Penyadapan Menurut Hukum
Oleh Maqdir Ismail
Suara Karya, Selasa, 4 Agustus 2009
Berita tentang saling sadap antarpenegak hukum yang sempat mencuat belum lama ini menjadi kabar yang mencengangkan banyak orang. Berita itu berawal dari pernyataan Kepala Badan Resort dan Kriminal (Kabareskrim) yang merasa telepon genggam (telepon seluler)-nya disadap oleh penegak hukum yang lain. Meskipun tidak disebut secara tegas lembaga yang menyadap itu, tetapi semua telunjuk jari menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak yang melakukan penyadapan.
Hal yang pasti, berita ini menunjukkan tidak adanya koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam menegakkan hukum. Ini juga membuktikan bahwa ada persaingan yang tidak sehat, bahkan bisa menyesatkan di antara sesama lembaga penegak hukum. Tentu kita percaya, semua ini adalah untuk kepentingan penegakan hukum, bukan untuk mencari perhatian pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan menjadikannya sebagai tiket mendapatkan jabatan baru pada bulan Oktober yang akan datang.
Hasil penyadapan KPK, yang kemudian digunakan untuk kepentingan penegakan hukum dalam proses peradilan, tidak terbantahkan kebenarannya oleh mereka yang disadap. Mulyana W Kusumah sudah divonis, Artalyta Suryani, dan jaksa Urip Tri Gunawan sudah dihukum. Al Amin Nasution juga dijerat, bahkan aibnya berhubungan dengan perempuan dibuka di hadapan sidang pengadilan.
Pengusaha Billy Sindoro dan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal juga diadili dan dihukum. Sebab, dari hasil penyadapan KPK, "terbukti" adanya dugaan pemberian tas berisi uang karena salah kira dari Billy Sindoro kepada Mohammad Iqbal berhubungan dengan putusan KPPU dalam perkara Liga Inggris.
Dasar hukum KPK melakukan penyadapan ini adalah ketentuan Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002, yang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Jadi, dasar hukumnya adalah Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dalam menegakkan hukum, penyadapan itu bukan hal yang dilarang. Dalam perkara yang termasuk sebagai perkara serius seperti terorisme, penyadapan itu diperkenankan untuk waktu selama satu tahun. Hak untuk menyadap itu hanya diberikan kepada penyidik. Penyadapan itu hanya dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan. Itulah yang ditegaskan oleh Pasal 31 Perpu No 1 Tahun 2002, yang kemudian menjadi UU No 15 Tahun 2003.
Adapun menurut UU Telekomunikasi, penyadapan itu hanya dapat dilakukan untuk keperluan peroses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung atau Kapolri atau atas permintaan penyidik untuk perkara tertentu. Dalam penjelasan Pasal 42 UU No 36 Tahun 1999, ruang lingkup penyadapan itu pada peroses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan, dengan perkara yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun.
Ketiga UU itu memberikan waktu yang berbeda dalam melakukan penyadapan. Ini dapat dikatakan sebagai kealpaan dalam mensinkronkan materi satu undang-undang dengan yang yang lainnya.
Dalam praktik seperti penyadapan terhadap Mohammad Iqbal dan Billy Sindoro, terjadi satu bulan sebelum mereka diperkenalkan. Inilah penyadapan yang dapat dikatakan penyadapan tanpa dasar hukum. Penyadapan ini belum berhubungan dengan perkara pidana. Penyadapan dilakukan karena ada dugaan akan timbul perkara korupsi. Penyadapan seperti ini dapat diduga dan dituduh sebagai penyadapan by design.
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam proses penyadapan ini, maka diperlukan satu standar yang baku dalam melakukan penyadapan. Standar baku yang berlaku secara umum adalah izin dari pengadilan. Selain itu, harus berhubungan dengan perkara yang sudah jelas. Artinya, penyadapan itu hanya dapat dilakukan dalam proses penyidikan dan penuntutan, tidak dalam proses penyelidikan. Sebab, dalam proses penyelidikan belum ada perkara, yang ada hanya potensi akan adanya perkara.***
Penulis adalah staf pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar