Pengadilan Tipikor
Maqdir Ismail
Staf Pengajar FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Suara Karya, Rabu, 9 September 2009
Selama ini ada anggapan bahwa tak ada harapan korupsi bisa diberantas. Korupsi dianggap sudah berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat. Penegak hukum dianggap tidak kredibel untuk memberantas korupsi.
Hal ini dapat dibaca pada konsideran menimbang huruf b UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (tipikor) belum berfungsi secara efektif dan efisien. Inilah yang menjadi dasar pembentukan KPK.
Kerancuan dalam mengartikan Pengadilan Tipikor seolah-olah sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri dapat dibaca pada bunyi pasal 53 undang-undang tersebut. Bunyi pasal 53 ini menimbulkan penafsiran bahwa Pengadilan Tipikor adalah pengadilan yang berdiri sendiri, terlepas dari Pengadilan Negeri. Padahal, dalam pasal 54, dikatakan bahwa Pengadilan Tipikor berada di lingkungan Peradilan Umum dan pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ini berarti bahwa Pengadilan Tipikor merupakan bagian Peradilan Umum, bukan badan peradilan yang berdiri sendiri. Tidak ada satu pasal pun yang secara tegas menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor sebagai badan peradilan tersendiri.
Dalam praktik memang terjadi perbedaan antara sidang perkara korupsi yang terdakwanya berasal dari kejaksaan dengan perkara yang terdakwanya berasal dari jaksa KPK. Perbedaan pokoknya terletak pada susunan majelis hakim. Dalam perkara yang berasal dari kejaksaan, majelis hakimnya tidak ada hakim ad hoc, sedangkan pada majelis hakim yang terdakwanya berasal dari jaksa KPK ada tiga orang hakim ad hoc.
Dari praktik membela perkara korupsi di Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Negeri, hal yang paling mengemuka adalah perbedaan pada bukti yang disampaikan pada persidangan. Umumnya dalam perkara di Pengadilan Tipikor bukti-bukti sudah sempurna. Bukti berasal dari pengakuan terdakwa dan keterangan saksi yang sudah sama. Ditambah lagi dengan bukti rekaman pembicaraan antara terdakwa dan saksi hasil penyadapan telepon. Sedangkan dalam perkara-perkara di Pengadilan Negeri, jarang sekali adanya bukti yang sempurna. Acap kali tidak ada pengakuan terdakwa. Keterangan saksi pun diragukan kebenaran kesaksiannya.
Jadi, secara prinsip tidak ada perbedaan dalam proses peradilan pada Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Negeri dalam menangani perkara. Perbedaannya lebih pada bukti yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Hukumannya pun tidak bergantung pada ada-tidaknya hakim ad hoc.
Bukti-bukti inilah sebenarnya yang berpengaruh pada putusan hakim (bukan lembaga peradilannya). Bukti-bukti yang disampaikan itulah yang menentukan berat-ringannya hukuman.
Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda terhadap posisi Pengadilan Tipikor, maka harus ditegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari peradilan umum. Artinya, merupakan bagian dari Pengadilan Negeri, seperti peradilan hak asasi manusia yang juga ada hakim ad hoc -nya. Hakim ad hoc adalah hakim ahli.***
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar