Memberantas Korupsi
Oleh: Maqdir Ismail
Korupsi itu bukan fenomena yang baru di dunia ini. Kautilya seorang Perdana Menteri di India sudah menulis buku Arthastra yang membahas korupsi lebih dari 2000 tahun yang lalu. Kalimatnya yang sangat terkenal dan cukup banyak dikutip, “Just as it is impossible not to taste the honey (or the poison) that finds itself at the tip of the tongue, so it is impossible for a government servant not to eat up, at least, a bit of the king’s revenue.”[1]
Korupsi di Indonesia juga sudah tentu bukan juga masalah baru. Banyak cerita sejarah yang bisa dibaca dan menuliskan bahwa korupsi itu selalu ada dalam setiap pemerintahan. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak Team atau Lembaga dibentuk untuk memberantas korupsi, mulai dari tahun 1957 an sampai masa pemerintahan SBY-JK. Banyak peraturan dilahirkan untuk memberantas korupsi, tetapi Indonesia tetap tercatat sebagai salah satu Negara yang sangat korup di dunia. Dalam catatan Transparansi Internasional misalnya, sejak tahun 1998 Indonesia termasuk Negara yang meraih posisi 10 besar Negara terkorup di dunia.[2] Sehingga tidak salah kalau Almarhum Bung Hatta ditahun 1970 an menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Hal ini tercermin dengan banyaknya kosa kata yang digunakan dan dianggap sebagai pengesahan korupsi seperti uang rokok, uang lelah, biaya kemitraan, biaya transportasi, tanda terimakasih.
Kalau saja pernyataan Almarhum Bung Hatta ini benar, maka berarti bangsa ini sudah berangapan bahwa korupsi itu adalah satu hal yang wajar, satu hal yang pantas dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Korupsi sama dengan kebutuhan menghirup udara, makan dan minum, semua dianggap sebagai satu keniscayaan, sebagai aktifitas yang lumrah dan tidak tercela.
Dengan demikian maka pemberantasan korupsi ini tidak cukup hanya dilakukan melalui lembaga peradilan, yang tidak jarang juga melakukan korupsi yang tak terkirakan dahsyatnya. Sehingga pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan melalui lembaga hukum, tetapi juga melalui pendidikan formal dan non formal. Melalui contoh gaya hidup yang tidak koruptif, bukan aji mumpung.
Pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan memang harus dilakukan terus menerus, dan sepatutnya kalau lebih diintensifkan pada lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dengan lembaga penegak hukum yang immun dari korupsi, maka para calon koruptor akan khawatir bahwa hukuman yang akan diterima pasti sangat tinggi. Tetapi selama lembaga penegak hukum diangap dapat dibeli dengan harga yang murah, maka korupsi tidak akan pernah berhenti.
Melakukan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan wacana dan menambah lembaga pemberatasan korupsi, tetapi yang penting adalah sikap konsisten dalam memerangi korupsi. Korupsi yang diberantas bukan hanya terhadap orang yang dekat atau dianggap sebagai lawan politik, tetapi sepatutnya pada lingkaran yang paling dekat dengan pemerintah dalam hal ini Presiden dan para pembantunya. Pemberantasan korupsi sekarang ini bukan lagi janji kampanye, bukan pula alat untuk menjaga image, tetapi pemberantasan korupsi sekarang ini adalah kebutuhan.
Yang penting dalam pemberantasan korupsi sekarang ini, harus melalui proses yang baik, dalam arti harus melalui suatu penyelidikan yang akurat, bukan sekedar asal sidik. Bebasnya orang diangap dan dicap sebagai koruptor oleh pengadilan, terutama karena tidak cukup kuatnya bukti yang dijadikan sebagai bukti bahwa seorang yang didakwa atau disangka melakukan korupsi benar-benar melakukan korupsi. Kalau terdakwa bebas karena lemahnya bukti, maka yang harus dianggap melakukan kesalahan adalah Penyidik dan Penuntut Umum.
Sudah saatnya para ahli dilibatkan mulai dari tahap penyelidikan, bukan hanya pada tahap penyidikan. Keterlibatan ahli ini penting karena para ahli inilah yang akan menilai bukti awal ada atau tidaknya korupsi lebih dahulu. Karena tidak jarang “keahlian penyidik” dalam melakukan penyidikan tidak cukup untuk mengungkap ada atau tidaknya korupsi.
Pengawasan dalam rangka penyidikan mungkin sudah saatnya dipikirkan dapat dilakukan oleh satu lembaga. Komisi kepolisian untuk melakukan pengawasan terhadap penyidik Polri, Komisi kejaksaan melakukan pengawasan terhadap penyidik kejaksaan. Selama ini tidak ada lembaga yang diberi oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan. Penyidikan adalah kewenangan mutlak dari penyidik, arah dan akhir dari cerita penyidikan akan sangat tergantung dengan penyidik. Dengan keahlian penyidik yang terbatas, maka akan terbatas pula hasilnya, bahkan tidak jarang tidak diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup. Kalau kondisi ini dipaksakan, maka para terdakwa akan dengan mudah bebas dari dakwaan di pengadilan yang fair dan jujur.
[1] A. Nilesh Fernando, 2006, A Brief Anatomy of Corruption, http://climax.hampshire.edu/0502/index.php
[2] Dalam Country report 2005, Transparancy Internasional mencatat Indonesia Negara terkorup No. 133 dari 146 Negara.
Kamis, 22 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar