Menselaraskan Undang-undang bank sentral dan Undang-undang Perbankan
Oleh: Maqdir Ismail[1]
Pengantar
Pentingnya kedudukan bank sentral dalam negara Republik Indonesia, dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap bank sentral dalam semua konstitusi yang pernah berlaku, meskipun dengan sebutan berbeda.[2] Pengakuan atas keberadaan bank sentral ini tentu dengan alasan bahwa peranan bank sentral mempunyai peranan yang besar dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga stabilitas keuangan negara,[3] menjadi bankers dari bank-bank, mengatur foreign exchange, dan mengatur kredit.[4]
Keberadaan dan pengkauan terhadap bank sentral dan independensinya dalam konstitusi dilakukan oleh banyak negara, baik negara lama maupun negara baru terbentuk atau negara baru bergolak.[5] Tidak demikian halnya dengan De Javasche Bank pada masa pemerintahan Hindia Belanda, karena keberadaannya adalah sebagai bank swasta yang didirikan berdasarkan Order in Council no. 28 of 1827 (IS 83,No.111)”.[6] Keberadaan bank sentral atau bank sirkulasi di Indonesia yang menjalankan fungsi bank sentral belum terlalu lama, sebab De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi masih bertindak sebagai bank dagang biasa dan tidak berperan sebagai bank sentral, karena tidak ada bank yang lain, karena ciri utama dari bank sentral itu adalah bertindak sebagai bankers dari bank.[7] Selain itu De Javasche Bank tidak pernah mendapat kekuasaan untuk mengatur dan mengawasi kredit, bahkan De Javasche Bank merasa tidak berkewajiban sebagai lender of last resort.[8]
Keberadaan De Javasche Bank sebagai bank sentral atau bank sirkulasi bagi Indonesia diakui setelah perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di tahun 1949.[9] Kemudian ini terus berlanjut sampai dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank pada tahun 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 1951.
Pengukuhan keberadaan bank sentral di Indonesia terjadi setelah UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang dianggap sebagai pengganti Javasche Bank Wet 1922. Sejak itu pula, lahir Bank Indonesia sebagai bank sentral yanag diakui keberadaannya hingga sekarang, meskipun undang-undang tentang bank sentral telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia diubah dengan UU No. 13 Tahun 1968 dan diubah lagi dengan UU No. 23 Tahun 1999 dan diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2004.
Keberadaan bank sentral dan independensinya bukan hanya diakui oleh Undang-undang tentang Bank Indonesia, tetapi juga diakui keberadaannya dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah dilakukan perubahan keempat. Ini berarti bahwa hanya bank sentral dan ketentuannya yang diakui dan dianggap secara langsung sebagai terjemahan dari Undang-undang Dasar. Dengan demikian maka adalah sepatutnya kalau semua ketentuan perundang-undangan tentang perbankan harus berinduk dan di sesuaikan dengan Undang-undang tentang Bank Indonesia.
Hirarki Peraturan Perundang-undangan
Sebelum dicabut oleh Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah tata urutan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menegaskan bahwa tata urutan peraturan perundang-undang terdiri dari, Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; Ketetapan MPR; Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti; Peraturan Menteri; Instruksi Menteri; Dan lain-lainnya.
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Perpu sebagai salah satu produk perundang-undangan menurut Pasal 22 UUD 1945 ditempatkan dengan posisi yang setara dan sejajar dengan posisi undang-undang. Kesetaraan dan kesejajaran tersebut dinyatakan dari penamaan dan bentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Penggunaan Perpu selalu digunakan dalam keadaan yang memaksa, dimana penilaiannya sangat tergantung dengan kepentingan pemerintah untuk menjalankan satu kebijakan yang memerlukan satu peraturan setara dengan undang-undang.
Hal ini agak sedikit berbeda dengan Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undanagn itu adalah Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ditempatkan berada dibawah undang-undang. Dengan logika seperti ini maka secara teoritis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak dapat disetarakan kedudukannya dengan undang-undang. Dengan konstruksi seperti ini maka Perpu dapat dianggap tidak setara dengan Undang-undang, meskipun disebut sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Dengan posisi seperti ini lain jika Pemerintah menggunakan Perpu sebagai pengganti undang-undang karena ada keadaan mendesak, maka Pemerintah dapat dikatakan bersalah karena menyimpang dari apa yang ditetapkan oleh MPR. Namun bila dalam keadaan mendesak Pemerintah tidak menggunakan Perpu sebagai pengganti undang-undang, maka Pemerintah akan dianggap bersalah karena menyimpang dari ketentuan Pasal 22 UUD 1945.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 45 yang menyatakan bahwa ketentuan tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan ketentuan undang-undang. Artinya bukan hanya tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengan undang-undang, tetapi tata urutannyapun dapat diatur oleh undang-undang.
Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 22A UUD 45 telah dibentuk Undang-undang N0. 10 Tahun 2004, yaitu undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diundangkan, maka tata urutan peraturan perundang-undangan ini pun juga sedikit berbeda dengan tata urut peraturan perundang-undangan yang dinyatakan dalam pasal Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Dalam undang-undang UU No. 10 Tahun 2004 hirarki peraturan perundang-undangan dinyatakan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.
Jika isi dari Tap MPR No.III Tahun 2000 disandingkan dengan Pasal 7 UU No.10 Tahun 2000, maka terlihat bahwa dalam Tap MPR No. III ini kedudukan TAP MPR disebutkan sebagai urutan kedua yang tidak ada dalam pasal 7 UU N0. 10 Tahun 2004. Dalam Tap MPR No. III Tahun 2000, kedudukan Undang-undang diberi nomer tiga dan lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sedangkan dalam pasal 7 UU N0. 10 Tahun 2004 kedudukan Undang-undang disejajarkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Dalam Ketapan MPR No.III/MPR/2000 ada Keputusan Presiden, tetapi dalam Pasal 7 UU N0. 10 Tahun 2004 berubah menjadi Peraturan Presiden. Dengan demikian terlihat jelas adanya ketidak konsistenan dalam menyusun hirarki peraturan perundang-undang. Bahkan bukan hanya tata urutannya yang tidak konsisten, tetapi juga penyebutannya, seperti perbedaan antara Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.
Dalam Pasal 3 Ayat 6 Ketetapan MPR No. III/MPR/ dinyatakan,
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
Dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 10 Tahun 2004 dikatakan,
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang undangan yang dibuat oleh Presiden.
Dengan kondisi seperti ini dimana Perpu ditempatkan berada dibawah UU membawa konsekuensi yuridis adalah bahwa Tap MPR No. III/MPR/2000 bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945, karena dalam UU No.10 Tahun 2004 Perpu diberi kedudukan yang setara dengan undang-undang dan mengingat UU No.10 Tahun 2004 adalah sebagai undang-undang yang lahir karena perintah dari Pasal 22 UUD 45.
Agar supaya tidak timbul problem hukum dalam mensikapi tata urut peraturan perundang-undangan ini maka selayaknya kalau tata urutan peraturan perundang-undangan ini segera diselaraskan.
Tata Urut Peraturan Perundang-undangan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
Pasal 7 UU N0. 10 Tahun 2004
1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
1. Undang-Undang Dasar 1945
1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan MPR
2. Ketetapan MPR
2. Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
4. Peraturan Presiden
5. Keputusan Presiden
5. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Daerah
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti; Peraturan Menteri; Instruksi Menteri; Dan lain-lainnya.
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Penyesuaian UU dan Perturan Perbankan
Tidak banyak Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang lahir sejak adanya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang berhubungan dengan perbankan dan belum juga ada penyesuaian peraturan perundang-undangan uang berhubungan dengan perbankan yang disesuaikan sejak adanya undang-undang Bank Indonesia.
Salah satu Undang-undang yang sangat penting adalah undang-undang perbankan yaitu UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998, yang belum dilakukan penyesuaian dengan Undang-undang tentang Bank Indonesia. Keberadaan undang-undang perbankan ini masih dengan mengingat UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Belum ada mandemen penyesuaian dengan Undang-undang tentang Bank Indonesia.
Dalam kegiatan praktik perbankan mungkin tidak ada masalah meskipun UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 belum disesuaikan dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Apalagi mengingat dalam Undang-undang tentang Bank Indonesia No. 23 thaun 1999 jo. UU No.3 Tahun 2004 pasal 78 Ayat 2 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berdasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan peraturan perundangan lainnya yang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Bank Indonesia sepanjang belum diperbaharui dan tidak bertentangan dengan undang-undang Bank Indonesia dinyatakan tetap berlaku.[10] Artinya peraturan perundang-undang tersebut masih mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat. Meskipun undang-undang dan peraturan perbankan tersebut masih mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat, tetapi peraturan perundang-undangan tersebut telah kehilangan pijakan, telah kehilangan dasar berlakunya. Oleh karena itu undang-undang seperti ini patut untuk segera dilakukan amandemen paling tidak dalam menyesuaikan dasar pijakannya.
Penyesuaian UU Perbankan terhadap UU Bank Indonesia perlu segera dilakukan terutama berhubungan dengan lembaga pengawasan terhadap bank, mengingat pembentukan lembaga pengawasan tersebut paling lambat tanggal 31 Desember tahun 2010 harus sudah terbentuk. Mengingat lembaga tersebut akan merupakan lembaga yang independen, maka sudah selayaknya persiapan dalam mendirikan dan melaksanakan kegiatan pengawasan dilakukan sejak jauh hari. Dengan demikian maka lembaga tersebut tidak akan kehilangan waktu dalam mempersiapkan diri melaksanakan tugas melakukan tugas pengawasan terhadap bank.
Adapun mengenai Peraturan Pemerintah yang perlu diselaraskan dengan UU Bank Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1999, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan Bank yang Berkedududkan di Luar Negeri. Peraturan Pemerintah lain yang perlu mendapat perhatian untuk segera diselaraskan dengan Undang-undang tetang Bank Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Meskipun kedua Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 8 huruf C UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, tentang tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank. Tidak bertentangan dengan Pasal 24 UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, tentang tugas Bank Indonesia dalam menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank. Dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 huruf a, tentang memberikan dan mencabut izin usaha Bank dan Pasal 26 huruf b, tentang memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank. Namun kedua Peraturan Pemerintah ini juga sudah kehilangan dasar pijakannya dan kehilangan dasar berlakunya, kerana kedua Peraturan Pemerintah ini masih berlandaskan Undang-undang No. 13 Tahun 1968.
Kedudukan Peraturan Bank Indonesia
Mengingat hirarki peraturan perundang-undangan itu tersebut diatas, yang menjadi persoalan sekarang adalah tempat dan kedudukan Peraturan Bank Indonesia, karena dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sekarang tidak ada lagi Peraturan Menteri atau Instruksi Menteri. Sebab selama ini dalam praktik Peraturan Bank Indonesia kedudukannya dianggap sama dengan Peraturan Menteri.
Dalam pasal 1 butir 2, UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang disebut sebagai “Peraturan Perundang undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kalau ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 4 Ayat 3 UU 23 Tahun 1999, maka Perturan dan sanksinya yang ditetapkan termasuk oleh Bank Indonesia sebagai badan hukum publik mengikat secara umum khususnya bagi perbankan, sebab pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan,
“Jenis Peraturan Perundang undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi”.
Dengan demikian maka Peraturan Bank Indonesia ini diakui oleh undang-undang keberadaannya, karena diperintahkan oleh undang-undang Bank Indonesia, sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat dari Peraturan Bank Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang tentang Bank Indonesia. Paling tidak dari penjelasan umum dapat dilihat adanya kekuasaan Bank Indonesia sebagai lembaga independen untuk menerbitkan peraturan sebagimana dinyatakan,
“… Bank Indonesia juga mempunyai kewenangan mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan yang merupakan pelaksanaan Undangundang dan menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dapat menerbitkan peraturan dengan disertai kemungkinan pemberian sanksi administratif.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga independen yang dapat dipersamakan kedudukannya dengan kementerian sehingga dapat menerbitkan peraturan ini sebagaimana dinyatakan oleh wakil Pemerintah yang diwakili oleh Departemen Kehakiman dalam memberikan penjelasan pada Rapat Panja ke 2 tanggal 25 Maret 1999, bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen sejajar dengan Menteri dan peraturan yang dibuatnyapun sejajar dengan keputusan Menteri. Dalam kalimat dari pejabat Ditjen Kumdang ditakan,
“Oleh karena itu apabila BI ini walaupun merupakan satu yang sifatnya lembaga independen, menurut hemat kami dia bukanlah sejajar Lembaga Negara, tetapi sejajar dengan Menteri. Oleh karena itu peraturan-peraturannya pun, itu adalah sejajar dengan Keputusan Menteri”.[11]
Sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa Bank Indonesia sebagai badan hukum mempunyai kedudukan dan dapat menjalankan fungsi kenegaraan atau pemerintahan sebagaimana daerah otonom. Adapun dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya,[12] sebab menurut Bagir Manan, “Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia selain melakukan fungsi publik, tetap dapat menjalankan fungsi keperdataan, bagaimana layaknya daerah otonom dapat membuat perjanjian atau berbagai hubungan keperdataan”[13] dalam arti bisa menjadi pihak. Sehingga dengan kedudukan sebagai badan hukum ini Bank Indonesia selain sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan, Bank Indonesia juga dapat mempunyai standar dan pedoman tersendiri dalam memberikan kemudahan dan memberikan pembatasan dalam lingkup wewenangnya; seperti dalam hal Bundesbank menurut Stern, “.. its designation as an authority is aplicable only to a very restricted extent”.[14]
Seperti dikemukakan oleh Ellen Kennedy, bank sentral itu bukan merupakan badan yang oleh konstitusi dianggap sebagai cabang kekuasaan seperti lembaga legislatif, judikatif atau eksekutif. Dalam kalimatnya Ellen Kennedy dikatakan,
“..is not a constitutional branch like the judiciary, legislative or executive, the Bundesbank operates in constitutive manner and its norm of monetary stability is more like a cosntitutional principle..”[15]
Namun dengan memperhatikan tugas Bank Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang Bank Indonesia, maka tugas Bank Indonesia itu secara praktik adalah melakukan tugas dari pemerintah, bahkan menurut Bagir Manan Bank Indonesia itu mempunyai karakter seperti daerah otonom meskipun ada perbedaan tanggungjawabnya dalam melaksanakan fungsi publik dan fungsi keperdataan.[16] Ini dapat berarti bahwa kedudukan dari Peraturan Bank Indonesia dapat juga disejajarkan dengan Peraturan Daerah Otonom.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian tersbut diatas, bahwa sudah saatnya untuk dilakukan penyelarasan terhadap Tata urutan peraturan perundang-undang yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ketidak samaan tata urutan peraturan perundang-undangan ini potensial akan mendatangkan masalah hukum kalau terjadi konflik kepentingan terhadap satu produk hukum.
Penyelarasan peraturan perundang-undangan perbankan perlu juga segera dilakukan, khususnya menyelaraskan keberadaan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang perbankan dengan UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004. Sebab dengan tidak diselaraskannya Undang-undang Perbankan dan Peraturan Pemerintah tentang perbankan dengan UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, maka undang-undang atau peraturan pemrintah tersebut sudah kehilangan dasar pijaknya dan hal ini potensial akan melahirkan perbedaan kepentingan.
Daftar Pustaka
Ellen Kennedy: 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, h. 11.
Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Arsil: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 39.
J.T.M. van Laanen: 1980, Money and Banking 1816 – 1940, Martinus Nijhoff Publisher BV, The Hague, h. 33.
Klaus Stern : 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, dalam Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, h.110.
Laporan Presiden De Javasche Bank 1949-1950, G.Kolff & Co, Jakarta, h. 10.
Oey Beng To : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta, h. 268.
Prof. Bagir Manan : 2000, Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Monograph, h. 9.
R.S. Sayers : 1958, Central Banking After Bagehot, Oxford, At The Clarendon Press, h. 1.
Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, h. 79.
William Blair Q.C,: 1998, “The Legal Status of Central Bank Investments under English Law,” CLJ, 57(2), h. 375.
[1] Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
[2] Penjelasan pasal 23 ayat (1),(2),(3) dan (4) alinea 7 menyebut Bank Indonesia, Pasal 164 (4) dan Pasal 165 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS menyebut bank sirkulasi, Pasal 110 (1) dan (2) UUDS 1950 menyatakan, bank sirkulasi, UUD 1945 setelah amandemen keempat menyebut bank sentral.
[3] R.S. Sayers : 1958, Central Banking After Bagehot, Oxford, At The Clarendon Press, h. 1.
[4] William Blair Q.C,: 1998, “The Legal Status of Central Bank Investments under English Law,” CLJ, 57(2), h. 375.
[5] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Arsil: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 39.
[6] J.T.M. van Laanen: 1980, Money and Banking 1816 – 1940, Martinus Nijhoff Publisher BV, The Hague, h. 33.
[7] Oey Beng To : 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I (1945-1958) Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta, h. 268.
[8] Ibid, h. 269.
[9] Laporan Presiden De Javasche Bank 1949-1950, G.Kolff & Co, Jakarta, h. 10.
[10] Pasal 78 UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 menyatakan “ (2) Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral dan peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang belum diperbaharui dan tidak bertentangan dalam Undang-undang inidinyatakan tetap berlaku”.
[11] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Bank Indonesia, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, h. 79.
[12] Penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.23 Tahun 1999 jo penjelasan pasal 4 ayat 3 UU No.3 Tahun 2004.
[13] Prof. Bagir Manan : 2000, Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Monograph, h. 9.
[14] Klaus Stern : 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, dalam Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Germany since 1948, Oxford University Press, h.110.
[15] Ellen Kennedy: 1991, The Bundesbank Germany’s Central Bank in the International Monetary System, The Royal Institute of International Affairs, Pinter Publishers, h. 11.
[16] Prof. Bagir Manan : 2000, op.cit, h.9.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar