerintah serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa tertentu. Dalam waktu relatif singkat sudah ribuan laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter oleh Abdullah Puteh, Suap Anggota KPU Mulyana W Kusumah dan kasus suap Probosutedjo.
Dalam masa pemerintahan Presiden SBY-JK, sejak awal pemerintahannya Presiden sudah mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantas Korupsi, dan diikuti dengan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberatansan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian disusun pula Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini di bawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji. Tugas pokok dari tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu tim ini juga bertugas untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta menelusuri aset dalam rangka pengambalian keuangan negara secara optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2005, Presiden mengungkapkan hasil kinerja pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi, antara periode Oktober 2004 sampai April 2005, yaitu Kejaksaan telah melimpahkan sebanyak 233 kasus tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Timtas Tipikor menyidik 7 kasus dugaan korupsi. Sedangkan KPK hingga minggu kedua bulan Agustus tahun 2005 telah menangani 27 kasus korupsi di tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan kasasi.[20] Bahkan menurut Catatan Kinerja Kejaksaan tahun 2006, sepanjang tahun 2006 kejaksaan melakukan penyidikan terhadap 1.758 kasus korupsi, yang terdiri dari 921 kasus sisa tahun 2005 dan sebanyak 837 kasus baru.[21]
Segala upaya pemerintah untuk memberantas korupsi tidak menghilangkan kritik masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi kalau dihubungkan dengan survei corruption perception index (cpi) yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional yang beranggapan bahwa Indonesia masih negara terkorup di dunia.[22] Seperti pernah dikemukakan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusuko di tahun 1980-an kebocoran anggaran pembangunan mencapai 30 persen dari anggaran negara, bahkan Kwik Kian Gie mensinyalir kebocoran anggaran sampai 40 persen dari anggaran negara.[23]
Jika sinyalemen ini benar, maka kualifikasi kejahatan korupsi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan tidak terlalu salah, karena korupsi “merampas hak-hak publik dan juga merampas potensi bangsa untuk meraih produktivitas”. Bahkan menurut catatan Simon Saragih, Kwik Kian Gie berpendapat bahwa kerusakan oleh korupsi tidak lagi terbatas perekonomian, tetapi sudah merusak pemikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. [24]2. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Illegal LoggingSedangkan pemberantasan illlegal logging, memang belum terlalu lama dilakukan, namun dari catatan yang ada, kepedulian masyarakat terhadap perusakan dan penggundulan hutan di Indonesia, mulai muncul dari kalangan LSM, pakar dan pengamat pada pertengahan tahun 1980-an.[25] Secara faktual pemerintahan Orde Baru, tidak terlalu memberikan perhatian yang cukup terhadap illegal logging sebab rezim Orde Baru dianggap tertarik pada keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi hutan, untuk mendapat dukungan politik dan mendanai proyek yang tidak tercatat secara resmi.[26] Kepentingan ekonomi pemerintah Orde Baru terhadap eksploitasi hutan dapat dilihat dari Undang-Undang Pokok Kehutanan yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 diundangkan pada Mei 1967, kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 (22/1967) Tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan iuran Hasil Hutan. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan termasuk undang-undang generasi pertama bersama Undang-Undang Penanaman Modal Asing[27] dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri[28] pada masa kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, maka berarti Undang-Undang Pokok Kehutanan termasuk undang-undang yang menjadi salah satu magnet penarik investor asing maupun investor dalam negeri, karena pemanfaatan hutan dan industri pengolahan kayu merupakan instrumen penting dan berorientasi pada pembangunan ekonomi.[29]Dalam praktiknya pengelolaan kehutanan secara komersil ini sepenuhnya mendapat dukungan dari tentara atau polisi dan pejabat daerah yang umumnya menjadi pemegang konsesi, rekan usaha, dan penyelenggara perusahaan yang bergerak dalam bidang kehutanan dan sebagai penyokong keuangan dan memberikan perlindungan penebangan liar.[30]Peranan tentara, polisi dan pejabat sipil dalam melindungi industri kehutanan sangat penting dari sisi ekonomi, karena itu hampir tidak ada pertanggung gugatan terhadap keterlibatan mereka secara formal maupun tidak formal selama masa pemerintahan Orde Baru dan sesudahnya.[31] Perlindungan dari tentara, polisi, dan pejabat sipil ini makin menumbuhsuburkan berbagai bentuk penebangan liar, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun untuk kepentingan ekspor.[32]Akibat dari keadaan ini, peredaran kayu hasil illegal logging ini menjadi semakin teroraganisir, karena melibatkan banyak aktor dan jaringan yang kuat. Jaringan itu terdiri dari petugas atau pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisisan, TNI AD, TNI AL, Perla, Pemda, Kejaksaan, Pengadilan serta politikus. Segala cara untuk menanggulangi illegal logging ini telah dilakukan, tetapi yang terjadi penebangan liar ini semakin merajalela hingga ke hutan lindung dan kawasan konservasi.[33]Sebagai akibat dari maraknya illegal logging ini menurut Bank Dunia sejak tahun 1985 – 1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun, sehingga hutan produksi yang tersisa tinggal 20 juta hektar,[34] dari sekitar 62 juta hektar hutan yang telah diserahkan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.[35] Kerusakan hutan ini semakin bertambah pada tahun 2000 menjadi 1, 6 juta hektar dan meningkat menjadi 3,6 juta hektar pertahun antara tahun 2001 – tahun 2004, bahkan menurut laporan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Watch, illegal logging ini menyumbang 67 juta M3 kayu setiap tahunnya.[36] Fakta ini menunjukkan betapa seriusnya kerusakan hutan akibat illegal logging, karena dalam tahun 2005 misalnya kasus illegal logging yang tercatat ada 2.895 kasus dan menurun menjadi 916 kasus pada tahun 2006.[37]Upaya Departemen Kehutanan, Polri, dan Kejaksaan untuk menghukum para pelaku illegal logging di sidang pengadilan ternyata membuat mereka kecewa. Dari 27 kasus hasil Operasi Hutan Lestari II di Papua, 13 kasus dijatuhi hukuman antara 7 bulan hingga 2 tahun, sedangkan 14 perkara lagi para terdakwanya dibebaskan oleh hakim.[38]Dengan adanya terdakwa yang dibebaskan atau dihukum ringan oleh pengadilan dalam perkara illegal logging ini membuat banyak pihak marah, bahkan Menteri Kehutanan MS Kaban, meminta Komisi Yudisil untuk memeriksa para hakim yang membebaskan para terdakwa, karena ada dugaan aparat memperjualbelikan hukum dengan para terdakwa. Hal ini cukup beralasan, karena dari 155 kasus yang disidik oleh Polri, pada tahun 2005 hanya 10 kasus yang dibawa ke pengadilan, dan dari 10 kasus ini 9 kasus terdakwanya dibebaskan.[39]Ada ‘gunjingan’ bahwa bebas atau terdakwanya dihukum ringan dalam perkara illegal logging ini, karena ada jual beli perkara, atau karena pengadilan dianggap tidak bersungguh-sungguh memberantas illegal logging. Terhadap anggapan ini Ketua Mahkamah Agung menyatakan hukuman “itu akan ringan kalau yang dibawa ke pengadilan hanya supir dan pembantunya”. Sedangkan cukong atau pemilik kayu jarang perkaranya yang sampai ke pengadilan. Meskipun diakui juga ada Majelis Hakim yang berbuat ceroboh dan berlaku tidak layak dalam perkara illegal logging.[40]Dari segi ekonomi illegal logging ini akan mendatangkan keuntungan finansial lebih baik bila dibandingkan dengan penebangan yang dilakukan secara legal. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari biaya operasional mulai dari penebangan hingga sampai ke pabrik pengolahan kayu, dimana untuk penebangan kayu legal biayanya sebesar US. 85/M3, sedangkan untuk kayu hasil penebangan illegal hanya mengeluarkan biaya sebesar US.32/M3.[41]Meskipun illegal logging ini memberikan kontribusi pada lapangan kerja, tetapi upah kerja pada kegiatan ini lebih murah dari upah kerja kegiatan legal, karena tidak adanya standar upah kerja.[42]
Kerusakan hutan sebagai akibat illegal logging sangat besar, menurut Walhi setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging (penebangan yang merusak). Sedangkan menurut perhitungan Departemen Kehutanan kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah setiap tahun. Dengan mengambil contoh Kalimantan Timur CIFOR menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan.[43] Contoh lain akibat kerusakan hutan ini adalah banjir Aceh 2006, yang diprediksi sejak lama, begitu juga dengan banjir di kawasan wisata Kali Bahorok, Langkat Sumatra Utara tahun 2003 yang menewaskan 200 orang adalah sebagai akibat dari penjarahan hutan di Taman Nasional Gunung Lauser.[44]
Kerusakan hutan ini ternyata juga berdampak pada kerusakan ketenangan hidup dan hak atas kehidupan manusia dari ancaman banjir misalnya, atau kerusakan lingkunan. Pelanggaran terhadap hak atas hidup ini adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights.[45]
3. Korelasi antara korupsi dan Illegal logging
Dalam melakukan pembahasan terhadap korelasi antara korupsi dan illegal logging, yang akan dibahas terlebih dahulu adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara korupsi dan illegal logging, kemudian akan dibahas pula pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari adanya korupsi dan illegal logging dan terakhir yang akan dibahas disini apakah undang-undang korupsi bisa menjangkau perkara illegal logging.
a. Korelasi Antara Perkara Korupsi dan Illegal Logging
Banyak diskusi sudah dilakukan tentang hubungan simbiotik antara korusi dan illegal logging. Khususnya untuk Indonesia hal ini dianggap relevan, karena karupsi itu telah berurat akar, seperti halnya illegal logging yang sudah merajalela.[46] Korupsi terjadi hampir disemua lini pemerintahan, dan badan usaha milik negara atau milik daerah. Kalau pun ada yang menyatakan sulit menyebut kerjasama atau sogok antara swasta dan oknum pemerintah sebagai korupsi, paling tidak yang gampang membuktikannya adalah pemberian suap. Suap yang terjadi karena untuk mengesahkan satu perbuatan yang melanggar hukum, atau karena pihak swasta dan oknum pemerintah bekerjasana untuk “mengambil” uang pemerintah seperti dalam restitusi pajak atau tidak membayar kewajiban kepada pemerintah seperti membayar iuran hasil hutan.
Dalam United Nations Conventions against Corruptions[47] suap itu dikategorikan sebagai korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 (a), janji, tawaran atau pemberian kepada pejabat publik, langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak sepatutnya, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang lain atau badan lain, sehingga pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas resmi mereka; (b) Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, yang tidak sepatutnya, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang lain atau badan lain, agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas mereka.
Illegal logging ini terjadi karena ada penyalahgunaan wewenang, ada kolusi dalam penerbitan izin tebang, kolusi dalam penerbitan atau perpanjangan Surat Keterangan Sah Hasil Hutan, dan juga adanya keterlibatan pejabat sipil, polri dan tentara yang menjadi beking atau membantu mencarikan dukumen asli tapi palsu dalam pengangkutan kayu hasil illegal logging tersebut dari lokasi penampungan menuju pabrik Plywood atau tempat penggergajian dan tindakan-tindakan ini seolah-olah mengesahkan keberadaan kayu ilegal menjadi kayu yang berdokumen, sehingga hal ini merugikan negara yang sangat besar. Modus yang lain adalah membiarkan penebangan kayu pada wilayah yang disebut sebagai hutan lindung dan taman nasional, atau juga membiarkan terjadi penebangan diluar areal blok tebangan yang bisa ditebang pada Rencana Kerja Tahunan. Sebagimana dicatat oleh Human Rights Watch, berdasarkan hasil penelitian World Wide Fund for Nature (WWF) dan Department for International Development (DFID) dari Inggris, yang melakukan penelitian illegal logging di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Riau, bahwa dari 23 penggergajian liar, 12 diantaranya didukung oleh oknum militer, 1 oleh oknum polisi dan 5 mendapat dukungan dari pejabat Departemen Kehutanan.[48]
Seperti dikemukakan oleh Ir. Arman Malolongan, bahwa kayu ilegal yang ditebang setiap tahun mencapai 50 juta meter kubik setiap tahun.[49] Pada pihak lain Departemen Kehutanan menghitung kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah setiap tahun. Bahkan untuk Kalimantan Timur CIFOR menyatakan telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal.[50] Terlepas dari akurasi besarnya kerugian yang diderita setiap tahun, yang pasti ada kerugian yang sangat besar sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari illegal logging.
Dengan demikian maka menjadi sangat jelas adanya korelasi antara illegal logging dan korupsi, karena penyalahgunaan wewenang, ada kerugian negara dan ada yang diuntungkan, baik karena terima sogok, maupun karena tidak membayar pajak, termasuk tidak membayar iuran hasil hutan dan tidak membayar dana reboisasi. Kalau hal ini dihubungkan dengan pengertian korupsi sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang, maka terminologi korupsi telah terpenuhi dalam tindakan illegal logging.
b. Keuntungan Institusi dan Pribadi
Hal yang tidak bisa disangkal bahwa dengan terjadinya illegal logging, maka pasti ada pihak yang diuntungkan. Ada institusi yang memperoleh kesempatan tidak membayar kewajiban, ataupun kalau mereka melakukan pembayaran kewajiban, maka tidak sepenuhnya kewajiban itu mereka laksanakan, karena adanya kerjasama antara pejabat negara dan swasta sehinga pihak swasta. Pada sisi yang lain, sudah menjadi jamak setiap kerjasama antara pihak swasta dengan pejabat negara dalam memberikan kemudahan atau fasilatas, selalu mendatangkan keuntungan bagi pejabat, sebagai uang lelah atau sebagai uang rokok, atau sebagai biaya kemitraan, biaya transportasi atau tanda terimaksih.
Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan swasta atau oknum perusahaan swasta dan penerimaan uang oleh oknum pejabat negara ini dalam undang-undang pokok tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap sebagai salah satu unsur dari adanya korupsi. Sehingga tidak jarang tidak dapat dibuktikannya ada pihak swasta atau pejabat negara yang diuntungkan dari satu kebijakan, membebaskan mereka dari adanya dakwaan korupsi.
Dengan demikian maka untuk membuktikan ada atau tidaknya korupsi dari satu kebijakan, maka keuntungan itu harus dibuktikan, harus faktual. Tidak bisa dengan menggunakan asumsi, bahwa satu kebijakan lahir karena adanya dugaan bahwa ada pihak yang diuntungkan dan ada pejabat mendapat keuntungan sebagai “kick back” keluarnya satu kebijakan. Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ini dapat diartikan perbuatan apa saja seperti mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga karena perbuatannya tersebut si pelaku bertambah kekayaannya. Yang harus diingat bahwa keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain atau korporasi ini harus sama besarnya dengan kerugian negara. Artinya besarnya keuntungan itu harus sama besarnya dengan kerugian negara. Dalam hal menghitung ada tidaknya kerugian negara ini, Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa hal ini harus dilakukan oleh Ahli atau akuntan.[51]

c. Apakah UU Tindak Pidana Korupsi Menjangkau Illegal Logging
Korupsi oleh The World Bank diartikan sebagai “the abuse of public office for private gain”.[52] Kemudian dikatakan pula,
“Public office is abused for private gain when an official accepts, solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even if no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues”.[53]

Ketentuan Pasal 18 (a) United Nations Conventions against Corruptions, menyatakan bahwa janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik, agar pejabat publik menyalahgunakan pengaruhnya untuk memperoleh otoritas atau manfaat tidak semestinya, dan pasal 18 (b), permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain.langsung atau tidak langsung yang merupakan manfaat yang tidak semestinya diperoleh, atau agar pejabat tersebut menyalahgunakan pengaruhnya dengan maksud untuk memperoleh otoritas dan manfaat tidak semestinya.
Dari pernyataan ini jelas yang disebut sebagai korupsi itu adalah setiap tindakan penyalahgunaan kewenangan untuk memperoleh keuntungan pribadi, termasuk diantaranya menerima sesuatu sebagai sogok. Termasuk juga sebagi penyalahgunaan wewenang jika swasta secara aktif melakukan usaha memberi sogok agar dapat mempengaruhi kebijakan publik untuk mendapat keuntungan. Penyalahgunaan kewenangan dapat saja terjadi meskipun tidak ada keuntungan secara pribadi, sepanjang ada pemberian perlidungan serta “perkoncoan” termasuk juga pencurian kekayaan negara.
Jika pengertian korupsi dan bunyi Pasal 18 United Nations Conventions against Corruptions ini dihubungkan dengan pola yang berkembang sehingga terjadi illegal logging, maka tidak bisa tidak illegal logging itu bisa dijerat dengan pasal korupsi, karena United Nations Conventions against Corruptions, itu telah dijadikan sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.


4. Gagalnya Sistem Pencegahan Korupsi dan Illegal Logging
Apabila dilihat dari pemberitaan surat kabar maka perkara korupsi yang terjadi sejak tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, 2005 terungkap 125 dan 2006 terungkap 166 kasus. Dari 166 kasus korupsi di tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp 14,4 triliun.[54] Sedangkan menurut hasil pemantauan ICW[55] selama tahun 2006 terdapat 124 perkara korupsi dengan 361 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di semua tingkatan. Dalam catatan ICW tersebut klasifikasi pelaku korupsi, selama tahun 2006 yang paling banyak menjadi terdakwa dari lingkungan eksekutif (kepala daerah, mantan kepala derah, dinas, sekda dsb) sebanyak 54 perkara. Sedangkan jumlah perkara yang menimpa terdakwa yang berasal dari yudikatif dan swasta berjumlah 70 perkara, masing- masing sebanyak 35 perkara. Dari semua perkara perkara yang telah diperiksa dan divonis oleh pengadilan, sebanyak 39 perkara dengan 116 terdakwa (31,4 %) dijatui vonis bebas oleh pengadilan, sedangkan 85 perkara (68,5 %) divonis bersalah.
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa belum ada efek jera bagi para pelaku korupsi, karena rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa, sebab terdakwa yang dihukum di bawah 2 tahun penjara (37 perkara atau 29,8 %) jauh lebih banyak daripada perkara yang divonis di atas 2 tahun hingga 5 tahun (32 perkara atau 25,8%) maupun perkara yang di vonis di atas 5 tahun (16 perkara atau 12,9%).
Dari catatan Surat kabar pada 2005 terdapat 2.895 perkara dengan tersangka 3.520 orang, yang menurun menurun menjadi 916 perkara pada tahun 2006, dengan 919 tersangka. Sebagai barang bukti bahwa telah terjadi illegal logging maka telah disita sebanyak 15 ribu lebih batang kayu, namun hanya 43 ribu m3 saja yang bisa dilelang, dengan total nilai Rp 33 Miliar. Sedangkan pada tahun 2006, dari 916 perkara sebanyak 13 ribu m3 saja dari 2.106 batang kayu yang disita, dengan total nilai Rp 10 Miliar. Secara umum hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terdakwa pelaku illegal logging rata-rata dihukum tiga bulan penjara.[56] Ada penurunan perkara illegal logging dari tahun 2005 ke tahun 2006, dan penurunan tersebut sebagai bukti adanya keberhasilan dari kegiatan yang dilancarkan dalam pemberantasan illegal logging.
a. Pembenahan Intern yang Tidak Cukup
Terjadinya korupsi dan illegal logging yang menyengsarakan rakyat tidak terlepas dari fakta bahwa reformasi tidak lebih dari wacana. Kalaupun terjadi perubahan pada beberapa Departemen atau terjadi penggantian pimpinan di Daerah sebagai Kepala Daerah, perubahan dan penggantian tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh. Pergantian hanya terjadi pada level atas, tanpa ada perubahan struktur dan kultur organisasi. Yang dilakukan pergantian hanya terhadap menteri atau kepala daerah, sementara perangkat pendukung menteri dan kepala daerah tetap saja orang-orang lama, yang selamanya bekerja dengan pola dan cara kerja yang tidak jauh dari cara-cara yang tidak patut. Paling tidak, kebanyakan pegawai pada tingkat pembantu dekat menteri atau kepala daerah adalah orang yang selama ini menjadi pendukung dan pelaksana kegiatan manipulatif dan koruptif yang dilakukan pada masa pemerintahan terdahulu.
Memang tidak perlu terjadi perubahan besar dalam arti membubarkan satu departemen atau memberhentikan semua pegawai pada satu departemen atau mengganti semua pegawai di pemerintahan daerah, tetapi cukup dengan membuat kebijakan baru dan mengganti pegawai-pegawai kunci dengan pegawai yang baru dan tidak pernah terlibat melakukan “hanky-panky”. Hal ini yang tidak sempat dilakukan secara baik oleh pemerintah selama ini. Sebab dengan tidak adanya pembenahan intern ini, maka pola kerja tidak akan pernah ada perubahan.
b. Tidak Ada Prioritas Kebijakan
Pengembangan wacana dan pemikiran untuk memberantas korupsi memang tidak kurang-kurangnya dikumandangkan oleh semua lapisan pejabat di negeri ini, mulai dari presiden, para menteri dan kepala daerah. Tetapi sayangnya dari wacana dan pemikiran yang berkembang tidak ada yang jelas menjadi prioritas, misalnya pemberantasan korupsi itu akan dimulai dari mana, dengan prioritas perkara seperti apa. Begitu juga dengan pemberantasan illegal logging, fokus pemberantas illegal logging itu akan dimulai dari daerah mana yang akan dilakukan secara intensif.
Hal lain lagi yang nampaknya tidak mejadi prioritas adalah mempersiapkan peraturan yang dapat menjangkau pelaku illegal logging dengan hukum yang keras dan tegas. Meskipun pada awal tahun 2004, sempat berkembang wacana untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal, namun hingga kini perpu tersebut tidak ada lagi kabar beritanya. Akan tetapi yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No.I/2004) tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan kemudian disetujui oleh DPR yang berarti DPR menerima keberadaan Kepres Nomor 41 Tahun 2004 tentang pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di hutan lindung.[57] Sehingga bukan peraturan yang dapat memberikan hukuman yang tinggi kepada pelaku illegal loging yang lahir, tetapi yang datang adalah kesempatan untuk melakukan eksploitasi hutan pada hutan lindung.
c. Parsialitas Tindakan dan Kelemahan Manusia
Secara konseptual upaya pemberantasan korupsi dan pemberantasan illegal logging yang dicanangkan pemerintah akan dilakukan dengan cara terpadu, meskipun dalam pemberantasan korupsi kesan sering tidak sinkron itu terjadi antara penyidik Polri dan Jaksa. Bahkan tidak jarang dalam kasus-kasus korupsi tertentu, kesan rebutan pengaruh dan superioritas dalam melakukan penyidikan terjadi antara penyidik polisi dan kejaksaan. Sehingga berakibat saling menyalahkan dalam berita surat kabar. Hal ini terlihat secara kasat mata dalam kasus dugaan korupsi proyek PT PLN di Borang Sumatra Selatan. [58]
Selain berebut pengaruh sebagai penyidik yang berhasil, sikap seolah-olah paling benar tidak jarang ditunjukkan dalam pemberitaan surat kabar yang melibatkan penyidik polri dan jaksa. Padahal dalam sistem penyidikan kita antara penyidik dan penuntut itu adalah satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan, meskipun kata akhir bahwa satu berkas perkara layak aatu tidak untuk dibawa ke pengadilan sepenuhnya merupakan wewenang dari jaksa sebagai penuntut. Tekanan-tekanan yang diberikan melalui publik opini dan menggambarkan bahwa satu perkara menurut penyidik sudah sempurna, tetapi oleh jaksa dianggap belum sempurna dan tidak cukup bukti, adalah satu bentuk dari sikap yang salah dalam penegakan hukum. Hal ini pasti akan mengurangi respek dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.
Bukan hanya ini yang terjadi, parsialitas dalam mengusut kasus korupsi atau dalam kasus illegal logging tidak jarang juga terjadi. Artinya pengusutan satu kasus tidak jarang hanya dilakukan secara sederhana, hanya dari satu sisi saja. Hal ini umumnya terjadi karena karena ketidak siapan penyidik polri atau penuntut umum. Dalam penyidikan kasus besar sekalipun acap kali, tidak dilakukan penyelidikan yang cukup, sehingga dapat ditemukan hubungan dan keterkaitan satu kasus dengan kasus lainnya. Begitu juga dalam hal melibatkan ahli, dalam banyak kasus korupsi atau illegal logging, peran ahli lebih sering hanya dianggap sebagai aksesoris belaka, bukan bagian atau pihak yang diberi kesempatan untuk mengkaji perkara secara baik terlebih dahulu. Tidak jarang dalam praktik, para penyidik atau penutut merasa dan menunjukkan sikap lebih ahli dari ahli yang diminta keterangan dan bantuannya dalam mengkaji satu kasus. Memang keadaan ini tidak terlepas dari kelemahan manusia, tetapi sebagai organisasi yang besar yang berjalan karena sistem dan melakukan segala kegiatan untuk kepentingan negara, segala bentuk parsialitas dan kelemahan manusia ini dapat dihilangkan dengan jalannya organisasi.
5. Korupsi dan Illegal Logging Sebagai Kejahatan Kemanusiaan dan Dampak Putusan Bebas
Oleh karena kejahatan korupsi dan kejahatan illegal logging merampas dan menghancurkan hak hidup masyarakat, merampas potensi bangsa untuk meraih produktivitas, bahkan menimbulkan kerusakan yang tidak hanya terbatas pada kebocoran dana pembangunan dan perekonomian, tetapi sudah merusak pemikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak, maka sangatlah layak kalau dikatakan bahwa kejahatan korupsi dan illegal logging ini sebagai kejahatan kemanusiaan.
Jika para penjahat kemanusiaan ini dibebaskan oleh hakim, karena berbagai alasan, termasuk tidak cukupnya bukti untuk menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal, maka dampak ekonomi dan sosialnya akan sangat berat, bukan hanya hilangnya nilai ekonomi, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menegakkan hukum, selain itu efek jera dari ancaman hukuman menjadi tidak ada gunanya, ini semua tidak menututup kemungkinan menjadi kegagalan dalam menegakkan hukum.
a. Dampak Ekonomi Dari Korupsi dan Illegal Logging
Praktik korupsi, tampaknya sudah membudaya dan bukan semata milik strata pemerintah pada tingkat elit dalam jajaran pemerintahan, tetapi sudah merasuki semua lini kehidupan, bahkan sejak seorang anak manusia lahir, pengurusan kepentinganya sudah berurusan dengan korupsi, karena dalam pengurusan akte kelahiran harus berurusan dengan banyak orang, mulai dari tingkat kelurahan sampai di catatan sipil. Hal yang sama terjadi dengan kematian yang menjajakan fasilitas dan janji kemudahan, korupsi terjadi sejak mencari tempat penguburan hingga penyelesaian masalah hartanya di pengadilan. Dengan demikian maka, secara hirarki, korupsi sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten atau kotamadya hingga tingkat propinsi. Penelitian Transparansi Internasional menunjukkan betapa terpuruknya citra bangsa ini. Peringkat citra "negara terkorup" selalu melekat setiap tahun, sebagai contoh misalnya di tahun 2005 Indonesia berada dalam urutan keenam terkorup dari 158 negara.[59] Dengan anggapan sebagai negara terkorup, maka tentu akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap proses pembangunan, menurunkan legitimasi pemerintah, bahkan dapat menjatuhkan pemerintah yang berkuasa.
Hal yang sama terjadi sebagai dampak dari illegal logging, bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh sektor kehutanan akan semakin menurun, karena hilangnya kepercayaan masyarakat, bahwa penegakan hukum untuk memberantas illegal logging hanya sekedar pemanis bibir belaka, dan tidak jarang masyarakat juga menyaksikan oknum yang terlibat dalam pemberantasan illegal logging mendapatkan manfaat yang besar dari para tersangka illegal logging. Selain itu yang terjadi adalah para pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang berniat ikut melestarikan hutannya akan menjadi acuh tak acuh dalam kegiatan pelestarian hutan. Sehingga ini berakibat pada hilangnya potensi kayu pada masa yang akan datang, dan ini tentu akan berpengaruh pada nilai ekonomi dari hutan.
Selain itu dampak buruk lain yang timbul tidak tegaknya hukum dalam bidang kehutanan yaitu mencegah terjadinya illegal logging yang paling dahsyat adalah rusaknya lingkungan dan sumberdaya alam dalam jangka panjang, yang tidak bisa serta merta diperbaiki meskipun dengan teknologi yang super canggih. Artinya kerusakan alam dan ekosistem bisa menjadi kerusakan yang permanen, yang akibatnya akan dialami oleh manusia sepanajang ada kehidupan manusia.
b. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat
Dampak buruk lain yang timbul sebagai akibat tidak tegaknya hukum atau tidak mampunya aparat penegak hukum mengadili para terdakwa kejahatan kemanusiaan ini secara patut dengan hukuman yang setimpal sesuai kejahatan yang mereka lakukan, bahkan ada yang dibebaskan oleh pengadilan dengan alasan yang kurang patut dan masuk akal, maka hal ini dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah. Yang paling berbahaya dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum ini, maka akan terjadi chaos. Seperti beberapa tahun lalu, karena hilangnya kepercayaan masyarakat Jakarta bahwa pencuri sepeda motor akan mendapat hukuman yang setimpal dan ternyata tidak, maka setiap pencuri sepeda motor yang tertangkapoleh masyarakat akan secara lansung dihukum oleh masyarakat dengan hukuman bakar. Kalau hal seperti ini yang terjadi, maka cita-cita menegakkan dan membangun negara hukum Indonesia akan semakin jauh dari harapan. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan para penegak hukum, serta negara ini akan berdampak buruk pula bagi pelaksanaan kewajiban masyarakat lainnya terutama untuk patuh terhadap hukum.
c. Tidak Adanya Efek Jera
Dampak buruk lain yang mungkin timbul, dari tidak tegaknya hukum secara patut dan tidak dirasakan serta dianggap adil oleh masyarakat, maka maksud dan tujuan penghukuman untuk menimbulkan efek jera menjadi tidak tercapai. Hukum dianggap bukan menegakkan keadilan dan kebenaran, apalagi kalau dapat dibuktikan bahwa hukum dapat dibeli dengan harga yang murah, maka yang akan hilang adalah penghargaan masyarakat terhadap hukum sebagai sarana untuk menegakkan keadilan menjadi sirna. Hukum akan dianggap sebagai barang dagangan yang akan mendatangkan keuntungan bagi pemegang otoritas, seperti jaksa, polisi, hakim bahkan termasuk pengacara.
Dampak buruk dari hilangnya efek jera ini adalah proses pembusukan negara dan bangsa akan mejadi semakin cepat, dan kalau ini yang terjadi, maka bukan saja pemerintah yang tidak akan mendapat kepercayaan mampu menegakkan hukum, tetapi pemerintah justru akan mendapat tantangan yang berat dari masyarakat dalam upayanya menegakkan hukum dan keadilan. Upaya pemerintah dalam menegakan hukum, bukan hanya tidak dipercayai masyarakat, tetapi bisa jadi akan menimbulkan perlawan yang bisa jadi bersifat massive.
d. Kegagalan Penegakan Hukum
Titik nadi kehancuran negara terjadi, jika negara sampai gagal dalam menegakkan hukum dan keadilan dan hilangnya kepercayaan mesayarakat, bahwa penegakan hukum itu untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Bukan hanya kewibawaan pejabat yang hilang akibat gagal menegakkan hukum, karena tidak ada supremasi lain di negara ini kecuali supremasi hukum yang dapat diandalkan dalam menegakkan hukum, kecuali kita akan menyerahkan tugas penegakan hukum kepada alam, kalau ini pilihan yang kita ambil, maka alam yang sudah binasa ini akan semakin membinasakan kita.
Kegagalan menegakkan hukum bisa menghancurkan kewibawaan pemerintah atau penyelenggara negara, bahkan pemerintah akan diabaikan dan dilecehkan sehingga menjadi "sumber" pemicu aksi-aksi sepihak yg menjurus kepada kekerasan sebagai awal timbulnya chaos dan hilangnya tertib bernegara. Yang harus segera dihindari penegakan hukum karena karena dominasi kepentingan yang eksesif, sebab hal ini akan menjadi ancaman penegakan hukum yang eksesif itu sendiri.
Intervensi kekuasaan dalam menegakkan hukum yang sarat dengan kepentingan politik harus dihindari sejauh mungkin, karena intervensi kekuasaan itu akan mengkerdilkan hukum. Dalam kasus-kasus korupsi atau illegal logging yang melibatkan para politisi atau pejabat daerah seharusnya digunakan sebagai cermin untuk berbenah diri, bukan digunakan untuk menyalahkan proses penegakan hukumnya. Penanganannya harus dilakukan secara transparan, sebagai bentuk akuntabilitas publik dari penegak hukum.
Ketidakberdayaan dan ketidak mampuan dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dalam menegakkan hukum dan keadilan akan menjadi kegagalan pemerintah menjalankan agenda reformasi. Ketidakjelasan pemberantasan KKN, penegakan HAM, peningkatan mutu pendidikan, dan kegagalan melakukan pemulihan ekonomi berujung pada makin tingginya ketimpangan sosial dan akan berakibat hancurnya tertib hukum, karena kesenjangan sosial dapat memicu konflik yang tiada akhir.
IV. Kesimpulan
Dari apa yang dipaparkan di atas, paling tidak dapat dilihat bahwa upaya pemerintah untuk mencegah korupsi bukanlah rencana baru, tetapi ini sudah terjadi sejak lama, sejak zaman pemerintahan Orde Lama. Memang upaya pemberantasan korupsi ini belum berhasil secara baik. Begitu juga halnya dengan pemberantasan illegal logging, meskipun belum terlalu lama dilakukan, tetapi upaya untuk itu tidak kurang-kurangnya, meskipun lebih banyak disandarkan dengan ketentuan khutanan yang tidak memeberikan hukum yang menakutkan dan membuat efek jera. Dalam kerangka membuat pelaku illegal logging takut melakukan kejahat seperti itu, seharus sudah ada aturan yang hukum yang dapat memberikan hukuman yang berat terhadap setiap pelanggarnya.
Jika korupsi dan illegal logging ini dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan kemudian di pengadilan perkara semacam ini dibebaskan oleh hakim, karena tidak adanya bukti yang kuat, maka upaya pencegahan kejahatan dan proses penegakan hukum terhadap kejahatan itu akan menghilangkan kepercayaan masyarakat, dan ini akan membuat kredibilitas bangsa di dunia internasional semakin tidak berharga, mengingat konvensi internasional pencegahan korupsi sudah diundangkan sebagai undang-undang. Dan hal ini dapat memberi peluang kepada dunia internasional untuk membentuk pengadilan internasional dalam memberantas korupsi dan illegal logging yang terjadi karena korupsi, sebab korupsi itu adalah merupakan kejahatan kemanusiaan.

Kepustakaan

A. Nielsh Fernando: 2006, A Brief Anatomy of Corruption, http://climax.hampshire.edu/0502/index.php.
Aida Vitalaya Hubeis: 2004, Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan, makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Hotel Bidakara 19-22 Oktober 2004, h.1, diakses dari http://www.lei.or.id/indonesia/files/kongres/Aida.pdf
Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerintahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id/
Amin Rahayu: tt, Sejarah Korupsi di Indonesia, diakses dari http://www.amanah.or.id/detail.php?id=534.
Arman Malolongan: 2005, Pemberantasan Illegal Logging di seluruh wilayah Indonesia, Presentasi Ditjen PHKA pada Lokakarya: Membangun Komitmen Para Multi Pihak Dalam Rangka Penghentian Kerusakan Hutan Alam Di Propinsi Lampung, pada tanggal 6 Juli, 2005 diakses dari http://www.eu-flegt.org/meeting_detail.php?pkid=164&lang=indo
Draft RPJM : 2004, Bab 11 – 3 diakses dari www.bappenas.go.id
Draft RPJP Nasional Tahaun 2005-2025, h. h. 11-12
Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com
Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Sertifikasi Hutan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan, paper pada Sarasehan Nasional “Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian Sumberdaya Alam dan Pemberantasan Kemiskinan, Lembaga Ekolabel Indonesia, h. 7.
Hadi S. Alikodra: 2007, Agen Perusak, Republika, 4 Januari 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277623&kat_id=16
http://www.hukumonline.com/detail asp ? 30/12/2005.
http://www.infopapua.com/modelud.php?op
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id 1 Februari 2007
Human Rights Watch: 20003, Saluran Hukum Tersumbat : Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Sumatra, Indonesia, Vol. 15, No. 1 (c) , h. 15, diakses dari http://hrw.org/indonesian/reports/2003/01/indonbahasa0103.pdf
ICW : 2004, Industri Pengolahan Kayu, Evolusi Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu, Kertas Kerja No. 8, h. 3, diakses dari http://www.antikorupsi.org/docs/olahkayu.pdf
ICW: 2007, Kaleidoskop Pemberantasan Korupsi Tahun 2006, diakses dari http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9621
Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusiaan Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpakul.hijaubiru.org/illog-4/
Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusian Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpkul .hijsubiru.org/illog-4/
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR
J. Smith,K.Obidzinski, Sabarudi, and I.Suramenggala: 2003, Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review 5(3), h. 293.
John Haba: 2003, Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya, Kompas, 16 September 2003, diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
Kebocoran Proyek Capai Rp.76,7 Triliun, Kompas, Rabu 19 Januari 2005.
Kerugian Akibat Korupsi Melonjak, Pikiran Rakyat, 25 Februari 2007, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/25/0401.htm
Marc A. Hiller, Benjamin C. Jarvis, Hikma Lisa, Laura Paulson, Edward H.B. Pollard, and Scott A. Stanley: 2002, Illegal Logging: A Case Study From Gunung Palung National Park, Indonesia, h. 5, diakses dari http://abc.net.au/4corners/content/2002/timber_mafia/viewpoints/viewpoints_pollard.htm
Media Indonesia: 2007, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Diperluas, diakses dari http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=122821
Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corruption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corruption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam, h. 86.
Nyoto Santoso: 2004, Dukung ”Class Action” terhadap Perpu No.1 tahun 2004, Sinar Harapan, Selasa, 20 Juli 2004.
Pemberantasan Korupsi Bukan Demi Statistik atau Pujian, Catatan Kinerja kejaksaan 2006, diakses dari http://hukumonline.com/detail.asp?id. 2/1/07.
Pidato Kenegaraan Presiden, tanggal 16 Agustus 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 003/PUU-IV/2006, h. 68.
Riau Pos: 2005, Indonesia Masih Terkorup Keenam di Dunia, Riau Pos 19 Oktober 2005, diakses dari http://www.riaupos.com/web - Riau Pos Online
Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rakernas Mahkamah Agung, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Klas IA Seluruh Indonesia, tanggal 19-22 September 2005, di Denpasa, Bali.
Simon Saragih: 2003, Merampas Hak Rakyat, Merusak Ekonomi, Kompas, 25 Oktober 2003.
Suara Merdeka: 2006, Dirut PLN Bebas, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/31/nas02.htm
Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1.
Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
Suripto: 2005, Memberantas Illegal Logging, Republika, 16 Maret 2005, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id
Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h.6.
Undang-undang No.7 Tahun 2006.
UU No. 1 Tahun 1967.
UU No. 1 Tahun 1968.
Wolrd Bank : 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, World Bank.
[1] Tulisan ini merupakan makalah wajib dari Panitia untuk mengikuti Tes sebagai calon Hakim Agung, bulan Januari 2007.
[2] Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
[3] A. Nielsh Fernando: 2006, A Brief Anatomy of Corruption, http://climax.hampshire.edu/0502/index.php.
[4] Amin Rahayu: tt, Sejarah Korupsi di Indonesia, diakses dari http://www.amanah.or.id/detail.php?id=534.
[5] Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerintahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
[6] Draft RPJM : 2004, Bab 11 – 3 diakses dari www.bappenas.go.id
[7] Draft RPJP Nasional Tahaun 2005-2025, h. h. 11-12
[8] Draft RPJM: 2004, Op. cit, Bab 32 – 3.
[9] Marc A. Hiller, Benjamin C. Jarvis, Hikma Lisa, Laura Paulson, Edward H.B. Pollard, and Scott A. Stanley: 2002, Illegal Logging: A Case Study From Gunung Palung National Park, Indonesia, h. 5, diakses dari http://abc.net.au/4corners/content/2002/timber_mafia/viewpoints/viewpoints_pollard.htm
[10] Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1, h, 117.
[11] Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id/
[12] Ibid, h.2.
[13] Loc.cit
[14] Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com
[15] Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corruption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corruption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam, h. 86.
[16] Emerson Yuntho: 2005, Op. cit, h. 3.
[17] Ibid, h. 5.
[18] Loc.cit.
[19] Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
[20] Pidato Kenegaraan Presiden, tanggal 16 Agustus 2005.
[21] Pemberantasan Korupsi Bukan Demi Statistik atau Pujian, Catatan Kinerja kejaksaan 2006, diakses dari http://hukumonline.com/detail.asp?id. 2/1/07.
[22] Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h.6.
[23] Kebocoran Proyek Capai Rp.76,7 Triliun, Kompas, Rabu 19 Januari 2005.
[24] Simon Saragih: 2003, Merampas Hak Rakyat, Merusak Ekonomi, Kompas, 25 Oktober 2003.
[25] Aida Vitalaya Hubeis: 2004, Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan, makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Hotel Bidakara 19-22 Oktober 2004, h.1, diakses dari http://www.lei.or.id/indonesia/files/kongres/Aida.pdf
[26] Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Sertifikasi Hutan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan, paper pada Sarasehan Nasional “Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian Sumberdaya Alam dan Pemberantasan Kemiskinan, Lembaga Ekolabel Indonesia, h. 7.
[27] UU No. 1 Tahun 1967.
[28] UU No. 1 Tahun 1968.
[29] ICW : 2004, Industri Pengolahan Kayu, Evolusi Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu, Kertas Kerja No. 8, h. 3, diakses dari http://www.antikorupsi.org/docs/olahkayu.pdf
[30] Human Rights Watch: 20003, Saluran Hukum Tersumbat : Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Sumatra, Indonesia, Vol. 15, No. 1 (c) , h. 15, diakses dari http://hrw.org/indonesian/reports/2003/01/indonbahasa0103.pdf
[31] Ibid, h. 16.
[32] Ibid, h. 17.
[33] Suripto: 2005, Memberantas Illegal Logging, Republika, 16 Maret 2005, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id
[34] John Haba: 2003, Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya, Kompas, 16 September 2003, diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
[35] Human Rights Watch: 20003, Op. cit, h. 15.
[36] Suripto: 2005, Op.cit.
[37] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id 1 Februari 2007
[38] http://www.infopapua.com/modelud.php?op
[39] http://www.hukumonline.com/detail asp ? 30/12/2005.
[40] Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rakernas Mahkamah Agung, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Klas IA Seluruh Indonesia, tanggal 19-22 September 2005, di Denpasa, Bali.
[41] Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Op. cit, h. 7.
[42] Ibid, h. 8.
[43] Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusian Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpkul .hijsubiru.org/illog-4/
[44] Hadi S. Alikodra: 2007, Agen Perusak, Republika, 4 Januari 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277623&kat_id=16
[45] Pasal 6 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”.
[46] J. Smith,K.Obidzinski, Sabarudi, and I.Suramenggala: 2003, Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review 5(3), h. 293.
[47] Di ratifikasi sebagai Undang-undang No.7 Tahun 2006.
[48] Human Rights Watch: 20003, Op. cit, h.17.
[49] Arman Malolongan: 2005, Pemberantasan Illegal Logging di seluruh wilayah Indonesia, Presentasi Ditjen PHKA pada Lokakarya: Membangun Komitmen Para Multi Pihak Dalam Rangka Penghentian Kerusakan Hutan Alam Di Propinsi Lampung, pada tanggal 6 Juli, 2005 diakses dari http://www.eu-flegt.org/meeting_detail.php?pkid=164&lang=indo
[50] Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusiaan Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpakul.hijaubiru.org/illog-4/
[51] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 003/PUU-IV/2006, h. 68.
[52] Wolrd Bank : 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, World Bank.
[53] Loc.cit.
[54] Kerugian Akibat Korupsi Melonjak, Pikiran Rakyat, 25 Februari 2007, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/25/0401.htm
[55] ICW: 2007, Kaleidoskop Pemberantasan Korupsi Tahun 2006, diakses dari http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9621
[56] Media Indonesia: 2007, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Diperluas, diakses dari http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=122821

[57] Nyoto Santoso: 2004, Dukung ”Class Action” terhadap Perpu No.1 tahun 2004, Sinar Harapan, Selasa, 20 Juli 2004.
[58] Suara Merdeka: 2006, Dirut PLN Bebas, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/31/nas02.htm
[59] Riau Pos: 2005, Indonesia Masih Terkorup Keenam di Dunia, Riau Pos 19 Oktober 2005, diakses dari http://www.riaupos.com/web - Riau Pos Online

Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia

Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia
Oleh: Maqdir Ismail[1]
Pengantar
Tulisan ini akan mendiskusikan dan membahas peran, serta kedudukan Bank Indonesia sebagai satu lembaga negara dimulai dengan melihat peran serta kedudukan bank sentral yang pernah ada di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dengan melihat kontrl pemerintah terhadap De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi pada masa Hindia Belanda, kontrol pemerintah pada masa sesudah kemerdekaan. Kemudian akan didiskusi pula pengakuan Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia terhadap kedudukan dan peran bank sentral di Indonesia. Diskusi dan tinjauan terhadap kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum akan dilakukan sebagai uapaya melihat kedudukan Bank Indonesia, begitu juga terhadap penyebutan Bank Indonesia sebagai lembaga negara.

Kontrol Pemerintah terhadap Bank Sentral di Indonesia
Secara formal keberadaan De Javasche Bank lahir sejak Du Bus mengundangkan octrooi pada tanggal 11 Desember 1827, dan kemudian diikuti dengan mendirikan De Javasche Bank pada tanggal 24 Januari 1828,[2] dengan tujuan untuk memulihkan nilai mata uang dan menyediakan dana untuk menghimpun modal.[3] Semua kegiatan untuk meningkatkan produksi termasuk pendirian De Javasche Bank ini oleh Furnival dikatakan sebagai bagian dari kebijakan penjajahan yang dilakukan dengan modal bukan dengan orang.[4]
Meskipun De Javasche Bank didirikan sebagai perusahaan swasta, akan tetapi modal pendiriannya disediakan oleh pemerintah dan Nederlandsche Handel Maatschappij (N.H.M) sebuah perusahaan dagang besar yang pemegang saham utamanya adalah Raja Belanda.[5] Tidak ada hubungan secara organisatoris dan langsung antara De Javasche Bank dan Pemerintah, karena terdapat pemisahan organisasi antara Pemerintah kolonial dan De Javasche Bank.[6] Akan tetapi di dalam praktik campur tangan kekuasaan pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank sangat besar, hal ini dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan penentuan besarnya gaji dari pengurus yang harus mendapat persetujuan dari Gubernur-Jenderal.[7]
Sejarah De Javasche Bank menunjukkan bahwa keberadaan De Javasche Bank itu terkait secara erat dengan kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terlihat dengan jelas karena mempunyai kewajiban Bank untuk memberikan pinjaman secara lansung kepada pemerintah Hindia Belanda meskipun untuk pinjaman jangka pendek,[8] sehingga De Javasche Bank disebut sebagai “..the central banking institution of colonial Indonesia”,[9] karena menurut Van Laanen, “ Until the 1850s, the Bank remained the only private institution providing credit to traders who were subject to the provisions of the Cultivation System”.[10]
Dengan kondisi seperti ini maka adalah wajar apabila kontrol dari publik sebagai pemegang saham terhadap kegiatan bank tidak konstan[11] dan justru kontrol pemerintahlah yang secara formal sangat progressif.[12] Hal ini dapat dilihat dari penempatan Komisaris Pemerintah di Bank sejak tahun 1830an, bahkan pada pengangkatan Presiden dan Sekretaris hingga tahun 1870 dilakukan oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan dari Raja, sementara hanya Direktur yang lain yang dipilih oleh pemegang saham.[13] Selain itu juga kebijakan moneter dibuat di Belanda bukan di Indonesia, sedangkan tanggung jawab dari De Javasche Bank secara resmi hanya terbatas pada menyesuaikan nilai tukar gulden Hindia Belanda dan Gulden Belanda,[14] karena pada praktiknya memang dari awal pemerintah kolonial selalu memberikan batasan terhadap akifitas dari De Javasche Bank. Sebagai contoh misalnya di tahun 1854 Gubernur Jendral memberikan perintah untuk membatasi pengeluaran banknotes oleh De Javasche Bank, bahkan untuk periode 1854-1859 diberi batasan anatara 5.25 dan 6 juta gulden Hindia Belanda, keadaan ini berakibat kebutuhan terhadap uang kertas tidak sesuai dengan keperluan.[15]
Campur tangan pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank ini semakin kuat, setelah diundangkannya Undang-Undang De Javasche Bank tahun 1922. Dalam undang-undang ini pemerintah kolonial berhak untuk memberikan supervisi kepada De Javasche Bank, pemerintah juga mempunyai hak untuk menunjuk komisaris yang mewakili pemerintah pada Dewan Komisaris.[16] Penunjukan Komisaris oleh Pemerintah ini secara tegas dinyatakan oleh undang-undang.[17] Sedangkan pengangkatan Presiden Bank tetap menjadi hak dari Ratu Belanda.[18] Dalam hal pembukaan kantor cabang, kegiatan ini memerlukan persetujuan Gubernur-Jendral. [19]
Hal yang sangat berbeda dalam UU No.11 Tahun 1953, kalau dibandingkan dengan De Javsche Bank wet 1922, bahwa dalam Undang-undang No.11 Tahun 1953 terdapat satu lembaga yang tidak dikenal sebelumnya dalam De Javsche Bank wet 1922, yaitu Dewan Moneter. Gagasan tentang pembentukan Dewan Moneter ini telah dikemukakan oleh Presiden De Javasche Bank dalam laporan tahunan 1951-1952. Dalam laporan tahunan tersebut antara lain dikemukakan,
“Justru untuk menghindarkan perselisihan-perselisihan paham, yang bisa menimbulkan konflik yang besar antara Pemerintah dan Direksi Bank, perlu menurut hemat saya diadakan satu badan atau Dewan Koordinasi, yang di dalamnya duduk wakil Pemerintah dan wakil Direksi Bank. Selanjutnya mesti diadakan prosedur yang tertentu untuk menyelesaikan perselisihan paham, yang tidak dapat diselesaikan dalam Dewan Koordinasi itu. Meskipun dalam prosedur tentang penyelesaian pertikaian paham itu akhirnya Pemerintahlah yang diberi kata terakhir, sebagai pemegang kekuasaan politik yang tertinggi, tetapi hendaknya diadakan peraturan yang demikian rupa, hingga menjadi jelas bahwa bank sirkulasi itu merupakan tempat tanggung jawab (“gweten”) Pemerintah dalam soal-soal yang mengenai uang dan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap uang”.[20]

Kepentingan untuk membentuk Dewan Moneter ini adalah sebagai langkah pemecahan kalau terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat antara Pemerintah dan Bank Indonesia mengenai masalah moneter. Dewan Moneter ini oleh undang-undang diberi tugas untuk menetapkan kebijaksanaan moneter secara umum, sedangkan Bank Indonesia diberi tugas sebagai pelaksana kebijaksanaan moneter tersebut, namun yang bertanggung jawab terhadap kebaijaksanaan moneter tersebut adalah pemerintah.[21]
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1953 batas organisasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia menjadi tidak tegas, sebab menurut Dawam Rahardjo hal tersebut terjadi karena pimpinan tertinggi dari bank sentral bukan lagi direksi Bank Indonesia melainkan Dewan Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank yang mempunyai hak suara.[22] Hal ini secara tegas dinyatakan oleh pasal 21 UU No.11 Tahun 1953.[23]
Pembagian tugas antara Dewan Moneter dan Direksi Bank Indonesia menurut Sumitro Djojohadikusumo, merupakan pembagian tugas yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan menetapkan kebijaksanaan moneter dan kegiatan dalam mengambil keputusan yang merupakan kegiatan sehari-hari dari para bankir yang berhubungan dengan kredit.[24] Dengan posisi Direksi Bank Indonesia seperti ini menurut Sumitro adalah justru memberikan satu otonomi yang luas kepada Direksi Bank Indonesia.[25]
Dengan posisi bank sentral dan pemerintah yang masing-masing tugasnya berbeda sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, maka kemungkinan terjadinyan perselisihan dan perbedaan pendapat bukan satu hal yang mustahil akan terjadi.[26] Perbedaan pendapat terutama akan terjadi antara Dewan Moneter dan Gubernur Bank Indonesia. Menurut undang-undang dalam hal terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan faham antara sesama anggota Dewan Moneter, maka Gubernur Bank Indonesai berhak untuk meminta supaya Dewan Menteri yang memutuskan perbedan pendapat atau perselisihan faham itu. Terhadap perbedaan pendapat dan faham ini oleh undang-undang Gubernur Bank Indonesia tetap diberi hak untuk mengumumkan pendapatnya yang berbeda dengan Dewan Menteri.[27]
Meskipun oleh undang-undang tugas Dewan Moneter dibatasi hanya “menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari Bank”,[28] tetapi dalam praktiknya Dewan Moneter pernah memutuskan masalah yang bersifat administratif yang sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia yaitu tentang peraturan pensiun bagi pegawai warga negara asing yang bekerja pada Bank Indonesia. Keputusan ini diambil atas permintaan Bank Indonesia, karena keputusan tersebut dianggap mempunyai segi-segi politik yang patut untuk dibahas oleh Dewan Moneter.[29] Memang sampai dengan tahun 1958 tidak ada tindakan pemerintah atau Dewan Moneter yang berlebihan dan dapat dikatakan sebagai tindakan yang merupakan intervensi terhadap Bank Indonesia sebagai dikemukakan oleh Scheffer ditahun 1953 yang menyatakan,
“So nowadays practically all over the world State interference in the banking field is to be seen for one or the other of the reasons previously mentioned……. Up to now the banks in this country are not curbed in any way by the Government,…”. [30]

Intervensi pemerintah terhadap Bank Indonesia mulai terjadi pada tahun 1959. Keputusan pemerintah melakukan sanering di tahun 1959 pada masa Mr. Loekman Hakim menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia yang dapat diakatakan sebagai satu bentuk campur tangan yang berlebihan dan merupakan intervensi langsung terhadap kegiatan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Keputusan tersebut diambil oleh pemerintah tanpa melibatkan Gubernur Bank Indonesia sebagai Gubernur Bank Sentral, maupun sebagai pengganti Ketua Dewan Moneter, sehingga tindakan tersebut dapat dikatakan merupakan tekanan yang berat dari pemerintah terhadap Bank Indonesia sebagai penjaga stabilitas moneter.[31] Intervensi langsung pemerintah terhadap Bank Indonesia ini berlanjut terus hingga berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama di tahun 1967.
Hubungan Bank Indonesia dan pemerintah diatur juga dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1968.[32] Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah institusi yang merupakan lembaga negara yang bertugas membantu pemerintah terutama dalam menjalankan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan dalam penjelasan umum dikatakan secara tegas tugas bank sentral sebagai pembantu Presiden, sehingga dalam menjalankan tugasnya itu Bank Sentral harus menyesuaikan kebijakannya dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kedudukan Gubernur Bank Indonesia berada di luar Departemen-departemen dan Gubernur Bank Indonesia mempunyai hak untuk berpendapat terhadap kebijakan pemerintah, akan tetapi pendapat Gubernur Bank Indonesia ini dalam menentukan kebijakan moneter hanya sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan moneter. Dalam menetapkan kebijakan moneter Dewan Moneter adalah sebagai alat dari pemerintah, dengan tugas utama memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam hubungannya dengan keuangan pemerintah, Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah dengan kewajiban untuk menyelenggarakan penyimpanan kas umum negara, sehingga Bank Indonesia itu bertindak sebagai pemegang kas Republik Indonesia; Bank Indonesia juga menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah, dan berkewajiban membantu pemerintah dalam menempatkan surat-surat hutang negara.[33] Dalam melaksanakan semua kewajiban ini Bank Indonesia tidak memperhitungkan biaya-biaya, dalam arti bahwa semuanya dilakukan sebagai kewajiban untuk membantu kegiatan pemerintah.
Dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan dan pengawasan terhadap bank, Bank Indonesia hanya berhak melakukan pengawasan dan menentukan tentang tingkat kesehatan dari bank,[34] sedangkan mengenai penindakan terhadap bank yang mengalami kesulitan dan diperkirakan akan membahayakan kelangsungan usahanya, maka bank sentral berkewajiban memberi tahukan hal tersebut kepada Menteri Keuangan, sebab Menteri Keuanganlah yang mempunyai hak untuk mencabut izin dari bank tersebut.[35]
Kontrol Pemerintah terhadap Bank Indonesia sebagai bank sentral ini semakin kuat terutama sejak tahun 1983, sebab dalam Keppres tentang pengangkatan Gubernur Bank Indonesia yang disebut mempunyai status sebagai pejabat tinggi disamakan dengan menteri negara dan pemerintah memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah.[36] Ini semakin menjadi bukti bahwa Bank Indonesia ditempatkan dalam kedudukan sebagai Pembantu Presiden, selain itu Presiden dapat juga memberhentikan Gubernur dan direktur-direktur meskipun masa jabatannya belum berakhir. Bahkan undang-undang secara tegas menyebutkan bahwa Gubernur dan Direktur diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter,[37] begitu juga terhadap pemberhentian Gubernur atau Direktur-Direktur meskipun masa jabatannya belum berakhir dapat diberhentikan sementara dari tugasnya oleh pemerintah.[38] Namun undang-undang memberikan hak kepada Gubernur atau Direktur yang diberhentikan sementara untuk membela diri secara tertulis kepada Presiden dalam waktu dua minggu setelah pemberhentian,[39] dan jika dalam waktu satu bulan sejak pemberhentian sementara tidak ada pengesahan atas keputusan Presiden tentang pemberhentian sementara itu, maka pemberhentian sementara itu batal demi hukum.[40] Adapun besarnya gaji dan penghasilan lain dari Gubernur atau para Direktur juga ditetapkan oleh Presiden[41] atas usul dari Dewan Moneter.[42]
Pengawasan terhadap Bank Indonesia secara langsung dalam kegiatan sehari-hari bank dilakukan oleh Pemerintah dengan menempatkan Komisaris dalam mengawasi Bank sebagai Perusahaan.[43] Kekuasan yang diberikan oleh undang-undang kepada Komisaris ini juga sangat besar, karena Komisaris Pemerintah ini berhak untuk meminta segala keterangan dan berhak pula untuk memeriksa segenap buku dan surat Bank, bahkan dalam melakukan tugas ini Komisaris Pemerintah dapat meminta bantuan Direktorat Akuntan Negara.[44] Selain itu, ada juga kewajiban dari Direksi untuk memberikan sebagaimana diperlukan oleh Komisaris Pemerintah.[45] Selain itu Bank juga wajib membiayai sekretariat yang diperlukan oleh Komisaris Pemerintah yang menjalankan tugasnya.[46]
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2004, semua pihak termasuk pemerintah dilarang untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia,[47] yang meliputi, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; mengatur dan mengawasi Bank.[48] Meskipun tidak dianggap sebagai bentuk campur tangan, kalau Bank Indonesia melakukan kerjasama dengan pihak lain, atau jika Bank Indonesia mendapat bantuan teknis dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia.[49]
Dalam hal pengangkatan Gubernur atau Deputi Gubernur Senior dan semua Deputi Gubernur, pengangkatannya dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.[50] Bahkan jika pencalonan Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur tidak mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden dan Gubernur wajib mengajukan calon baru.[51] Adapun calon yang mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat akan diangkat oleh Presiden sebagai Kepala Negara dengan keputusan Presiden.[52]
Kegitan pemerintah yang berhubungan dengan Bank Indonesia sangat dibatasi oleh undang-undang, sebagai contoh Pemerintah tidak mempunyai hak untuk menentukan pengangkatan anggota Dewan Gubernur, Pemerintah atau juga Presiden tidak mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan anggota Dewan Gubernur. Menurut undang-undang pemberhentian anggota Dewan Gubernur dalam masa jabatannya hanya dapat dilakukan jika anggota Dewan Gubernur itu mengundurkan diri, atau telah terbukti melakukan tindak kejahatan, atau karena tidak dapat hadir secara fisik untuk waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, atau dinyatakan pailit, atau karena anggota Dewan Gubernur itu berhalangan tetap.[53] Pemberhentian yang dilakukan karena anggota Dewan Gubernur telah melakukan tindak pidana kejahatan baru dapat dilakukan setelah dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[54]
Adapun mengenai penetapan besarnya gaji dan penghasilan lainnya serta fasilitas bagi Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur sepenuhnya merupakan kewenangan Dewan Gubernur untuk menetapkannya.[55] Meskipun dalam menentukan besarnya gaji dan penghasilan bagi Gubernur dibatasi tidak boleh melebihi dua kali gaji dan penghasilan bagi pegawai dengan jabatan tertinggi di Bank Indonesia.[56] Tidak sebagaimana disebut dalam Undang-Undang No.13 tahun 1968 misalnya, yang menentukan bahwa Gaji Gubernur dan para Direktur Bank Indonesia ditetapkan oleh Presiden.[57]
Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah;[58] sehingga dengan kedudukan sebagai pemegang kas pemerintah, Bank Indonesia dapat menerima pinjaman luar negeri untuk kepentingan pemerintah[59] sepanjang diminta oleh pemerintah,[60] menatausahakan, dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban pemerintah terhadap pihak luar negeri[61] terutama dalam membayar kewajiban pemerintah atas beban rekening pemerintah.[62]
Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet, yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang merupakan lingkup kewenangan dari Bank Indonesia.[63] Bank Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah pada saat pemerintah menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang berhubungan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.[64]
Bank Indonesia dilarang untuk memberikan kredit kepada pemerintah,[65] dan jika Bank Indonesia melanggar ketentuan tentang pemberian kredit kepada pemerintah ini maka pemberian kredit dinyatakan batal demi hukum;[66] pelaksanaan pembatalan demi hukum ini dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan rakyat atau oleh anggota masyarakat kepada Mahkamah Agung.[67]

Bank Sentral dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Dalam semua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan kedudukan bank sentral selalu diakui secara tegas keberadaannya, meskipun dengan sebutan yang berbeda. Dalam Pasal 23 ayat 4 UUD 1945 dinyatakan, “Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang”, sedangkan dalam penjelasan Pasal 23 ayat 1,2, 3 dan 4 alinea ke 7 (tujuh) misalnya dinayatakan, “ Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang”.
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950, dinyatakan dalam Pasal 164 ayat 4 dan Pasal 165. Pasal 164 ayat 4 menyatakan, “ Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat ataupun oleh Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat (1) “ Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi; ayat (2) Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang Federal”.
Adapun dalam UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) hal ini diatur pada Pasal 109 ayat 4, “ Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank Indonesia”, sedangkan Pasal 110 (1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi; ayat (2). Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang”. Sedangkan dalam UUD 1945 setelah amandemen keempat pada Pasal 23 D dinyatakan, “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.
Tabel 1 menunjukkan perbedaan penyebutan bank sentral atau bank sirkulasi dalam empat Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia.

Tabel 1.
Perbandingan sebutan Bank Sentral dalam Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia.



UUD 45
Konstitusi RIS
UUDS 1950
UUD 45 Setelah Amandemen keempat
Batang Tubuh
Pasal 23 ayat 4

Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang.
Pasal 164 ayat 4.

Pengeluaran alat-alat pembayar yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat ataupun oleh Bank Sirkulasi;

Pasal 165.
(1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi;
(2). Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang Federal.
Pasal 109 ayat 4.

Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank Indonesia.

Pasal 110.
(1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi;
(2). Penunjukan sebagai Bank- Sirkulasi dan Pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang.
Pasal 23 D

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Penjelasan Pasal demi pasal.
Pasal 23 Ayat 1, 2, 3 dan 4, alinea 7.

Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang.




Dari keempat Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia ini hanya UUD 1945 hasil amandemen keempat yang menyebut secara tegas tentang independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral, sedangkan Undang-undang Dasar yang lain tidak menyebutkan soal independensi ini. Masuknya Bank Indonesia dalam amandemen UUD 1945 ini mengundang perdebatan, terutama yang berhubungan dengan perlu atau tidaknya secara tegas dicantumkannya Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam UUD 1945 dan perlu atau tidaknya independensi secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Perbedaan pendapat tentang perlu dan tidaknya nama Bank Indonesia dan independensi bank sentral dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar ini terungkap pada Rapat Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR dan juga termuat dalam Surat Kabar. Perbedaan pendapat itu terjadi Pemerintah dan Bank Indonesia dengan pendukungnya masing-masing.
Pemerintah termasuk yang tidak menyetujui masuknya nama Bank Indonesia dan penyebutan independensi dalam Undang-undang Dasar. Pendapat pemerintah yang tidak setuju itu misalnya diwakili oleh Menteri Keuangan Boediono, sebagaimana dikemukakan pada Rapat Pleno ke-5 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 21 Februari 2002, yang melihat kemungkinan bersatunya bank sentral dikawasan Asia seperti yang terjadi di Eropa, maka nama itu tidak menjadi penting dimasukkan kedalam Undang-undang Dasar.[68] Mengenai independensi, Boediono juga berpandangan cukup dimuat dalam Undang-undang, sebab menurut dia yang penting adalah bank sentral itu independen dalam melaksanakan tugasnya memelihara nilai mata uang rupiah.
Dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak setuju mencantumkan nama Bank Indonesia dalam UUD ’45 misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari F-PDIP,[69] dengan alasan yang sudah dibicarakan adalah mengenai fungsi, bukan nama dan ini bisa diatur dalam undang-undang. Pendapat lain dikemukakan oleh Soewarno dari F-PDIP yang berpendapat, karena adanya kekhawatiran Bank Indonesia sebagai bank sentral itu bankrut, sehingga perlu jalan keluar untuk mengatasinya.[70]
Sementara pendapat yang setuju untuk memasukkan nama Bank Indonesia misalnya diwakili oleh Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin,[71] dengan alasan historis. Syahril Sabirin juga berpandangan bahwa independensi dan pengaturannya perlu dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, karena diperlukan aturan yang lebih tegas dan agar independensi itu tidak terganggu kalau terjadi perubahan terhadap Undang-undang.
Pendapat yang setuju untuk mencantumkan nama Bank Indonesia kedalam batang tubuh UUD ’45, dengan alasan yang beragam misalnya dikemukakan oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP,[72] dengan alasan mudah meminta pertanggungjawaban, Hatta Mustafa dari F-UD,[73] karena ada kekhawatiran adanya lembaga lain yang akan menyulitkan pertanggungjawaban sementara itu. T.M. Nurlif dari F-PG,[74] beralasan bahwa nama Bank Indonesia itu tercantum dalam penjelasan dan implikasinya akan banyak jika dihilangkan. Dalam pada itu Mayjen TNI Affandi F-TNI/POLRI,[75] berpendapat kata Bank Indonesia perlu tetap dipertahankan untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sedangkan Soedijarto dari F-UG berpandapat, pencantuman nama Bank Indonesia bukan hanya karena sejarahnya, tetapi banyak yang mencantumkan nama negaranya, seperti sudah menjadi tradisi; adapun Anthonius Rahail dari F-KKI tidak secara tegas mengemukakan alasannya untuk mencantumkan nama Bank Indonesia kedalam batang tubuh UUD ‘45.[76]

Penyebutan Independensi Bank Indonesia dalam konstitusi
Adapun mengenai pencantuman independensi kedalam batang tubuh UUD ’45 khususnya dalam pasal 23 D terjadi perbedaan pendapat pada. Dalam Risalah Rapat Pleno ke 14 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 14 Maret 2002. Pendapat yang setuju misalnya diwakili oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP, dengan pertimbangan karena masa lalu bank sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh pemerintah, maka larangan terhadap intervensi ini harus dilakukan dengan cara menegaskan independensi bank sentral dalam UUD.[77] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB, dengan alasan bahwa sudah ada kesepakatan dalam amandemen UU No.23 Tahun 1999 untuk mempertahankan independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.[78] Alasan Happy Bone Zulkarnaen, untuk setuju mencantumkan independensi dalam batang tubuh UUD,[79] pertama karena independensi itu sudah menjadi satu keniscayaan bagi negara; kedua independensi ini penting dan sudah menjadi keharusan dalam era globalisasi; ketiga untuk mendukung kepercayaan pasar.
Pendapat yang tidak setuju pencantuman independensi dalam batang tubuh UUD ’45, misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi itu cukup dicantumkan dalam undang-undang, karena bank sentral itu hanya independen dari kekuasaan pemerintah.[80] Pendapat seperti ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari F-TNI/POLRI, dengan alasan akan timbul implikasi politik, karena akan timbul multi interpretasi selain menimbulkan kekakuan.[81] Tidak perlunya independensi ini dicantumkan dalam UUD juga dinyatakan oleh Soedijarto dari F-UG, karena menurut dia independensi ini cukup dinyatakan dalam undang-undang,[82] pendapat ini juga menjadi pendapat dari A.M. Luthfi dari F-Reformasi.[83]
Perbedaan pendapat masih berlanjut hal ini dapat juga dilihat dari Risalah Rapat Pleno ke 26 Panitia Ad Hoc 1, Badan Pekerja MPR, tanggal 11 Juni 2002. Pendapat yang setuju misalnya diwakili oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, dengan alasan pencantuman nama Bank Indonesia itu sudah dilakukan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945,[84] dan pendapat seperti ini juga disetujui misalnya oleh T.M. Nurlif dari F.PG.[85] Sementara yang tidak setuju misal diwakili oleh Mayjen. Pol (purn) Drs. Sutjipto dari PDIP,[86] dan Fuad Bawazir dari F. Reformasi, yang lebih cenderung untuk menyebutkan otoritas moneter.[87]
Dari pemberitaan Surat Kabar dapat juga dicatat adanya diskusi dan perbedaan pendapat mengenai pencantuman Bank Indonesia dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar. Sebagaimana dikemukakan oleh T Muhammad Nurlif angota PAH I BP MPR , ada tiga alasan pencantuman nama Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam amandemen UUD 1945, yaitu pertama secara historis nama Bank Indonesia sudah disebut dalam UU No. 11 Tahun 1953; kedua kinerja Bank Indonesia yang tidak memuaskan bukan karena nama Bank Indonesia, tetapi karena belum ada Undang-undang yang mengatur tentang Bank Indonesia seperti UU No. 23 Tahun 1999; dan ketiga apabila nama Bank Indonesia dicantumkan dalam UUD 1945, maka akan menciptakan ketegasan bagi pelaku pasar, terutama mengenai produk yang dikeluarkan dan diedarkannya.[88]
Adapun yang secara tegas menyetuji masuknya nama Bank Indonesia dalam pasal UUD 1945 misalnya seperti dikemukakan oleh Slamet Efendy Yusuf, yang beralasan bahwa selama ini penyebutan Bank Indonesia hanya dalam penjelasan, karena penjelasan UUD akan dihapus maka sebaiknya nama Bank Indonesia masuk kedalam pasal 23 D.[89] Pendapat ini disetujui oleh Umar Juoro, yang berpendapat perlunya secara ekplisit dicantumkan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam UUD, karena konstitusi akan terus berkembang dan akan memberi jaminan terhadap stabilitas ekonomi, khususnya moneter,[90] selain alasan historis, karena sejak dulu nama Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah ada.[91] Alasan lain nama Bank Indonesia perlu dimasukkan kedalam konstitusi adalah agar tidak menimbulkan multi interpretasi.[92] Menurut Jimly Asshiddiqie alasan yang tidak menghendaki dicantumkannya kata BI dalam konstitusi dengan alasan Bank Indonesia bisa bangkrut terlalu dicari-cari.[93] Menurut pendapat Syahril Sabirin, dengan adanya klausula Bank Indonesia yang independen masuk ke UUD 1945, akan memperkuat independensi yang telah berlangsung, dan bank sentral akan lebih leluasa menjalankan tugasnya sebagai otoritas moneter tanpa campur tangan pihak lain,[94] dan tanpa intervensi dari pihak manapun.[95] Selain itu menurut Yusril Ihza Mahendra, dengan diatur secara eksplisit dalam konstitusi akan membuat posisi bank sentral menjadi kuat dan tidak bisa di intervensi oleh pemerintah sesuai kondisi politik.[96]
Pendapat lain dicatat oleh Media Indonesia,
“Dengan tercantumnya sebuah pasal yang menyebut nama BI dalam konstitusi, penguasa tidak mudah mencampuri kemandirian bank sentral itu. Sebab dengan tercantumnya nama BI dalam sebuah konstitusi, artinya mencampuri bank sentral sama halnya dengan mempermainkan konstitusi negeri ini”.[97]

Usul yang tegas mengenai Bank Indonesia yang independen masuk kedalam Konstitusi ini di usulkan KOMISI KONSTITUSI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Usulan Komisis Konstitusi ini dinyatakan dalam Pasal 23 D ayat 1, “ Negara memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia”; ayat 2 “ Susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensi Bank Indonesia diatur dengan undang-undang”.[98]
Pendapat yang tidak setuju nama Bank Indonesia masuk dalam amandemen UUD 1945, misalnya dikemukakan oleh Revrisond Baswir, dengan alasan karena keberadaan istitusi ini perlu ditinjau kembali termasuk kekuasaan dan kewenangannya.[99] Sementara itu alasan Fraksi Utusan Golongan MPR lebih cenderung menyebut otoritas moneter dalam amandemen UUD 1945, bukan mencantumkan Bank Indonesia.[100]
Pendapat lain adalah pendapat yang tidak terlalu mempersoalkan masuk atau tidaknya Bank Indonesia kedalam konstitusi, tetapi yang penting adalah masuknya kata independensi bank sentral kedalam UUD 1945. Mengani hal ini cukup banyak alasan, seperti misalnya dikemukakan oleh Didik J Rachbini, bahwa perlunya bank sentral dan independensinya dijamin oleh UUD 1945, karena bank sentral yang tidak independen sangat rawan dengan konflik kepentingan.[101] Sedangkan Jimly Asshiddiqie berpendapat, dengan dicantumkannya independensi dalam konstitusi, maka tidak perlu ada kekhawatiran akan adanya intervensi kekuasaan pada bank sentral.[102]
Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa independensi Bank Indonesia tidak perlu dimasukkan dalam konstitusi atau UUD 1945, cukup dimasukkan kedalam undang-undang mengenai bank sentral seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono[103] dan Pradjoto, karena yang penting menurut Pradjoto adalah memisahkan kepentingan politik yang mencampuri tugas dan wewenang Bank Indonesia.[104]
Meskipun tidak ada pernyataan secara tegas nama Bank Indonesia kedalam salah satu pasal konstitusi, tetapi pasal 23 D UUD 1945 menyebut Negara mempunyai satu bank sentral, dan bank sentral itu secara faktual adalah Bank Indonesia. Apalagi mengingat bunyi pasal 1 ayat 20 UU No. 10 Tahun 1998, yang menyatakan, “ Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku” dan menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1999 juncto UU No.3 Tahun 2004 “Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia”. Ini harus ditafsirkan bahwa bank sentral yang dimiliki oleh Negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 23 D UUD 1945 ini tiada lain adalah Bank Indonesia. Ini berarti hanya Bank Indonesia yang diakui sebagai bank sentral oleh konstitusi, bukan karena tidak adanya bank sentral yang lain, tetapi karena hanya ada Bank Indonesia yang diakui dalam peraktik sebagai bank sentral di Indonesia dan hanya Bank Indonesia yang merupakan bank sentral di Indonesia. Selain itu dalam pasal konstitusi yang menyebut keberadaan bank sentral tidak membuka peluang untuk mendirikan bank sentral yang baru.[105] Dengan demikian, maka Bank Indonesia dan independensinya adalah sebagai bank sentral yang dijamin oleh konstitusi keberadaannya, sehingga eksistensi Bank Indonesia yang independen dijamin oleh UUD 1945 meskipun nama Bank Indonesia tidak dinyatakan dalam pasal 23D. Oleh karena itu tanpa perlu dilakukan penafsiran historis seperti dikemukakan Agus Santoso,[106] maka yang dimaksud oleh pasal 23 D UUD, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”, tiada lain selain Bank Indonesia. Dengan meminjam istilah dari Stern,[107] maka pasal 23 D UUD 1945 bukan hanya mandat dari konstitusi tetapi secara bersamaan adalah jaminan dari konstitusi bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang independen.
Kalau dilihat pada teks menimbang No. 1, maka UU NO. 23 Tahun 1999 dan UU No. 3 tahun 2004, secara tegas menjadikan pasal 23 dan 23D UUD ’45 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga ini berarti UU tentang Bank Indonesia disusun dengan mengingat jiwa dari pasal 23 dan pasal 23D UUD ‘45. Dengan meminjam cara penafsiran terhadap UU No. 7 /1992 tentang Perbankan yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie,[108] maka akan dikemukakan bahwa dengan dijadikannya konsideran mengingat No.1. “...Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, maka kebijakan yang dipilih untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia adalah sebagai satu kebijakan yang dianggap merupakan penjabaran dari pasal 23 UUD ’45 khususnya pasal 23D. Artinya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia didasarkan pada jiwa pasal 23D UUD ’45 dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan pasal 23D UUD ’45.
Sebagai bahan penilaian terhadap pentingnya independensi bank sentral dinyatakan dalam Undang-undang Dasar dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,[109] terhadap 60 (enam puluh) negara, ada 15 negara yang secara tegas mencantumkan independensi Bank Sentral-nya di dalam Konstitusi (UUD) antara lain Finlandia, Jerman, Swedia, Swiss, Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Chech dan lain-lain.[110] Dari penelitian ini dikatakan masuknya pasal independensi bank sentral dalam konstitusi, pada negara-negara tua (established) seperti Jerman, Swedia dan Finlandia, menunjukkan pengalaman ketatanegaraan mereka menghendaki adanya ketegasan independensi bank sentral dalam konstitusi; sedangkan masuknya pasal independensi bank sentral kedalam konstitusi negara-negara baru seperti Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Chech, menunjukkan signifikansi keberadaan dan kepentingan bank sentral dalam memulihkan dan menjaga laju inflasi dan pemeliharaan ekonomi moneter.
Ini bermakna bahwa pentingnya independensi bank sentral masuk kedalam konstitusi akan memperkuat kedudukan bank sentral yang independen, sebagaimana diakatakan oleh Lijphart, “ A central bank can be made particularly strong if its independence is enshrined not just in a central bank charter but in the constitution”.[111] Atau seperti dikemukakan oleh Jon Elster, “…they cannot be changed through the ordinary legislative process but require a more stringent procedure”.[112]

Kedudukan Bank Indonesia sebagai Badan Hukum
Meskipun di dalam De Javasche Bank Wet, dinyatakan De Javasche Bank adalah sebagai Perseroan Terbatas, akan tetapi di dalam praktik campur tangan kekuasaan pemerintah kolonial terhadap De Javasche Bank secara tegas dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan penentuan besarnya gaji dari pengurus yang harus mendapat persetujuan dari Gubernur-Jenderal.[113] Selain itu De Javasche Bank juga mendapat pengawasan yang langsung dari pemerintah,[114] sedangkan kebijakan moneter harus mengikuti kebijakan dari pemerintah Belanda, sebab pemerintah mempunyai hak prerogrative untuk melakukan supervisi terhadap aktifitas dari bank.[115] Pengawasan terhadap De Javasche Bank dilakukan secara langsung oleh Komisaris yang ditempatkan dan mewakili pemerintah.[116] Dengan demikian meskipun De Javasche Bank adalah merupakan badan hukum sebagai Perseroan Terbatas, tetapi seluruh kegiatannya dikontrol oleh pemerintah.
Hampir tidak berbeda dengan De Javasche Bank dalam Undang-Undang No.11 Thun 1953 pun, Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum kepunyaan Negara.[117] Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tugas Bank Indonesa sebagai bank sentral adalah mengatur nilai satuan mata uang agar nilai itu seimbang untuk kemakmuran bagi nusa dan bangsa, untuk itu Bank menyelenggarakan peredaran uang di Indonesia.[118] Akan tetapi yang berwenang dalam menetapkan kebijakan moneter adalah Dewan Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank.[119] Ini berarti yang menjadi tugas dari Direksi Bank adalah menyelenggarakan kebijaksanaan moneter umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter.[120] Dengan posisi Bank Indonesia yang demikian, maka memungkinkan pemerintah menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah. Selain itu juga karena Gubernur dan para Direktur diangkat oleh pemerintah setiap kali untuk 5 (lima) tahun atas usul Dewan Moneter. Adapun mengenai gaji dan pendapatan lainya bagi Gubernur dan Direktur-Direktur ditetapkan oleh pemerintah.[121] Sedangkan mengenai Pemberhentian Gubernur atau Direksi dilakukan oleh pemerintah atas usul Dewan Moneter.[122]
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 13 tahun 1968, Bank Indonesia dinyatakan sebagai milik Negara dan merupakan badan hukum,[123] tetapi Bank Indonesia tetap ditempatkan sebagai pembantu Pemerintah,[124] bahkan di dalam menjalankan tugasnya itu Bank Indonesia harus berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.[125] Adapun tugas Dewan Moneter hanya membantu pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.[126] Peranan Presiden menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 ini sangat besar, karena Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-direktur Bank Indonesia, jika melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank atau bertentangan dengan kepentingan Negara.[127] Akan tetapi tidak ada penjelasan dalam undang-undang tentang sikap yang dapat disebut merugikan Bank ataupun juga yang bertentangan dengan kepentingan negara, sehingga Gubernur atau Direktur Bank dapat diberhentikan oleh Presiden. Terlebih lagi kemudian sejak tahun 1983 dalam Keppres pengangkatan Gubernur Bank Indonesia disebutkan bahwa status Gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat tinggi disamakan dengan Menteri Negara. Ini semakin menjadi bukti bahwa Bank Indonesia ditempatkan dalam kedudukan sebagai Pembantu Presiden. Dalam hal pertanggungjawabannya Bank Indonesia bertanggung jawab terhadap Pemerintah,[128] sedangkan gaji dan penghasilan lainnya bagi Gubernur dan Direktur-Direktur Bank Indonesia ditetapkan oleh Presiden.[129]
Setelah lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia dikatakan sebagai lembaga negara yang independen.[130] Bank Indonesia juga dinyatakan sebagai badan hukum.[131] Bank Indonesia bukan saja independen dari pengaruh pemerintah, tetapi juga independen dari pengaruh lembaga legislatif, sehingga kedudukan Bank Indonesia sangat kuat. Selain itu Bank Indonesia juga diberi hak untuk menetapkan kebijakan moneter. Bahkan undang-Undang memberikan satu kekebalan terhadap Gubernur Bank Indonesia meskipun melakukan kesalahan dalam menetapkan kebijakan sepanjang sejalan dengan tugas dan wewenang serta dilakukan dengan iktikad baik.[132] Adapun pengangkatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk memudahkan memahami persamaan dan perbedaan kedudukan bank sentral sesuai dengan undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 ,yang disarikan dari Undang-Undang Javasche Bank, UU No. 11 Tahun 1953, UU No.13 Tahun 1968 dan UU No.23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004.
Tabel 2
Perbandingan singkat Undang-undang Bank Sentral yang pernah berlaku di Indonesia


De Javasche Bank
UU No.11 Tahun 1953
UU No.13 Tahun 1968
UU No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004
1. Badan Hukum
Perseroan Terbatas. Pasal 1

De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi. Pasal 2
Badan Hukum kepunyaan Negara.
Pasal 1 ayat 2

Bank Indonesia bertindak sebagai bank sentral.
Pasal 1 ayat 1

Bank Indonesia adalah milik Negara dan merupakan badan hukum.
Pasal 1 ayat 2

Dengan nama Bank Indonesia didirikan suatu Bank Sentral di Indonesia.
Pasal 1 ayat 1.
Bank Indonesia adalah Badan Hukum.
Pasal 4 ayat 3

Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia.
Pasal 4 ayat 1
2. Independensi
Tidak Independen, karena peraturan-peraturan yang ditetapkan Gubernur Jenderal harus dipatuhi oleh Bank.
Pasal 12 ayat 7.
Tidak independen, karena bank bertindak sebagai pemegang kuasa atau bankir bagi Pemerintah Republik Indonesia pada transaksi-transaksi keuangan. Pasal 13 ayat 8 a.
Bank Indonesia dipimpin oleh: a.Dewan Moneter, b. Direksi dan c. Dewan Penasehat.
Pasal 21.
Tidak independen, karena, Tugas pokok Bank adalah membantu Pemerintah dalam: a. Mengatur, menjaga dan memelihara kesetabilan nilai rupiah; b. Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja; guna meningkatkan tarap hidup rakyat.
Pasal 7
Bank Indonesia adalah lembaga Negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya .
Pasal 4 ayat 2.
3. Kebijakan moneter
Bank membebani diri dalam batas-batas lingkungan kerjanya dengan pelaksanaan order-order Pemerintah.
Pasal 12 ayat 1.
Ditetapkan oleh Dewan Moneter.
Pasal 22 ayat 1 (a)
Ditetapkan Pemerintah dibantu Dewan Moneter. Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 9 ayat 1
Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
Pasal 8 (a)
4. Pengangkatan Direksi/ Gubernur
Presiden Bank diangkat dengan persetujuan Ratu Pasal 23 ayat 1.

Wakil Presiden, para Direktur, para wakil Direktur diangkat Gubernur Jenderal untuk waktu 5 (lima) tahun. Pasal 23 ayat 3.

Gubernur dan para Direktur diangkat oleh Pemerintah setiap kali untuk selama-lamanya 5 (lima) tahun atas usul Dewan Moneter.
Pasal 27 ayat 3
Gubernur dan Direktur diangkat Presiden atas usul Dewan Moneter untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
Pasal 15 ayat 2 a
Gubernur, Deputy Gubernur Senior dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 41 ayat 1
5. Akuntabilitas
Bank bertanggung jawab kepada Gubernur Jendral dan bertanggung jawab atas keuangan kepada Dewan Pengawas Keuangan.
Pasal 12 ayat 2.
Tanggung jawab atas kebijakan moneter berada pada Pemerintah.
Pasal 22 ayat 2.
Direksi bertangguung jawab kepada Pemerintah.
Pasal 16 ayat 2
Bank Indonesia menyampaikan laporan tahunan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah setiap awal tahun anggaran.
Pasal 58 ayat 1.

Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan triwulan secara tertulis tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Pasal 58 ayat 2.

Laporan tahunan dan laporan triwulan dievaluasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan penilaian tahunan kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia.
Pasal 58 ayat 3.
6. Transparansi
Seminggu sekali diumumkan dalam surat kabar resmi keadaan bank atau neraca yang dipersingkat dalam bentuk yang disetujui Gubernur Jenderal.
Pasal 29.
Seminggu sekali Bank mengumumkan neraca singkat. Neraca singkat ini harus dimuat dalam berita Negera. Pasal 33 ayat 1.

Pada akhir tiap-tiap tahun-buku Gubernur, sesudah berunding dengan Dewan Moneter, memberikan laporan keuangan dan ekonomi yang luas. Pasal 31.
Bank membuat neraca singkat mingguan yang diumumkan tiap 7 (tujuh) hari sekali dan dimuat dalam Berita Negara. Pasal 45.


Pada akhir tiap tahun buku, Bank menyusun laporan tahunan yang menggambarkan perkembangan keuangan dan ekonomi secara luas. Pasal 46.
Laporan tahunan dan laporan triwulan disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa.
Pasal 58 ayat 5.
Setiap awal tahun anggaran Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka memalui media massa, yang memuat:
a. evaluasi kebijakan moneter pada tahun sebelumnya.
b. Rencana kebijakan moneter dan sasaran untuk tahun yang akan datang.
Pasal 58 ayat 6.
Bank Indonesia menyusun neraca singkat mingguan yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 63.

7. Gaji
Gaji Presiden (Direktur) dan masing-masing Direktur ditetapkan oleh Gubernur Jenderal. Pasal 23 ayat. 7
Gaji para Wakil Presiden dan para Wakil Direktur ditentukan oleh rapat umum Direksi dan Komisaris.
Pasal 23 ayat 8.
Gaji dan pendapatan lainnya bagi Gubernur dan Direktur-direktur ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 27 ayat 4.
Gaji dan penghasilan lainnya bagi Gubernur dan Direktur-direktur ditetapkan oleh Presiden. Pasal 19.
Gaji, penghasilan lainnya dan fasilitas bagi Gubernur, Deputi Senior dan Deputi Gubernur ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
Pasal 51 ayat 1.

Besarnya gaji dan pengahasilan lainnya bagi Gubernur, paling banyak 2 (dua) kali dari gaji dan penghasilan lainnya bagi pegawai dengan jabatan tertinggi di Bank Indonesia.
Pasal 51 ayat 2.
8.Pinjaman Pemerintah
Tiap kali Gubernur-Jenderal menganggap perlu untuk memperkuat kas Negara sementara, Bank berkewajiban memberikan uang muka dalam rekening koran kepada Negara.
Pasal 13 ayat 1.
Bank wajib setiap kali Menteri Keuangan menganggap hal ini perlu untuk menguatkan kas-negara sementara waktu, memberikan uang muka dalam rekening koran kepada Republik Indonesia.
Pasal 19 ayat 1.
Bank memberikan kepada Pemerintah kredit dalam rekening koran untuk memperkuat kas Negara. Pasal 35 ayat 1.
Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah.
Pasal 56 ayat 1.
9. Pengawasan/ Supervisi
Dari pihak Pemerintah diselenggarakan pengawasan atas tindakan Bank oleh seorang Komisaris Pemerintah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur-Jenderal.
Pasal 24 ayat 1.

Komosaris Pemerintah mengawasi pengurusan Bank sebagai Perusahaan. Pasal 22 ayat 1.

Pengangkatan Komisaris Pemerintah berlaku untuk 3 (tiga) tahun. Setelah waktu itu berakhir, ia dapat diangkat kembali. Pasal 22 ayat 4.
Untuk membantu Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan fungsi pengawasan dibidang tertentu terhadap Bank Indonesia dibentuk Badan Supervisi dalam upaya meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia.
Pasal 58 A ayat 1.

Badan Supervisi terdiri dari 5 (lima) orang anggota, terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 58 A. ayat 2.

10. Pemberhentian Gubernur/ Presiden Direktur
Atas usulan rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Presiden (Direktur) oleh Gubernur Jenderal dapat di skors, dapat diberhentikan atas persetujuan Ratu.
Pasal 23 ayat 5.

Atas usul rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Direksi dan para Wakilnya dapat diberhentikan oleh Gubernur Jenderal.
Pasal 23 ayat 6.
Atas usul Dewan Moneter Direksi dapat diberhentikan oleh Pemerintah dari jabatannya.
Pasal 27 ayat 6.
Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-direktur meskipun masa jabatannya belum berakhir:
a. karena meninggal dunia.
b. karena melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara
Pasal 17 ayat 1.
Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, kecuali:
a. mengundurkan diri;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. tidak hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan;
d. dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur, atau;
e. berhalangan tetap.
Pasal 48 ayat 1.

Pemberhentian anggota Dewan Gubernur ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 48 ayat 3.
11. Pemberhentian Komisaris / Anggota Badan Supervisi
Komisaris Pemerintah diberhentikan oleh Gubernur-Jenderal.
Pasal 24 ayat 1.

Komisaris Pemerintah diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan.
Pasal 22 ayat 2.




12. Budget


Sebelum tahun buku baru mulai berjalan, Direksi menyampaikan anggaran tahunan Bank kepada Pemerintah untuk disetujui.
Pasal 44 ayat 1.
Dewan Gubernur menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia yang meliputi anggaran untuk kegiatan operasional dan anggaran untuk kebijakan moneter, sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan perbankan.
Pasal 62 ayat 2.








Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum oleh undang-undang diakui secara tegas. Begitu juga halnya dengan independensi Bank Indonesia secara tegas diakui pula oleh undang-undang. Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen keempat, menyatakan, “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.[133] Oleh undang-undang diakui pula kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum[134] dan Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Akan tetapi menurut Bagir Manan,
“Bank Indonesia sebagai badan hukum menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga negara, Bank Indonesia adalah organ penyelenggaraan organisasi negara. Negaralah yang merupakan badan hukum, bukan organnya”.[135]

Adapun dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya,[136] sebab menurut Bagir Manan, “Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia selain melakukan fungsi publik, tetap dapat menjalankan fungsi keperdataan,”[137] dalam arti bisa menjadi pihak. Sehingga dengan kedudukan sebagai badan hukum ini Bank Indonesia selain sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan, Bank Indonesia juga dapat mempunyai standar dan pedoman tersendiri dalam memberikan kemudahan dan memberikan pembatasan dalam lingkup wewenangnya; seperti dalam hal Bundesbank menurut Stern, “.. its designation as an authority is aplicable only to a very restricted extent”.[138]
Dalam melihat Bank Indonesia sebagai badan hukum, jika dihubungkan dengan teori principal-agent, maka Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya harus dilihat sebagai lembaga yang terpisah dari Pemerintah. Dengan independensi yang diberikan oleh undang-undang, Bank Indonesia bebas dari campur tangan pemerintah, meskipun dalam penjelasan Pasal 4 ayat 2 UU No.3 Tahun 2004, tidak ditegaskan lagi bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen di bidang tugasnya berada di luar pemerintahan dan lembaga lain, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2004. Selain itu pikiran ini harus pula disandarkan kepada ide dan philoshopy yang melatar belakangi ketentuan Undang-Undang Dasar 45 khususnya ketentuan Pasal 23 yang mengatur keuangan yang diatur dalam satu kerangka kesatuan antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan demikian maka kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum harus dilihat dan diartikan sebagai bagian yang pada hakekatnya tidak terpisahkan dari pemerintah terutama dalam hal pengaturan keuangan negara. Dengan merujuk kepada Bundesbank sebagaimana dikemukakan oleh Klaus Stern, maka pernyataan pada Bundesbank Act, “... Federal corporation under public law” adalah merupakan pernyataan bahwa Bundesbank sebagai bagian dari eksekutif.[139] Hal ini semakin tegas lagi kalau dihubungkan dengan ketentuan yang mengatur hubungan Bank Indonesia dan pemerintah sebagaimana diatur oleh Bab VIII yaitu dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 56, Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004.
Akan tetapi oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Bank Indonesia, kepada Bank Indonesia diberikan independensi, dan independensi ini harus dilihat hanya terbatas dalam menetapkan kebijakan moneter. Sebagaimana dikemukakan oleh Miller, tujuan menempatkan bank sentral yang independen dengan maksud agar kebijakan moneter yang ditetapkan adalah kebijakan yang ditetapkan untuk jangka panjang dan terlepas dari pengaruh dan tekanan politik jangka pendek.[140]
Sehingga terpisahnya fungsi Bank Indonesia dari Pemerintah harus dilihat sebagai pemisahan fungsi sebagaimana dikemukakan oleh Barber.[141] Di sini fungsi Bank Indonesia adalah menjalankan kebijakan moneter, mengingat Bank Indonesia lebih berpengalaman dan keahlian dalam masalah moneter. Hal ini sejalan dengan pemikiran seperti yang dikemukakan oleh Lastra dan Miller, bahwa dalam menjalankan kebijakan moneter ini bank sentral secara tehnis dianggap lebih mempunyai pengalaman dan keahlian dibandingkan dengan pemerintah, sebagaimana pengadilan dianggap lebih mempunyai keahlian dan pengalaman dalam memberikan interpretasi terhadap hukum.[142] Atau seperti juga dikatakan oleh Arend Lijhart, “Central banks are key governmental institutions that, compared with the other main organs of government,...”.[143] Sehingga mandat yang diterima oleh Bank Indonesia ini harus dianggap sama dengan mandat yang diterima oleh lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan oleh Wood, Mills dan Capie.[144] Artinya Bank Indonesia akan membuat keputusan-keputusan secara independen sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian maka keputusan Bank Indonesia yang dianggap tidak populer tidak dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menyatakan Bank Indonesia tela keliru dalam mmengambil keputusan, sebagaimana pemerintah tidak dapat mempersalahkan lembaga peradilan yang membuat keputusan yang tidak populer.[145] Ini dapat bermakna sebagaimana dikemukakan oleh Sparve, jika bank sentral menetapkan satu keputusan yang keliru, maka kebijakan itu yang seharusnya diubah, bukan independensi bank sentralnya yang dihilangkan.[146]
Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara
Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen ini tidak ada penjelasan. Tidak ada penjelasan dalam undang-undang tentang kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang independen ini dapat dikategorikan sama dengan lembaga tinggi Negara seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung, sebagaimana dimaksud oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978 [147] atau oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam keterangan pemerintah yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan pada Rapat Kerja Komisi VIII ke-6, tanggal 9 Maret 1999, dinyatakan,
“Ingin disebut lembaga pemerintahan tidak bisa, sebagai government agency dia tidak bisa karena di luar pemerintahan. Tapi dia bukan swasta, dia juga bukan lembaga tinggi negara, tapi dia bukan lembaga swasta, bukan private agency, bukan government agency, bukan private agency, bukan sebagai lembaga tinggi negara..... Ini suatu agency, suatu lembaga bukan pemerintahan tapi punya negara, lalu oleh sebab itu istilah lembaga negara dengan huruf kecil, “l” kecil, “m” kecil.[148]

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Gubernur Bank Indonesia pada rapat yang sama sebagaimana dinyatakan,
“...Bank Indonesia itu sudah pasti bukan lembaga tinggi negara dan yang terang bahwa dia adalah sesuatu yang dimiliki oleh negara, jadi unsur negaranya ada disitu dan tidak lembaga tinggi negara dan didalam kedudukan di sini dia berada di bawah lembaga-lembaga tinggi negara seperti misalnya berada di bawah yang disitu sejajar BPK, DPR kemudian MA dan DPA. Jadi Bank Indonesia itu adalah berada dibawah semuanya. Oleh karena itu disini diusulkan sebagai lembaga negara...”.[149]

Pemerintah yang dalam hal ini juga diwakili oleh Departemen Kehakiman memberikan penjelasan pada Rapat Panja ke 2 tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen sejajar dengan Menteri dan peraturan yang dibuatnyapun sejajar dengan keputusan Menteri. Dalam kalimat dari pejabat Ditjen Kumdang ditakan,
“Oleh karena itu apabila BI ini walaupun merupakan satu yang sifatnya lembaga independen, menurut hemat kami dia bukanlah sejajar Lembaga Negara, tetapi sejajar dengan Menteri. Oleh karena itu peraturan-peraturannya pun, itu adalah sejajar dengan Keputusan Menteri”.[150]

Penjelasan-penjelasan pemerintah di atas secara jelas mendudukkan Bank Indonesia sebagai lembaga negara bukan merupakan lembaga tinggi negara, tetapi dapat disejajarkan dengan kedudukan kementerian. Adapun mengenai kesetaraan antara Bank Indonesia dengan lembaga tinggi negara dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari hubungan kerja antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam kedudukannya sebagai lembaga negara yang independen sebagaimana diatur oleh Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 UU No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004. Dengan statusnya yang spesial ini, dengan meminjam istilahnya Klaus Stern dalam melihat Bundesbank, maka Bank Indonesia itu harus dilihat sebagai “the highest executive state bodies”.[151] Sebab Bundesbank kata Ellen Kennedy,
“..is not a constitutional branch like the judiciary, legislative or executive, the Bundesbank operates in constitutive manner and its norm of monetary stability is more like a cosntitutional principle..”[152]

Hubungan tata-kerja antara pemerintah dan Bank Indonesia terutama diatur dalam ketentuan Pasal 52 yang menetapkan bahwa Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah. Dalam kedudukan sebagai pemegang kas ini ada kewajiban Bank Indonesia untuk memberikan bunga atas saldo pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 mengatur tentang kewajiban Bank Indonesia sebagai penerima pinjaman luar negeri untuk menatausahakan serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri. Ketentuan kedua pasal ini kalau dihubungkan dengan teori principal-agent, maka disini Bank Indonesia bertindak sebagai agent dari pemerintah dalam memegang kas. Begitu juga Bank Indonesia bertindak sebagai agent dari pemerintah ketika Bank Indonesia menerima pinjaman luar negeri atau menatausahakan serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.
Pasal 54 ayat 1, mengatur kewajiban pemerintah untuk meminta pendapat dan mengundang Bank Indonesia dalam sidang Kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan terutama yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Bank Indonesia. Pasal 54 ayat 2 memuat kewajiban Bank Indonesia untuk memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Ketentuan ini menegaskan posisi kesetaraan fungsi Bank Indonesia dengan pemerintah sebagai badan hukum, yang dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara dalam hal ini pemerintah.
Sementara itu pasal 55 memuat kewajiban pemerintah untuk berkonsulatasi dengan Bank Indonesia, jika pemerintah hendak menerbitkan surat-surat utang negara. Konsultasi ini diperlukan agar penerbitan surat utang itu tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan perjualan surat utang itu dilakukan sesuai kondisi pasar dan menguntungkan pemerintah.[153] Dalam penerbitan surat utang ini Bank Indonesia dapat memberikan bantuan kepada Pemerintah. Akan tetapi Bank Indonesia dilarang untuk membeli surat-surat utang negara dipasar primer untuk diri sendiri, kecuali surat utang berjangka pendek yang diperlukan dalam operasi pengendalian moneter. Bank Indonesia diperkenankan untuk membeli surat utang negara di pasar primer dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan darurat, yaitu terhadap surat utang negara berjangka paling lama 1 (satu) tahun.[154]
Ketentuan ini semakin menegaskan posisi Bank Indonesia sebagai agen yang membantu pemerintah dalam menerbitkan surat-surat utang, sehingga pada saat yang sama undang-undang melarang Bank Indonesia untuk mengambil keuntungan dari penerbitan surat-surat utang ini. Sebagai agen Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli surat-surat utang hanya untuk dalam keadaan darurat atau hanya terhadap surat-surat utang yang berjangka pendek.
Pengaturan hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah untuk melakukan konsultasi mengenai kebijakan ekonomi, keuangan dan perbankan dengan tidak adanya Dewan Moneter sebagai sarana mempertemukan kepentingan Pemerintah dan Bank Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU No.11 Tahun 1953 dan UU No. 13 Tahun 1968, seharusnya dilakukan dengan didasarkan Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2004. Karena dari ketentuan Pasal 54 ayat 1 memberi kewajiban kepada Pemerintah untuk meminta pendapat Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau masalah yang merupakan kewenangan Bank Indonesia. Sementara Bank Indonesia menurut pasal 54 ayat 2 wajib memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan kebijakan lain terutama yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Dengan demikian maka konsultasi antara pemerintah dan Bank Indonesia terutama dalam melakukan koordinasi mengenai kebijakan ekonomi dan perbankan dapat dilakukan secara langsung, tidak memerlukan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, berhubung dengan tidak adanya Dewan Moneter sebagaimana diusulkan oleh Didiek Rachbini dan kawan-kawan.[155]
Dari apa yang dikemukakan di atas meskipun tidak jelas kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum, tidak diatur sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978 atau oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka Bank Indonesia harus tetap dilihat sebagai lembaga yang mempunyai fungsi setara dengan lembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,[156] tetapi Bank Indonesia tugasnya adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Jika dihubungkan dengan tata kerja antara pemerintah dan Bank Indonesia maka peran dan tugas Bank Indonesia sangat penting dan berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah ekonomi, perbankan dan keuangan.
Peranan dan tugas Bank Indonesia yang sangat besar dan berpengaruh dalam masalah ekonomi dan perbankan ini dapat disetarakan dengan fungsi Mahkamah Agung dalam penegakan hukum dan keadilan. Kemudian dengan independensi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang Bank Indonesia, kedudukan Bank Indonesia tidak berada di bawah kontrol Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan apalagi mengingat pengangkatan Gubernur Bank Indonesia baru dapat dilakukan oleh Presiden setalah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun demikian kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, tidak dapat disamakan dengan lembaga tinggi negara, dan tidak mungkin pula dapat disamakan dengan kedudukan Presiden sebagai kepala negara sebagaimana dikemukakan oleh Didik J Rachbini, Suwidi Tono dkk.[157] Seperti juga dikemukakan oleh Nico Daryanto, “Karena Presiden itu juga kepala negara, maka pasti tidak akan ada tingkat dari Bank Indonesia ini ditempat Presiden itu, pasti di bawahnya”.[158] Sebagaimana juga dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra, konsekwensinya apabila Bank Indonesia menjadi lembaga tinggi negara, Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat sewaktu-waktu untuk memanggil Bank Indonesia kecuali dalam rapat konsultasi, sehingga akibatnya akuntabilitas Bank Indonesia menjadi berkurang.[159]
Dari Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, kedudukan bank sentral tidak pernah ditegaskan sebagai lembaga tinggi negara atau sebagai alat perlengkapan Negara. Pada UUD 45 sebelum diamandemen, yang diakui sebagai lembaga tinggi negara adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, [160] Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung dan kemudian hal ini semakin ditegaskan oleh Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978. Begitu juga dengan UUD Sementara 1950, yang dinyatakan sebagai alat perlengkapan Negara adalah Presiden dan Wakil Presiden; Menteri-menteri; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.[161] Adapun dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang dinyatakan sebagai alat-alat perlengkapan Federal Republik Indonesia Serikat ialah Presiden; Menteri-menteri, Senat; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan Pengawas Keuangan.[162]
Pasal-pasal tertentu dari UUD yang pernah berlaku di Indonesia ini semua menunjukkan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral atau juga disebut sebagai bank sirkulasi tidak pernah dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara, kalaupun Gubernur Bank Indonesia diperlakukan sebagai pejabat tinggi negara disamakan dengan menteri negara seperti pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tetapi pemerintah tetap memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah.
Dengan diakuinya independensi bank sentral oleh konstitusi, maka posisi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral mutatis mutandis diakui pula oleh UUD 1945, sehingga kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral diakui pula independensinya, artinya Bank Indonesia adalah lembaga negara yang terpisah dari Pemerintah. Tetapi terpisahnya Bank Indonesia dari pemerintah harus dilihat terpisah dalam menjalankan fungsinya, sedangkan secara institusi tetap merupakan bagian dari pemerintah, dengan kata lain, “Bank Indonesia berada di luar kabinet tetapi tetap dalam struktur Pemerintahan”,[163] Bank Indonesia tetap menjadi bagian integral dari Pemerintah.[164] Sehingga hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah adalah hubungan koordinatif khususnya dalam bidang moneter,[165] sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia. Dari sisi fungsinya maka Bank Indonesia dapat dikategorikan sama dengan fungsi kementerian negara, tetapi bukan bagian dari kabinet,[166] dan peraturan yang dibuatnyapun sejajar dengan keputusan Menteri, sebagaimana dikemukakan oleh pejabat Departemen Kehakiman dalam Rapat ke 15, penyusunan Undang-Undang Bank Indonesia tanggal 25 Maret 1999,[167] atau dengan istilahnya Stern “the highest executive state bodies”.[168]
Kalau dilihat dari sisi konstitusi, terutama dalam kaitannya dengan studi lembaga negara, maka penyebutan “Bank Indonesia adalah lembaga negara negara.......” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 juncto UU No. 3 Tahun 2004 ini tidak dikenal dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang secara tegas menyatakan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara, sedangkan Presiden, DPA, DPR, BPK dan Mahkamah Agung disebut sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan Bank Indonesia sebagai kembaga negara, jika dihubungkan dengan pasal 24 C Undang Undang Dasar 1945, bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, akan tetapi kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga diatur oleh undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 D UUD ’45 .
Dengan demikian maka penyebutan lembaga negara yang tidak ada landasan konstituionalnya ini dapat menimbulkan kerancuan[169] dan mudah juga menimbulkan multi tafsir tehadap posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Untuk menghindari kerancuan dan multi tafsir tentang Bank Indonesia maka seharusnya dalam undang-undang tentang Bank Indonesia penyebutan Bank Indonesia sebagai “lembaga negara” dihilangkan, tetapi cukup disebut Bank Indonesia adalah bank sentral[170] yang independen. Dengan demikian maka akan menjadi sangat jelas posisi Bank Indonesia adalah sebagai bank sentral yang independen, bukan sebagai lembaga negara yang tidak jelas posisinya.
Dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dan terpisah secara fungsional dari pemerintah, pertanyaaan yang timbul apakah dengan konsep Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen ini tidak merupakan pelanggaran terhadap asas kekeluargaan dengan rujukan konstitusionalnya Pasal 33 UUD 1945 ?
Dari ketentuan undang-undang menjawab pertanyaan ini tidak terlalu mudah, namun dari ketentuan Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2004, secara umum dapat dikemukakan bahwa dengan independensi Bank Indonesia tidak terjadi pelanggaran konstitusional khususnya Pasal 33 UUD 1945. Argumen ini dasarnya karena tujuan Bank Indonesia itu adalah memelihara kestabilan nilai rupiah, dengan cara melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Sebagaimana diterangkan dalam penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1999 bahwa “kebijakan moneter adalah merupakan bagian penting dari kebijakan pembangunan ekonomi” dan “kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Ini berarti dari segi tujuannya Bank Indonesia bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah yang diharapkan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat.
Selain itu Bank Indonesia juga masih mempunyai kewajiban untuk memberikan pertimbangan dan pendapat kepada pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kebijakan lain.[171] Sehingga ini dapat diartikan, sebagai bentuk partisipasi Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan menyusun perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan untuk sebesar-besarnya mencapai kemakmuran bagi rakyat. Penyelenggaraan perekonomian nasional atas dasar perinsip kebersamaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat 4 UUD 1945, ditegaskan pelaksanaannya dalam ketentuan Pasal 58 ayat 6 (b) dimana Bank Indonesia berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka mengenai rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran moneter. Ini berarti bahwa informasi tentang kebijakan moneter sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat, disampaikan agar masyarakat dapat mengetahuinya secara terbuka dan transparan. Apalagi mengingat bahwa secara umum diakui, diberikannya independensi kepada bank sentral adalah sebagai upaya untuk menjadikan bank sentral lebih efisien dalam melaksanakan tugasnya. Dengan independensinya Bank Indonesia tidak meninggalkan landasan konstitutional tentang pengaturan ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pemisahan fungsi Bank Indonesia dari Pemerintah adalah untuk menciptakan efisiensi bagi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya, karena menurut Didik J Rachbini, “asas efisiensi adalah refleksi berlakunya sistem ekonomi pasar”,[172] dan menurut Didik J Rachbini, ekonomi pasar sosial ini terlihat ideal sebagaimana berkembang di Eropa Barat dan Skandinavia.[173] Namun penggunaan kata efisiensi terutama dalam hubungannya dengan pasal 33 UUD ’45 ini bukan tidak menuai kritik seperti dikemukakan oleh Mubyarto, “efisiensi sebetulnya keliru disebut sebagai asas karena hanya sekedar prinsip alokasi sumberdaya”,[174] begitu juga dalam Sumbang Saran dari Simposium UUD ’45 Pasca Amandemen, yang diselenggarakan The Habibie Center bahwa, “ Kata efisiensi merupakan representasi dari liberalisasi ekonomi dan kedaulatan pasar”.[175] Menurut hasil simposium ini, “Penekanan pada efisiensi dikhawatirkan akan mengorbankan aspek keadilan..”.[176]
Alasan lain yang dapat digunakan untuk mengukuhkan pandangan bahwa dengan independensi Bank Indonesia tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, adalah dengan menggunakan argumen-argumen yang digunakan dalam melihat independensi Bundesbank; sebagaimana dalam konstitusi Jerman sebagai negara yang menganut faham welfare state kepada Bundesbank diberikan independensi sejak awal dan diakui oleh konstitusi secara tegas. Menurut Amtenbrink garansi dari konstitusi terhadap independensi ini adalah untuk memberi pangakuan prinsip keadilan sosial dan negara kesejahteraan, dengan alasan, “..this principle obliges the State to enforce monetary stability, which in return can only be provided for by an independent monetary institution”.[177] Apalagi mengingat pengakuan independensi Bundesbank dari pemerintah oleh konstitusi ini hanya terbatas pada hak tertentu sebagaimana dikatakan oleh Stern adalah “..will not find that the Bundesbank is independent per se, but rather that it is independent in respect of certain functions”.[178] Dalam pada itu apa yang dilakukan oleh Bundesbank membantu ekonomi dari pemerintah, yang tujuannya adalah menciptakan keadilan sosial dan menciptakan kemakmuran, karena menurut Amtenbrink, “... a healthy currency and monetary sistem is certainly an important element supporting a democracy based on the principle of social justice and the welfare state,..”.[179] Hal ini sama dengan yang terjadi terhadap independensi Bank Indonesia, yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah, untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dan menurut penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999, kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar adalah merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuhnya perekonomian berkelanjutan yang akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam pada itu kalau dilihat pada teks menimbang No. 1, maka UU No. 23 Tahun 1999 dan UU No. 3 tahun 2004, secara tegas menjadikan Pasal 33 UUD ’45 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga ini berarti UU tentang Bank Indonesia disusun dengan mengingat jiwa dari Pasal 33 UUD ‘45. Dengan meminjam cara penafsiran terhadap UU No. 7 /1992 tentang Perbankan yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie,[180] maka akan dikemukakan bahwa dengan dijadikannya konsideran mengingat No.1. “...Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, dalam UU No. 23 tahun 1999 dan dalam UU No. 3 Tahun 2004 yang juga menyatakan, “...Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, maka kebijakan yang dipilih untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia adalah sebagai satu kebijakan yang dianggap merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD ’45. Artinya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia didasarkan pada jiwa Pasal 33 UUD ’45 dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 UUD ’45. Sehingga dapat ditegaskan bahwa independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tidak bertentangan dengan cita-cita luhur dari Pasal 33 UUD ’45.

Kesimpulan
Kontrol pemerintah terhadap bank sentral yang pernah ada di Indonesia sangat berbeda dari waktu kewaktu. Pada masa Hindia Belanda bank sentral mendapat kontrol yang sangat ketat dari pemerintah, dan hal ini agak berbeda dengan masa awal Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia diberikan independensi dalam melaksanakan kebijakan moneter, sedangkan pada masa Orde Baru Bank Indonesia mendapat kontrol yang juga sangat ketat dari pemerintah. Hal ini berbeda dengan hubungan Bank Indonesia dan pemerintah menurut UU No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004, dimana Bank Indonesia diberikan independensi dari pemerintah.
Dalam kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum, seharusnya ada penjelasan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan, dalam arti harus ada penjelasan bahwa Bank Indonesia sebagai badan hukum tidak mempunyai kedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan Mahkamah Agung atau Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk menghindarkan salah pengertian tentang kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara, maka penyebutan dalam undang-undang bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara sepatutnya tidak dilakukan, cukup ditegaskan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral.
Meskipun ada kesetaraan dalam beberapa hal menyangkut tugasnya membantu Pemerintah, tetapi harus ada penjelasan hubungan tersebut, mengingat kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen, tetapi secara administratif dan secara fungsional melakukan tugas yang sebenarnya adalah merupakan bagain dari tugas pemerintah di bidang keuangan dan perbankan, dengan demikian maka hubungan antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam persfektif principal-agent ini harus dirumuskan secara tegas dan jelas, sehingga tidak sampai menimbulkan perselisihan akibat adanya conflict of interest.
Adapun kebijakan untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia harus dilihat sebagai kebijakan penjabaran dari Pasal 33 UUD ’45, karenanya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dapat dikatakan sebagai penjabaran lebih lanjut dari jiwa dan ketentuan Pasal 33 UUD ’45, sehingga independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tidak bertentangan dengan cita-cita luhur dari Pasal 33 UUD ’45. Dengan demikian maka dalam memandangan independensi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Bank Indonesia, kepada Bank Indonesia harus dilihat hanya terbatas dalam menetapkan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.







Bibliografi
Agus Santoso: 2003, Status, Tugas dan Kedudukan Bank Indonesia Menurut Pasal 23 D UUD 1945, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol.1, No.1, h. 28, diakses, Agustus 2004 dari http://www.bi.go.id
Ali Wardhana : 1971, The Indonesian Bankin System : The Central Bank, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press, Ithaca and London.
Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara Seabiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001.
Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara, Sebaiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001.
Arend Lijphart : 1999, Patterns of Democracy, Government forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London.
Bagir Manan : 2000, Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Monograph.
Benjamin H Higgins and William C Hollinger: 1960, Central Banking in Indonesia, dalam S. Gethyn Davies, Cental Banking in South East Asia, Hing Kong University Press.
BI Bisa Masuk dalam Amandemen UUD ’45, Media Indonesia, 1 Mei 2002.
BI Diusahakan Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 1 Juli 2002.
Buku II Persandingan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi : 2004.
C.F Scheffer : 1953, 1953, Some Aspects of Relation between the State and Central Banking, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Tahun VI, No.6, June, 314-325., Juni.
Didiek J. Rachbini, Suwidi Tono dkk : 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT Mardi Mulyo, Jakarta.
Didik J Rachbini: 2004, Ekonomi Politik – Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Granit.
Ellen Kennedy: 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary Sistem, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers.
Fabian Amtenbrink : 1999, The Democratic Accountability of Central Bank, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon.
FUG tolak ‘BI’ masuk UUD, Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2002.
G.H.A Prince : 1996, Monetary Policy in Colonial Indonesia and the Position of the Java Bank, dalam J.Th. Lindblad, Historical foundations of a national economy in Indonesia, 1890s-1990s, North-Holland, Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo
Geoffrey E Wood, Terence C. Mills, Forrest H. Capie: 1993, Central Bank Independence: What Is It and What Will It Do For Us ?, Institute of Economic Affairs.
Geoffrey P Miller : 1998, 1998, An Interest-Group Theory of Central Bank Independence, Journal of Legal Studies, vol. XXVII.
Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Arsil: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Independensi BI Diusulkan Masuk UUD 45, Media Indonesia, 26 Februari 2002.
Independensi BI tidak Perlu Masuk UUD 1945, Media Indonesia, 31 Mei 2002.
J. Sodradjad Djiwandono : 2001, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, LP3ES.
J.S Furnivall : 1944, Netherlands India, A Study of Plural Economy, Cambridge, At the University Press.
Jan T.M Van Laanen : 1990, Between the Java Bank and the Chinese Moneylender: Banking and Credit in Colonial Indonesia, in Anne Booth, W.J. O’Malley, Anna Weidemann, Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era, Monograph Series 35/ Yale University Southeast Asia Studies, Yale Center for International Area Studies.
Jimly Asshiddiqie, S.H: tt, Pengaturan Konstitusional Independensi Bank Central dalam Wilayah Kekuasaan Eksekutif, Monograph.
Jimly Asshidiqie : 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Ikhtiar Baru van Hoeve.
Jimly: Lebih Baik Kata BI Dimasukkan Dalam UUD, Republika, 27 Juli 2002.
John O Sutter : 1959, Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940-1955, vol. I, Data Paper Number 36-I, Southeast Asia Program Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York.
Jon Elster : 1995, The Impact of Constitutions on Economic Performance, Proceedings of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
Klaus Stern: 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, in Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Gemany since 1948, Oxford University Press.
Laporan Presiden dan Dewan Komisaris De Javasche Bank 1951-1952.
M Dawam Rahardjo dkk: 1995, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 1, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 2, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 3, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
MPR Akan Masukkan Nama Bank Indonesia Dalam UUD, Suara Karya, 1 Mei 2002.
Mubyarto: 2001, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Edisi Pertama, Aditya Media Yogyakarta.
N.W. Barber: 2001, Prelude to the Separation of Powers, C.L.J, 60(1), March, 59-88.
Nama BI Diupayakan Masuk UUD 1945, Suara Pembaruan, 1 Juli 2002.
Natasha Hamilton-Hart : 2002, Asian State, Asian Bankers, Central Banking in Southeast Asia.
Oey Beng To : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pembangunan Perbankan Indonesia, Jakarta.
Perlukah Bank Indonesia Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 2 Agustus 2002.
Robert Sparve : 2002, Supervisory Boards in Some Central Banks, paper contribution to the IMF Seminar on Current Developments in Monetary and Financial Law, Washington, D.C., May 7-17.
Rosa Maria Lastra and Geoffrey P. Miller : 2001, , Central Bank Independence in Ordinary and Extraordinary Times dalam Jan Kleinman (ed), Central Bank Independence, The Economic Foundations, the Constitutional Implications and Democratic Accountability, Kluwer International.
Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, Selasa 9 Maret 1999.
Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999.
Sumitro Djojohadikusumo : 1953 (a), Persoalan Ekonomi Indonesia, Indira.
Sumitro Djojohadikusumo : 1953 (b), The Central Bank of Indonesia, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Tahun ke VI, No.2/3, feb/ Maret.
Sutan Remy Sjahdeini: 2001, Tingkatkan Peran DPR untuk pertajam akuntabilitas BI, Bisnis Indonesia, 5 Februari 2001.
Syahril: Independensi BI agar dijamin UUD, Bisnis Indonesia, 23 April 2002.
The Habibie Center: 2004, Sumbang Saran dari Simposium UUD ‘45 Pasca Amandemen tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, The Habibie Center.
[1] Advokat di Jakarta dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
[2] M Dawam Rahardjo dkk: 1995, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, h. 28
[3] J.S Furnivall : 1944, Netherlands India, A Study of Plural Economy, Cambridge, At the University Press, h. 102.
[4] Loc.cit.
[5] Loc.cit.
[6] M Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit, h. 84.
[7] Pasal 23 ayat 5, terjemahan bebasnya, “ Atas usulan rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Presiden (Direktur) dalam mewakili jabatannya oleh Gubernur-Jendral dapat diskors, atau dengan persetujuan kemudian dari Kami diberhentikan. Dalam usulan skorsing sekaligus diusulkan tentang penggantian sementara”; ayat 6, “Dengan usulan serupa anggota lain dari Direksi dan para Wakilnya oleh Gubernur_jendral dapat juga diberhentikan”; ayat 7, “ Gaji Presiden (Direktur) dan masing-masing direktur ditetapkan oleh Gubernur-Jendral”.
[8] Benjamin H Higgins and William C Hollinger: 1960, Central Banking in Indonesia, dalam S. Gethyn Davies, Cental Banking in South East Asia, Hing Kong University Press, h. 53.
[9] Jan T.M Van Laanen : 1990, Between the Java Bank and the Chinese Moneylender: Banking and Credit in Colonial Indonesia, in Anne Booth, W.J. O’Malley, Anna Weidemann, Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era, Monograph Series 35/ Yale University Southeast Asia Studies, Yale Center for International Area Studies, h. 252.
[10] Ibid, h. 250.
[11] Natasha Hamilton-Hart : 2002, Asian State, Asian Bankers, Central Banking in Southeast Asia, h 33.
[12] Ibid, h 34.
[13] Loc.cit.
[14] Benjamin H Higgins and William C Hollinger: 1960, Op.cit , h. 53
[15] G.H.A Prince : 1996, Monetary Policy in Colonial Indonesia and the Position of the Java Bank, dalam J.Th. Lindblad, Historical foundations of a national economy in Indonesia, 1890s-1990s, North-Holland, Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo h. 58.
[16] Ibid, h. 65.
[17] Pasal 24 ayat 1 terjemahan bebasnya, “ Dari pihak Pemerintah diselenggarakan pengawasan atas tindakan Bank oleh seorang Komisaris yang mewakili Pemerintah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur-Jendral”.
[18] Pasal 23 ayat 1, terjemahan bebasnya, “ Presiden (direktur) Bank, dengan persetujuan kemudian dari Kami, diangkat untuk jangka waktu lima tahun”; pasal 23 ayat 2 “Dalam rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris untuk pengangkatan sebagai Presiden (Direktur) Bank diajukan dua orang sebagai usulan kepada Gubernur-Jendral”.
[19] Pasal 4 ayat 5, terjemahan bebasnya, “ Pengorganisasian serta lingkungan kerja Cabang Bank, kegenan dan penghubung sebagai koresponden tunduk pada persetujuan Gubernur-Jenderal”.
[20] Laporan Presiden dan Dewan Komisaris De Javasche Bank 1951-1952, h. 10-11; Oey Beng To: 1991, Op. cit, h. 254.
[21] Pasal 22 (1) UU No.11 taun 1953, “Tugas Dewan Moneter ialah: a. menetapkan kebijakan moneter umum dari Bank; b. memeberi petunjuk-petunjuk kepada Direksi tentang kebijaksanaan Bank dalam urusan-urusannya yang lain, sekedar kepentingan umum memerlukannya; ….”.
Pasal 21 (2). “Tanggung jawab atas kebijaksanaan moneter berada pada Pemerintah”.
[22] M. Dawam Rahardjo dkk: 1995, Op.cit, h. 85.
[23] Pasal 21 UU No.11 Tahun 1953, “ Bank Indonesia dipimpin oleh: a. Dewan Moneter, b. Direksi dan, C. Dewan Penasehat, ….”.
[24] Sumitro Djojohadikusumo : 1953 (a), Persoalan Ekonomi Indonesia, Indira, h. 231; Sumitro Djojohadikusumo : 1953 (b), The Central Bank of Indonesia, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Tahun ke VI, No.2/3, feb/ Maret, h 94.
[25] Ibid, h 232; Sumitro Djojohadikusumo : 1953 (b) Ibid, h. 95.
[26] Ali Wardhana : 1971, The Indonesian Bankin System : The Central Bank, dalam Bruce Glassburner (ed), The Economy of Indonesia, Selected Readings, Cornell University Press, Ithaca and London, h. 349.
[27] Oey Beng To : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pembangunan Perbankan Indonesia, Jakarta. h. 255-256.
[28] Pasal 22 (1) a. UU No.11 Tahun 1953.
[29] Oey Beng To : 1991, Op.cit , h. 256.
[30] C.F Scheffer : 1953, 1953, Some Aspects of Relation between the State and Central Banking, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Tahun VI, No.6, June, 314-325., Juni, h. 317.
[31] Oey Beng To : 1991, Op.cit , h. 256.
[32] Pasal 8 UU No.13 Tahun 1968 (1) “ Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah”. (2) “ Dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut pada ayat (1) Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter”.
[33] Pasal 34 UU No.13 Tahun 1968.
[34] Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1992.
[35] Pasal 37 UU No. 7 Tahun 1992.
[36] J. Sodradjad Djiwandono : 2001, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, LP3ES, h. 290.
[37] Pasal 15 ayat 3 (a) UU No.13 Tahun 1968.
[38] Pasal 17 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968.
[39] Pasal 17 ayat 3 UU No.13 Tahun 1968.
[40] Pasal 17 ayat 4 UU No.13 Tahun 1968.
[41] Pasal 19 UU No.13 Tahun 1968.
[42] Penjelasan pasal 19 UU No.13 Tahun 1968.
[43] Pasal 22 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[44] Pasal 23 ayat 1 UU No.13 Tahun 1968.
[45] Pasal 23 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968.
[46] Pasal 24 ayat 1 UU No.13 Tahun 1968.
[47] Pasal 9 ayat 1 UU No.23 tahun 1999.
[48] Pasal 8 UU No.23 tahun 1999.
[49] Penjelasan Pasal 9 ayat 1 UU No.23 tahun 1999.
[50] Pasal 41 ayat 1 UU No.23 tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004.
[51] Pasal 41 ayat 3 UU No.23 tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004.
[52] Penjelasan Pasal 41 ayat 1 UU No.23 tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004.
[53] Pasal 48 ayat 1 UU No.3 Tahun 2004.
[54] Penjelasan pasal 48 ayat 1 (b) UU No.23 tahun 1999.
[55] Pasal 51 ayat 1 UU No.23 tahun 1999.
[56] Pasal 51 ayat 2 UU No.23 tahun 1999.
[57] Pasal 19 UU No.13 tahun 1968.
[58] Pasal 52 ayat 1 UU UU No.3 Tahun 2004.
[59] Pasal 53 UU No.23 tahun 1999.
[60] Penjelasan pasal 53 UU No.23 tahun 1999.
[61] Pasal 53 UU No.23 tahun 1999.
[62] Penjelasan pasal 53 UU No.23 tahun 1999.
[63] Pasal 54 ayat 1 UU No.3 Tahun 2004.
[64] Pasal 54 ayat 2 UU No.3 Tahun 2004.
[65] Pasal 56 ayat 1 UU No.23 tahun 1999.
[66] Pasal 56 ayat 2 UU No.23 tahun 1999.
[67] Penjelasan pasal 56 ayat 2 UU No.23 tahun 1999.
[68] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 1, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 274.
[69] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 2, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 186.
[70] Ibid, h 206.
[71] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 1,Op.cit, h. 281.
[72] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 2, Op.cit , h. 181.
[73] Ibid, h 182.
[74] Ibid, h 187.
[75] Ibid, h 190.
[76] Ibid, h 195.
[77] Ibid, h, 181.
[78] Ibid, h, 192.
[79] Ibid, h, 201.
[80] Ibid, h. 186.
[81] Ibid, h. 190.
[82] Ibid, h. 193.
[83] Ibid, h. 209.
[84] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 3, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 340.
[85] Ibid, h. 345.
[86] Ibid, h. 342.
[87] Ibid, h. 347.
[88] MPR Akan Masukkan Nama Bank Indonesia Dalam UUD, Suara Karya, 1 Mei 2002.
[89] BI Diusahakan Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 1 Juli 2002.
[90] Independensi BI tidak Perlu Masuk UUD 1945, Media Indonesia, 31 Mei 2002.
[91] Nama BI Diupayakan Masuk UUD 1945, Suara Pembaruan, 1 Juli 2002.
[92] Jimly: Lebih Baik Kata BI Dimasukkan Dalam UUD, Republika, 27 Juli 2002.
[93] Loc.cit.
[94] FUG tolak ‘BI’ masuk UUD, Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2002.
[95] Syahril: Independensi BI agar dijamin UUD, Bisnis Indonesia, 23 April 2002.
[96] Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara, Sebaiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001.
[97] Perlukah Bank Indonesia Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 2 Agustus 2002.
[98] Buku II Persandingan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi : 2004, h 17. Saya beruntung mendapatkan naskah ini atas jasa baik dari Ketua Komisi Konstitusi Bapak Prof. Dr. H.R. Sri Soemantri M, S.H.
[99] BI Bisa Masuk dalam Amandemen UUD ’45, Media Indonesia, 1 Mei 2002.
[100] FUG tolak ‘BI’ masuk UUD, Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2002, Op. cit.
[101] BI Bisa Masuk dalam Amandemen UUD ’45, Media Indonesia, 1 Mei 2002, Op. cit.
[102] Jimly: Lebih Baik Kata BI Dimasukkan Dalam UUD, Republika, 27 Juli 2002.
[103] Independensi BI Diusulkan Masuk UUD 45, Media Indonesia, 26 Februari 2002.
[104] Independensi BI tidak Perlu Masuk UUD 1945, Media Indonesia, 31 Mei 2002, Op.cit.
[105] Agus Santoso: 2003, Status, Tugas dan Kedudukan Bank Indonesia Menurut Pasal 23 D UUD 1945, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol.1, No.1, h. 28, diakses, Agustus 2004 dari http://www.bi.go.id
[106] Ibid, h. 29.
[107] Klaus Stern: 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, in Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Gemany since 1948, Oxford University Press, h. 105.
[108] Jimly Asshidiqie : 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, h. 241.
[109] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Arsil: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 38-42.
[110] Kelima belas negara tersebut Menurut Jimly Asshiddiqie, adalah Alabania, Armenia, Azerbaijan, Bulgaria, Fiji, Finlandia, Lithuania, Macedonia, Polandia, Swedia, Czechnya, Georgia, Peru, Philipina dan Rusia, lihat Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, S.H: tt, Pengaturan Konstitusional Independensi Bank Central dalam Wilayah Kekuasaan Eksekutif, Monograph, h. 6.
[111] Arend Lijphart : 1999, Patterns of Democracy, Government forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, h. 302.
[112] Jon Elster : 1995, The Impact of Constitutions on Economic Performance, Proceedings of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, h. 212.
[113] Pasal 23 ayat 5, terjemahan bebasnya, “ Atas usulan rapat umum Direksi dan Dewan Komisaris Presiden (Direktur) dalam mewakili jabatannya oleh Gubernur-Jendral dapat diskors, atau dengan persetujuan kemudian dari Kami diberhentikan. Dalam usulan skorsing sekaligus diusulkan tentang penggantian sementara”; ayat 6, “Dengan usulan serupa anggota lain dari Direksi dan para Wakilnya oleh Gubernur_jendral dapat juga diberhentikan”; ayat 7, “ Gaji Presiden (Direktur) dan masing-masing direktur ditetapkan oleh Gubernur-Jendral”.
[114] Ali Wardhana : 1971, Op.cit, h. 339; John O Sutter : 1959, Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy, 1940-1955, vol. I, Data Paper Number 36-I, Southeast Asia Program Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York, h. 87.
[115] G.H.A Prince : 1996, Op.cit , h. 58.
[116] Pasal 24 ayat 1, terjemahan bebasnya, “ Dari pihak Pemerintah diselenggarakan pengawasan atas tindakan Bank oleh seorang Komisaris Pemerintah, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur -Jenderal.
[117] Pasal 1 ayat 2 UU No.11 Tahun 1953.
[118] Pasal 7 (1dan 2) UU No.11 Tahun 1953.
[119] Pasal 22 (1) UU No.11 Tahun 1953.
[120] Pasal 26 (a) UU No.11 Tahun 1953.
[121] Pasal 27 ayat 4 UU No. 11 Tahun 1953.
[122] Pasal 27 ayat 6 UU No. 11 Tahun 1953.
[123] Pasal 1 ayat 2 UU No.13 Tahun 1968.
[124] Pasal 7 UU No.13 Tahun 1968.
[125] Pasal 8 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[126] Pasal 9 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[127] Pasal 17 (1) UU No.13 Tahun 1968.
[128] Pasal 16 ayat 2 UU 13 Tahun 1968.
[129] Pasal 19 UU 13 Tahun 1968.
[130] Pasal 4 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999 jo pasal 4 ayat 2 UU No.3 Tahun 2004.
[131] Pasal 4 ayat 3 UU No.23 Tahun 1999 jo pasal 4 ayat 3 UU No.3 Tahun 2004.
[132] Pasal 45 UU No.23 Tahun 1999.
[133] Pasal 23 D UUD 1945.
[134] Pasal 4 ayat 3 UU No. 3 Tahun 2004.
[135] Prof. Bagir Manan : 2000, Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Monograph, h. 8.
[136] Penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.23 Tahun 1999 jo penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.3 Tahun 2004.
[137] Prof. Bagir Manan : 2000, Op. cit, h. 9.
[138] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h.110.
[139] Klaus Stern : 1999, Op.cit, h. 110.
[140] Geoffrey P Miller : 1998, 1998, An Interest-Group Theory of Central Bank Independence, Journal of Legal Studies, vol. XXVII, 433-453, h. 449.
[141] N.W. Barber: 2001, Prelude to the Separation of Powers, C.L.J, 60(1), March, 59-88, h. 73.
[142] Rosa Maria Lastra and Geoffrey P. Miller : 2001, , Central Bank Independence in Ordinary and Extraordinary Times dalam Jan Kleinman (ed), Central Bank Independence, The Economic Foundations, the Constitutional Implications and Democratic Accountability, Kluwer International, h. 40.
[143] Arend Lijphart : 1999, Op.cit, h. 232.
[144] Geoffrey E Wood, Terence C. Mills, Forrest H. Capie: 1993, Central Bank Independence: What Is It and What Will It Do For Us ?, Institute of Economic Affairs, h 11.
[145] Robert Sparve : 2002, Supervisory Boards in Some Central Banks, paper contribution to the IMF Seminar on Current Developments in Monetary and Financial Law, Washington, D.C., May 7-17, h. 9..
[146] Loc.cit.
[147] Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978, “ Yang dimaksud dengan Lembaga-lembaga Tinggi Negara dalam Ketetapan ini, sesuai dengan urutan-urutan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, ialah: a. Presiden; b. Dewan Pertimbangan Agung; c. Dewan Perwakila Rakyat; d. Badan Pemeriksa Keuangan; e. Mahkamah Agung.
[148] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku II, Rapat ke-6, Selasa 9 Maret 1999, h. 62.
[149] Ibid, h. 63.
[150] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, h. 79.
[151] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 111.
[152] Ellen Kennedy: 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary Sistem, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, h. 11.
[153] Penjelasan pasal 55 ayat 1 UU No.3 Tahun 2004.
[154] Penjelasan pasal 55 ayat 4 UU No.3 Tahun 2004.
[155] Didiek J. Rachbini, Suwidi Tono dkk : 2000, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT Mardi Mulyo, Jakarta , h. 181.
[156] Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.
[157] Didik J Rachbini, Suwidi Tono dkk : 2000, Op. cit, h. 167.
[158] Sekretariat Komisi VIII: 1999, Buku II, Op. cit, Sidang 10 Maret 1999, h. 27.
[159] Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara Seabiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001, Op. cit.
[160] Dihapus dalam Perubahan IV 10 Agustus 2001.
[161] Pasal 44 UUD Sementara 1950.
[162] Bab III, Perlengkapan Indonesia Serikat Ketentuan Umum, Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
[163] H. Soelaiman Biyamiho, dalam Sekretariat Komisi VIII: 1999, Buku II, Op. cit, Rapat Kerja I, tgl 2 Maret 1999, h. 36.
[164] Nico Daryanto dalam ibid, h 41.
[165] Suwadji M, SIP, dalam ibid, h 29.
[166] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Asril: 2002, Op. cit, h 88.
[167] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, Op. cit, h. 79.
[168] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 111.
[169] Sutan Remy Sjahdeini: 2001, Tingkatkan Peran DPR untuk pertajam akuntabilitas BI, Bisnis Indonesia, 5 Februari 2001.
[170] Loc. cit.
[171] Pasal 54 ayat 2 UU NO. 3 Tahun 2004.
[172] Didik J Rachbini: 2004, Ekonomi Politik – Kebijakan dan Strategi Pembangunan, Granit, h. 187.
[173] Ibid, h. 187-188.
[174] Mubyarto: 2001, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Edisi Pertama, Aditya Media Yogyakarta, h. 49.
[175] The Habibie Center: 2004, Sumbang Saran dari Simposium UUD ‘45 Pasca Amandemen tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, The Habibie Center, h. 26.
[176] Ibid, h. 27.
[177] Fabian Amtenbrink : 1999, The Democratic Accountability of Central Bank, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, h.161.
[178] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 150.
[179] Fabian Amtenbrink : 1999, Op. cit, h.162.
[180] Jimly Asshidiqie : 1994, Op.cit, h. 241.