Selasa, 14 September 2010

Menelisik UU OJK

Menelisik UU OJK

Oleh: Maqdir Ismail
Pengantar
Dalam UUD 1945 hasil perubahan ke IV dikatakan, “ Negara memiliki suatu bak sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Itulah kata-kata ajaib tentang bank Sentral di Indonesia yang bernama Bank Indonesia. Kata-kata ajaib yang menyebabkan Bank Indonesia menjadi bank sentral yang Independen, bahkan pernah dikatakan sebagai ‘negara dalam negara’, meskipun sebenarnya independensi bank sentral terutama dalam menjalankan kebijakan moneter sudah dipraktikkan tatkala dibawah Sjafruddin Prawiranegara.
Independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dengan UU No. 23 tahun 1999, diberikan setengah hati. Taring pengawasan bank yang baru diterima pelimpahannya dari Departemen Keuangan sesuai dengan Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 akan ditanggalkan, karena dalam Pasal 34 pengawasan bank akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang akan dibentuk paling lambat 31 Desember 2002. Kemudian tatkala dilakukan amandemen terhadap UU No. 23 tahun 1999 dengan UU No. 3 tahun 2004, ada perpanjangan waktu pembentukan lembaga pengawasan bank akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Dengan tanggalnya kewenangan mengawasi bank yang akan diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai bunyai Pasal 34 UU Bank Indonesia, maka yang akan menjadi tugas Bank Indonesia tinggal, ‘menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran’, sedangkan tugas mengatur menurut Pasal 34 tidak diserahkan, karena yang diserahkan hanya tugas mengawasi bank yang akan berpindah tangan menjadi wewenang lembaga baru yang akan bernama otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan RUU yang mulai dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

Draft UU OJK
Menilik draft UU OJK ini ada bebarapa hal yang patut dicermati:

1. Tugas OJK
Pada bab II, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan tugas pengaturan dan pengawasan secara terpadu,independen, dan akuntabel terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan dibidang perbankan;
b. …..
c. …
(2)…..
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan pelaksanaan kegiatan jasa keuangan dibidang Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia;
(4) Tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengawas Perbankan.

Sedangkan yang menjadi dasar hukum penyusunan draft UU OJK ini adalah Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan
(1)Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
(2)Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”

Dengan mempersandingkan bunyi Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 dan Pasal 4 Draft RUU OJK, paling kurang yang kasat mata adalah penambahan tugas OJK, yaitu termasuk melakukan pengaturan selain melakukan pengawasan.
Implikasi langsung dari pengesahan UU Otoritas Jasa Keuangan, adalah hilangnya kekuasaan Bank Indonesia dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank, meskipun dalam Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004 dan penjelasannya masih menyisakan tugas mengatur bank sebagaimana disebut dalam Pasal 8 ayat 3 UU No. 23 Tahun 1999 jo UU NO. 3 Tahun 2004. Dengan kata lain, kalau diartikan secara kata perkata Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004 beserta penjelasannya, maka yang dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, terbatas pada pengawasan bank, sedangkan pengaturan bank tetap berada di Bank Indonesia. Meskipun dalam drfat OJK pengaturan Bank ini akan menjadi wewenang OJK.
Dengan semata-mata menafsirkan bunyi Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004, maka implikasi lain dari keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, adalah ketentuan Bab VI UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, mulai dari Pasal 24 sampai dengan Pasal 35, harus dilakukan rekonstruksi ulang.

2. Dewan Komisioner
Menurut Pasal 5 draft RUU OJK, maka OJK nanti akan dipimpin oleh 7 orang yang disebut Dewan Komisioner yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden, yang terdiri dari 2 orang anggota masyarakat dimana salah satunya akan menjadi Ketua, 1 orang dari Bank Indonesia, 1 orang dari Kementerian Keuangan dan 3 orang dari Otoritas Jasa Keuangan yang akan merangkap sebagai eksekutif.
Adapun menganai pencalonan anggota Dewan Komisioner, ketentuan yang mengaturnya bervariasi. Untuk calon dari masyarakat dipilih Presiden atas usul Menteri Keuangan. Calon anggota Komisioner Deputy Gubernur BI diusulkan oleh Gubernur BI melalui Menteri Keuangan. Kemudian calon yang berasal dari Pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan di usulkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan calon anggota Komisioner yang akan merangkap Kepala Eksekutif diusulkan oleh Dewan Komisioner memalui Menteri Keuangan. Masa jabatan anggota Dewan Komisioner ini selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Tatacara pencalonan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan ini akan sangat berbahaya, karena potensi untuk terjadinya like and dislike, karena dalam ketentuan dan persyaratannya tidak ada yang diatur secara jelas.
Selain itu yang juga tidak kalah penting untuk dicermati yang potensial akan menjadi masalah adalah batas umur seorang anggota Dewan Komisioner. Karena dalam Pasal 8 draft RUU, batas maksimal pada saat ditetapkan adalah berusia 65 tahun. Sehinga kalau seorang anggota Dewan Komisioner mulai menjadi anggota pada usia 65 tahun, dan kemudian terpilih kembali maka dia akan pensiun pada usia 75 tahun. Mungkin ini adalah usia paling tinggi dari seorang pejabat negara yang bekerja dalam lingkaran eksekutif.
Dengan usia yang relatif tidak muda ini, dan secara umum usia 65 tahun memasuki pensiun justru diberikan kesempatan untuk berkarir dengan karir yang terhormat, maka potensial penunjukan anggota Dewan Komisioner ini hanya akan menjadi pembagian kekuasaan diantara para kroni. Sebab untuk anggota Dewan Komisioner dari Bank Indonesia dia akan berhenti, kalau sudah tidak menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sedangkan bagi pejabat setingkat eselon I pada kementerian Keuangan akan berhenti kalau tidak menjadi pejabat setingkat eselon I di Departemen Keuangan. Sedangkan dua orang anggota masyarakat yang berusia 65 tahun itu bisa saja pensiunan dari Kementerian Keuangan yang sepenuhnya wewenang Menteri Keuangan untuk mencalonkannya.
Hal ini semakin nyata dimana syarat untuk menjadi anggota Dewan Komisioner yang tidak akan dipunyai oleh banyak orang adalah syarat “mempunyai pengalaman atau keahlian dibidang jasa keuangan”, meskipun tanpa batas minimal pengalaman. Ini dapat mengindikasikan hanya pejabat-pejabat dari Departemen Keuangan saja yang bisa menjadi anggota Dewan Komisioner.
3. Tugas Pengaturan
Menurut Pasal 13 Draft RUU dengan merujuk kepada Pasal 4 Draft, maka tugas pengaturan bank akan menjadi wewenang dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Dalam draft Pasal 13 ini, Dewan Komisioner dinyatakan antara lain menetapkann peraturan pelaksanaan undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan dibidang Jasa Keuangan. Selain itu Dewan Komisioner menurut Pasal 14 Draft, dapat mendelegasikan wewenang menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jasa Keuangan kepada Kepala Eksekutif.
Pendelegasian kewenangan kepada Kepala Eksekutif ini sangat luar biasa besarnya, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 21 draft RUU OJK. Kepala Eksekutif bukan hanya mempunyai kewenangan melakukan pengaturan tetapi juga diberi kewenangan memberi sanksi administrasi dan tentu saja dapat menjatuhkan hukuman yang keras dengan kewenangan mencabut izin usaha.
Peralihan kewenangan pencabutan izin usaha perbankan ini adalah bentuk pengembalian kewenangan dari Bank Indonesia kepada Departemen Keuangan sebelum adanya UU No. 23 Tahun 1999, meskipun tidak langsung ke Departemen Keuangan tetapi kepada perpanjangan tangan Departemen Keuangan.
Sinkronisasi UU dan Pasal
Sebagai akibat langsung dari lahirnya UU OJK, akan banyak undang-undang yang harus diamandemen, karena dari undang-undang tersebut ada beberapa ketentuan yang sudah masuk dan menjadi wewenang dari OJK. Sebagai contoh UU Bank Indonesia UU No. 23 tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004, Undang-undang Perbankan UU No. 7 tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998, UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPSK, UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Bukan hanya pemisahan fungsi pengawasan bank yang terjadi dengan dibentuknya OJK. Secara teoretis, pemisahan otoritas keuangan dan moneter dilakukan dalam rangka menjaga independensi bank sentral dan otoritas jasa keuangan, sehingga terjadi efisiensi dan saling mengawasi untuk menghindari penyimpangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, negara-negara yang selama ini me¬nganut pemisahan tersebut, sejak terjadi krisis, sudah mulai mendiskusikan penggabungan kembali kedua fungsi tersebut dalam satu lembaga, yaitu bank sentral seperti yang terjadi di Amerika dan Inggris.
Secara khusus pembentukan OJK ini akan berpengaruh terhadap beberapa ketentuan dalam UU Bank Indonesia. Pasal-pasal dalam UU OJK yang juga harus di-sesuaikan dengan UU BI paling kurang harus dilakukan terhadap Bab VI, Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, Pasal 24–35. Artinya, melaksanakan perintah Pasal 34 UU BI tidak hanya berhenti pada pembentukan OJK, tetapi juga harus ada sinkronisasi kedua UU mengenai tugas mengatur dan mengawasi bank.
Sinkronisasi ini terutama berhubungan dengan sanksi terhadap bank yang melaku¬kan pelanggaran sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 UU BI, Pasal 26 ketentuan di bidang perizinan, termasuk mencabut izin usaha, pembukaan dan penutupan serta pemindahan kantor bank, izin pemilikan bank dan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan tertentu. Pasal 28 UU Bank Indonesia mengenai kewajiban menyampaikan laporan. Pasal 29 pemeriksaan bank secara berkala atau pe¬meriksaan sesuai dengan keperluan. Pasal 31, kewena¬ngan menghentikan sementara kegiatan yang diduga merupakan tindak pidana perbankan. Pasal 32, mengenai sistem informasi antarbank. Lalu yang tidak kalah pentingnya lagi adalah mengenai ketentuan Pasal 11 UU No 23 Tahun 1999 jo UU No 3 Tahun 2004 jo UU No 6 Tahun 2009, tentang fasilitas pembiayaan darurat. Semua ketentuan ini pasti akan saling terkait dengan fungsi pengawasan bank.
Selain itu hal ini juga berkaitan dengan Bab IV UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998, mulai dari Pasal 16 sampai dengan Pasal 28 (perizinan tentang penghimpiunan dana hingga pembukaan kantor cabang, kepemilikan dan perubahannya).
Juga harus diperhatikan ketentuan Bab V UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan Pengawasan dari Pasal 29 hingga Pasal 37, pemeriksaan hinga melakukan tindakan agar pemegang saham menambah modal, sampai melakukan tindakan untuk pencabutan izin atau memerintahkan bank untuk melakukan merger atau konsolidasi.
Harus diperhatikan pula ketentuan Bab VI Pasal 38 dan Pasal 39, UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Dewan Komisaris, Direksi dan Tenaga Asing, dimana perubahan-perubahannya wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Dalam arti harus ada pemisahan yang tegas antara kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Hal yang potensial akan menjadi sumber konflik adalah berakitan dengan mencabut izin usaha bank, penutupan dan pemindahan kantor bank dan tentu saja mengenai persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank serta izin menjalankan kegiatan usaha tertentu.
Yang juga tidak kalah pentingnya lagi adalah memikirkan singkronisasi pelaksanaan tugas bidang moneter dan fiskal yang juga harus melibatkan OJK. Ini pasti akan menjadi pekerjaan rumah yang besar dan lama. Mengingat Bank Indonesia dan OJK adalah lembaga independent yang terikat dengan aturannya sendiri, sedangkan Kementerian Keuangan sepenuhnya akan terikat secara ketat dengan aturan dan kebiajakan pemerintah yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.

Penutup
Pembentukan OJK ini kalau kita ikuti perdebatan dalam menyusun UU Bank Indonesia dan amandemen UU Bank Indonesia, tidak bisa tidak harus dikatakan sebagai bentuk ketidak relaan Kementerian Keuangan melapaskan pengawasan perbankan dari genggaman Kementerian Keuangan. Sedangkan pengawasan dibidang pasar modal dan jasa keuangan dibidang Industri Keuangan Non Bank selama ini tetap melekat pada Kementerian Keuangan. Sehingga pembentukan OJK ini sah saja kalau dianggap sebagai cover up, bagi Kementerian Keuangan untuk mengambil kembali tugas pengawasan bank yang sebelum reformasi selalu berada dibawah kendali.
Daripada kita merusak sistem keuangan dan perbankan kita yang baru mulai ditata dalam waktu sepuluh tahun terakhir oleh Bank Indonesia, dengan membentuk OJK, karena melaksanakan Pasal 34 UU Bank Indonesia dan menyerahkan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK, mungkin akan lebih banyak manfaat daripada mudharatnya, kalau Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 saja yang diamandemen dengan menegaskan bahwa pengawasan sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia.
Dengan demikian tidak perlu ada OJK, pengawasan dibidang pasar modal dan jasa keuangan dibidang Industri Keuangan Non Bank tetap berada di Kementerian Keuangan, sedangkan pengawasan perbankan tetap berada di Bank Indonesia.

Paper disampaikan dalam Dialog Publik dan Buka Bersama, Otoritas Jasa Keuangan: Mencari Format Kontrol Dalam Sistem Keuangan Nasional, di The Acacia Hotel, 3 September 2010.
Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.
Pasl 23 D UUD 1945

Tidak ada komentar: