Memilih Pemimpin
Maqdir Ismail
Dosen FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Suara Karya, Jumat, 18 Juni 2010
Mesin pemilihan kepala daerah (pilkada) berputar kembali. Keributan terjadi hampir di semua daerah yang melaksanakan pilkada. Ada yang membakar dan merusak fasilitas umum. Bahkan, mobil dinas pun menjadi sasaran. Di Mojokerto, misalnya, kerusuhan terjadi karena calon dinyatakan tidak sehat. Semuanya berawal dari ketidaksiapan menerima fakta tentang pilkada.
Ada masalah dari proses hingga penghitungan hasil. Pokok persoalan sengketa pilkada adalah mengenai hasil penghitungan suara yang memengaruhi hasil akhir. Variasi permohonan secara umum, pertama, berpangkal dari tidak adanya laporan dana kampanye yang diumumkan secara transparan. Kedua, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dianggap membiarkan adanya politik uang. Ketiga, daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah. Keempat, KPUD yang memihak salah satu pasangan.
Pada dugaan politik uang, terjadi pembelian suara pemilih pada saat menjelang pilkada, seperti di Kabupaten Kebumen, Kota Semarang, dan Kota Ternate. Ada juga ancaman dari pihak-pihak tertentu untuk memilih pasangan yang dikehandaki. Meski ada juga karena KPUD meloloskan pasangan tertentu yang diduga memengaruhi KPUD dengan iming-iming uang dan jabatan usai pilkada.
Secara faktual dari pemberitaan surat kabar, kasus yang sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK) lebih banyak yang ditolak atau tidak dapat diterima. Penolakan umumnya karena pemohon tidak mampu membuktikan pelanggaran pelaksanaan pilkada yang terjadi secara masif, terstruktur, dan sistematis. Atau, kalau tidak dapat diterima, misalnya karena sudah lewat waktu.
Seandainya KPUD mengikuti logika yuridis Putusan MK dalam Perkara Bengkulu Selatan, seharusnya tidak ada lagi persoalan administratif yang salah dalam pilkada yang diselenggarakan. Dalam putusan MK jelas, betapa pentingnya kejujuran harus ditunjukkan seorang calon kepala daerah. Kejujuran adalah syarat pokok bagi calon bupati atau wakil bupati.
Undang-undang, menurut MK, "mempersyaratkan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih". Pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pilkada dalam putusan MK dianggap sebagai cacat yuridis sejak awal karena melanggar asas kejujuran.
Peran penting dari KPUD dan panitia pengawas (panwas) adalah menyelenggarakan pilkada yang bersih dan jujur. Ketika seorang calon yang sudah sejak awal tidak jujur memenuhi syarat administratif, seperti tidak memiliki atau diragukan kebenaran ijazah dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas, seharusnya ditolak sejak awal. Apalagi kalau ada calon yang pernah menggunakan gelar doktor dan profesor yang tidak jelas asal usulnya.
Tidak perlu dicarikan jalan keluar oleh KPUD untuk memenuhi syarat formal pendidikan itu. Pendidikan formal kepala daerah itu penting karena kepala daerah juga simbol keberhasilan dalam pendidikan. Kepala daerah adalah pemimpin rakyat untuk rakyat. Kepala daerah adalah simbol daerah yang dipimpinnya. Tentu rakyat tidak menghendaki simbol daerahnya adalah simbol ketidakjujuran atau penipuan.***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar