Jumat, 10 September 2010

Ihwal Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi

Ihwal Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi
Maqdir Ismail
Staf pengajar Fakultas Hukum
Unversitas Al Azhar Indonesia

Suara Karya, Senin, 23 Maret 2009
Kejaksaan Agung mengusulkan, setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, kalau mengembalikan kerugian negara, maka terhadap orang tersebut tidak perlu dilakukan penahanan. Kebijakan tersebut mendapat banyak tanggapan. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju.

Kalau kita teliti UU No. 3 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, kita akan menemukan ambigu yang nyata dalam undang-undang tersebut. Pada satu sisi, orang dapat didakwa melakukan tindak pidana korupsi karena melanggar Pasal 2 atau Pasal 3, jika perbuatan orang tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Artinya, kalau perbuatan orang tersebut sudah tidak merugikan negara, maka orang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini. Namun, Pasal 4, misalnya, menyatakan bahwa pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana seorang yang melakukan perbuatan pidana.

Pengembalian kerugian negara menjadikan alasan tidak perlu dilakukan penahanan terhadap seorang tersangka, bukanlah usulan yang progresif. Ini usulan biasa. Dari literatur kita bisa menemukan adanya konsep plea bargaining, yang sudah cukup lama dipraktikkan di banyak negara, yaitu konsep yang melepaskan orang dari hukuman atau akan mendapat hukuman ringan kalau mereka bekerja sama dengan penyidik atau penuntut.

Di Belanda, sejak tahun 1983, dikeluarkan satu undang-undang yang dikenal dengan nama Financial Penalties Act 1983. Dalam undang-undang ini semua hukuman, termasuk hukuman seumur hidup, dapat diganti dengan hukuman denda. Bahkan, dalam catatan Peter J Tak, sampai tahun 1995 sudah 30% perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan, melalui kesepakatan. Ini dilakukan untuk mengurangi kesibukan penuntut dan terdakwa, dan menghilangkan stigma yang buruk bagi tersangka atau terdakwa.

Mengikuti perkembangan pemikiran dan praktik di Belanda, sebagai cikal bakal hukum positif kita, saatnya untuk dipikirkan--dalam rangka pembahasan amandemen Undang-Undang KPK--dimasukkannya kewenangan KPK menghentikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap orang yang diduga terlibat perkara korupsi. Itu jika bersedia melakukan pembayaran terhadap kerugian negara beserta dendanya.

Dalam perkara korupsi, yang lebih penting pengembalian kerugian negara beserta pembayaran denda daripada menghukum orang. Proses peradilan yang melelahkan dan membutuhkan biaya tidak sedikit tidak perlu dilakukan, kalau ada ketentuan seperti ini.

Ke depan, pengembalian uang lebih penting daripada menjatuhkan hukuman yang tinggi. Banyak orang lebih takut kehilangan harta daripada kehilangan kebebasan. Untuk mengantisipasi situasi ini terjadi, sepatutnya kita meniru Financial Penalties Act 1983, dalam rangka menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Namun, itu tidak cukup hanya pengembalian kerugian, tetapi harus ada juga kewajiban membayar denda yang patut kepada negara.***

Tidak ada komentar: