Jumat, 10 September 2010

Hakim Ad Hoc Harus Hakim Ahli

Hakim Ad Hoc
Harus Hakim Ahli
Maqdir Ismail
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Suara karya, Kamis, 26 Februari 2009
Dalam UUD dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum. Artinya, penyelenggara peradilan berada sepenuhnya di bawah MA. Tidak ada badan peradilan yang tidak berada di bawah MA, termasuk pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).

Hal ini juga ditegaskan oleh undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berada di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya terletak pada eksistensi (keberadaan) hakim ad hoc.

Hakim ad hoc dalam peradilan tipikor dianggap banyak pihak sebagai legitimasi dari peradilan tipikor. Sebab, hakim ad hoc dianggap--terutama oleh LSM-- lebih berkontribusi dan lebih berintegritas dalam pemberantasan korupsi. Hakim ad hoc dianggap sebagai representasi dari kepentingan masyarakat, walaupun tidak ada keterangan resmi dan sahih tentang kontribusi dari hakim ad hoc menjadi hakim dalam perkara korupsi.

Integritas melekat selama seseorang hidup. Integritas seseorang tidak bisa dibangun hanya dengan satu kejadian atau satu keadaan. Ini bermakna bahwa untuk menilai integritas seorang hakim harus diberikan penilaian selama hakim itu menjalankan tugasnya sebagai hakim. Integritas hakim tidak bisa dinilai dari penanganan satu perkara.

Menilai kontribusi hakim dalam perkara korupsi, dasar penilaiannya tentu bukan hanya pada semangat menghukum atau menjatuhkan hukuman yang tinggi, tetapi juga harus disandarkan pada semangat menegakkan keadilan dan kebenaran. Tidak adil dan tidak benar kalau ada orang dihukum karena adanya perbuatan orang lain yang berhubungan dengan perkara dari seorang yang sedang diadili, meskipun orang itu adalah penyebab timbulnya perkara. Adil dan benar kalau orang dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, karena seorang yang diadili tidak bisa menanggung beban hukuman orang lain.

Hakim ad hoc itu kita perlukan. Tetapi, tidak boleh selamanya dalam pemberantasan korupsi kita menggantungkan diri pada hakim ad hoc. Hakim pengadilan yang ada harus lebih diberdayakan dan diberi kepercayaan serta diberi kehormatan. Memang, dalam melakukan pemberantasan korupsi kita masih memerlukan hakim-hakim ad hoc yang berpengalaman dan mempunyai pandangan jernih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tetapi, seharusnya lembaga ad hoc tidak dipermanenkan.

Namanya lembaga ad hoc, jadi haruslah bersifat sementara. Kalau kita tetap inginkan keberadaan hakim ad hoc, maka hakim ad hoc itu seharusnya tidak menjadi hakim permanen dalam waktu tertentu. Hakim ad hoc seharusnya adalah hakim ahli. Orang yang diminta menjadi hakim karena keahliannya, tidak hanya sekadar berpengalaman di bidang hukum. Orang ditunjuk menjadi hakim ahli hanya untuk perkara yang ditanganinya, dalam arti bahwa pekerjaannya bukanlah sebagai hakim.***

Tidak ada komentar: