Sabtu, 10 September 2011

Susno Duadji menguji UU Perlindungan Saksi

Jakarta, 8 Juli 2010
Kepada Yth:
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta Pusat 10110

HAL: PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 10 ayat (2) UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP UNDANG – UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

Dengan hormat,
Kami yang bertanda-tangan di bawah ini :
H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH.
Mohamad Assegaf, SH.
DR.Maqdir Ismail, SH, LLM.
Ari Yusuf Amir, SH. MH.
DR. H. M. Efran Helmi Juni, SH., M.Hum.
Erwin Moeslimin Singajuru, SH.
Zul Armain Aziz, SH.
H. M. Husni Maderi, S.Sos., SH.
Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH.
Hj.Kartika Putri Yosodiningrat, SH, LLM
H. Radhitya Aristodiningrat, SH.
Akhmad Fahmi Budiman, SH, MH.
Ilham P. Nugroho, SH.
Dr. T.N. Syamsah,SH.MH
Agus salim,SH MH.
Elly Muzdalifah,SH

Para Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih domisili hukum di Hotel Kartika Chandra, Gedung Perkantoran Lantai 5 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 12060, berdasarkan Surat Kuasa Khusus terlampir, bertindak selaku Kuasa Hukum dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama :
Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. beralamat di Jalan Cibodas 1 A-3 No 7, Perumahan Cinere Indah, Cinere, Depok , Jawa Barat;
Perorangan warga Negara Indonesia yang menjadi korban Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006; dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635 (”UU No. 13 Tahun 2006”) (Bukti P-1) terhadap Undang-undang Dasar 1945 (Bukti P-2). Selanjutnya, disebut sebagai ”Permohonan”.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Legal Standing Pemohon

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (“MK”) melakukan pengujian terhadap Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”);

2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (”UU MK”), yang menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).

Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”

Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, …”

3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang;

4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.


II. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.

Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak mengatur mengenai kewenangan konstitusional, namun dengan menganalogikannya dengan definisi “hak konstitusional” maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur dalam UUD 1945.

2. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia (Bukti P-3) yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) yang mengatur:

“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

3. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang sesuai Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan dimana Pemohon melaporkan adanya kejahatan yang terjadi secara sistematis dan terstruktur ditubuh Kepolisian Republik Indonesia kasus :
Kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (SATGAS) pada tanggal 18 Maret 2010 dan 12 April 2010 (bukti P-4) dengan melaporkan :
- Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan.
- Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari
- Penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Polda-Polda seluruh Indonesia.
Kepada komisi III DPR RI pada tanggal 8 April 2010, (bukti P-5) dengan melaporkan:
- Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan.
- Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari

4. Bahwa sebelumnya Pemohon juga telah memberikan kesaksian di media massa baik cetak maupun elektronik tentang dugaan tindak pidana korupsi yang secara sistematis dan terstruktur juga melibatkan oknum aparat hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan oknum Hakim di Pengadilan. (Vide Bukti P-5);

5. Bahwa atas partisipasi Pemohon tersebut telah direspon dengan baik oleh pihak-pihak berwenang termasuk pihak Kepolisian yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Laporan-laporan Pemohon tersebut khususnya Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan dan saat ini prosesnya sedang terus berjalan;

6. Bahwa setelah pelaporan tersebut Pemohon telah mengajukan permohonan perlindungan saksi kepada Lembaga Perlindungan saksi dan Korban pada tanggal 4 Mei 2010 (Bukti P-6) terhadap kasus-kasus yang telah Pemohon laporkan kepada DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan selanjutnya telah dibuatkan Perjanjian Perlindungan No: PERJ-007/I.3/LPSK/05/2010 antara LPSK dengan Pemohon (Bukti P-7)

7. Bahwa atas laporan Pemohon yang lain yaitu Tindak pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari, penyidikan pihak Kepolisian, Pemohon telah dipanggil oleh BARESKRIM POLRI sebagai Saksi atas laporan polisi No.Pol: LP/272/IV/2010/Bareksrim, tanggal 21 April 2010 dengan surat Panggilan Nomor : S.Pgl/234/IV/2010/Pidkor&WCC yaitu pada tanggal 30 April 2010 dan berdasarkan surat Panggilan Nomor : S.Pgl/283/V/2010/Pidkor &WCC tanggal 7 Mei 2010. (Bukti P-8)

8. Bahwa pada tanggal 11 Mei 2010 yaitu pada saat Pemohon memenuhi Panggilan Kepolisian sebagai saksi, selanjutnya Polri meningkatkan status Pemohon menjadi Tersangka dan selanjutnya melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan terhadap Pemohon atas perkara yang dilaporkan pemohon yaitu Tindak pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/12/V/2010/Pidkor&WCC dan selanjutnya Pemohon ditempatkan di rumah tahanan Negara Jakarta Pusat di Mako Korps Brimob Polri sejak tanggal 11 Mei 2010.(Bukti P-9);

9. Bahwa tindakan penahanan yang dilakukan oleh BARESKRIM POLRI terhadap Pemohon juga didasarkan atas keterangan Kadiv Humas Mabes Polri dibeberapa mass media baik cetak maupun elektronik (Bukti P-10) yang pada intinya mengatakan tindakan penahanan terhadap Pemohon juga didasari atas adanya ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) yang berbunyi:
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”

10. Bahwa Pemohon setelah menjalani penahanan juga dikenakan status Tersangka dalam perkara tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Penggunaan dan pertanggungjawaban Anggaran Hibah dari Pemprov Jawa Barat tahun 2008 oleh Polda Jawa Barat dan jajarannya, berdasarkan laporan polisi No.Pol : LP/261/IV/2010/BARESKRIM tanggal 12 April 2010, sebagaimana tercantum dalam BAP Pemohon sebagai Tersangka tanggal 10 Juni 2010 (Bukti P-10);

11. Bahwa kedudukan Pemohon yang sebelumnya adalah saksi pelapor dan telah meminta perlindungan hukum sebagai saksi pelapor di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban namun secara tiba-tiba telah dijadikan tersangka dan sekaligus dengan seketika telah dilakukan tindakan penahanan, adalah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalnya dan Pemohon telah dirugikan dengan penafsiran yang salah dari ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban oleh pihak Kepolisian;

12. Bahwa sebagai akibat dari adanya penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka tersebut, Pemohon mengalami kerugian konstitusional yaitu :
Pertama, Pemohon telah kehilangan hak untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan ini hilang karena Pemohon telah ditahan oleh Penyidik dengan alasan selain sebagai Saksi, Pemohon juga telah ditetapkan sebagai tersangka;
Kedua, Pemohon telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Ketiga, Pemohon telah kehilangan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
Keempat, Pemohon telah kehilangan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

13. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji undang-undang terthadap Undang-Undang Dasar, Pemohon mempunyai legal standing. Syarat pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan. Ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon. Kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan.

14. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
Bahwa berdasarkan kwalifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”), karena kedudukannya sebagai saksi dapat dijadikan tersangka dalam kasus yang sama. Sehingga haknya untuk mendapat perlindungan menjadi hilang. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

III. Alasan-alasan Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)

1. Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil;
2. Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berthak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
3. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
4. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
5. Bahwa demikian juga menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 28G ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hartabenda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asas”.

Namun pada kenyataannya, undang-undang tentang hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu masih mengandung kelemahan yang mendasar, karena dengan alasan pada saat yang bersamaan seseorang dapat ditetapkan sebagai saksi dan sebagai tersangka, tanpa ada perlindungan yang jelas terhadap kedudukan sebagai saksi;

6. Bahwa Pasal 10 ayat (1) secara jelas berhubungan dan tidak terpisahkan dari Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2006, yang menyatakan, “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”. Perlindungan terhadap saksi ini secara umum dikenal dengan sebutan perlindungan terhadap “whistleblower” yang tidak dapat dihukum. Dalam hubungan ini, Stephen M. Kohn, menyatakan, “….courts have recognized that the speech of government employees must be protected, even if it includes direct criticisms of their employing agencies. Courts have frequently recognized that “an employee’s First Amendment interest is entitled to more weight where he is acting as a whistleblower exposing government corruption”. As the Supreme Court noted, government employee speech on matters of public concern often occupies the “highest rung” in the “hierarchy of First Amendment values” and is “entitled to special protection” (Stephen M. Kohn : 2001, Concept and Procedures in Whistleblower Law, Quorum Books, h. 120)

7. Bahwa perlindungan terhadap saksi di Indonesia terutama yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi, tidak semata-mata berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006, karena pada tanggal 18 April 2006 Indonesia telah mendatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dimana dalam Pasal 32 dari UN Convention Against Corruption 2003 yang sudah ditandatangani oleh Indonesia memberikan perlindungan kepada saksi-saksi yang memberikan keterangan dan memberikan perlindungan kepada orang yang melaporkan adanya tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 32 ayat (1), dinyatakan,
“Each State Party shall take appropriate measures in accordance with its domestic legal system and within its means to provide effective protection from potential retaliation or intimidation for witnesses and experts who give testimony concerning offences established in accordance with this Convention and, as appropriate, for their relatives and other persons close to them”.

Kemudian dinyatakan pula dalam Pasal 32 ayat (2),

The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include, inter alia, without prejudice to the rights of the defendant, including the right to due process:
(a) Establishing procedures for the physical protection of such persons, such as, to the extent necessary and feasible, relocating them and permitting, where appropriate, non-disclosure or limitations on the disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons;

(b) Providing evidentiary rules to permit witnesses and experts to give testimony in a manner that ensures the safety of such persons, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video or other adequate means.

8. Bahwa oleh karena Indonesia telah menanda tangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), dan mengesahkannya menjadi UU No. 7 Tahun 2006, maka bagi Indonesia ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) mengikat secara hukum, sehingga Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan kepada saksi yang melaporkan adanya perbuatan korupsi sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003);

9. Bahwa dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) dinyatakan,
”bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana”;

Dinyatakan pula dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.
Selain itu dinyatakan juga dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribad keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

10. Bahwa untuk memberikan perbandingan perlindungan terhadap Saksi dibeberapa Negara dapat dilihat pada table dibawah ini :

10. Bahwa untuk memberikan perbandingan perlindungan terhadap Saksi dibeberapa Negara dapat dilihat pada table dibawah ini :




No.Nama Negara Perlindungan kepada Saksi Aturan yang mengatur Status Tersangka
1. Amerika Serikat Perlindungan dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakan diskriminasi. Whistleblower Protection Act 1989 Tidak
2. Afrika Selatan Perlindungan dari occupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan; Pasal 3 Protected Disclosures Act No. 26 Tahun 2000
Tidak
3. Kanada Perlindungan dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindak apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi. Section 425.1 Criminal Code of Canada
4. Indonesia Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan pidana.

Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2006

Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 Pasal 10 ayat (2)
Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dapat dituntut.
5. New South Wales, Australia - Identitas dirahasiakan;
- Perlindungan dari tindak pembalasan;
- Tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata;
- Perlindungan dari “defame” (tuntutan pencemaran nama baik);
- Perlindungan kondisional apabila nama dilepaskan ke media; Pasal 20 dan 21 Protected Disclosures Act 1994 Tidak
6. United Kingdom - Tidak boleh dipecat karena menjadi whistleblower
- Perlindungan dari viktimisasi dan perlakuan yang merugikan/merusak Pasal 1 dan 2 Public Interest Disclosure Act 1998 Tidak


11. Bahwa khusus mengenai kedudukan seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) menyatakan :
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”;

12. Bahwa keberadaan Pasal 10 ayat (2) dapat dikatakan secara tiba-tiba muncul dan mengatur sesuatu yang tidak diatur dalam UU No. 13 tahun 2006. Pasal 10 ayat (2) ini secara hukum tidak mempunyai sandaran yang jelas dan kuat dengan hal-hal yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2006, khususnya pada pasal-pasal sebelum Pasal 10;

13. Bahwa norma dan atau masalah hukum yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, dikenal dalam doktrin dan praktik hukum di negara-negara yang menganut system Anglo-Saxon sebagai “Plea Bargaining”. Dalam praktik plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan sebut “guilty plea”. Dengan pernyataan bersalah inilah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman (Andrew Ashworth: 2000, Sentencing & Criminal Justice, third edition, Butterworths, h. 24); karena plea bargaining, sebagaimana dikemukakan oleh John Sprack, paling kurang mengandung empat pengertian, “It can mean an agreement between the judge and the accused that if he pleads guilty to some or all of the offences charged against him the sentence will or will not take a certain form…….. Second, plea bargaining can mean an undertaking by the prosecution that if the accused will admit to certain charges they will refrain from putting more serious charge into the indictment or will ask the judge to impose relatively light sentence……. Thirdly, plea bargaining may refer to the prosecution agreeing with the defence that if the accused pleads guilty to a lesser offence they accept the plea…. Lastly, it may refer to the prosecution agreeing not to proceed on one or more counts in the indictment against the accused if he will plead guilty to the remainder” (John Sprack: 2002, EMMINS ON CRIMINAL PROCEDURE, Ninth Edition, Oxford, h. 251);
14. Bahwa rezim hukum yang mengatur kedudukan saksi dan korban sangat berbeda dengan rezim hukum yang mengatur “saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama”. Ketentuan hukum yang mengatur hak saksi dan korban secara jelas dan tegas diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006, sedangkan rezim hukum yang mengatur kedudukan saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama diatur oleh KUHAP UU No. 8 Tahun 1981, terbatas pada memberikan perlindungan terhadap kepentingan tersangka atau terdakwa, belum memberikan perlindungan kepentingan saksi atau korban perbuatan pidana;

15. Bahwa ketentuan tentang kedudukan seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) pada kenyataannya bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.


16. Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal. Salah satu asas hukum yang diakui eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia adalah perlindungan terhadap saksi;

17. Bahwa secara faktual Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesi berdasarkan Surat Perintah Penangkapan tanggal 10 Mei 2010 hanya bersumber dari keterangan saksi yang menjadi Tersangka dalam perkara yang Pemohon laporkan kepada Komisi III DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum didukung oleh alat bukti yang lain, atau dengan kata lain Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka, ditangkap, ditahan dan disidik sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri tanpa didasarkan kepada alat bukti yang cukup. (vide bukti P-9);


18. Bahwa dengan demikian maka terbukti bahwa penangkapan, penahanan dan penyidikan Pemohon sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri adalah berdasarkan “pengkondisian” situasi oleh penyidik dan kebohongan yang dilakukan oleh terperiksa atas permintaan penyidik, dan tidak berdasarkan bukti yang sah menurut hukum;

19. Bahwa meskipun sebelumnya Pemohon telah meminta perlindungan kepada LPSK sesuai dengan Surat Pemohon tanggal 4 Mei 2010 (vide bukti P-6), namun Pemohon tetap ditangkap dan ditahan oleh Penyidik Bareskrim, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan Penyidik telah sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, yang menyatakan,
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”;

20. Menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Norma-norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap manusia, termasuk di dalamnya Pemohon;

21. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 telah membuka peluang bagi Penyidik untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan LPSK tanpa kontrol dari cabang kekuasaan yudikatif, karena penetapan seorang saksi menjadi Tersangka dan kemudian melakukan penahanan dapat dilakukan secara sepihak oleh Penyidik tanpa mempertimbangkan adanya kewenangan lembaga negara lain yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dalam perkara pidana;

22. Bahwa dikarenakan tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap kedudukan “saksi” dan “tersangka” serta dalam kondisi bagaimana seseorang dapat dijadikan “tersangka” ketika pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai “saksi pelapor” telah menimbulkan multi-tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir yang inkonstitusional, oleh karenanya maka ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan hak-hak konstitusional sebagaimana di atur dalam UUD 1945;

23. Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

24. Bahwa pada dasarnya ketentuan Pasal 28 UU 1945, adalah memberikan perlindungan kepada warga negara dari perlakuan oleh warga negara yang lain dan juga dari negara. Misalnya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Rumusan Pasal 28 mengandung norma konstitusi yang dapat membatasi hak seseorang dan negara (melalui undang-undang), namun pembatasan tersebut dilakukan dengan syarat-syarat yang sifatnya terbatas, yaitu “dengan maksud semata-mata untuk menjamin … dan untuk memenuhi tuntutan yang adil …”. Dengan perkataan lain, konstitusi membatasi hak-hak tertentu dari warga negara (sepanjang pembatasan itu dilakukan melalui undang-undang) dan pembatasannya harus dilakukan secara proporsional sesuai dengan tujuan atau kepentingan lain yang hendak dilindungi oleh undang-undang.

25. Bahwa Pasal 10 ayat (2) ini juga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, karena Pasal 10 ayat (2) mengandung konflik dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sebab pasal ini potensial membatasi “ penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, terutama berhubungan dengan kedudukan sebagai “whistleblower”. Dengan kata lain, keberadaan pasal ini, mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;

26. Bahwa adanya dugaan tindak pidana yang melibatkan Pemohon seharusnya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006, “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”, karena saksi harus mendapat perlindungan dan penghargaan demi tercapainya kepastian hukum;

27. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah maka pasal aquo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak saksi dan korban. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

28. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk menghambat partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, terutama dalam membuat laporan adanya kejahatan dilingkungannya, seperti adanya korupsi dan atau mafia hukum sebagaimana dilaporkan oleh Pemohon;

29. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum, karena seseorang yang menjadi Pelapor atau saksi adanya kejahatan, dapat dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu dan dapat dituntut secara pidana atas kejahatan yang dialporkannya sebagaimana terjadi pada Pemohon (Bukti P-11);

30. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi menghilang hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi pelapor atau saksi satu kejahatan karena dapat dijadikan sebagai bagian dari kejahatan itu yang dapat dituntut;

31. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi sebagaimana biasa dilakukan oleh “whistleblower”, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;

32. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
(1) Pemohon telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik dan dicari-carikan kesalahan lainnya;
(2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk memberikan kesaksian kepada lembaga yang dipercayainya dan kebebasan menyatakan pendapat;
(3) Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
(4) Pemohon telah mengalami intimidasi selama dalam penahanan;
(5) Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat;

33. Bahwa penangkapan, penahan dan pemeriksaan Pemohon sebagai Tersangka oleh penyidik tidak ada urgensinya, selain perwujudan dari balas dendam terhadap Pemohon sebagai contoh permasalahan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran hibah dari Pemprop Jawa Barat Tahun 2008 yang disangkakan kepada pemohon (Bukti P-12), permasalahan yang terjadi tahun 2008 ini telah pernah diaudit oleh BPK dan dinyatakan tidak bermasalah, bahkan atas keberhasilan Pemohon di Polda Jawa Barat, Pemohon telah dipromosikan menjadi Kabareskrim. Setelah Pemohon memberikan kesaksian adanya praktek mafia hukum di institusi Kepolisian maka permasalahan tersebut dipersoalkan dan Pemohon ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini secara nyata-nyata mengungkap perbuatan tidak terpuji dari penyidik Polri dan aparat penegak hukum lain serta anggota masyarakat (mafia hukum) yang bekerjasama melakukan kejahatan secara terencana, sistematis dan terstruktur.


34. Bahwa sangat mendesak untuk mencegah Penyidik Polri menggunakan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, sebab hal ini penting untuk memberikan kepercaayaan masyarakat terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dalam memberikan perlindungan terhadap Whistleblower yang membuka dan atau melaporkan secara terbuka kepada masyarakat adanya korupsi di lingkungan tempatnya bekerja dalam rangka memberantas korupsi; selain itu adalah juga mendesak untuk mengakhiri sengketa kewenangan anatar Penyidik Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang melibatkan Presiden Republik Indonesia;

35. Bahwa oleh karena itu sangat relevan dan signifikan diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 terhadap UUD adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi pemohon sebagai manusia apabila norma hukum Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional Pemohon apabila menjadi terdakwa padahal dasar hukum atau pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.

36. Bahwa secara faktual ada perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, terhadap makna yang terkandung dalam pengertian “saksi yang juga tersangka” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

37. Perbedaan penafsiran tentang kasus penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka Pemohon antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Penyidik Polri, telah melibatkan Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Pemerintahan, karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban kepada Presiden (LPSK) telah meminta Presiden untuk menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa kewenangan antara Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban kepada Presiden (LPSK); (Bukti P-13)

38. Bahwa dengan adanya perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, tentang tempat yang layak karena merasa sama-sama memiliki posisi dan kewenangan dalam persoalan Pemohon, maka sepatut dan sepantasnya posisi Pemohon dikembalikan dalam keadaan semula sebagai orang bebas, sebelum adanya penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri;

39. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan sendiri dengan merugikan kepentingan rakyat, pencari keadilan dan kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia;

40. Bahwa Pemohon sebagai warga negara Indonesia, juga berhak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya tidaklah berlebihan Pemohon juga mengemukakan fakta hukum, bahwa seorang Saksi pelapor yang memberikan keterangan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tidak atau belum dituntut secara pidana, yaitu antara lain (Bukti P-14):
a. Kasus suap Miranda Gultom yang ditangani oleh KPK, untuk saksi pelapor Agus Tjondro telah dibebaskan dari tuntutan hukum sebagai Tersangka.
b. Kasus korupsi dana Yayasan Bank Indonesia, untuk saksi Anwar Nasution, sebagai pemberi informasi dibebaskan oleh KPK untuk tidak dijadikan tersangka.

41. Bahwa oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi penghormatan hak asasi manusia, untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mengandung “cacat ” yang dapat diinterperatsikan sekenanya dan sesuai dengan kepentingannya oleh pemegang otoritas tertentu;

42. Bahwa perlindungan terhadap saksi pada hakekatnya, agar pelapor, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No.13 Tahun 2006, mendapat “…perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu”, termasuk penyidik.

43. Seluruh uraian di atas membuktikan bahwa penetapan seorang saksi menjadi tersangka yang dapat ditangkap, ditahan dan disidik sebagai Tersangka oleh penyidik telah menciderai atau setidak-tidaknya berpotensi menciderai independensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang betugas memberikan perlindungan kepada saksi dan korban yang melaporkan adanya perbuatan pidana;

44. Bahwa dengan melihat fakta trersebut, maka sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalankan tugas yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai dengan semangat amanat UUD 1945 kepada MK, MK adalah the guardian of the Constitution dan the final interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas MK di mohonkan untuk menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dan oleh karena itu inkonstitusional maka dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

45. Bahwa Pemohon juga menyadari, apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka akan terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, PEMOHON memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan untuk memberikan tafsir konstitusional atas pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tersebut, harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlabih dahulu sebelum memberikan kesaksian dalam perkara tersebut; karena MK adalah the final interpreter of the Constitution maka MK dimohonkan untuk setidaknya memberikan tafsiran yang konstitusional tersebut.

IV. Kesimpulan

1. Bahwa Pemohon mempunyai legal Standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;

2. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia telah melakukan kewajibannya untuk memberikan laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum di beberapa kasus antara lain: Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan, Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari, serta Penggunaan dana APBN, Hibah, Kredit Export oleh Mabes Polri dan Polda-Polda seluruh Indonesia;

3. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional:
Pertama, Pemohon telah kehilangan hak untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan ini hilang karena Pemohon telah ditahan oleh Penyidik dengan alasan selain sebagai Saksi, Pemohon juga telah ditetapkan sebagai tersangka;
Kedua, Pemohon telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Ketiga, Pemohon telah kehilangan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
Keempat, Pemohon telah kehilangan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, terutama yang berhubungan dengan “pencegahan korupsi” sebagaimana dijamin oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

4. Bahwa Pemohon telah ditangkap, ditahan dan ditetapkan sebagai Tersangka dan disidik sebagai Tersangka berdasarkan keterangan saksi yang diberikan karena adanya “pengkondisian” situasi oleh penyidik dan kebohongan yang dilakukan oleh terperiksa atas permintaan penyidik, dan tidak berdasarkan bukti yang sah menurut hukum;

5. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, berpotensi untuk menghambat partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, terutama dalam membuat laporan adanya kejahatan dilingkungannya, seperti adanya korupsi dan atau mafia hukum sebagaimana dilaporkan oleh Pemohon;

6. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum, karena seseorang yang menjadi Pelapor atau saksi adanya kejahatan, dapat dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu dan dapat dituntut secara pidana atas kejahatan yang dialporkannya sebagaimana terjadi pada Pemohon;

7. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, berpotensi menjadi preseden buruk sehingga menghilangkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi pelapor atau saksi satu kejahatan karena dapat dijadikan sebagai bagian dari kejahatan itu yang dapat dituntut;

8. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, berpotensi menadi preseden buruk dan berpotensi mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi sebagaimana biasa dilakukan oleh “whistleblower”, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;
9. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
a. Pemohon telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik dan dicari-carikan kesalahan lainnya;
b. Pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk memberikan kesaksian kepada lembaga yang dipercayainya dan kebebasan menyatakan pendapat;
c. Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
d. Pemohon telah mengalami intimidasi selama dalam penahanan;
e. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat;
f. Bahwa penangkapan, penahan dan penyidikan Pemohon sebagai Tersangka oleh penyidik tidak ada urgensinya, selain perwujudan dari balas dendam terhadap Pemohon yang telah secara nyata-nyata mengungkap perbuatan tidak terpuji dari penyidik Polri dan aparat penegak hukum lain serta anggota masyarakat (mafia hukum) yang bekerjasama melakukan kejahatan secara terencana, sistematis dan terstruktur;

10. Bahwa secara faktual ada perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, terhadap makna yang terkandung dalam pengertian “saksi yang juga tersangka” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

11. Bahwa dengan adanya perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, tentang tempat yang layak karena merasa sama-sama memiliki posisi dan kewenangan dalam persoalan Pemohon, maka sepatut dan sepantasnya posisi Pemohon dikembalikan dalam keadaan semula sebagai orang bebas, sebelum adanya penangkapan dan penahanan oleh Penyidik Polri;

12. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan dengan merugikan kepentingan rakyat dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia;

13. Bahwa perlindungan terhadap saksi pada hakekatnya, agar pelapor mendapat perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya adalah oknum aparat hukum itu sendiri, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu, termasuk penyidik;

14. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak saksi dan korban. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

15. Bahwa untuk melindungi hak asasi Pemohon tidak terus menerus dilanggar dan tidak melahirkan ketidak pastian hukum, maka putusan provisi dalam perkara Pemohon dalam menguji Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 terhadap UUD adalah sangat mendesak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi Pemohon apabila norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional hak Pemohon apabila tetap menjadi tersangka berdasarkan Keputusan dan atau penggunaan kewenangan pejabat yang tidak berhak atau pejabat yang telah berakhir masa jabatannya.




V. Provisi

1. Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon (dengan cara tetap menahan dan memeriksa Pemohon sebagai Tersangka), Pemohon, memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan dan atau menunda penyidikan perkara dugaan tindak pidana yang melibatkan Pemohon sebagai Tersangka;

2. Bahwa Mahkamah sudah pernah memutuskan putusan provisi ini dalam perkara NOMOR 133/PUU-VII/2009. Menurut Pemohon, hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas UUD 1945 yang telah berlangsung secara terus menerus dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Dengan memperhatikan bunyi Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”; maka adalah sangat tepat apabila Mahkamah memerintahkan untuk menghentikan sementara tindakan kepolisian untuk menyidik, menahanan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia, karena perkara tersebut yang sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi;

3. Bahwa secara faktual dalam perkara Pemohon ini sedang terjadi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yaitu antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kepolisian Republik Indonesia, sehinga adalah patut apabila Mahkamah Konstitusi memerintahkan penghentian sementara suatu pelaksanaan tindakan hukum (dalam hal ini penahanan dan penyidikan) yang terkait dengan perkara yang sedang diuji;

4. Bahwa benar Permohonan ini adalah permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara substansial dan secara faktual permohonan ini mengandung sengketa kewenangan lembaga negara, yaitu kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Kepolisian Republik Indonesia;

5. Bahwa secara faktual terdapat perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, terhadap makna yang terkandung dalam pengertian “saksi yang juga tersangka” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan sengketa kewenangan ini telah disampaikan secara resmi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada Presiden Republik Indonesia untuk mendapat penyelesaian;

6. Bahwa Permohonan provisi ini mendesak untuk dikabulkan, sebagai upaya mengakhiri kontraversi dan perdebatan kewenangan antara penyidik Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah melibatkan Presiden Republik Indonesial. Selain itu, penghentian penyidikan dan atau penahanan Pemohon ini ini penting untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang kredibel dan mempunyai kewenangan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi yang telah memberikan keterangan dan atau pengakuan adanya korupsi pada lembaga Negara tertentu;
7. Bahwa Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh Pemohon, agar Pemohon mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani Pemohon, sebab Kepolisian Republik Indonesia terus melakukan tindakan-tindakan hukum dengan tetap berpedoman pada norma yang sedang diuji, maka hak konstitusional Pemohon secara terus menerus dilanggar secara sengaja.

Dengan semua argumen diatas, dimohon dengan hormat agar Majelis Hakim Konstitusi berkenan mengabulkan permohonan provisi ini.

VI. PETITUM

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

- Dalam Provisi:
1. Menerima permohonan Provisi Pemohon;

2. Menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo;

3. Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghentikan proses penyidikan atas perkara PT. Salmah Arwana Lestari dengan nomor laporan polisi : No.Pol.:LP/272/IV/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas tersangka Susno Duadji dan perkara tindak pidana korupsi dalam pengelolaan penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran hibah dari Pemprop Jawa Barat tahun 2008 dengan nomor laporan No.Pol.: S. Pgl./485/VI/2010/Pidkor &WCC atas tersangka Susno Duadji, setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;

4. Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membebaskan Pemohon dari Tahanan dan menyerahkan Pemohon kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai saksi yang dilindungi.

- Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang – undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

4. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain dan mengangap Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsiran konstitusional terhadap Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana tafsir tersebut, dengan pengertian bahwa seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tersebut, harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi tersebut memberikan kesaksian dalam perkara tersebut;

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.



Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Hormat Kuasa Hukum Pemohon



H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH. Mohamad Assegaf, SH.


DR.Maqdir Ismail, SH, LLM. Ari Yusuf Amir, SH. MH.


DR. H. M. Efran Helmi Juni, SH., M.Hum. Erwin Moeslimin Singajuru, SH.


Zul Armain Aziz, SH. H. M. Husni Maderi, S.Sos., SH.


Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH. Hj.Kartika Putri Yosodiningrat, SH, LLM
H. Radhitya Aristodiningrat, SH. Akhmad Fahmi Budiman, SH, MH.


Ilham P. Nugroho, SH. Dr. T.N. Syamsah,SH.MH


Agus salim, SH MH. Elly Muzdalifah,SH