Redenominasi Rupiah
Maqdir Ismail
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia
Suara Karya, Senin, 9 Agustus 2010
Ada dongeng kuno tentang nilai uang yang sangat riil. Pada suatu ketika ada seorang kikir yang menanamkan emas miliknya di kebun agar emas tidak digunakan oleh dia dan keluarganya. Sebab, emas itu begitu berharga dan sulit untuk mendapatkannya. Setiap hari si kikir menggali emas yang ditanam itu dan menghitung serta memastikan semuanya.
Namun, pada suatu hari, ketika si kikir sedang menggali dan menghitung emas yang ditanamnya, dia dilihat oleh seorang pencuri yang kemudian mencurinya pada malam harinya. Keesokan harinya, ketika si kikir menggali dan hendak menghitung kembali emas yang ditanamnya, dia sadar bahwa uangnya telah hilang. Dia pun merasakan telah kehilangan segala-galanya. Si kikir pun menangis, setengah putus asa, dan menjambak rambutnya.
Ketika si kikir sedang menangis itu, lewatlah seorang pengelana dan menanyakan apa gerangan yang terjadi pada dirinya, sehingga dia sampai putus asa. Kata si kikir, "Emas saya telah dirampok seseorang."
Kata si pengelana, "Emas Anda ada dalam lubang itu? Mengapa Anda menaruhnya di sana? Mengapa Anda tidak menyimpannya di dalam rumah di mana Anda dapat dengan mudah mengambilnya ketika Anda harus membeli sesuatu?"
"Beli!" teriak si kikir marah. "Wah, saya tidak pernah menyentuh emas itu. Aku tidak bisa memikirkan pengeluaran apa pun dengan itu."
Cerita tersebut menggambarkan betapa bermaknanya kekayaan itu bagi manusia. Cerita ini juga menunjukkan betapa hancurnya seseorang yang kehilangan kekayaan.
Hilangnya kekayaan akan membuat orang menjadi gila. Ini bukti bahwa banyak orang menjadi gila karena kehilangan harta dan uang. Banyak orang putus asa dan gantung diri karena merugi dalam usahanya atau karena tidak mampu membayar utang yang menumpuk.
Sekarang, Bank Indonesia (BI), sebagai penguasa di bidang moneter, melontarkan gagasan baru, melakukan redenominasi terhadap rupiah. Yang diartikan penyederhanaan nilai nominal dengan cara mengurangi beberapa digit angka nol.
Konon, dengan redenominasi ini banyak hal yang dapat disederhanakan. Misalnya, akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa, yang diikuti penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang. Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran, tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian.
Adalah hak BI untuk mengambil keputusan apa saja terhadap mata uang rupiah. Sebab, dalam Pasal 23 B UUD 1945 dikatakan, "Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang."
Kemudian, dalam Pasal 19 UU Bank Indonesia dinyatakan, "Bank Indonesia berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah."
Pasal 20 UU Bank Indonesia menyatakan, BI satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, mencabut, menarik, dan memusnahkan uang.
Yang ditakutkan banyak orang tentang redenominasi ini, kalau akibatnya sama dengan sanering. Harga barang tetap sama, tetapi nilai uangnya berbeda. Nilai uang menjadi makin tidak berharga. Satu juta rupiah menjadi satu rupiah, sementara harga barang tetap satu juta rupiah. Kalau ini yang terjadi, nasib bangsa ini akan sama dengan nasib si kikir yang menanam uangnya di kebun, kemudian dicuri oleh pencuri. Dan, tentu kita tidak ingin dia menjadi si pencuri yang menghancurkan kehidupan bangsa Indonesia. ***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar