Implikasi Putusan Bebas Kasus Korupsi dan Illegal Logging
Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia[1]
Oleh: Maqdir Ismail[2]
I. Latar Belakang
Korupsi bukan sesuatu fenomena yang baru di dunia. Bisa jadi korupsi itu sama tuanya dengan keberadaan pemerintah yang pernah ada di dunia. Kautilya, seorang yang pernah menjadi Perdana Menteri di India, menulis buku Arthastra yang membahas korupsi lebih dari 2000 tahun lalu. Ada kalimat yang sangat terkenal dan cukup sering dikutip oleh banyak penulis dari buku tersebut, “Just as it is impossible not to taste the honey (or the poison) that finds itself at the tip of the tongue, so it is impossible for a government servant not to eat up, at least, a bit of the king’s revenue”.[3] Pernyataan ini menunjukkan bahwa korupsi itu seolah-olah melekat erat dan seperti menjadi satu kesatuan dengan kehidupan pekerja pada negara.
Di Indonesia, menurut Amin Rahayu, “budaya-tradisi korupsi” sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka, terutama didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Korupsi di masa lalu berjalin berkelindan dengan perebutan kekuasaan, sebagaimana terjadi di Singosari, Majapahit, Demak, bahkan kehancuran Sriwijaya tidak terlepas dari prilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.[4]
Ini semua menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan sesuatu yang baru, sehingga tidak salah kalau pada tahun 1970 Bung Hatta menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.[5] Hal ini paling tidak tercermin dari banyaknya kosa-kata yang digunakan dan dianggap sebagai bentuk pengesahan korupsi, seperti uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, biaya transportasi atau tanda terimakasih.
Jika pernyataan Bung Hatta ini benar adanya, maka bangsa Indonesia menganggap bahwa korupsi sesuatu hal yang wajar, sesuatu yang tidak tercela, karena wajar dan sudah menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, korupsi dianggap sebagai satu keniscayaan. Dalam persfektif seperti ini menjadi wajar juga kalau banyak putusan pengadilan yang mengadili perkara korupsi, membebaskan para koruptor, karena korupsi dianggap tidak ada dan tidak terbukti.
Sebagai negara berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka pemberantas korupsi melalui pengadilan, harus terus menerus dilakukan tanpa lelah dan rasa putus asa. Sebab memberantas korupsi itu tidak cukup hanya dengan berwacana dan menambah panjang lembaga pemberantasan korupsi, tetapi yang lebih penting adalah sikap konsisten dalam memerangi korupsi. Pemberantasan korupsi itu sekarang ini bukan lagi janji kampanye, bukan pula sarana untuk memperbaiki image, tetapi pemberantasan korupsi itu adalah satu kebutuhan dalam menegakkan hukum dan keadilan, karena korupsi itu telah mendatangkan ketidakadilan.
Hal yang penting diingat dalam pemberantasan korupsi ini, harus dilakukan dengan cara yang baik dan terhormat, dalam arti harus melalui suatu peroses penyidikan yang cukup, bukan sekedar asal sidik, asal tahan kemudian serahkan ke penuntut dan ke pengadilan untuk menghukum atau membebaskan terdakwanya.
Agak sedikit berbeda pemberantasan korupsi ini yaitu pemberantasan illegal logging, karena pemberantasan illegal logging baru mulai diwacanakan oleh pengamat dan pemerhati kehutanan di Indonesia pada tahaun 1980-an, meskipun belum mendapat perhatian yang cukup selama pemerintahan Orde Baru. Bahkan ada yang beranggapan bahwa terjadinya illegal logging pada masa pemerintahan Orde Baru karena adanya “keterlibatan” pemegang kekuasaan yang mempunyai kepentingan bisnis dalam illegal logging ini. Dan kegiatan illegal logging itu dalam praktiknya menjadi satu kesatuan dengan korupsi, yang dimulai dari sejak pembagian Hak Pengusahaan Hutan sampai pada proses pemberian jatah tebangan setiap tahunnya.
Dalam masa Pemerintahan Presiden Habibie, Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan masa Pemeritahan Megawati Soekarnoputri, pemberantasan terhadap illegal logging termasuk prioritas utama dalam sektor kehutanan, tetapi pada masa pemerintahan ketiga Presiden ini kegiatan illegal logging bukannya berhenti, tetapi semakin marak. Ketidakmampuan pemerintah memberantas illegal logging tidak saja menambah besar kerugian negara, tetapi juga kerusakan lingkungan sehingga ongkos yang harus dibayar atas seluruh kerusakan itu sangat mahal untuk masa depan negeri ini.
Lebih kontroversi lagi, karena masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR justru mengesahkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang ijin penambangan di kawasan hutan lindung beserta peraturan pemerintahnya yang menetapkan ijin penambangan untuk 13 perusahaan pertambangan. Meskipun sebelumnya sempat ditentang kalangan pemerhati lingkungan, tetap saja perpu tersebut disahkan. Inilah salah satu bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam melakukan pemberantasan illegal logging, meskipun pemberantasan illegal logging merupakan program prioritas pemerintah dalam bidang kehutanan. Kontroversi-kontroversi yang lahir akibat tidak tegasnya sikap dasar pemerintah ini bukan hanya berdampak buruk bagi program pemerintah, tetapi hal semacam ini dapat melahirkan sikap resistensi yang kuat dari masyarakat atau sikap yang tidak peduli dari masyarakat.
Yang pasti akibat buruk yang timbul dari adanya illegal logging ini bukan hanya kerugian secara ekonomi yang yang besar diderita oleh negara, tetapi juga adalah kerusakan hutan yang menimbulkan banjir dengan korban manusia, seperti terjadi di Aceh dan Sumatra Utara. Upaya penegakan hukum untuk memberantas illegal logging yang berdampak buruk bagi kehidupan ini, dianggap tidak didukung sepenuhnya oleh pengadilan, karena banyaknya terdakwa perkara illegal logging dibebaskan oleh pengadilan. Namun pihak Mahkamah Agung, misalnya, membantah bahwa pengadilan berlaku tidak patut dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa perkara illegal logging, karena menurut Ketua Mahkamah Agung adalah tidak mungkin menjatuhkan hukuman yang tinggi terhadap orang yang bukan menjadi pemilik atau cukong dalam illegal logging.
Untuk menghindari hilangnya semangat pemberantasan illegal logging pemerintahan SBY-JK mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005, sebagai instruksi untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal. Instruksi ini bertujuan untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Khusus kepada Menteri Kehutanan diinstruksikan untuk meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait sesuai dengan ketentuan yang ada, termasuk melakukan kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi; menetapkan dan memberikan insentif bagi yang berjasa dalam pemberantasan penebangan kayu ilegal dan peredarannya; mengusulkan kepada Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat penebangan kayu secara ilegal.
Pemberantasan korupsi oleh pemerintah SBY-JK bukan hanya dijadikan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah,[6] tetapi juga dijadikan sebagai rencana pembangunan jangka panjang.[7] Hal yang sama terhadap illegal logging.[8] Untuk melakukan pemberantasan korupsi pemerintah membentuk Timtas Tipikor berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005. Begitu juga halnya dengan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, Presiden mengeluarkan Instruksi No. 4 Tahun 2005. Ini semua menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi dan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan.
Dengan apa yang digambarkan diatas terlihat adanya korelasi yang jelas antara korupsi dan illegal logging, karena ilegal logging ini membantu perkembangan korupsi.[9] Paling-kurang, dalam bebas atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa dalam perkara-perkara illegal logging ada dugaan korupsi. Begitu juga halnya lahirnya kemudahan-kemudahan pada saat pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan atau pengawasan terhadap kegiatan pengusahaan hutan tercium aroma kolusi dan sogok menyogok.
II. Permasalahan
Terlepas dari benar dan tidak benarnya alasan bahwa bebas atau ringannya hukuman pelaku korupsi dan illegal logging di Indonesia karena ada korupsi di lembaga peradilan, yang pasti bahwa korupsi tetap saja terjadi seperti halnya illegal logging, meskipun pemerintah tidak kenal lelah membentuk tim dan melakukan upaya memerangi korupsi dan illegal logging.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah selama Indonesia merdeka dalam melakukan pemberantasan korupsi ?
2. Apa saja langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemberantas korupsi ?
3. Apa dan dimana letak korelasi antara korupsi dan illegal logging di Indonesia?
4. Apa yang menjadi penyebab gagalnya sistem pencegahan korupsi dan illegal logging meskipun pemerintah dan msyarakat telah berusaha mencegahnya dengan cara-cara yang mungkin?
5. Apakah perkara korupsi itu dan illegal logging sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ? Apa implikasi putusan bebas perkara korupsi dan illegal logging terhadap hak asasi manusia ?
III. Pembahasan
1. Usaha Pemerintah dalam meberantas korupsi
Sejarah pemberantasan Korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama dilakukan. Secara formal pembentukan badan pemberantasan korupsi itu sudah dimulai sejak tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957.[10] Kemudian ini berlanjut dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1960, dimana upaya pemberantasan korupsi ini dipimpin oleh Jaksa Agung Soeprapto. Kegiatan pemberantasan korupsi ini kemudian dilanjutkan dengan ”Operasi Budhi”, yang dipimpin AH. Nasution dan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro, dengan sasaran lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan praktik korupsi. Operasi Budhi ini mengalami hambatan karena adanya perlindungan dari Presiden terhadap orang-orang tertentu.[11] Tidak lama kemudian Operasi Budhi ini dibubarkan dan diganti dengan KOTAR (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin Presiden Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan Letjen A. Yani. Pemberantasan korupsi pada masa itu juga tidak menghasilkan apapun.[12] Kegiatan pemberantasan korupsi ini dilanjutkan kembali dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 228/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantas Korupsi. Sebagai tindak lanjut dari Pidato Kenegaraan RI Presiden Soeharto di hadapan anggota DPRGR/MPRS pada 16 Agustus 1967, yang mempersalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi, karena kebijakan ekonomi dan politik berpusat di istana.[13]
Pada masa Orde Baru dengan maksud untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi, dan supaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efisien maka dikeluarkan Keputusan Presiden No.12 Tahun 1970. Kemudian pemerintah membentuk Komisi Empat yan terdiri dari Wilopo, S.H; I.J Kasimo; Anwar Tjokroaminoto, dan Prof. Ir. Johannes; dengan Mohammad Hatta sebagai Penasehat.[14] Tugas dari Komisi Empat ini adalah melakukan penelitian, pengkajian terhadap kebijakan serta melihat hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus besar yang pernah menjadi pemberitaan diawal tahun 70an ini adalah kasus pertamina, meskipun tidak sampai ke pengadilan. Untuk menunjukkan keseriusan dalam pemberantas korupsi ini maka di tahun 1971 diundangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan memerangi korupsi pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa yang tercatat cukup besar adalah kasus-kasus yang diungkap oleh Operasi Tertib (Osptib) yang mulai melakukan operasinya pada bulan Juli 1977 dengan publikasi yang luar biasa.[15] Operasi ini didasarkan kepada Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1977.[16] Operasi ini di tingkat pusat secara operasional dipimpin Pangkopkamtib dibantu oleh Kapolri, Jaksa Agung dan para Irjen Departemen, sedangkan di tingkat daerah ada Opstibda yang dipimpin Laksusda, Kapolda, Kajati dan Irwilda. Ada beberapa kasus menarik perhatian masyarakat yang sampai ke pengadilan hingga tahun 1981. Di tahun 1982 pemerintah membentuk Tim Pemberantas Korupsi yang dipimpin oleh Menpan JB. Soemarlin, meskipun tidak ada catatan kebehasilan dari tim ini.
Komitmen memberantas korupsi puncaknya pada Sidang Umum MPR pada bulan Agustus Tahun 1998 yang melahirkan Tap MPR XI/MPR/1998, yang secara tegas menghendaki adanya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka diundangkanlah Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu diundangkan pula Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai upaya melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Sebagai tindakan nyata untuk memberantas korupsi kemudian dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000. Tim ini dianggap oleh banyak pihak tidak efektif, karena kurangnya dukungan dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya TGPTK dibubarkan tahun 2001, setelah ada gugatan judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung.[17]
Sementara itu dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka dibentuk pula Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) berdasarkan Keputusan Presiden No. 127 Tahun 1999. Salah satu kasus yang menarik perhatian masyarakat yang dilaporkan oleh KPKPN kepada Kepolisian Republik Indonesia adalah kasus kepemilikan rumah Jaksa Agung (waktu itu) M. A. Rahman yang tidak dilaporkan ketika mengisi laporan kekayaan.[18]
Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.[19] Wewenang yang luas itu termasuk, memonitor penyelenggaraan pemerintah serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa tertentu. Dalam waktu relatif singkat sudah ribuan laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter oleh Abdullah Puteh, Suap Anggota KPU Mulyana W Kusumah dan kasus suap Probosutedjo.
Dalam masa pemerintahan Presiden SBY-JK, sejak awal pemerintahannya Presiden sudah mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantas Korupsi, dan diikuti dengan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberatansan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian disusun pula Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini di bawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji. Tugas pokok dari tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu tim ini juga bertugas untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta menelusuri aset dalam rangka pengambalian keuangan negara secara optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2005, Presiden mengungkapkan hasil kinerja pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi, antara periode Oktober 2004 sampai April 2005, yaitu Kejaksaan telah melimpahkan sebanyak 233 kasus tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Timtas Tipikor menyidik 7 kasus dugaan korupsi. Sedangkan KPK hingga minggu kedua bulan Agustus tahun 2005 telah menangani 27 kasus korupsi di tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan kasasi.[20] Bahkan menurut Catatan Kinerja Kejaksaan tahun 2006, sepanjang tahun 2006 kejaksaan melakukan penyidikan terhadap 1.758 kasus korupsi, yang terdiri dari 921 kasus sisa tahun 2005 dan sebanyak 837 kasus baru.[21]
Segala upaya pemerintah untuk memberantas korupsi tidak menghilangkan kritik masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, apalagi kalau dihubungkan dengan survei corruption perception index (cpi) yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional yang beranggapan bahwa Indonesia masih negara terkorup di dunia.[22] Seperti pernah dikemukakan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusuko di tahun 1980-an kebocoran anggaran pembangunan mencapai 30 persen dari anggaran negara, bahkan Kwik Kian Gie mensinyalir kebocoran anggaran sampai 40 persen dari anggaran negara.[23]
Jika sinyalemen ini benar, maka kualifikasi kejahatan korupsi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan tidak terlalu salah, karena korupsi “merampas hak-hak publik dan juga merampas potensi bangsa untuk meraih produktivitas”. Bahkan menurut catatan Simon Saragih, Kwik Kian Gie berpendapat bahwa kerusakan oleh korupsi tidak lagi terbatas perekonomian, tetapi sudah merusak pemikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal. [24]2. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Illegal LoggingSedangkan pemberantasan illlegal logging, memang belum terlalu lama dilakukan, namun dari catatan yang ada, kepedulian masyarakat terhadap perusakan dan penggundulan hutan di Indonesia, mulai muncul dari kalangan LSM, pakar dan pengamat pada pertengahan tahun 1980-an.[25] Secara faktual pemerintahan Orde Baru, tidak terlalu memberikan perhatian yang cukup terhadap illegal logging sebab rezim Orde Baru dianggap tertarik pada keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi hutan, untuk mendapat dukungan politik dan mendanai proyek yang tidak tercatat secara resmi.[26] Kepentingan ekonomi pemerintah Orde Baru terhadap eksploitasi hutan dapat dilihat dari Undang-Undang Pokok Kehutanan yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 diundangkan pada Mei 1967, kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 (22/1967) Tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan iuran Hasil Hutan. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan termasuk undang-undang generasi pertama bersama Undang-Undang Penanaman Modal Asing[27] dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri[28] pada masa kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, maka berarti Undang-Undang Pokok Kehutanan termasuk undang-undang yang menjadi salah satu magnet penarik investor asing maupun investor dalam negeri, karena pemanfaatan hutan dan industri pengolahan kayu merupakan instrumen penting dan berorientasi pada pembangunan ekonomi.[29]Dalam praktiknya pengelolaan kehutanan secara komersil ini sepenuhnya mendapat dukungan dari tentara atau polisi dan pejabat daerah yang umumnya menjadi pemegang konsesi, rekan usaha, dan penyelenggara perusahaan yang bergerak dalam bidang kehutanan dan sebagai penyokong keuangan dan memberikan perlindungan penebangan liar.[30]Peranan tentara, polisi dan pejabat sipil dalam melindungi industri kehutanan sangat penting dari sisi ekonomi, karena itu hampir tidak ada pertanggung gugatan terhadap keterlibatan mereka secara formal maupun tidak formal selama masa pemerintahan Orde Baru dan sesudahnya.[31] Perlindungan dari tentara, polisi, dan pejabat sipil ini makin menumbuhsuburkan berbagai bentuk penebangan liar, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun untuk kepentingan ekspor.[32]Akibat dari keadaan ini, peredaran kayu hasil illegal logging ini menjadi semakin teroraganisir, karena melibatkan banyak aktor dan jaringan yang kuat. Jaringan itu terdiri dari petugas atau pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisisan, TNI AD, TNI AL, Perla, Pemda, Kejaksaan, Pengadilan serta politikus. Segala cara untuk menanggulangi illegal logging ini telah dilakukan, tetapi yang terjadi penebangan liar ini semakin merajalela hingga ke hutan lindung dan kawasan konservasi.[33]Sebagai akibat dari maraknya illegal logging ini menurut Bank Dunia sejak tahun 1985 – 1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun, sehingga hutan produksi yang tersisa tinggal 20 juta hektar,[34] dari sekitar 62 juta hektar hutan yang telah diserahkan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.[35] Kerusakan hutan ini semakin bertambah pada tahun 2000 menjadi 1, 6 juta hektar dan meningkat menjadi 3,6 juta hektar pertahun antara tahun 2001 – tahun 2004, bahkan menurut laporan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Watch, illegal logging ini menyumbang 67 juta M3 kayu setiap tahunnya.[36] Fakta ini menunjukkan betapa seriusnya kerusakan hutan akibat illegal logging, karena dalam tahun 2005 misalnya kasus illegal logging yang tercatat ada 2.895 kasus dan menurun menjadi 916 kasus pada tahun 2006.[37]Upaya Departemen Kehutanan, Polri, dan Kejaksaan untuk menghukum para pelaku illegal logging di sidang pengadilan ternyata membuat mereka kecewa. Dari 27 kasus hasil Operasi Hutan Lestari II di Papua, 13 kasus dijatuhi hukuman antara 7 bulan hingga 2 tahun, sedangkan 14 perkara lagi para terdakwanya dibebaskan oleh hakim.[38]Dengan adanya terdakwa yang dibebaskan atau dihukum ringan oleh pengadilan dalam perkara illegal logging ini membuat banyak pihak marah, bahkan Menteri Kehutanan MS Kaban, meminta Komisi Yudisil untuk memeriksa para hakim yang membebaskan para terdakwa, karena ada dugaan aparat memperjualbelikan hukum dengan para terdakwa. Hal ini cukup beralasan, karena dari 155 kasus yang disidik oleh Polri, pada tahun 2005 hanya 10 kasus yang dibawa ke pengadilan, dan dari 10 kasus ini 9 kasus terdakwanya dibebaskan.[39]Ada ‘gunjingan’ bahwa bebas atau terdakwanya dihukum ringan dalam perkara illegal logging ini, karena ada jual beli perkara, atau karena pengadilan dianggap tidak bersungguh-sungguh memberantas illegal logging. Terhadap anggapan ini Ketua Mahkamah Agung menyatakan hukuman “itu akan ringan kalau yang dibawa ke pengadilan hanya supir dan pembantunya”. Sedangkan cukong atau pemilik kayu jarang perkaranya yang sampai ke pengadilan. Meskipun diakui juga ada Majelis Hakim yang berbuat ceroboh dan berlaku tidak layak dalam perkara illegal logging.[40]Dari segi ekonomi illegal logging ini akan mendatangkan keuntungan finansial lebih baik bila dibandingkan dengan penebangan yang dilakukan secara legal. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari biaya operasional mulai dari penebangan hingga sampai ke pabrik pengolahan kayu, dimana untuk penebangan kayu legal biayanya sebesar US. 85/M3, sedangkan untuk kayu hasil penebangan illegal hanya mengeluarkan biaya sebesar US.32/M3.[41]Meskipun illegal logging ini memberikan kontribusi pada lapangan kerja, tetapi upah kerja pada kegiatan ini lebih murah dari upah kerja kegiatan legal, karena tidak adanya standar upah kerja.[42]
Kerusakan hutan sebagai akibat illegal logging sangat besar, menurut Walhi setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging (penebangan yang merusak). Sedangkan menurut perhitungan Departemen Kehutanan kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah setiap tahun. Dengan mengambil contoh Kalimantan Timur CIFOR menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan.[43] Contoh lain akibat kerusakan hutan ini adalah banjir Aceh 2006, yang diprediksi sejak lama, begitu juga dengan banjir di kawasan wisata Kali Bahorok, Langkat Sumatra Utara tahun 2003 yang menewaskan 200 orang adalah sebagai akibat dari penjarahan hutan di Taman Nasional Gunung Lauser.[44]
Kerusakan hutan ini ternyata juga berdampak pada kerusakan ketenangan hidup dan hak atas kehidupan manusia dari ancaman banjir misalnya, atau kerusakan lingkunan. Pelanggaran terhadap hak atas hidup ini adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights.[45]
3. Korelasi antara korupsi dan Illegal logging
Dalam melakukan pembahasan terhadap korelasi antara korupsi dan illegal logging, yang akan dibahas terlebih dahulu adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara korupsi dan illegal logging, kemudian akan dibahas pula pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari adanya korupsi dan illegal logging dan terakhir yang akan dibahas disini apakah undang-undang korupsi bisa menjangkau perkara illegal logging.
a. Korelasi Antara Perkara Korupsi dan Illegal Logging
Banyak diskusi sudah dilakukan tentang hubungan simbiotik antara korusi dan illegal logging. Khususnya untuk Indonesia hal ini dianggap relevan, karena karupsi itu telah berurat akar, seperti halnya illegal logging yang sudah merajalela.[46] Korupsi terjadi hampir disemua lini pemerintahan, dan badan usaha milik negara atau milik daerah. Kalau pun ada yang menyatakan sulit menyebut kerjasama atau sogok antara swasta dan oknum pemerintah sebagai korupsi, paling tidak yang gampang membuktikannya adalah pemberian suap. Suap yang terjadi karena untuk mengesahkan satu perbuatan yang melanggar hukum, atau karena pihak swasta dan oknum pemerintah bekerjasana untuk “mengambil” uang pemerintah seperti dalam restitusi pajak atau tidak membayar kewajiban kepada pemerintah seperti membayar iuran hasil hutan.
Dalam United Nations Conventions against Corruptions[47] suap itu dikategorikan sebagai korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 (a), janji, tawaran atau pemberian kepada pejabat publik, langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak sepatutnya, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang lain atau badan lain, sehingga pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas resmi mereka; (b) Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, yang tidak sepatutnya, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang lain atau badan lain, agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas mereka.
Illegal logging ini terjadi karena ada penyalahgunaan wewenang, ada kolusi dalam penerbitan izin tebang, kolusi dalam penerbitan atau perpanjangan Surat Keterangan Sah Hasil Hutan, dan juga adanya keterlibatan pejabat sipil, polri dan tentara yang menjadi beking atau membantu mencarikan dukumen asli tapi palsu dalam pengangkutan kayu hasil illegal logging tersebut dari lokasi penampungan menuju pabrik Plywood atau tempat penggergajian dan tindakan-tindakan ini seolah-olah mengesahkan keberadaan kayu ilegal menjadi kayu yang berdokumen, sehingga hal ini merugikan negara yang sangat besar. Modus yang lain adalah membiarkan penebangan kayu pada wilayah yang disebut sebagai hutan lindung dan taman nasional, atau juga membiarkan terjadi penebangan diluar areal blok tebangan yang bisa ditebang pada Rencana Kerja Tahunan. Sebagimana dicatat oleh Human Rights Watch, berdasarkan hasil penelitian World Wide Fund for Nature (WWF) dan Department for International Development (DFID) dari Inggris, yang melakukan penelitian illegal logging di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Riau, bahwa dari 23 penggergajian liar, 12 diantaranya didukung oleh oknum militer, 1 oleh oknum polisi dan 5 mendapat dukungan dari pejabat Departemen Kehutanan.[48]
Seperti dikemukakan oleh Ir. Arman Malolongan, bahwa kayu ilegal yang ditebang setiap tahun mencapai 50 juta meter kubik setiap tahun.[49] Pada pihak lain Departemen Kehutanan menghitung kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan ilegal senilai 30,42 triliun rupiah setiap tahun. Bahkan untuk Kalimantan Timur CIFOR menyatakan telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal.[50] Terlepas dari akurasi besarnya kerugian yang diderita setiap tahun, yang pasti ada kerugian yang sangat besar sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari illegal logging.
Dengan demikian maka menjadi sangat jelas adanya korelasi antara illegal logging dan korupsi, karena penyalahgunaan wewenang, ada kerugian negara dan ada yang diuntungkan, baik karena terima sogok, maupun karena tidak membayar pajak, termasuk tidak membayar iuran hasil hutan dan tidak membayar dana reboisasi. Kalau hal ini dihubungkan dengan pengertian korupsi sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang, maka terminologi korupsi telah terpenuhi dalam tindakan illegal logging.
b. Keuntungan Institusi dan Pribadi
Hal yang tidak bisa disangkal bahwa dengan terjadinya illegal logging, maka pasti ada pihak yang diuntungkan. Ada institusi yang memperoleh kesempatan tidak membayar kewajiban, ataupun kalau mereka melakukan pembayaran kewajiban, maka tidak sepenuhnya kewajiban itu mereka laksanakan, karena adanya kerjasama antara pejabat negara dan swasta sehinga pihak swasta. Pada sisi yang lain, sudah menjadi jamak setiap kerjasama antara pihak swasta dengan pejabat negara dalam memberikan kemudahan atau fasilatas, selalu mendatangkan keuntungan bagi pejabat, sebagai uang lelah atau sebagai uang rokok, atau sebagai biaya kemitraan, biaya transportasi atau tanda terimaksih.
Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan swasta atau oknum perusahaan swasta dan penerimaan uang oleh oknum pejabat negara ini dalam undang-undang pokok tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap sebagai salah satu unsur dari adanya korupsi. Sehingga tidak jarang tidak dapat dibuktikannya ada pihak swasta atau pejabat negara yang diuntungkan dari satu kebijakan, membebaskan mereka dari adanya dakwaan korupsi.
Dengan demikian maka untuk membuktikan ada atau tidaknya korupsi dari satu kebijakan, maka keuntungan itu harus dibuktikan, harus faktual. Tidak bisa dengan menggunakan asumsi, bahwa satu kebijakan lahir karena adanya dugaan bahwa ada pihak yang diuntungkan dan ada pejabat mendapat keuntungan sebagai “kick back” keluarnya satu kebijakan. Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi ini dapat diartikan perbuatan apa saja seperti mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga karena perbuatannya tersebut si pelaku bertambah kekayaannya. Yang harus diingat bahwa keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain atau korporasi ini harus sama besarnya dengan kerugian negara. Artinya besarnya keuntungan itu harus sama besarnya dengan kerugian negara. Dalam hal menghitung ada tidaknya kerugian negara ini, Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa hal ini harus dilakukan oleh Ahli atau akuntan.[51]
c. Apakah UU Tindak Pidana Korupsi Menjangkau Illegal Logging
Korupsi oleh The World Bank diartikan sebagai “the abuse of public office for private gain”.[52] Kemudian dikatakan pula,
“Public office is abused for private gain when an official accepts, solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even if no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues”.[53]
Ketentuan Pasal 18 (a) United Nations Conventions against Corruptions, menyatakan bahwa janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik, agar pejabat publik menyalahgunakan pengaruhnya untuk memperoleh otoritas atau manfaat tidak semestinya, dan pasal 18 (b), permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain.langsung atau tidak langsung yang merupakan manfaat yang tidak semestinya diperoleh, atau agar pejabat tersebut menyalahgunakan pengaruhnya dengan maksud untuk memperoleh otoritas dan manfaat tidak semestinya.
Dari pernyataan ini jelas yang disebut sebagai korupsi itu adalah setiap tindakan penyalahgunaan kewenangan untuk memperoleh keuntungan pribadi, termasuk diantaranya menerima sesuatu sebagai sogok. Termasuk juga sebagi penyalahgunaan wewenang jika swasta secara aktif melakukan usaha memberi sogok agar dapat mempengaruhi kebijakan publik untuk mendapat keuntungan. Penyalahgunaan kewenangan dapat saja terjadi meskipun tidak ada keuntungan secara pribadi, sepanjang ada pemberian perlidungan serta “perkoncoan” termasuk juga pencurian kekayaan negara.
Jika pengertian korupsi dan bunyi Pasal 18 United Nations Conventions against Corruptions ini dihubungkan dengan pola yang berkembang sehingga terjadi illegal logging, maka tidak bisa tidak illegal logging itu bisa dijerat dengan pasal korupsi, karena United Nations Conventions against Corruptions, itu telah dijadikan sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
4. Gagalnya Sistem Pencegahan Korupsi dan Illegal Logging
Apabila dilihat dari pemberitaan surat kabar maka perkara korupsi yang terjadi sejak tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, 2005 terungkap 125 dan 2006 terungkap 166 kasus. Dari 166 kasus korupsi di tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp 14,4 triliun.[54] Sedangkan menurut hasil pemantauan ICW[55] selama tahun 2006 terdapat 124 perkara korupsi dengan 361 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di semua tingkatan. Dalam catatan ICW tersebut klasifikasi pelaku korupsi, selama tahun 2006 yang paling banyak menjadi terdakwa dari lingkungan eksekutif (kepala daerah, mantan kepala derah, dinas, sekda dsb) sebanyak 54 perkara. Sedangkan jumlah perkara yang menimpa terdakwa yang berasal dari yudikatif dan swasta berjumlah 70 perkara, masing- masing sebanyak 35 perkara. Dari semua perkara perkara yang telah diperiksa dan divonis oleh pengadilan, sebanyak 39 perkara dengan 116 terdakwa (31,4 %) dijatui vonis bebas oleh pengadilan, sedangkan 85 perkara (68,5 %) divonis bersalah.
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa belum ada efek jera bagi para pelaku korupsi, karena rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa, sebab terdakwa yang dihukum di bawah 2 tahun penjara (37 perkara atau 29,8 %) jauh lebih banyak daripada perkara yang divonis di atas 2 tahun hingga 5 tahun (32 perkara atau 25,8%) maupun perkara yang di vonis di atas 5 tahun (16 perkara atau 12,9%).
Dari catatan Surat kabar pada 2005 terdapat 2.895 perkara dengan tersangka 3.520 orang, yang menurun menurun menjadi 916 perkara pada tahun 2006, dengan 919 tersangka. Sebagai barang bukti bahwa telah terjadi illegal logging maka telah disita sebanyak 15 ribu lebih batang kayu, namun hanya 43 ribu m3 saja yang bisa dilelang, dengan total nilai Rp 33 Miliar. Sedangkan pada tahun 2006, dari 916 perkara sebanyak 13 ribu m3 saja dari 2.106 batang kayu yang disita, dengan total nilai Rp 10 Miliar. Secara umum hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terdakwa pelaku illegal logging rata-rata dihukum tiga bulan penjara.[56] Ada penurunan perkara illegal logging dari tahun 2005 ke tahun 2006, dan penurunan tersebut sebagai bukti adanya keberhasilan dari kegiatan yang dilancarkan dalam pemberantasan illegal logging.
a. Pembenahan Intern yang Tidak Cukup
Terjadinya korupsi dan illegal logging yang menyengsarakan rakyat tidak terlepas dari fakta bahwa reformasi tidak lebih dari wacana. Kalaupun terjadi perubahan pada beberapa Departemen atau terjadi penggantian pimpinan di Daerah sebagai Kepala Daerah, perubahan dan penggantian tersebut tidak dilakukan secara menyeluruh. Pergantian hanya terjadi pada level atas, tanpa ada perubahan struktur dan kultur organisasi. Yang dilakukan pergantian hanya terhadap menteri atau kepala daerah, sementara perangkat pendukung menteri dan kepala daerah tetap saja orang-orang lama, yang selamanya bekerja dengan pola dan cara kerja yang tidak jauh dari cara-cara yang tidak patut. Paling tidak, kebanyakan pegawai pada tingkat pembantu dekat menteri atau kepala daerah adalah orang yang selama ini menjadi pendukung dan pelaksana kegiatan manipulatif dan koruptif yang dilakukan pada masa pemerintahan terdahulu.
Memang tidak perlu terjadi perubahan besar dalam arti membubarkan satu departemen atau memberhentikan semua pegawai pada satu departemen atau mengganti semua pegawai di pemerintahan daerah, tetapi cukup dengan membuat kebijakan baru dan mengganti pegawai-pegawai kunci dengan pegawai yang baru dan tidak pernah terlibat melakukan “hanky-panky”. Hal ini yang tidak sempat dilakukan secara baik oleh pemerintah selama ini. Sebab dengan tidak adanya pembenahan intern ini, maka pola kerja tidak akan pernah ada perubahan.
b. Tidak Ada Prioritas Kebijakan
Pengembangan wacana dan pemikiran untuk memberantas korupsi memang tidak kurang-kurangnya dikumandangkan oleh semua lapisan pejabat di negeri ini, mulai dari presiden, para menteri dan kepala daerah. Tetapi sayangnya dari wacana dan pemikiran yang berkembang tidak ada yang jelas menjadi prioritas, misalnya pemberantasan korupsi itu akan dimulai dari mana, dengan prioritas perkara seperti apa. Begitu juga dengan pemberantasan illegal logging, fokus pemberantas illegal logging itu akan dimulai dari daerah mana yang akan dilakukan secara intensif.
Hal lain lagi yang nampaknya tidak mejadi prioritas adalah mempersiapkan peraturan yang dapat menjangkau pelaku illegal logging dengan hukum yang keras dan tegas. Meskipun pada awal tahun 2004, sempat berkembang wacana untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal, namun hingga kini perpu tersebut tidak ada lagi kabar beritanya. Akan tetapi yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No.I/2004) tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan kemudian disetujui oleh DPR yang berarti DPR menerima keberadaan Kepres Nomor 41 Tahun 2004 tentang pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di hutan lindung.[57] Sehingga bukan peraturan yang dapat memberikan hukuman yang tinggi kepada pelaku illegal loging yang lahir, tetapi yang datang adalah kesempatan untuk melakukan eksploitasi hutan pada hutan lindung.
c. Parsialitas Tindakan dan Kelemahan Manusia
Secara konseptual upaya pemberantasan korupsi dan pemberantasan illegal logging yang dicanangkan pemerintah akan dilakukan dengan cara terpadu, meskipun dalam pemberantasan korupsi kesan sering tidak sinkron itu terjadi antara penyidik Polri dan Jaksa. Bahkan tidak jarang dalam kasus-kasus korupsi tertentu, kesan rebutan pengaruh dan superioritas dalam melakukan penyidikan terjadi antara penyidik polisi dan kejaksaan. Sehingga berakibat saling menyalahkan dalam berita surat kabar. Hal ini terlihat secara kasat mata dalam kasus dugaan korupsi proyek PT PLN di Borang Sumatra Selatan. [58]
Selain berebut pengaruh sebagai penyidik yang berhasil, sikap seolah-olah paling benar tidak jarang ditunjukkan dalam pemberitaan surat kabar yang melibatkan penyidik polri dan jaksa. Padahal dalam sistem penyidikan kita antara penyidik dan penuntut itu adalah satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan, meskipun kata akhir bahwa satu berkas perkara layak aatu tidak untuk dibawa ke pengadilan sepenuhnya merupakan wewenang dari jaksa sebagai penuntut. Tekanan-tekanan yang diberikan melalui publik opini dan menggambarkan bahwa satu perkara menurut penyidik sudah sempurna, tetapi oleh jaksa dianggap belum sempurna dan tidak cukup bukti, adalah satu bentuk dari sikap yang salah dalam penegakan hukum. Hal ini pasti akan mengurangi respek dan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.
Bukan hanya ini yang terjadi, parsialitas dalam mengusut kasus korupsi atau dalam kasus illegal logging tidak jarang juga terjadi. Artinya pengusutan satu kasus tidak jarang hanya dilakukan secara sederhana, hanya dari satu sisi saja. Hal ini umumnya terjadi karena karena ketidak siapan penyidik polri atau penuntut umum. Dalam penyidikan kasus besar sekalipun acap kali, tidak dilakukan penyelidikan yang cukup, sehingga dapat ditemukan hubungan dan keterkaitan satu kasus dengan kasus lainnya. Begitu juga dalam hal melibatkan ahli, dalam banyak kasus korupsi atau illegal logging, peran ahli lebih sering hanya dianggap sebagai aksesoris belaka, bukan bagian atau pihak yang diberi kesempatan untuk mengkaji perkara secara baik terlebih dahulu. Tidak jarang dalam praktik, para penyidik atau penutut merasa dan menunjukkan sikap lebih ahli dari ahli yang diminta keterangan dan bantuannya dalam mengkaji satu kasus. Memang keadaan ini tidak terlepas dari kelemahan manusia, tetapi sebagai organisasi yang besar yang berjalan karena sistem dan melakukan segala kegiatan untuk kepentingan negara, segala bentuk parsialitas dan kelemahan manusia ini dapat dihilangkan dengan jalannya organisasi.
5. Korupsi dan Illegal Logging Sebagai Kejahatan Kemanusiaan dan Dampak Putusan Bebas
Oleh karena kejahatan korupsi dan kejahatan illegal logging merampas dan menghancurkan hak hidup masyarakat, merampas potensi bangsa untuk meraih produktivitas, bahkan menimbulkan kerusakan yang tidak hanya terbatas pada kebocoran dana pembangunan dan perekonomian, tetapi sudah merusak pemikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak, maka sangatlah layak kalau dikatakan bahwa kejahatan korupsi dan illegal logging ini sebagai kejahatan kemanusiaan.
Jika para penjahat kemanusiaan ini dibebaskan oleh hakim, karena berbagai alasan, termasuk tidak cukupnya bukti untuk menghukum terdakwa dengan hukuman maksimal, maka dampak ekonomi dan sosialnya akan sangat berat, bukan hanya hilangnya nilai ekonomi, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menegakkan hukum, selain itu efek jera dari ancaman hukuman menjadi tidak ada gunanya, ini semua tidak menututup kemungkinan menjadi kegagalan dalam menegakkan hukum.
a. Dampak Ekonomi Dari Korupsi dan Illegal Logging
Praktik korupsi, tampaknya sudah membudaya dan bukan semata milik strata pemerintah pada tingkat elit dalam jajaran pemerintahan, tetapi sudah merasuki semua lini kehidupan, bahkan sejak seorang anak manusia lahir, pengurusan kepentinganya sudah berurusan dengan korupsi, karena dalam pengurusan akte kelahiran harus berurusan dengan banyak orang, mulai dari tingkat kelurahan sampai di catatan sipil. Hal yang sama terjadi dengan kematian yang menjajakan fasilitas dan janji kemudahan, korupsi terjadi sejak mencari tempat penguburan hingga penyelesaian masalah hartanya di pengadilan. Dengan demikian maka, secara hirarki, korupsi sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten atau kotamadya hingga tingkat propinsi. Penelitian Transparansi Internasional menunjukkan betapa terpuruknya citra bangsa ini. Peringkat citra "negara terkorup" selalu melekat setiap tahun, sebagai contoh misalnya di tahun 2005 Indonesia berada dalam urutan keenam terkorup dari 158 negara.[59] Dengan anggapan sebagai negara terkorup, maka tentu akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap proses pembangunan, menurunkan legitimasi pemerintah, bahkan dapat menjatuhkan pemerintah yang berkuasa.
Hal yang sama terjadi sebagai dampak dari illegal logging, bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh sektor kehutanan akan semakin menurun, karena hilangnya kepercayaan masyarakat, bahwa penegakan hukum untuk memberantas illegal logging hanya sekedar pemanis bibir belaka, dan tidak jarang masyarakat juga menyaksikan oknum yang terlibat dalam pemberantasan illegal logging mendapatkan manfaat yang besar dari para tersangka illegal logging. Selain itu yang terjadi adalah para pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang berniat ikut melestarikan hutannya akan menjadi acuh tak acuh dalam kegiatan pelestarian hutan. Sehingga ini berakibat pada hilangnya potensi kayu pada masa yang akan datang, dan ini tentu akan berpengaruh pada nilai ekonomi dari hutan.
Selain itu dampak buruk lain yang timbul tidak tegaknya hukum dalam bidang kehutanan yaitu mencegah terjadinya illegal logging yang paling dahsyat adalah rusaknya lingkungan dan sumberdaya alam dalam jangka panjang, yang tidak bisa serta merta diperbaiki meskipun dengan teknologi yang super canggih. Artinya kerusakan alam dan ekosistem bisa menjadi kerusakan yang permanen, yang akibatnya akan dialami oleh manusia sepanajang ada kehidupan manusia.
b. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat
Dampak buruk lain yang timbul sebagai akibat tidak tegaknya hukum atau tidak mampunya aparat penegak hukum mengadili para terdakwa kejahatan kemanusiaan ini secara patut dengan hukuman yang setimpal sesuai kejahatan yang mereka lakukan, bahkan ada yang dibebaskan oleh pengadilan dengan alasan yang kurang patut dan masuk akal, maka hal ini dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah. Yang paling berbahaya dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum ini, maka akan terjadi chaos. Seperti beberapa tahun lalu, karena hilangnya kepercayaan masyarakat Jakarta bahwa pencuri sepeda motor akan mendapat hukuman yang setimpal dan ternyata tidak, maka setiap pencuri sepeda motor yang tertangkapoleh masyarakat akan secara lansung dihukum oleh masyarakat dengan hukuman bakar. Kalau hal seperti ini yang terjadi, maka cita-cita menegakkan dan membangun negara hukum Indonesia akan semakin jauh dari harapan. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan para penegak hukum, serta negara ini akan berdampak buruk pula bagi pelaksanaan kewajiban masyarakat lainnya terutama untuk patuh terhadap hukum.
c. Tidak Adanya Efek Jera
Dampak buruk lain yang mungkin timbul, dari tidak tegaknya hukum secara patut dan tidak dirasakan serta dianggap adil oleh masyarakat, maka maksud dan tujuan penghukuman untuk menimbulkan efek jera menjadi tidak tercapai. Hukum dianggap bukan menegakkan keadilan dan kebenaran, apalagi kalau dapat dibuktikan bahwa hukum dapat dibeli dengan harga yang murah, maka yang akan hilang adalah penghargaan masyarakat terhadap hukum sebagai sarana untuk menegakkan keadilan menjadi sirna. Hukum akan dianggap sebagai barang dagangan yang akan mendatangkan keuntungan bagi pemegang otoritas, seperti jaksa, polisi, hakim bahkan termasuk pengacara.
Dampak buruk dari hilangnya efek jera ini adalah proses pembusukan negara dan bangsa akan mejadi semakin cepat, dan kalau ini yang terjadi, maka bukan saja pemerintah yang tidak akan mendapat kepercayaan mampu menegakkan hukum, tetapi pemerintah justru akan mendapat tantangan yang berat dari masyarakat dalam upayanya menegakkan hukum dan keadilan. Upaya pemerintah dalam menegakan hukum, bukan hanya tidak dipercayai masyarakat, tetapi bisa jadi akan menimbulkan perlawan yang bisa jadi bersifat massive.
d. Kegagalan Penegakan Hukum
Titik nadi kehancuran negara terjadi, jika negara sampai gagal dalam menegakkan hukum dan keadilan dan hilangnya kepercayaan mesayarakat, bahwa penegakan hukum itu untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Bukan hanya kewibawaan pejabat yang hilang akibat gagal menegakkan hukum, karena tidak ada supremasi lain di negara ini kecuali supremasi hukum yang dapat diandalkan dalam menegakkan hukum, kecuali kita akan menyerahkan tugas penegakan hukum kepada alam, kalau ini pilihan yang kita ambil, maka alam yang sudah binasa ini akan semakin membinasakan kita.
Kegagalan menegakkan hukum bisa menghancurkan kewibawaan pemerintah atau penyelenggara negara, bahkan pemerintah akan diabaikan dan dilecehkan sehingga menjadi "sumber" pemicu aksi-aksi sepihak yg menjurus kepada kekerasan sebagai awal timbulnya chaos dan hilangnya tertib bernegara. Yang harus segera dihindari penegakan hukum karena karena dominasi kepentingan yang eksesif, sebab hal ini akan menjadi ancaman penegakan hukum yang eksesif itu sendiri.
Intervensi kekuasaan dalam menegakkan hukum yang sarat dengan kepentingan politik harus dihindari sejauh mungkin, karena intervensi kekuasaan itu akan mengkerdilkan hukum. Dalam kasus-kasus korupsi atau illegal logging yang melibatkan para politisi atau pejabat daerah seharusnya digunakan sebagai cermin untuk berbenah diri, bukan digunakan untuk menyalahkan proses penegakan hukumnya. Penanganannya harus dilakukan secara transparan, sebagai bentuk akuntabilitas publik dari penegak hukum.
Ketidakberdayaan dan ketidak mampuan dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dalam menegakkan hukum dan keadilan akan menjadi kegagalan pemerintah menjalankan agenda reformasi. Ketidakjelasan pemberantasan KKN, penegakan HAM, peningkatan mutu pendidikan, dan kegagalan melakukan pemulihan ekonomi berujung pada makin tingginya ketimpangan sosial dan akan berakibat hancurnya tertib hukum, karena kesenjangan sosial dapat memicu konflik yang tiada akhir.
IV. Kesimpulan
Dari apa yang dipaparkan di atas, paling tidak dapat dilihat bahwa upaya pemerintah untuk mencegah korupsi bukanlah rencana baru, tetapi ini sudah terjadi sejak lama, sejak zaman pemerintahan Orde Lama. Memang upaya pemberantasan korupsi ini belum berhasil secara baik. Begitu juga halnya dengan pemberantasan illegal logging, meskipun belum terlalu lama dilakukan, tetapi upaya untuk itu tidak kurang-kurangnya, meskipun lebih banyak disandarkan dengan ketentuan khutanan yang tidak memeberikan hukum yang menakutkan dan membuat efek jera. Dalam kerangka membuat pelaku illegal logging takut melakukan kejahat seperti itu, seharus sudah ada aturan yang hukum yang dapat memberikan hukuman yang berat terhadap setiap pelanggarnya.
Jika korupsi dan illegal logging ini dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan kemudian di pengadilan perkara semacam ini dibebaskan oleh hakim, karena tidak adanya bukti yang kuat, maka upaya pencegahan kejahatan dan proses penegakan hukum terhadap kejahatan itu akan menghilangkan kepercayaan masyarakat, dan ini akan membuat kredibilitas bangsa di dunia internasional semakin tidak berharga, mengingat konvensi internasional pencegahan korupsi sudah diundangkan sebagai undang-undang. Dan hal ini dapat memberi peluang kepada dunia internasional untuk membentuk pengadilan internasional dalam memberantas korupsi dan illegal logging yang terjadi karena korupsi, sebab korupsi itu adalah merupakan kejahatan kemanusiaan.
Kepustakaan
A. Nielsh Fernando: 2006, A Brief Anatomy of Corruption, http://climax.hampshire.edu/0502/index.php.
Aida Vitalaya Hubeis: 2004, Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan, makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Hotel Bidakara 19-22 Oktober 2004, h.1, diakses dari http://www.lei.or.id/indonesia/files/kongres/Aida.pdf
Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerintahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id/
Amin Rahayu: tt, Sejarah Korupsi di Indonesia, diakses dari http://www.amanah.or.id/detail.php?id=534.
Arman Malolongan: 2005, Pemberantasan Illegal Logging di seluruh wilayah Indonesia, Presentasi Ditjen PHKA pada Lokakarya: Membangun Komitmen Para Multi Pihak Dalam Rangka Penghentian Kerusakan Hutan Alam Di Propinsi Lampung, pada tanggal 6 Juli, 2005 diakses dari http://www.eu-flegt.org/meeting_detail.php?pkid=164&lang=indo
Draft RPJM : 2004, Bab 11 – 3 diakses dari www.bappenas.go.id
Draft RPJP Nasional Tahaun 2005-2025, h. h. 11-12
Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com
Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Sertifikasi Hutan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan, paper pada Sarasehan Nasional “Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian Sumberdaya Alam dan Pemberantasan Kemiskinan, Lembaga Ekolabel Indonesia, h. 7.
Hadi S. Alikodra: 2007, Agen Perusak, Republika, 4 Januari 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277623&kat_id=16
http://www.hukumonline.com/detail asp ? 30/12/2005.
http://www.infopapua.com/modelud.php?op
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id 1 Februari 2007
Human Rights Watch: 20003, Saluran Hukum Tersumbat : Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Sumatra, Indonesia, Vol. 15, No. 1 (c) , h. 15, diakses dari http://hrw.org/indonesian/reports/2003/01/indonbahasa0103.pdf
ICW : 2004, Industri Pengolahan Kayu, Evolusi Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu, Kertas Kerja No. 8, h. 3, diakses dari http://www.antikorupsi.org/docs/olahkayu.pdf
ICW: 2007, Kaleidoskop Pemberantasan Korupsi Tahun 2006, diakses dari http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9621
Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusiaan Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpakul.hijaubiru.org/illog-4/
Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusian Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpkul .hijsubiru.org/illog-4/
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR
J. Smith,K.Obidzinski, Sabarudi, and I.Suramenggala: 2003, Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review 5(3), h. 293.
John Haba: 2003, Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya, Kompas, 16 September 2003, diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
Kebocoran Proyek Capai Rp.76,7 Triliun, Kompas, Rabu 19 Januari 2005.
Kerugian Akibat Korupsi Melonjak, Pikiran Rakyat, 25 Februari 2007, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/25/0401.htm
Marc A. Hiller, Benjamin C. Jarvis, Hikma Lisa, Laura Paulson, Edward H.B. Pollard, and Scott A. Stanley: 2002, Illegal Logging: A Case Study From Gunung Palung National Park, Indonesia, h. 5, diakses dari http://abc.net.au/4corners/content/2002/timber_mafia/viewpoints/viewpoints_pollard.htm
Media Indonesia: 2007, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Diperluas, diakses dari http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=122821
Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corruption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corruption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam, h. 86.
Nyoto Santoso: 2004, Dukung ”Class Action” terhadap Perpu No.1 tahun 2004, Sinar Harapan, Selasa, 20 Juli 2004.
Pemberantasan Korupsi Bukan Demi Statistik atau Pujian, Catatan Kinerja kejaksaan 2006, diakses dari http://hukumonline.com/detail.asp?id. 2/1/07.
Pidato Kenegaraan Presiden, tanggal 16 Agustus 2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 003/PUU-IV/2006, h. 68.
Riau Pos: 2005, Indonesia Masih Terkorup Keenam di Dunia, Riau Pos 19 Oktober 2005, diakses dari http://www.riaupos.com/web - Riau Pos Online
Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rakernas Mahkamah Agung, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Klas IA Seluruh Indonesia, tanggal 19-22 September 2005, di Denpasa, Bali.
Simon Saragih: 2003, Merampas Hak Rakyat, Merusak Ekonomi, Kompas, 25 Oktober 2003.
Suara Merdeka: 2006, Dirut PLN Bebas, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/31/nas02.htm
Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1.
Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
Suripto: 2005, Memberantas Illegal Logging, Republika, 16 Maret 2005, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id
Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h.6.
Undang-undang No.7 Tahun 2006.
UU No. 1 Tahun 1967.
UU No. 1 Tahun 1968.
Wolrd Bank : 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, World Bank.
[1] Tulisan ini merupakan makalah wajib dari Panitia untuk mengikuti Tes sebagai calon Hakim Agung, bulan Januari 2007.
[2] Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
[3] A. Nielsh Fernando: 2006, A Brief Anatomy of Corruption, http://climax.hampshire.edu/0502/index.php.
[4] Amin Rahayu: tt, Sejarah Korupsi di Indonesia, diakses dari http://www.amanah.or.id/detail.php?id=534.
[5] Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerintahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
[6] Draft RPJM : 2004, Bab 11 – 3 diakses dari www.bappenas.go.id
[7] Draft RPJP Nasional Tahaun 2005-2025, h. h. 11-12
[8] Draft RPJM: 2004, Op. cit, Bab 32 – 3.
[9] Marc A. Hiller, Benjamin C. Jarvis, Hikma Lisa, Laura Paulson, Edward H.B. Pollard, and Scott A. Stanley: 2002, Illegal Logging: A Case Study From Gunung Palung National Park, Indonesia, h. 5, diakses dari http://abc.net.au/4corners/content/2002/timber_mafia/viewpoints/viewpoints_pollard.htm
[10] Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1, h, 117.
[11] Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id/
[12] Ibid, h.2.
[13] Loc.cit
[14] Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com
[15] Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corruption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corruption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam, h. 86.
[16] Emerson Yuntho: 2005, Op. cit, h. 3.
[17] Ibid, h. 5.
[18] Loc.cit.
[19] Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
[20] Pidato Kenegaraan Presiden, tanggal 16 Agustus 2005.
[21] Pemberantasan Korupsi Bukan Demi Statistik atau Pujian, Catatan Kinerja kejaksaan 2006, diakses dari http://hukumonline.com/detail.asp?id. 2/1/07.
[22] Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h.6.
[23] Kebocoran Proyek Capai Rp.76,7 Triliun, Kompas, Rabu 19 Januari 2005.
[24] Simon Saragih: 2003, Merampas Hak Rakyat, Merusak Ekonomi, Kompas, 25 Oktober 2003.
[25] Aida Vitalaya Hubeis: 2004, Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan, makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Hotel Bidakara 19-22 Oktober 2004, h.1, diakses dari http://www.lei.or.id/indonesia/files/kongres/Aida.pdf
[26] Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Sertifikasi Hutan di Indonesia dan Tantangan Ke Depan, paper pada Sarasehan Nasional “Sertifikasi di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian Sumberdaya Alam dan Pemberantasan Kemiskinan, Lembaga Ekolabel Indonesia, h. 7.
[27] UU No. 1 Tahun 1967.
[28] UU No. 1 Tahun 1968.
[29] ICW : 2004, Industri Pengolahan Kayu, Evolusi Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu, Kertas Kerja No. 8, h. 3, diakses dari http://www.antikorupsi.org/docs/olahkayu.pdf
[30] Human Rights Watch: 20003, Saluran Hukum Tersumbat : Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Sumatra, Indonesia, Vol. 15, No. 1 (c) , h. 15, diakses dari http://hrw.org/indonesian/reports/2003/01/indonbahasa0103.pdf
[31] Ibid, h. 16.
[32] Ibid, h. 17.
[33] Suripto: 2005, Memberantas Illegal Logging, Republika, 16 Maret 2005, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id
[34] John Haba: 2003, Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya, Kompas, 16 September 2003, diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm
[35] Human Rights Watch: 20003, Op. cit, h. 15.
[36] Suripto: 2005, Op.cit.
[37] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id 1 Februari 2007
[38] http://www.infopapua.com/modelud.php?op
[39] http://www.hukumonline.com/detail asp ? 30/12/2005.
[40] Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Rakernas Mahkamah Agung, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Klas IA Seluruh Indonesia, tanggal 19-22 September 2005, di Denpasa, Bali.
[41] Ferdinandus Agung Prasetyo: 2004, Op. cit, h. 7.
[42] Ibid, h. 8.
[43] Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusian Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpkul .hijsubiru.org/illog-4/
[44] Hadi S. Alikodra: 2007, Agen Perusak, Republika, 4 Januari 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=277623&kat_id=16
[45] Pasal 6 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) “Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”.
[46] J. Smith,K.Obidzinski, Sabarudi, and I.Suramenggala: 2003, Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia, International Forestry Review 5(3), h. 293.
[47] Di ratifikasi sebagai Undang-undang No.7 Tahun 2006.
[48] Human Rights Watch: 20003, Op. cit, h.17.
[49] Arman Malolongan: 2005, Pemberantasan Illegal Logging di seluruh wilayah Indonesia, Presentasi Ditjen PHKA pada Lokakarya: Membangun Komitmen Para Multi Pihak Dalam Rangka Penghentian Kerusakan Hutan Alam Di Propinsi Lampung, pada tanggal 6 Juli, 2005 diakses dari http://www.eu-flegt.org/meeting_detail.php?pkid=164&lang=indo
[50] Illegal Logging: Sebuah Kejahatan Kemanusiaan Yang Tak Tersentuh Hukum, diakses dari http://timpakul.hijaubiru.org/illog-4/
[51] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 003/PUU-IV/2006, h. 68.
[52] Wolrd Bank : 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, World Bank.
[53] Loc.cit.
[54] Kerugian Akibat Korupsi Melonjak, Pikiran Rakyat, 25 Februari 2007, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/25/0401.htm
[55] ICW: 2007, Kaleidoskop Pemberantasan Korupsi Tahun 2006, diakses dari http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9621
[56] Media Indonesia: 2007, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Diperluas, diakses dari http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=122821
[57] Nyoto Santoso: 2004, Dukung ”Class Action” terhadap Perpu No.1 tahun 2004, Sinar Harapan, Selasa, 20 Juli 2004.
[58] Suara Merdeka: 2006, Dirut PLN Bebas, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/31/nas02.htm
[59] Riau Pos: 2005, Indonesia Masih Terkorup Keenam di Dunia, Riau Pos 19 Oktober 2005, diakses dari http://www.riaupos.com/web - Riau Pos Online
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar