Jumat, 10 September 2010

KPK Bukan Negara dalam Negara

Sinar Harapan, Selasa, 29 September 2009 13:43
KPK Bukan Negara dalam Negara

OLEH: MAQDIR ISMAIL

Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kekuasaan politik dan pemerintah pada dasarnya tidak berarti bahwa KPK terisolasi secara total dari politik dan pemerintah.

Independensi KPK sebenarnya hanya merupakan isolasi terhadap keseharian dari pemerintah dalam melaksanakan penegakan hukum. Independensi KPK, dengan kata lain, juga harus mencakup independensi dari lembaga-lembaga politik, termasuk dalam menentukan pemimpin KPK, anggota pemimpin KPK, serta tanggung jawab dalam memberikan laporan secara periodik kepada legislatif. Dengan KPK yang independen, pada hakikatnya, melekat pula akuntabilitas dan transparansi sebagai sisi lain dari satu mata uang.
Dalam hubungan ini, penting untuk meletakkan isu independensi kekuasaan KPK dalam perspektif efisiensi kekuasaan. Benar bahwa KPK independen dan otonom dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tetapi, ini tidak berarti bahwa KPK yang independen dan otonom itu mempunyai kekuasaan tersendiri yang terpisah dari tiga entitas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. KPK yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif; namun terpisah untuk menjalankan kebijakannya yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur presiden sebagai pemimpin eksekutif. Secara teoretis, pemisahan kekuasaan KPK dari eksekutif ini dikenal dengan teori the principal– agent.
Argumen semacam ini memang sering dituding sebagai alasan untuk membenarkan independensi lembaga independen semacam entitas yang terpisah dari negara sehingga muncul kesan bahwa lembaga yang independen ibarat “negara dalam negara.” Namun, sebagaimana pernah dikatakan oleh Helmut Schmidt mengenai Bundesbank, diperlukan ketentuan yang tegas mengenai pertanggungjawaban badan, seperti KPK kepada eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan.
Imunitas dan kekebalan hukum yang diinginkan KPK adalah imunitas yang sudah diadopsi oleh undang-undang Bank Indonesia. Disebutkan, Gubernur, Deputi Gubernur, dan atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil kebijakan atau keputusan yang sejalan de­ngan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan iktikad baik.
Jika hari ini pemimpin KPK diberi imunitas, besok atau lusa semua pemimpin lembaga negara akan meminta imunitas yang sama dengan KPK.

Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia

Tidak ada komentar: