Jumat, 10 September 2010

Menanti Independensi KPK

Sinar harapan, Kamis, 12 November 2009 13:08
Menanti Independensi KPK

OLEH: MAQDIR ISMAIL

DRAMA satu babak tentang Ko­misi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) hampir berakhir.

Dukungan yang ditunjukkan masyarakat terhadap kebera­daan KPK sungguh luar biasa. Melebihi dukungan apa pun yang pernah dilakukan me­lalui dunia maya di Indonesia.
Tim 8 telah menyelesaikan tugas mereka yang berat. Ba­nyak pihak dimintai kete­rangan. Banyak cerita yang berhubungan, meskipun ada juga yang dikatakan ada cerita yang mata rantainya terputus. Rekomendasi Tim 8 telah di­sampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa pun akhir dari drama ini nanti, sangat layak diperha­tikan beberapa hal yang ber­hubungan dengan KPK, terutama berhubungan dengan cara-cara penegakan hukum dalam memberantas korupsi.
Kalau cara-cara penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK ini tidak dicermati dan tidak diperbaiki, maka tidak bisa tidak harus dikatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK akan selamanya menuai kecaman dan berpotensi terjadinya penya-lah­gunaan wewenang seperti yang dilakukan oleh penegak hukum yang lain. Gunung es penyalahgunaan wewenang itu akan semakin tinggi dan setiap saat meledak, menyapu proses penegakan hukum yang diba­ngun secara baik dan benar serta taat asas.
Semua warga negara yang taat hukum dan tidak meng­hendaki korupsi hidup subur, tentu ingin agar korupsi itu lenyap dari muka bumi pertiwi ini. Tetapi dalam memberantas korupsi itu, tentu harus dila­kukan menurut hukum, bukan dengan cara melanggar hukum. Proses penegakan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan hukum, bukan sesuai dengan selera para penegak hukum. Tidak boleh juga, karena adanya kepentingan politik jangka pendek atau sesaat, atau juga karena ada kepentingan jangka panjang.
KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen, begitulah seharusnya ke­be­ra­daan lembaga ini. Sebagai lem­baga independen, lembaga ini tidak boleh terkooptasi atau di­kemudikan langsung atau tidak langsung oleh satu kekuatan yang berada di dalam atau di luar KPK. Tentu independensi KPK itu harus diletakkan pada tataran efisiensi kekua­saan dalam memberantas ko­rupsi.
Ini mengingat dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dika­takan pemberantasan tindak pi­dana korupsi yang terjadi sam­pai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Bah­­kan dalam penjelasan umum dika­takan pula bahwa pe­negakan hukum untuk memberantas korupsi yang dila­kukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan.
Benar belaka kalau ada yang beranggapan bahwa KPK independen dan otonom dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. KPK yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, yang menjalankan tugas khusus yaitu memberantas korupsi; namun terpisah dan tidak menjadi bagian dari Kepolisian dan Kejaksaan, dan dalam melaksanakan tugasnya KPK terlepas dari campur ta­ngan presiden sebagai pe­mim­pin eksekutif. Sebagai lembaga yang independen, tentu tidak dihendaki bahwa KPK itu sebagai entitas tersendiri yang terlepas dari kekuasaan ne­gara. KPK itu adalah bagian dari kekuasaan pemerintah.

Potensi Penyalahgunaan Wewenang
Salah satu sangkaan kepada pemimpin nonaktif KPK yakni Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto oleh penyidik Polri adalah penyalahgunaan wewenang. Mengenai p­e­nyalah­gunaan wewenang ini, menurut Tim 8, lemah karena menggunakan pasal karet dan prosedur seperti ini sudah terjadi sejak pemimpin yang terdahulu.
Terlepas benar dan tidak benarnya penilaian ini, secara faktual penyalahgunaan wewenang itu tidak terlalu sulit menemukannya, terutama bagi para advokat yang pernah mendampingi tersangka dalam penyidikan KPK.
Penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi terjadi secara kasatmata di KPK. Terutama yang berkenaan de­ngan penyadapan. Salah satu contoh adalah penyadapan terhadap Mohammad Iqbal. Pe­nyadapan dilakukan dengan surat perintah satu bulan se­belum Mohammad Iqbal di­perkenalkan oleh Tadjoedin Noer Said kepada Billy Sindoro (terpidana suap), seorang pe­ngusaha yang dikenal dari kelompok Lippo. Satu bulan sebelum perkenalan ini, tentu secara hukum dan akal sehat belum ada perbuatan pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK untuk menyadap hubungan komunikasi mereka.
Penyalahgunaan wewenang kedua yang berpotensi berakibat terjadi pelanggaran hak asasi manusia, adalah penyebutan kata bersama-sama dalam surat dakwaan. Tentu tidak dapat dianggap benar, ketika seseorang sudah disebut ber­sama-sama dengan orang lain melakukan perbuatan pidana, sementara orang tersebut belum pernah diperiksa sebagai tersangka.
Contoh paling kasatmata adalah Jacob Nuwa Wea, mantan Menteri Tenaga Kerja yang disebut secara bersama-sama dengan terdakwa Muzni Tam­busai melakukan perbuatan pidana korupsi, tetapi faktanya Jacob Nuwa Wea belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Tidak mungkin orang didakwa melakukan perbuatan pidana dalam perkara orang lain melakukan pembelaan. Karena dalam faktanya seorang terdakwa hanya bisa membela diri ketika perkaranya diadili.
Potensi penyalahgunaan we­wenang ketiga berhubungan dengan penuntutan perkara. Dalam perkara Antony Z Abidin dan Hamka Yandu, yang diadili dalam satu perkara dan didakwa bersama-sama mene­rima uang aliran dana Bank Indonesia, dilakukan penuntutan yang berbeda. Fakta materi menunjukkan bahwa penerimaan uang pernah dilakukan di rumah Antony Z Abidin, tetapi pembagian uang kepada anggota Komisi IX DPR dilakukan oleh Hamka Yandu. Politik penuntutan ini tentu melahirkan ketidakadilan, karena Antony Z Abidin di­hukum lima tahun penjara, se-dangkan Hamka Yandu dihu-kum tiga tahun penjara.
Tidak bisa disangkal antusiasme masyarakat mendukung KPK ditunjukkan dengan luar biasa. Ini menunjukkan bahwa KPK sebagai lembaga pembe­rantas korupsi mendapat ke­per­cayaan dari masyarakat. Lem­­baga yang harus diper­ta­han­kan keberadaannya. Sudah ba­rang tentu, KPK sebagai lembaga independen dalam menegakkan hukum dan me­lakukan pemberantasan ko­rupsi, bukan untuk kepenti­ngan KPK, tetapi untuk kepen­tingan seluruh rakyat Indo­nesia. Indepen­den­sinya harus dijaga. Tidak boleh di­gunakan oleh siapapun, ter­utama dalam menghancurkan lawan politik. Harus juga di­pertahankan dari segala bentuk upaya untuk menghancurkannya.

Penulis adalah Advokat dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.

Tidak ada komentar: