Korupsi dan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang
Yang harus dicermati Komisaris dan Direksi Badan Usaha Milik Negara[1]
Oleh : Maqdir Ismail[2]
Pengantar
Pada masa sesudah reformasi keinginan masyarakat untuk menegakkan hukum dan menghukum para pelanggar hukum atau orang-orang yang diduga melakukan kejahatan sungguh luar biasa besarnya. Keinginan ini ternyata bukan hanya keianginan masyarakat saja, tetapi juga menjadi program dari pemerintah. Hal ini dapat kita ikuti mulai dari kampanye pemilihan anggota legislatif sampai pada kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditahun 2004. Bahkan setiap penggantian pemerintah selalu pemberantasan korupsi menjadi program utama dari pemerintah. Karena tidak jarang pemerintah dijatuhkan dengan tuduhan korupsi, atau anggota parleman tidak terpilih karena adanya tuduhan korupsi.[3]
Masalah penegakan hukum di Negara Republik Indonesia ini memang bisa menjadi komoditi yang laris manis untuk dijual oleh siapa saja, karena faktanya masalah penegakan hukum ini masih banyak mengalami kendala. Kalau kita runut kebelakang masalah penegakan hukum terutama menyangkut korupsi, sudah dicanangkan pemberantasannya sejak tahun 1950 an.
Fakta yang tidak terbantahkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak Team atau Lembaga dibentuk untuk memberantas korupsi. Banyak peraturan dilahirkan untuk memberantas korupsi, tetapi Indonesia tetap tercatat sebagai salah satu Negara yang sangat korup di dunia. Dalam catatan Transparansi Internasional misalnya, sejak tahun 1998 Indonesia termasuk Negara yang meraih posisi 10 besar Negara terkorup di dunia.[4] Sehingga tidak salah kalau Almarhum Bung Hatta ditahun 1970 menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.[5]
Kalau saja pernyataan Almarhum Bung Hatta ini benar, maka berarti bangsa ini sudah berangapan bahwa korupsi itu adalah satu hal yang wajar, satu hal yang pantas dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Korupsi sama dengan kebutuhan menghirup udara, makan dan minum, semua dianggap sebagai satu keniscayaan, sebagai aktifitas yang lumrah dan tidak tercela. Hal ini tercermin dengan banyaknya kosa kata yang digunakan dan dianggap sebagai pengesahan korupsi seperti uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, biaya transportasi, tanda terimakasih.
Melihat fakta yang dikemukakan diatas, maka makalah ini akan merunut upaya dalam memberantas korupsi; tebang pilih dalam nenentukan tersangka, ancaman korupsi terhadap pengurus BUMN, ketidak adilan terhadap tersangka korupsi, kekayaan negara dan pemberantasan korupsi, makna kerugian negara, beberapa ketentuan Undang-undang yang harus diwaspadai dan penutup.
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya melakukan pemberantasan Korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama dilakukan. Secara formal pembentukan badan pemberantasan korupsi itu sudah dimulai sejak tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957.[6] Kemudian ini berlanjut dengan diundangkannya UU No.24 Tahun 1960, dimana uapaya pemberantasan korupsi ini dipimpin oleh Jaksa Agung Soeprapto. Kegiatan pemberantasan korupsi ini kemudian dilanjutkan dengan ”Operasi Budhi”, yang dipimpin AH. Nasution dan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro, dengan sasaran lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan praktik korupsi. Operasi Budhi ini mengalami hambatan karena adanya perlindungan dari Presiden terhadap orang-orang tertentu.[7] Tidak lama kemudian Operasi Budhi ini dibubarkan dan diganti dengan KOTAR (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin Presiden Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan Letjen A. Yani. Pemberantasan korupsi pada masa itu juga tidak menghasilkan apapun.[8] Kegiatan pemberantasan korupsi ini dilanjutkan kembali dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No.228/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantas Korupsi. Sebagai tindak lanjut dari Pidato Kenegaraan Pj Presiden Soeharto, dihadapan anggota DPRGR/MPRS pada tanggal 16 Agustus 1967, yang mempersalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi, karena kebijakan ekonomi dan politik berpusat di istana.[9]
Pada masa Orde Baru dengan maksud untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi, dan supaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efisien maka dikeluarkan Keputusan Presiden No.12 Tahun 1970. Kemudian pemerintah membentuk Komisi Empat yan terdiri dari Wilopo, S.H; I.J Kasimo; Anwar Tjokroaminoto, dan Prof. Ir. Johannes; dengan Mohammad Hatta sebagai Penasehat.[10] Tugas dari Komisi Empat ini adalah melakukan penelitian, pengkajian terhadap kebijakan serta melihat hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus besar yang pernah menjadi pemberitaan diawal tahun 70 an ini adalah kasus pertamina, meskipun tidak sampai ke pengadilan. Untuk menunjukan keseriusan dalam pemberantas korupsi ini maka di tahun 1971 diundangkan UU No.3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan memerangi korupsi dizaman pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa yang tercatat cukup besar adalah kasus-kasus yang diungkap oleh Operasi Tertib (Osptib) yang mulai melakukan operasinya pada bulan Juli 1977 dengan publikasi yang luar biasa.[11] Operasi ini didasarkan kepada Inpres No. 9 Tahun 1977.[12] Operasi ini ditingkat pusat secara operasional dipimpin Pangkopkamtib dibantu oleh Kapolri, Jaksa Agung dan para Irjen Departemen, sedangkan ditingkat daerah ada Opstibda yang dipimpin Laksusda, Kapolda, Kajati dan Irwilda. Ada beberapa kasus menarik perhatian masyarakat yang sampai kepengadilan hingga tahun 1981. Ditahun 1982 pemeritah membentuk Tim Pemberantas Korupsi yang dipimpin oleh Menpan JB. Soemarlin, meskipun tidak ada catatan kebehasilan dari tim ini.
Komitmen memberantas korupsi puncaknya pada Sidang Umum MPR pada bulan Agustus Tahun 1998 yang melahirkan Tap MPR XI/MPR/1998, yang secara tegas munghendaki adanya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka diundangkanlah undang-undang No.28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu diundangkan pula UU No.31 tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai upaya melakukan penyempurnaan terhadap UU No.3 tahun 1971.
Sebagai tindakan nyata untuk memberantas korupsi kemudian dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid berdasarkan Pasal 27 UU No.31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000. Tim ini dianggap oleh banyak pihak tidak efektif, karena kurangnya dukungan dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya TGPTK dibubarkan tahun 2001, setelah ada gugatan judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung.[13]
Sementara itu dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka dibentuk pula Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) berdasarkan Keputusan Presiden No.127 Tahun 1999. Salah satu kasus yang menarik perhatian masyarakat yang dilaporkan oleh KPKPN kepada Kepolisian Republik Indonesia adalah kasus kepemilikan rumah Jaksa Agung (waktu itu) M. A. Rahman yang tidak dilaporkan ketika mengisi laporan kekayaan.[14]
Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.[15] Wewenang yang luas itu termasuk, memonitor penyelenggaraan pemerintah serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa tertentu. Dalam waktu relative singkat sudah ribuan laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter oleh Abdullah Puteh, Suap Anggota KPU Mulyana W Kusumah dan kasus suap Probosutedjo.
Tidak mau kalah dengan para pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini dibawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji. Tugas pokok dari Tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu Tim ini juga bertugas untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta menelusuri asset dalam rangka pengambalian keuangan Negara secara optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Tebang Pilih dalam menentukan tersangka
Pemberantasan korupsi dan korban pemberantasan korupsi di negeri ini seringkali dirasakan dan dianggap hanya dilakukan terhadap orang-orang tertentu, terutama dilakukan terhadap orang yang tidak bersahabat dengan pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga muncullah anggapan adanya tebang pilih dan korupsi dalam pemberantasan korupsi.[16] Kalaupun bukan lawan politik, tetapi tidak jarang terkesan bahwa yang kebetulan sedang menjadi obyek penegakan hukum dengan tuduhan korupsi adalah orang yang dianggap dekat dengan lawan politik, atau orang-orang ber-iring sejalan dengan lawan politik. Kalaupun tidak demikian, maka korban itu bukan pendukung yang sedang berkuasa, atau paling tidak bukan yang pernah secara gagah berani memberikan dukungan kepada yang sedang berkuasa. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya pemberitaan yang mencatat misalnya dari 1062 anggota DPRD yang diadili karena dituduh melakukan korupsi, dimana tidak ada satupun anggota DPRD dari Fraksi TNI/Polri yang dituduh melakukan korupsi, begitu juga dicatat bahwa kepala pemerintahan umumnya lolos di pengadilan.[17] Catatan lain yang dapat dikemukakan bahwa ada juga yang beranggapan cukup banyak orang yang lolos, karena mempunyai koneksi politik, sehingga penegak hukum menjadi tidak berdaya menghadapi mereka.[18]
Dari data yang pernah dikemukakan oleh staf khusus Presiden Sardan Marbun, bahwa sebagian besar korupsi yang disampaikan pengaduannya melalui PO BOX 9949, adalah korupsi yang terjadi pada tahun 2000-2004, yang berjumlah 1078 pengaduan, sedangkan yang terjadi pada kurun waktu 2004-2005 hanya 51 pengaduan.[19]
Anggapan seperti ini bisa benar dan bisa juga tidak, karena untuk menetukan siapa yang akan menjadi tersangka dan kelak akan dikenakan tuduhan apa semuanya tergantung dengan arah penyidikan yang dilakukan. Dan hal yang juga penting diketahui, menjadikan seorang sebagai tersangka dan kemudian mencarikan pasal yang dipersangkakan sepenuhnya kewenangan dari penyidik yang dilindungi oleh undang-undang, tanpa ada kontrol dan tanpa bisa disanggah secara hukum dari awal. Tidak ada perlindungan oleh hukum dan tidak ada hak hukum bagi seorang tersangka untuk membantah pemberian status sebagai tersangka, selain ketika sudah ada persidangan. Hak seorang tersangka untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dengan cara menyampaikan bukti lawan, berupa memberi keterangan atau meminta pemeriksaan saksi yang meringankan atau meminta keterangan ahli adalah ketika pemeriksaan sedang dilaksanakan.
Penilaian terhadap kebenaran bukti lawan yang disampaikan oleh seorang tersangka, baik dari hasil pemeriksaannya sendiri atau keterangan saksi yang meringankan atau juga keterangan ahli yang diminta untuk diperiksa, sepenuhnya tegantung dengan penyidik untuk menilainya. Pihak lain tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penilaian. Dalam praktik, acap kali permintaan seorang tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan atau meminta ahli untuk diperiksa diabaikan oleh penyidik. Meskipun menurut KUHAP ada kewajiban bagi penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang meringankan, tetapi kewajiban ini tidak mengandung sanksi.[20] Proses-proses hukum yang dijalani ini mengandung kemungkinan terjadinya tebang pilih, karena proses ini berjalan dalam kendali dan kekuasaan penyidik tanpa ada kontrol dan pengawasan oleh pihak yang independen.
Yang akan ditegaskan disini adalah kemungkinan tejadinya tebang pilih dalam menetukan posisi sesorang menjadi tersangka, saksi atau hanya menjadi penonton sepenuhnya tergantung dengan penyidik Polri maupun Kejaksaan dan KPK. Bahkan dalam praktinya tidak jarang meskipun di zaman reformasi ini, penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri terhadap kasus yang diduga sebagai perkara korupsi, masih tetap menggunakan pola HIR, mengejar pengakuan bersalah dengan segala cara, mulai dari memberikan bantahan terhadap jawaban orang yang diperiksa, bahkan tidak jarang ”memaksa” orang untuk memberikan jawaban sebagaimana mereka kehendaki. Paksaan memang hanya bersifat psikis, tidak bersifat fisik, tetapi paksaan psikis ini tentu satu hal yang tidak boleh terjadi, namun masih terus berlangsung. Fungsi Advokat atau pengacara sebagai pendamping klien tidak jarang dianggap menyulitkan pemeriksaan.
Ancaman Korupsi terhadap pengurus BUMN
Dengan konsep dan pemikiran dari penegak hukum bahwa meskipun kekayaan negara sebagai modal BUMN sudah dipisahkan, tetapi tetap merupakan kekayaan negara dan sepenuhnya kewenangan Kejaksaan atau Kepolisian untuk melakukan penyidik jika ada laporan bahwa korupsi pada satu BUMN. Penyidikan itu dapat dilakukan tanpa memperdulikan ada atau belum adanya pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa pimpinan satu perusahaan yang mereka sidik sudah terbukti melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan telah merugikan perusahaan yang mereka pimpim. Konsep yang tidak jelas dan sikap mendua Pemerintah terhadap pemisahan kekayaan negara yang di BUMN adalah pangkal terjadinya penafsiran yang berbeda, mengenai kekayaan negara yang ada pada BUMN atau BUMD. Dalam satu sisi sesuai dengan undang-undang kekayaan negara yang dipisahkan dan menjadi modal BUMN dinyatakan tunduk pada ketentuan Undang-undang Perseroan, tetapi pada sisi yang lain dianggap tunduk pada hukum publik.
Sikap ini lahir sebagai anak kandung dari anggapan bahwa BUMN itu adalah bagian dan dari birokrasi dan harus dikelola secara rigid, dan harus dikelola seperti birokrasi, taat pada ketentuan administratif tanpa memikirkan kehidupan pasar. Akibat dari sikap ini, maka pertama-tama yang akan dipersoalkan ketika terhadap satu BUMN dilakukan penyidikan, adalah untuk melihat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang sebagai unsur dari korupsi. Suatu keputusan untuk membuat satu perjanjian akibatnya tidak jarang dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang, apabila perjanjian tersebut ditanda tangani terlebih dahulu, sebelum ada persetujuan tertulis dari Menteri BUMN sebagai pemegang saham. Sementara kita faham sesuai dengan akal sehat bahwa keputusan seperti ini pada umumnya dilakukan karena adanya kebutuhan mendesak, dan mengambil peluang atau kesempatan yang tidak jarang terjadi.
Sebagai salah satu contoh yang dapat ditafsirkan, bahwa dalam pikiran banyak pejabat negara Indonesia, kekayaan BUMN adalah kekayaan negara dapat dilihat dari laporan Menteri BUMN kepada Timtastipikor bahwa ada 16 BUMN yang terindikasi korupsi.[21] Hal ini semakin tegas dengan kesepakatan yang ditanda-tangani oleh Menteri BUMN dan KPK dalam kerjasama meberantas korupsi tanggal 1 September 2005. Penanda-tanganan ini adalah bentuk sikap politik pemerintah yang dalam hal ini diwakili Menteri BUMN, yang menganggap bahwa ”penyelewengan” yang terjadi di BUMN itu adalah korupsi, bukan penggelapan. Kekayaan BUMN masih dianggap kekayaan negara dan BUMN dianggap sebagai arena berkembang biaknya korupsi. Hal ini terlihat secara tegas dari pernyataan Menteri, ”kerjasama ini adalah bagian dari kesungguhan kita sehingga citra sebagai sarang korupsi akan terhapus”.[22]
Sikap dari pimpinan BUMN sebagi risk taker (pengambil resiko) sangat tidak cocok dengan dengan pandangan bahwa BUMN harus dikelola secara hati-hati dan penuh ketaatan terhadap tertib administrasi. Para pengambil kebijakan di BUMN yang mempunyai sikap risk taker, akan sangat gampang dituduh melakukan tindakan yang dianggap melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang, dan akan terlalu mudah untuk dicurigai telah melakukan ”korupsi”. Maka jangan heran, kalau para pemberani yang menjadi pimpinan di BUMN, akan selalu seperti telur diujung tanduk, setiap saat akan jatuh berantakan. Oleh karena itu mungkin layak untuk segera dipikirkan, melakukan privatisasi terhadap perusahaan BUMN yang lebih besar motif mencari untungnya, daripada pelayanan publiknya.[23]
Dengan sikap pemberantasan korupsi yang ”garang” dan tanpa penyelidikan yang maksimal terlebih dahulu oleh lembaga penyidik tertentu, maka akan menjadi tantangan yang berat bagi BUMN yang dianggap mengalami kerugian, terutama BUMN strategis dan besar seperti PT. PLN, Pertamina, PT. Garuda Indonesia, Perusahaan Perkebunan, Perhutani. Sebab tidak terturup kemungkinan bahwa terjadinya kerugian sebagai risiko bisnis, akan dipersalahkan seolah-olah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang berakibat timbulnya kerugian. Kerugian pada BUMN akan dianggap sebagai kerugian negara dan aparat penegak hukum akan mendalilkan ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara, bahwa kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang adalah merupakan kekayaan negara.
Ketidak adilan terhadap tersangka korupsi
Beban berat yang harus ditanggung seorang yang dituduh korupsi, bukan hanya harus menghadapi pemeriksaan pada penyidikan yang sangat melelahkan, tetapi juga harus menghadapi pemeriksaan di pengadilan yang menguras tanaga dan pikiran, dan ancaman penahanan sejak penyidikan hingga pengadilan tanpa ada kemungkinan untuk dilepaskan dari tahanan sementara atau dialihkan menjadi tahanan kota, meskipun dengan jaminan, bahkan terhadap yang sakit parahpun tidak jarang tidak akan diberikan penangguhan oleh penyidik.
Yang hancur ketika sesorang diberitakan dan kemudian diadili atas dakwaan korupsi, bukan hanya karir yang telah lama dibangun, tetapi juga nama baik dihadapan keluarga dan masyarakat. Inilah bentuk awal ketidak adilan yang harus dialami sesorang yang disangka melakukan korupsi, akan dianggap sebagai musuh masyarakat, dan yang diberitakan hanya hal-hal yang buruk, dengan melupakan seluruh kebaikan yang pernah dilakukan. Apalagi dengan model pemberitaan yang luar biasa tajam, memojokkan dan memihak, sehingga tidak ada kesempatan untuk memberikan pembelaan diri secara baik dan seimbang.
Jika seorang tersangka tidak dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka tidak jarang pengadilan melalui pers dilakukan secara besar-besaran, pers dan tokoh LSM menjadi penuntut dan hakim secara bersamaan, menuntut dan langsung menjatuhkan vonnis. Tindakan penyidik tidak melanjutkan penyidikan akan dianggap dan diberitakan karena ada persekongkolan. Hal yang sama akan terjadi jika seseorang telah diadili dan oleh pengadilan dibebaskan, maka pengadilan akan menerima cercaan dan bahkan tidak jarang hakim yang membebaskan terdakwa perkara korupsi akan dituduh telah menjual keadilan dengan harga yang murah, dan dituduh pula telah menyalahgunakan jabatannya sebagai hakim dengan menjual keputusan pengadilan. Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan, tanpa pernah mau melihat kebenaran argumen hakim dalam mempertimbang perkara yang sedang diadili. Begitu juga argumen terdakwa dan pensehat hukumnya akan dianggap sebagai pebenaran atas kejahatan.
Opini publik yang berlebihan terhadap satu perkara korupsi, sadar atau tidak sadar, akan memudahkan orang untuk menjatuhkan hukuman tanpa melalui pengadilan yang imbang dan tidak memihak. Pemberitaan yang buruk terhadap seorang tersangka atau terdakwa korupsi, bukan hanya dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perkara itu, tetapi juga dapat mengarahkan opini pihak yang melakukan penyidikan dan yang mengadili bahwa orang yang disangka atau terdakwa adalah orang yang bersalah.
Kekayaan Negara dan Pemberantasan Korupsi
Ketentuan Undang-undang No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Inilah pangkal celaka yang banyak dialami oleh orang-orang yang dituduh melakukan Korupsi. Meskipun kemudian Menteri Keuangan, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/PMK.07/2006 tentang pengurusan piutang perusahaan negara/daerah untuk memberi kepastian hukum dalam pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, khususnya bagi kredit bermasalah bank BUMN. Penerbitan PMK itu merupakan tindak lanjut dari PP No.33/2006 yang merupakan perubahan atas PP 14/2005 tentang tata cara penghapusan piutang negara/daerah. Sehingga pengelolaan kekayaan negara yang telah dipisahkan pada BUMN tersebut menjadi kewenangan perusahaan negara yang bersangkutan sesuai dengan mekanisme korporasi. Tetapi Keputusan Menteri Keuangan ini masih tetap tidak menyelesaikan perdebatan secara hukum tentang kekayaan negara yang dipisahkan, apakah masuk dalam wilayah hukum publik atau hukum privat. Kejaksaan dan Kepolisian tetap menganggap bahwa kekayaan negara meskipun sudah dipisah tetap kekayaan negara, dan masuk dalam wilayah hukum publik. Sehingga kerugian-kerugian atau kegiatan-kegiatan perusahaan BUMN yang mengalami kerugian, tetap akan menjadi obyek penyidikan dalam perkara korupsi.
Penafsiran yang tidak jelas tentang keuangan negara ini dilanjutkan dan diikuti oleh ketentuan-ketentuan yang lain, misalnya Pasal 1 angka 1 UU No.17/2003 menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Penafsiran ini kemudian juga diikuti oleh UU No. 19 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Namun pasal 11 menyatakan, Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun1995 tentang Perseroan Terbatas. Artinya pasal 11 ini mengindikasikan bahwa Persero itu tunduk pada ketentuan hukum privat bukan pada hukum publik.
Dua ketentuan UU BUMN yang tidak singkron ini kemudian menimbulkan ketidak jelasan interpretasi terhadap posisi BUMN, sebagai badan publik atau sebagai badan privat.
Banyak pihak yang setuju dengan perluasan definisi keuangan negara, yang kemudian mengartikan bahwa ada tindak pidana korupsi apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, karena esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik seperti dinayatakan oleh Sahetapy. Sehingga apabila terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN. [24]
Sementara itu ada juga pihak yang mengartikan keuangan negara terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, sebagaimana juga ditegaskan dalam pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 yang menyatakan, ” kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Sehingga kalau ada masalah hukum atau ada kerugian negara yang dialami oleh BUMN, maka ketentuan korupsi tidak dapat diterapkan dalam masalah seperti ini.
Salah seorang yang berpendapat bahwa kekayaan BUMN bukan kekayaan negara adalah Prof. Erman Radjagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang menyatakan bahwa kekayaan negara menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh negara. Sehingga menurut Prof. Erman Radjagukguk tindak pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Prof. Erman Radjagukguk upaya hukum yang dapat dilakukan negara jika terjadi kerugian harus sesuai dengan mekanisme UU No. 1/1995 dan UU No. 19/2003. Dengan menunjuk ketentuan Pasal 54 ayat(2) UU No. 1/1995 pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris apabila keputusan mereka dianggap merugikan pemegang saham. Tuntutan pidana juga dapat dikenakan pada direksi BUMN/BUMND yang melakukan delik penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-undang Perbankan atau lainnya yang memuat ketentuan pidana.[25]
Arti Kerugian Negara
Unsur dalam perkara korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan merugikan negara. Pembuktian dan diskusi tentang hal-hal yang harus dibuktikan sebagai unsur perkara korupsi, sekarang jauh lebih terpusat kepada pembuktian tindak pidana yang riil. Sebab selama ini penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU Nomor 31 Tahun 1999 sangat elastis dalam memberi penjelasan tentang yang disebut sebagai melawan hukum. Yang disebut sebagai perbuatan melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dan formil, termasuk diantaranya jika perbuatan itu tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Judicial Review Nomor 003/PUU- IV/2006, telah membatalkan unsur melawan hukum secara materiil yang terkandung dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koripsi. Prasa penjelasan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Putusan Judicial Review Nomor 003/PUU- IV/2006, ” Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.[26]
Perdebatan tentang makna kerugian negara muncul dari perbedaan dalam menafsirkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.17 Tahun 2003, Pasal 2 huruf g UU No.17 Tahun 2003 dan Pasal 1 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003, ketika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2, Pasl 3 dan pasal 15 UU No.20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999.
Ada ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa kerugian negara itu tidak perlu terjadi, sepanjang ada potensi kerugian negara, maka orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dapat dihukum. Salah seorang yang berpendapat demikian dan cukup sering dijadikan ahli oleh penyidik Polri adalah Prof. Komariah Emong Sapardjaja, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad, yang berpendapat bahwa konsep kerugian negara yang dianut oleh UU No.20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 adalah dalam arti delik formil. Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ harus diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.[27]
Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Judicial Review Nomor 003/PUU- IV/2006, mengenai prasa ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dinyatakan sepanjang kerugian negara menurut ahli dapat dihitung dan dapat dibuktikan meskipun hanya dalam perkiraan dan belum terjadi, hal tersebut dianggap tetap sebagai delik formal dan menjadi dasar untuk menjatuhkan hukuman. Sedangkan adanya kerugian atau belum ada kerugian adalah sebagai sarana untuk menentukan berat dan ringannya pidana.[28]
Pakar hukum yang berpendapat lain adalah Prof. Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, bahwa kerugian negara itu harus riel. Dalam memberikan keterangan sebagai ahli, dalam kasus bank Mandiri, Andi Hamzah berpendapat, berhubung pemberian kredit Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN) belum jatuh tempo, maka dengan adanya pemberian kredit tersebut belum terjadi kerugian negara.[29] Pendapat Andi Hamzah ini termasuk yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majlis Hakim yang membebaskan ECW Neloe dkk, dari dakwaan korupsi, karena belum ada kerugian negara dalam pemberian kredit kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN).
Sementara itu Prof. Erman Rajagukguk[30] berpendapat, dalam memberikan penilaian tentang ada dan tidaknya kerugian negara dapat merujuk pada ketentuan ketentuan pasal 1 butir 22 UU No. 1 Tahun 2004, yang menyatakan, ” Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Pendapat ini lebih bisa diterima karena dalilnya jelas, dan penghitungannya oleh akuntan publik lebih mudah dilakukan.
Beberapa ketentuan Pidana yang harus diwaspadai
Ada beberapa ketentuan undang-undang yang patut dicermati agar terhindar dari jerat hukum yang akan menghancurkan segalanya, segala sesuatu yang telah dibangun dengan susah payah. Ketentuan-itu antaralain :
1 Ketentuan pasal 7 UU No. 19 Tahun 2003, UU tentang BUMN, yang melarang para anggora Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas untuk mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung atau tidak langsung dari kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah;
2 Ketentuan pasal , 91, 93, 95, 96, pasal 97 ayat (1) dan pasal 98 UU No.8 Tahun 1995, tentang Pasar Modal, yang melarang semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan perdagangan efek dengan ancaman hukuman 10 tahun dan denda Rp. 15 Milyar;
3 Ketentuan pasal 8, 9, 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c,e, ayat 2, pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999, tentang perlidungan konsumen, yang mengancam pelaku usaha dengan penjara 5 tahun atau pidana denda Rp. 2 Milyar;
4 Ketentuan pasal 47 UU No.10 Tahun 1998, tentang perbankan, yang memberi kewajiban kepada komisaris direksi atau pegawai bank yang wajib memberi keterangan tentang simpanan nasabah, kepentingan perpajakan, kepentingan BUPLN dan kepentingan pengadilan, dengan anacaman pidana 2 tahun paling lama 7 tahun serta denda antara Rp 4 Milyar sampai Rp. 15 Milyar;
5 Ketentuan pasal 48 UU No.10 Tahun 1998, tentang perbankan, jika komisaris, direksi, atau pegawai bank tidak memberi keterangan usahanya kepada Bank Indonesia atau tidak menyampaikan neraca kepada Bank Indonesia diancam dengan pidana 2 sampai 10 tahun dan denda Rp 5 Milyar sampai Rp. 100 Milyar;
6 Ketentuan pasal 49, UU No.10 Tahun 1998, tentang perbankan, yang mengancam komisaris, direksi atau pegawai bank, yang membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palu dalam pembukuan atau laporan dengan ancaman hukuman antara 3 sampai 15 tahun dan denda antara Rp. 5 Milyar sampai Rp. 200 Milyar;
7 Ketentuan pasal 50 UU No.10 Tahun 1998, tentang perbankan, yang mengancam pihak terafliasi yang sengaja tidak melaksanakan langkah ketaatan bank terhadap ketentuan undang-undang diancam dengan pidana antara tiga tahun sampai 8 tahun dan denda Rp. 5 Milyar sampai Rp. 100 Milyar;
8 Ketentuan pasal 50 A UU No.10 Tahun 1998, tentang perbankan, yang mengancam pemegang saham, jika dengan sengaja menyuruh komisaris, direksi atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan langkah-langkah ketaatan menurut undang-undang diancam pidana antara 7 sampai 15 tahun dan denda antara Rp. 10 Milyar sampai Rp. 100 Milyar;
9 Ketentuan pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999, tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang memberikan hukuman administratif bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan; pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga; penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah; membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar; menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa; melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa; bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga, dengan pembayaran ganti rugi; dan atau g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
10 Ketentuan pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999, tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi yang melakukan kejahatan yang melahirkan praktik monopoli; membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar; menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa; melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa; bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga.
11 Ketentuan pasal 3 UU No.25 Tahun 2003, tentang Pencucian Uang, yang mengancam setiap orang menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan harta kekayaan dari hasil tindak pidana dengan hukuman antara 5 sampai 15 tahun penjara dan denda antara Rp. 100 Juta sampai Rp. 15 Milyar;
12 Ketentuan pasal 6 UU No.25 Tahun 2003, tentang Pencucian Uang, yang mengancam setiap orang yang menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan hasil tindak pidana, dengan pidana penjara antara 5 sampai 15 tahun dan denda antara Rp. 100 Juta sampai Rp. 15 Milyar;
13 Ketentuan pasal 41 UU N0 23 TAHUN 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup mengancam setiap orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dengan pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); jika pencemaran mengakibatkan orang mati atau luka berat, ancaman pidanya 15 tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
14 Ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUH Pidana, yang mengancam orang yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, memaksa dengan cara kekerasan, supaya memberikan barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, membuat utang, menghapuskan piutang dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara.
15 Ketentuan Pasal 372 KUH Pidana, yang mengancam setiap orang yang sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, tetapi ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah;
16 Ketentuan Pasal 374 KUH Pidana, mengancam orang yang melakukan penggelapan terhadap barang yang dikuasai karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
17 Ketentuan Pasal 375 KUH Pidana, mengancam orang yang melakukan penggelapan karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
18 Ketentuan Pasal 378 KUH Pidana, mengancam orang yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan nama palsu atau martabat palsu, tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
19 Ketentuan Pasal 379 a KUH Pidana, mengancam orang yanag menjadikan mata pencarian atau kebiasaan untuk membeli barang- barang, tanpa pembayaran seluruhnya dan menguasasi barang- barang itu untuk diri sendiri atau orang lain dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
20 Ketentuan Pasal 419 ayat (1), yang mengancam hukuman setinggi-tingginya 5 tahun bagi pegawai negeri yang menerima pemberian atau perjanjian berhubungan dengan jabatannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
21 Ketentuan pasal 54 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1995, yang memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri, apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris.
22 Ketentuan Pasal 110 UU No.1 Tahun 1995, yang memberi kemungkinan pemeriksaan terhadap perseroan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa : 1. perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang rnerugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau 2. anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan, yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minimal 1/10 bagian dari seluruh saham, pihak lain yang diberi wewenang Anggran Dasar dan Kejaksaan mewakili kepentingan umum.
Penutup
Upaya memberantas korupsi di Indonesia ini pada hakekatnya bukan merupakan barang baru, sejak zaman pemerintah parlementer di tahun 1957 sudah berdaya upaya untuk memberantas korupsi. Dilanjutkan oleh pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Pemerintahan masa reformasi. Upaya –upaya tersebut ternyata belum berhasil, bahkan terakhir timbul kesan adanya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Hal lain yang juga terlihat adanya ketidak singkronan beberapa undang-undang tentang apa yang disebut sebagai kekayaan negara, sehingga berpengaruh pada penafsiran tentang kekayaan negara dan penafsiran tentang kerugian BUMN sebagai kerugian negara atau sebagai kerugian perusahaan. Dalam undang-undang No.1 Tahun 2004, yang disebut sebagai kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sehingga yang diperlukan sekarang adalah melakukan singkronisasi aturan hukum yang menyangkut keuangan negara.
Dalam rangka menghindari jebakan hukum yang pasti akan sangat merugikan komisaris, direksi atau pelaku usaha, maka ada beberap ketentuan hukum yang perlu dicermati oleh komisaris, direksi atau pelaku usaha. Begitu juga halnya percobaan korupsi oleh Undang-undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, dianggap sebagai korupsi, karena percobaan itu oleh undang-undang dianggap sebagai delik yang selesai.
Tanpa melalui ketentuan hukum pidana dan undang-undang yang memberikan ancaman pidana kepada orang, perseroan dan Direksi serta Komisaris dapat diperiksa atas permintaan pemegang saham atau orang yang oleh Anggaran Dasar diberi kewenangan untuk meminta pengadilan untuk memeriksa perusahaan yang dianggap merugikan pemegang saham. Bahkan menurut Undang-undang perseroan terbatas Jaksa dapat melakukan pemeriksaaan terhadap perusahaan yang dianggap merugikan kepentingan umum. Artinya, Direksi, Komisaris dan Pegawai BUMN masih sangat potensial untuk disangka dan didakwa melakukan korupsi, karena masih tidak jelas konsep kita dalam undang-undang yang disebut sebagai pemisahan kekayaan negara dan cara memperlakukan kekayaan negara yang sudah berada di perseroan. Selain ancaman korupsi masih ada ancaman lain, seperti penggelapan atau penipuan dalam hukum pidana, serta ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang tertentu.
Untuk mendapatkan kepastian hukum, tentang cara memperlakukan kekayaan yang dipisahkan ini apakah tunduk pada hukum publik atau hukum privat, adalah sangat layak kalau Undang-undang Keuangan Negara diuji secara materiel keberdaannya. Tinggal sekarang siapa yang akan menjadi peniup trompet mencanangkan bahwa keuangan negara yang telah dipisahkan bukan lagi kekayaan negara tetapi adalah kekayaan perseroan, yang tunduk pada hukum privat bukan pada hukum publik melalui uji materiil.
Bibliografi
1. Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerntahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
2. Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, diakses dari http://www.pdii.go.id
3. Emerson Yuntho: 2005, Pemberantasan Korupsi Apa Adanya, Jawa Pos, 22 Oktober 2005.
4. Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, diakses dari pemantauperadilan.com
5. Hukum online.com, 21 Februari 2006.
6. Hukum online.com, 31 Juli 2006.
7. Jawa Pos, 21 Februari 2006
8. Kompas 22 Agustus 2006.
9. Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corruption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corruption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam
10. Putusan Judicial Review Nomor 003/PUU- IV/2006
11. Republika, 4 Oktober 2006
12. Setyanto P. Santoso: 2004, Ada Apa dengan Program 100 Hari BUMN ?, diakses dari kolom.pacifik.net.id/ind/setyanto_p.santoso/artikel
13. Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1.
14. Tajuk Suara Pembaruan, 13 Oktober 2006
15. Tempointeraktif, Jumat 1 September 2006
16. Transparency International Corruption Perceptions Index 2005
17. Vito Tanzi : 1998, Corruption Around the World, Causes, Consequences, Scope, and Care, IMF Staff Papers, Vol. 45, No.4 (December),
Beberapa Ketentuan Undang-undang yang harus diwaspadai
A. UU BUMN
Pasal 5.
(1)Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi.(2)Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.(3) Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Pasal 6(1) Pengawasan BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas.(2) Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN.(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.Pasal 7Para anggota Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan BUMN selain penghasilan yang sah.
B. UU Pasar Modal/UU No.8 Tahun 1995
BAB XI PENIPUAN, MANIPULASI PASAR , DAN PERDAGANGAN ORANG DALAM
Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.
Pasal 91
Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar , atau harga Efek di Bursa Efek.
Pasal 92
Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.
Pasal 93
Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:
a. Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau
b. Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut.
Pasal 94
Bapepam dapat menetapkan tindakan tertentu yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek yang bukan merupakan tindakan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92.
Pasal 95
Orang dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan atas Efek:
a. Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau
b. perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Pasal 96
Orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilarang:
a. mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek dimaksud; atau
b. memberi informasi orang dalam kepada Pihak mana pun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek.
Pasal 97
(1) Setiap Pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang dalam dari orang dalam secara melawan hukum dan kemudian memperolehnya dikenakan larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
(2) Setiap Pihak yang berusaha untuk memperoleh informasi orang dalam dan kemudian memperolehnya tanpa melawan hukum tidak dikenakan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96, sepanjang informasi tersebut disediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik tanpa pembatasan.
Pasal 98
Perusahaan Efek yang memiliki informasi orang dalam mengenai Emiten atau Perusahaan Publik dilarang melakukan transaksi Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut, kecuali apabila:
a. transaksi tersebut dilakukan bukan atas tanggungannya sendiri, tetapi atas perintah nasabahnya; dan
b. Perusahaan Efek tersebut tidak memberikan rekomendasi kepada nasabahnya mengenai Efek yang bersangkutan.
BAB XVKETENTUAN PIDANA
Pasal 103
(1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 105
Manajer Investasi dan atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 106
(1) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 108
Ancaman pidana penjara atau pidana kurungan dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, dan Pasal 107 berlaku pula bagi Pihak yang, baik langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi Pihak lain untuk melakukan pelanggaran Pasal-Pasal dimaksud.
Pasal 109
Setiap Pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 110
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2), Pasal 105, dan Pasal 109 adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 adalah kejahatan.
C. UU Perlindungan Konsumen
UU No. 8 Tahun 1999
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlidungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen ;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
(1)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b.barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan;
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU
Pasal 19
(1.) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4). Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
(2). Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
1 Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
a. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
b. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
2 tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
D. UU No.10 Tahun 1998
UU Perbankan
Pasal 8
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yangdiperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta menambah ayat baru di antara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A) menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaanberdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaanberdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Pejabat bank lainnya; dan
f.Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4A)Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)."7.
Pasal 29
1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3) Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
Pasal 47A
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjarasekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)."
Pasal 48
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyakRp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyakRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).".
Pasal 49
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untukkeuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
Pasal 50
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyakRp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50A
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)."
E. UU No. 5 Tahun 1999.
BAB III PERJANJIAN YANG DILARANG Bagian Pertama Oligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua Penetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga Pembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat Pemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Bagian Kelima Kartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keenam Trust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh Oligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian Kesembilan Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima *9343 barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian Kedua Pidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
F. UU No. No. 25 Tahun 2003
Pasal 1.
1. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
tulisan, suara, atau gambar;
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.”
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
korupsi;
penyuapan;
penyelundupan barang;
penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan imigran;
di bidang perbankan;
di bidang pasar modal;
di bidang asuransi;
narkotika;
psikotropika;
perdagangan manusia;
perdagangan senjata gelap;
penculikan;
terorisme;
pencurian;
penggelapan;
penipuan;
pemalsuan uang ;
perjudian;
prostitusi;
di bidang perpajakan;
di bidang kehutanan;
di bidang lingkungan hidup;
di bidang kelautan; atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.”
Pasal 3
Setiap orang yang dengan sengaja:
menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Setiap orang yang menerima atau menguasai:
penempatan;
pentransferan;
pembayaran;
hibah;
sumbangan;
penitipan; atau
penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”
Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Pasal 17A
Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun.
Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
G. NOMOR 23 TAHUN 1997 ,
TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bab III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup
Pelaksanaan ketentuan pada ayat 1 di atas, dilakukan dengan cara :
meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat
menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
memberikan saran pendapat;
menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
Bab VPELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan. yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bab IXKETENTUAN PIDANA
Pasal 41
Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 43
Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 44
Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (figa) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa :
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 48
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.
H. KUH Pidana
Pasal 368
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya
membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan ini.Bab XXIV - Penggelapan Pasal 372 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatuyang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yangada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karenapenggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidanadenda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pasal 373 Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila yang digelapkanbukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lamatiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluhrupiah. Pasal 374 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadapbarang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian ataukarena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara palinglama lima tahun. Pasal 375 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberibarang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu,pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atauyayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian,diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 376 Ketentuan dalam pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yangdirumuskan dalam bab ini. Pasal 377 (1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yangdirumuskan dalam pasal 372, 374, dan 375 hakim dapat memerintahkansupaya putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak berdasarkan pasal 35No. 1 4. (2) Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencarian maka dapatdicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Bab XXV Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabatpalsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karenapenipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 379 Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang diserahkanitu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itutidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringandengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda palingbanyak dua ratus lima puluh rupiah. Pasal 379a Barang siapa menjadikan sebagai mata pencarian atau kebiasaan untukmembeli barang- barang, dengan maksud supaya tanpa pembayaranseluruhnya memastikan penguasaan terhadap barang- barang itu untukdiri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara palinglama empat tahun. Pasal 380 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulanatau pidana denda paling banyak lima ribu rupiah: 1. barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam suatu hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan, atau memalsu nama atau tanda yang asli, dengan mal sud supaya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya ditaruh olehnya di atas atau di dalamnya tadi; 2. barang siapa dengan sengaja menjual menawarkan menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual at.au memasukkan ke Indonesia, hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan. yang di dalam atau di atasnya telah ditaruh nama at.au tanda yang palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu, seakan-akan itu benar- benar hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi. (2) Jika hasil itu kepunyaan terpidana, maka boleh dirampas. Pasal 381 Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggungasuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan denganpertanggungan sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akandisetujuinya atau setidak-tidaknya tidak dengan syarat- syarat yangdemikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam denganpidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pasal 382 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum. atas kerugian penanggung asuransi ataupemegang surat bodemerij yang sah. menimbulkan kebakaran atau ledakanpada suatu barang yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran,atau mengaramkan. mendamparkan. menghancurkan, merusakkan. ataumembikin tak dapat dipakai. kapal yang dipertanggungkan atau yangmuatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannyayang dipertanggungkan, ataupun yang atasnya telah diterima uang bode-merij diancarn dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pasal 382 bis Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasilperdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukanperbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorangtertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat enimbulkan kerugian bagikonkuren-konkurennya atau konguren-konkuren orang lain, karenapersaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empatbulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratusrupiah. Pasal 383 Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan,seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: 1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli; 2 mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat. Pasal 383 bis Seorang pemegang konosemen yang sengaja mempergunakan beberapaeksemplar dari surat tersebut dengan titel yang memberatkan, dan untukbeberapa orang penerima, diancam dengan pidana penjara paling lama duatahun delapan bulan. Pasal 384 Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383, diancam dengan pidanapenjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus limapuluh rupiah, jika jumlah keuntungan yang di peroleh tidak lebih daridua puluh lima rupiah. Pasal 385 Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun: 1. barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak tanah yang telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain; 2. barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat yang telah dibehani credietverband atau sesuatu gedung bangunan. penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa mem beritahukan tentang adanya heban itu kepada pihak yang lain; 3. barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat. dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yanr bezhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan; 4. barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu: 5. barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukannya kepada pihak yang lain bahwa tanah itu telah digadaikan; 6. barang siapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga. Pasal 386 (1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan,minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu dipalsu, danmenyembunyikan hal itu, diancan dengan pidana penjara paling lamaempat tahun. (2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu jika nilainyaatau faedahnya menjadi kurang karena sudab dicampur dengan sesuatubahan lain. Pasal 387 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorangpemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yangpada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahanbangunan, melakukan sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakanamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaanperang. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugasmengawasi pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengajamembiarkan perbuatan yang curang itu. Pasal 419 Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat: l. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;2. yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. I. UU No. 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas. Pasal 54 1. Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. 2. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri, apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris. 3. Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. BAB VIIIPEMERIKSAAN TERHADAP PERSEROAN Pasal 110 1. Pemeriksaan terhadap perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa : 1. perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang rnerugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau 2. anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. 2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat l, dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. 3. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 hanya dapat dilakukan oleh : 1. pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah; 2. pihak lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau 3. Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum. Pasal 111 1. Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak atau mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110. 2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 menolak permohonan apabila permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar. 3. Dalam hal permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan pengangkatan paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan. 4. Setiap anggota Direksi, Komisaris, karyawan Perseroan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 1 tidak dapat diangkat sebagai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). 5. Pemeriksa berhak memeriksa semua dokumen dan kekayaan yang dianggap perlu untuk diketahui. 6. Direksi, Komisaris, dan semua karyawan perseroan wajib memberi segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan. 7. Pemeriksa dilarang mengumumkan hasil pemeriksaan kepada pihak lain. Pasal 112 1. Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh pemeriksa kepada Ketua Pengadilan Negeri. 2. Ketua Pengadilan Negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan hanya kepada pemohon dan perseroan yang bersangkutan. Pasal 113 1. Dalam hal permohonan untuk melakukan pemeriksaan dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan jumlah maksimum biaya pemeriksaan. 2. Biaya sebagaimana dimaksud dibayar oleh perseroan. 3. Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan perseroan dapat, menetapkan penggantian seluruh atau sebagian biaya pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 kepada pemohon, anggota Direksi, dan atau Komisaris.
[1] Disampaikan dalam Workshop Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer, 29 November 2006, Hotel Sahid Jakarta.
[2]Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
[3] Vito Tanzi : 1998, Corruption Around the World, Causes, Consequences, Scope, and Care, IMF Staff Papers, Vol. 45, No.4 (December), h. 559.
[4] Dalam Country report 2005, Transparancy Internasional mencatat Indonesia Negara terkorup No. 140 dari 159 Negara, lihat Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h. 6
[5] Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerntahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21 September 2006.
[6] Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1, h, 117.
[7] Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id
[8] Ibid, h.2.
[9] Loc.cit
[10] Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com
[11] Nico G. Schulte Nordholt: 1996, Corrption and Legitimacy in Indonesia: an Exploration, dalam Heleen E. Bakker, Nico G. Schulte Nordholt (eds) Corrption and Legitimacy, Siswo Publication 393, Amsterdam, h. 86.
[12] Emerson Yuntho: 2005, Op. cit, h. 3.
[13] Ibid, h. 5.
[14] Loc.cit.
[15] Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
[16] Tajuk Suara Pembaruan, 13 Oktober 2006
[17] Republika, 4 Oktober 2006
[18] Kompas 22 Agustus 2006.
[19] Republika, 4 Oktober 2006, Op. cit.
[20] Pasal 116 ayat 3 dan 4 KUHAP.
[21] Emerson Yuntho: 2005, Pemberantasan Korupsi Apa Adanya, Jawa Pos, 22 Oktober 2005.
[22] Tempointeraktif, Jumat 1 September 2006
[23] Setyanto P. Santoso: 2004, Ada Apa dengan Program 100 Hari BUMN ?, diakses dari kolom.pacifik.net.id/ind/setyanto_p.santoso/artikel
[24] Hukum online.com, 31 Juli 2006.
[25] Ibid Hukum online.com, 31 Juli 2006.
[26] Putusan No.003/PUU-IV/2006, h.78
[27] Hukum online.com, 21 Februari 2006.
[28] Putusan No.003/PUU-IV/2006, op. cit, h. 72.
[29] Jawa Pos, 21 Februari 2006
[30] Putusan No.003/PUU-IV/2006, op. cit, h 58.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar