Sinar Harapan, Kamis, 25 Pebruari 2010 12:17
OJK dan Perubahan Fungsi Pengawasan Bank Indonesia
OLEH: MAQDIR ISMAIL
Undang-Undang (UU) Bank Sentral di Indonesia, termasuk satu di antara undang-undang yang selalu mengalami perubahan.
Perubahan yang terjadi sesuai dengan kebutuhan zaman dan keinginan pemerintah yang berkuasa, terjadi karena keinginan negara pemberi bantuan dan pemberi utang.
Hal ini bisa dilihat mulai dari UU No 11 Tahun 1953 sebagai perubahan terhadap “De Javasche Bankwet 1922” dan UU tanggal 31 Maret 1922 (Staatsblad 1922 Nr 181), UU No 13 Tahun 1968 sebagai perubahan terhadap UU No 11 Tahun 1953, UU No 23 tahun 1999 yang melakukan perubahan UU No 13 Tahun 1968, UU No 3 Tahun 2004 amendemen terhadap UU No 23 Tahun 1999, dan terakhir adalah Perppu No 2 Tahun 2008 sebagai perubahan kedua UU No 23 Tahun 1999.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), satu undang-undang yang diamanatkan oleh UU No 3 Tahun 2004 yang harus dibentuk. Yang segera akan berpindah tangan adalah fungsi pengawasan bank ke lembaga pengawasan sektor jasa keuangan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Artinya, ini bukan hanya akan merupakan perubahan terhadap UU Bank Indonesia, tetapi yang paling kasat mata adalah perubahan fungsi Bank Indonesia. Fungsi pengawasan yang sempat dinikmati oleh Bank Indonesia selama masa reformasi.
Telunjuk yang selalu menuding ke arah ke Bank Indonesia, ada karena tidak mampunya mereka melakukan pengawasan secara baik terhadap bank. Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Timbul kecaman pedas karena bailout Bank Century yang oleh banyak pihak dianggap tidak masuk akal. Bank Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang ditengarai melakukan fraud atau kejahatan perbankan lainnya.
Sinkronisasi Pasal
Otoritas Jasa Keuangan ini bukan konsep baru dalam UU Bank Indonesia. Bahkan, dalam UU No 23 Tahun 1999, pembentukan lembaga yang akan melakukan pengawasan secara khusus terhadap perbankan akan dibentuk selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002. Kemudian, diperpanjang oleh UU No 3 Tahun 2004 menjadi selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Bukan hanya pemisahan fungsi pengawasan bank yang terjadi dengan dibentuknya OJK. Secara teoretis, pemisahan otoritas keuangan dan moneter dilakukan dalam rangka menjaga independensi bank sentral dan otoritas jasa keuangan, sehingga terjadi efisiensi dan saling mengawasi untuk menghindari penyimpangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, negara-negara yang selama ini menganut pemisahan tersebut, sejak terjadi krisis, sudah mulai mendiskusikan penggabungan kembali kedua fungsi tersebut dalam satu lembaga, yaitu bank sentral seperti yang terjadi di Amerika.
Pembentukan OJK ini akan berpengaruh terhadap beberapa ketentuan dalam UU Bank Indonesia. Pasal-pasal dalam UU OJK yang juga harus disesuaikan dengan UU BI paling kurang harus dilakukan terhadap Bab VI, Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, Pasal 24–35. Artinya, melaksanakan perintah Pasal 34 UU BI tidak hanya berhenti pada pembentukan OJK, tetapi juga harus ada sinkronisasi kedua UU mengenai tugas mengatur dan mengawasi bank.
Sinkronisasi ini terutama berhubungan dengan sanksi terhadap bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 UU BI, Pasal 26 ketentuan di bidang perizinan, termasuk mencabut izin usaha, pembukaan dan penutupan serta pemindahan kantor bank, izin pemilikan bank dan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan tertentu. Pasal 28 mengenai kewajiban menyampaikan laporan. Pasal 29 pemeriksaan bank secara berkala atau pemeriksaan sesuai dengan keperluan. Pasal 31, kewenangan menghentikan sementara kegiatan yang diduga merupakan tindak pidana perbankan. Pasal 32, mengenai sistem informasi antarbank. Lalu yang tidak kalah pentingnya lagi adalah mengenai ketentuan Pasal 11 UU No 23 Tahun 1999 jo UU No 3 Tahun 2004 jo UU No 6 Tahun 2009, tentang fasilitas pembiayaan darurat. Semua ketentuan ini pasti akan saling terkait dengan fungsi pengawasan bank.
Pekerjaan Besar
Persiapan yang harus segera dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah sekarang adalah mulai memisahkan fungsi pengawasan Bank Indonesia pada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan.
Pemisahan ini akan menjadi pekerjaan rumah Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Pekerjaan rumah itu termasuk mempersiapkan organisasi yang kuat dan melakukan seleksi yang patut terhadap personel-personel yang akan diberi kepercayaan untuk memimpin lembaga yang sangat terkait dengan gelimangan uang. Pemisahan ini tentu akan menjadi salah satu pekerjaan berat yang harus dilakukan tanpa menunggu kedatangan Gubernur Bank Indonesia yang baru, siapa pun yang terpilih nanti.
Sebagai akibat langsung dari adanya OJK kegiatan yang tidak kalah beratnya menunggu Gubernur Bank Indonesia adalah melakukan perampingan terhadap Bank Indonesia. Bank Indonesia adalah bank sentral yang bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, bukan bank dagang. Berkaca dari bank sentral yang sudah sangat mapan, organisasi Bank Indonesia yang mempunyai perwakilan di banyak provinsi dan di luar negeri layak dipertimbangkan untuk dikurangi. Gemuknya organisasi ini, tentu juga memengaruhi besarnya biaya Bank Indonesia.
Pekerjaan yang juga menunggu Gubernur Bank Indonesia adalah pembentukan Badan Supervisi Bank Indonesia. Badan supervisi yang selama ini menjalankan tugasnya telah lama berakhir. Belum ada penggantinya. Badan supervisi ini, sebagaimana berulang kali dinyatakan oleh Darmin Nasution sebagai wakil pemerintah dalam melakukan amendemen UU BI, adalah dalam rangka memperkuat akuntabilitas Bank Indonesia, dengan tugas pokok mengawasi secara profesional Bank Indonesia. Fungsi pengawasan terhadap Gubernur Bank Indonesia inilah yang sekarang tidak ada.
Penulis adalah Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar