Kamis, 22 November 2007

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI[1]
Oleh: Maqdir Ismail[2]

Pengantar
Diskusi dan perdebatan tentang peranan hukum dalam pembangunan ekonomi sudah dilakukan sejak lama.[3] Paling tidak, sejarah sudah mencatat bahwa kegiatan yang berhubungan dengan hukum dan pembangunan sudah dimulai secara nyata sejak akhir tahun 1940-an yang dilakukan dalam pembangunan negara-negara yang baru merdeka. Begitu juga halnya hukum dan pembangunan sebagai salah satu wilayah kajian akademik mulai sejak akhir tahun 1940an dan berkembang di akhir 1960 an.
Dalam tulisan singkat ini yang akan dibicarakan adalah sejarah singkat dari hukum dan pembangunan; peranan ahli hukum dalam pembangunan; pembaharuan hukum di Indonesia; peranan hukum dalam masyarakat global, prospek pendidikan tinggi hukum dan penutup.

Sejarah singkat Hukum dan Pembangunan
Hukum dan pembangunan itu adalah terjemahan dari Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah perang dunia kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di Amerika khususnya yang berhubungan dengan organisasi United States Agency for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation atau Rockefeller Foundation, maka perkembangan hukum dan pembangunan dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini dalam mempengaruhi dan memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.[4] Hal ini dimulai dengan melakukan pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan pada tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of 1966” untuk membantu Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperbaharui dan memperkuat system hukum.[5] Pengiriman para ahli hukum Amerika ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agenda bantuan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari besarnya bantuan keuangan yang dianggarkan, dimana untuk Afrika misalnya diperkirakan sebesar US $ 15 juta dan sebesar US $ 5 juta.[6] Biaya yang besar ini dikeluarkan karena ada anggapan bahwa modernisasi hukum pada negara-negara yang baru itu sangat diperlukan dan hukum yang modern itu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa hukum yang modern itu akan memberi pengaruh pada pembangunan ekonomi, karena hukum yang modern itu memberikan fasilitas dan ruang pada perencanaan ekonomi sebab hukum yang modern itu sebagai sarana yang tepat untuk membangun masyarakat.[7]
Rasio dari perlunya hukum yang modern dalam pembangunan karena pada hukum modern mempunyai ciri-ciri antara lain, pertama, aturan diterapkan dengan cara yang tidak berbeda; kedua, perundang-undangan bersifat transaksional; ketiga norma hukum modern bersifat universal; keempat, sistem hukum bersifat hirarkis; kelima, sistem hukum diatur secara birokratis; keenam, sistem hukum bersifat rasional; ketujuh, sistem hukum dijalankan oleh para ahli hukum; kedelapan, sistem hukum bersifat tehnis dan komplek; kesembilan sistem hukum dapat diubah; kesepuluh, sistem ini bersifat politik; dan kesebelas, tugas membuat dan menerapkan undang dilakukan oleh pihak yang berbeda.[8]
Bantuan mengembangkan hukum dan pembangunan ekonomi ini, diberikan oleh Amerika Serikat kepada banyak negara. Bahkan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ketika mulai direncanakan pembangunan nasional oleh pemerintah, “bantuan ahli hukum” atau ahli hukum yang diperbantukan kepada Departemen tertentu atau membantu di kantor hukum tertentu atau ahli hokum tertentu.[9] Kondisi ini sempat menjadi salah satu bahan gossip dikalangan praktisi hukum di Jakarta. Gossip dan kecurigaan terhadap ahli hukum dari Amerika yang merugikan pihak Indonesia ini misalnya dalam penyusuan kontrak awal antara Pertamina dan perusahaan-perusahaan minyak Amerika, bahkan kontrak antara Pemerintah dengan PT Freeport[10] yang dianggap sangat merugikan pihak Indonesia dicurigai sebagai bentuk akal-akalan dari para ahli hukum Amerika yang selama ini banyak memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia.[11]
Buku John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man,[12] bisa menjadi salah satu sumber akurat yang menceritakan betapa “kotornya” maksud dan tujuan bantuan yang diberikan Amerika terhadap Indonesia. Fakta yang kasat mata dan merugikan pihak Indonesia adalah kontrak listrik swasta yang dibuat antara perusahaan Amerika dan Perusahaan Listrik Negara, yang pernah digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa tahun lalu.[13]
Terlepas dari niat tersembunyi dari Amerika Serikat, yang pasti cukup banyak staf pengajar dari Universitas terkemuka di Indonesia yang diberi bea siswa untuk belajar pada universitas-universitas terkenal di Amerika, begitu juga cukup banyak ahli hukum Indonesia yang mendapat kesempatan belajar dari para hali hukum Amerika tersebut. Bahkan kehadiran para ahli hukum dari Amerika ini cukup banyak membantu perkembangan praktisi hukum dibidang non litigasi, atau yang biasa dikenal dengan sebutan dibidang corporate.[14]
Peranan ahli hukum dalam pembangunan
Peranan ahli hukum dalam pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang sentral. Keberadaan ahli hukum adalah untuk memberikan perlindungan dari kesalahan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan yang dibuat, tidak terbatas pada kesalahan tehnis, tetapi juga kesalahan philosophies. Keahlian para ahli hukum ini diperlukan terutama pada kegiatan merancangan undang-undang tertentu, seperti undang-undang bidang politik, hak azasi manusia, perdagangan dan lain-lain.
Dalam tradisi Barat peranan ahli hukum itu sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh Wolfgang G. Friedman,
“ Dalam tradisi Barat, ahli hukum telah menyumbangkan sesuatu pada perkembangan sistem hukum, dan dengan demikian turut serta dalam mengembangkan masyarakat, terutama sebagai hakim, pembela dan sarjana. Ahli hukum juga memberikan perhatian terhadap perubahan legislatif – sebagai anggota komite perubahan hukum,…..sebagai ahli pada departemen pemerintah, atau sebagai perancang di parlemen”.[15]

Seperti juga dicatat oleh Friedman[16] bahwa peranan ahli hukum di Amerika sejak awal kemerdekaan sangat dominan, misalnya 40 orang dari 61 anggota Kongres adalah ahli hukum. Banyak Presiden pada awalnya adalah ahli hukum, dan sebelum menjadi Presiden berpraktik sebagai penasehat hukum, bahkan menurut catatannya pada masa pemerintahan Presiden Clinton 75 % anggota Kabinet adalah ahli hukum yang pernah berpraktik sebagai penasihat hukum. Menurut Friedman, kondisi ini bukan kebetulan tetapi adalah satu keniscayaan, sebab urusan penasihat hukum erat kaitannya dengan urusan pemerintah. Pemerintah membuat dan mengatur hukum dan hukum diketahui oleh penesihat hukum.
Hal tersebut agak berbeda dengan keadaan di Indonesia. Kalau kita lakukan survey secara sederhana, peranan ahli hukum selama pemerintahan Orde Baru lebih banyak sebagai pelengkap penderita, Jaksa Agung cukup lama dan secara bergantian dijabat oleh tentara,[17] Menteri Kehakiman tentara, bahkan Ketua Mahkamah Agung juga pernah dijabat oleh tentara. Semua Departemen selalu ada bagian hukum, begitu juga pada hampir semua perusahaan swasta atau BUMN selalu ada bagian hukum, tetapi bagian hukum tampak muram dan tidak mampu mendukung kebutuhan departemen atau perusahaan dalam menangni masalah hukum. Sehingga sekali lagi bagian hukum itu hanya sebagai pemantas, para ahli hukum dikantor-kantor pemerintah atau perusahaan swasta tidak pernah mendapat posisi sebagai pihak yang memberikan pertimbangan akhir. Para ahli hukum di pemerintahan atau di lembaga swasta, sebagian besar hanya pelengkap, terutama dalam melakukan dokumentasi, tidak akan diminta sebagai pemberi pertimbangan akhir dalam pengambilan keputusan. Bahkan tidak jarang dalam praktik, para ahli hukum itu hanya bertugas menyusun kalimat dalam membuat perjanjian. Isi perjanjian sudah disetujui dan tidak melibatkan ahli hukum, atau dalam istilah yang biasa digunakan “masalah komersial” sudah selesai, yang belum selesai adalah perjanjian secara tertulis.
Tidak ikutsertanya para hali hukum ini, mungkin karena ahli hukum dianggap tidak perlu terlibat, sebab kalau mereka terlibat dalam melakukan negosiasi mereka tidak jarang ketakutan berlebihan, atau mungkin juga karena ahli hukum yang ada dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berunding, karena pengetahuan tehnisnya tentang masalah yang dirundingkan tidak memadai. Atau mungkin juga seperti kritik yang ditemui dalam penelitian yang dilakukan oleh Bappenas dengan bantuan World Bank, bahwa sarjana hukum sekarang ini tidak mempunyai kemampuan menulis secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum.[18] Atau mungkin juga keberadaan ahli hukum yang terkesampingkan ini berhubungan dengan ucapan Bung Karno yang sangat terkenal bahwa “ met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.[19]

Reformasi hukum dan penegakan hukum
Kerangka pemikiran pembangunan hukum selama masa Orde Baru secara nyata telah mengabaikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, bahkan Konsep Negara hukum dikalahkan oleh para pendukung otoritarianisme Orde Baru.[20] Dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat).[21] Hukum dan seluruh pranata pendukungnya baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan daerah adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum dan peraturan yang ada bukan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mengukuhkan kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama masa Pemerintahan Orde Baru, program pokok dari pemerintah adalah membangun ekonomi yang ditopang oleh tiga jangkar yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, akan tetapi dalam praktik pemerintah sangat menekankan stabilitas dalam penerapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada setiap periodenya. Stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan, dikenal sebagai Trilogi Pembangunan diusahakan pencapaiannya melalui serangkaian Repelita yang ber- akhir Maret 1998.[22]
Dalam kurun wakru 1970–1996, perekonomian meningkat rata-rata tujuh persen per tahun.[23] Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama masa pemerintahan Orde Baru menyebabkan penurunan kemiskinan yang signifikan. Indonesia beralih dari Negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Namun, pembangunan ekonomi yang berhasil ini tidak dibarengi dengan partisipasi politik, perlindungan hak asasi manusia, keadilan, dan transparansi dalam pembuatan keputusan publik. Bahkan menurut Sudradjad Djiwandono,

“Kestabilan ini dicapai melalui cara-cara represi, menghilangkan semua unsur yang berpotensi menjadi pesaing dari penguasa dengan cara apapun, bahkan yang melanggar hak azasi. Kita melihat bahwa dalam masa itu semua organisasi; sosial, profesi, fungsional, apalagi politik, selalu mengalami 'pembinaan' atau 'digarap' oleh Pemerintah dengan berbagai cara agar menjadi tidak vokal, tidak menyuarakan sesuatu yang berbeda dengan penguasa. Di dalam kehidupan politik tidak dikenal oposisi. Semua ini dikatakan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Kestabilan sosial-politik yang tercapai dengan reka yasa ini merupakan kestabilan semu, dan tidak tahan lama.”[24]
Tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat diciptakan, tetapi lebih banyak aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari politik pembangunan ini ada ketimpangan antara pemabangunan ekonomi dan pembangunan hukum. Pembangunan hukum selama masa Orde Baru digunakan sebagai alat penopang dan pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi semata.[25] Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, pemerintah dan aparatnya memilik kekuasaan mutlak, bukan hanya dalam mengelola dan mengarahkan tujuan pembangunan, tetapi juga memiliki kekuasaan dalam mengatur kehidupan social, budaya dan politik bangsa Indonesia.[26] Hukum hanya dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomer: II/MPR/1983 TENTANG GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat: 1) Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai; 2) Menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang beritikan keadilan; 3) Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran.
Banyak ahli ekonomi dan hukum yang sering mengingatkan pemerintah tentang keadaan ekonomi yang tidak seimbang, pembangunan tidak merata dan pembangunan ekonomi yang dianggap tidak berkeadilan ini. Tetapi pemerintah dan para ahli ekonomi dan keungan Indonesia yang mendukung kebijakan pemerintah selalu bertahan dengan pendapat mereka. Para ahli ekonomi terbuai dengan pertumbuhan semu dan mereka tidak mampu memberikan analisa yang akurat, bahwa ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan eksternal, dan hukum yang ada tidak akan mampu menghadapi situasi krisis. Kritik terhadap arah dan pola pembangunan ekonomi ini seperti dikatakan oleh The Kian Wie,
“Arah dan pola pembangunan ekonomi kita pada dasarnya kurang tetap, sedikit-dikitnya tidak akan berhasil dalam memecahkan masalah-masalah nasional yang fundamental, seperti penghapusan kemiskinan absolute dan penciptaan lapangan kerja yang memadai dan produktif dalam waktu yang lebih singkat dan yang masih dapat ditolerir oleh sebagian besar lapisan masyarakat ?”[27]

Ketimpangan dan ketidak siapan hukum dalam menunjang kegiatan ekonomi ini dapat dilihat dari hasil studi diagnostik yang dilakukan oleh Bapenas dan World Bank ditahun 1996, dari studi ini ditengarai bahwa situasi hukum Indonesia mengalami krisis, disebabkan ketidaksiapannya dalam mendukung perkembangan ekonomi Indonesia.[28] Dikatakan pula bahwa kinerja sistem hukum dan sarjana hukum tidak memadai, bahkan dinilai para professional hukum dianggap tidak mampu mengimbangi perubahan sebagai akibat dari pembangunan ekonomi, mereka tidak mampu memahami tugas utama mereka sebagai “pelayan hukum dan masyarakat”.[29] Ekonomi Indonesia sangat baik dengan pertumbuahannya semakin membaik dan diharapkan mencapai 9% pada tahun 2020. Namun studi ini menyimpulkan bahwa lembaga hukum dan sistem hukum tidak mampu mengikuti perkembangan ekonomi, kecuali dilakukan reformasi dibidang hukum.[30]
Sebagai contoh ketidak siapan hukum kita dalam menyelasikan masalah akibat dari krisis ekonomi di tahun 1997, adalah penyelesaian hutang BLBI. Ketika pemerintah sudah bersepakat dengan para pemegang saham mayoritas bank swasta yang dihentikan operasinya atau diambil alih, dengan cara membuat perjanjian yang dikenal dengan MSAA, MRNIA dan APU, maka cukup banyak kemudian orang menggugat kebijakan yang diambil pemerintah ini, dengan alasan hukum Indonesia tidak mengenal dan tidak mengatur perjanjian seperti itu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa pembayaran oleh pemegang saham mayoritas bank dengan harta pribadi atas hutang dianggap tidak cukup, karena pemegang saham mayoritas bank dianggap melakukan korupsi. Penyelesaian masalah BLBI ini kemudian, tidak hanya menjadi masalah hukum tetapi berubah menjadi masalah politik yang penyelesaiannya dilakukan dengan langkah politik.
Sistem hukum Indonesia oleh kalangan politisi dan ahli selama masa Orde Baru selalu disebut salah arah. Hukum dan penegakan hukum terutama dalam perkara-perkara “politik” lebih sering dianggap sebagai alat dari pemerintah mengokohkan kekuasaan. Tidak ada orang yang dianggap sebagai penentang pemerintah Orde Baru dibebaskan oleh pengadilan.[31] Dalam praktik tidak jarang hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, hukum digunakan hanya untuk mengancam rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya untuk mengatur kewajiban mereka kepada rakyat.
Reformasi hukum sebagai suatu upaya pembaruan yang menyeluruh harus segera dilakukan. Paling kurang yang harus segera dimulai adalah melaksanakan reformasi hukum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 (Propenas 2000) bahwa program induk pembangunan hukum meliputi pembentukan peraturan perundang-undangan, pemberdayaan lembaga peradilan dan penegakan hukum lain, penuntasan kasus-kasus korupsi dan hak asasi manusia, serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Untuk selanjutnya reformasi hukum ini harus diperluas dengan rencana yang dinyatakan dalam pembanguan jangka panjang, sebagaiman dinyatakan dalam Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005 – 2025,[32]
“ Pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri, serta terciptanya kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukumnya. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait KKN. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum, dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan Negara yang makin tertib, teratur, lancar serta berdaya saing global”.

Sebagai langkah kongkrit reformasi hukum dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem peradilan sebagai kegiatan "pembentukan kembali" lembaga peradilan, dengan tujuan lebih dari mengoreksi praktik buruk dan kesalahan manajemen. Yang dilakukan adalah pembaharuan fundamental terhadap lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian yang berarti membangun kembali dari awal berbagai institusi hukum yang menjadi dasar bekerjanya sistem hukum. Perubahan dan pembaharuan yang dilakukan bukan terhadap masalah tehnis, sebab perubahan teknis hanya akan memperbaiki keadaan dalam keadaan jangka pendek, karena kebijakan dan peraturan tidak dapat menjamin munculnya elemen-elemen pokok bagi terbentuknya suatu sistem peradilan yang efektif, memiliki integritas, dipercaya dan mendapatkan penghormatan serta kepercayaan publik, dan secara tegas memelihara kode etik.[33] Unsur-unsur penting inilah yang membedakan lembaga peradilan dari berbagai lembaga pemerintahan, atau lembaga politik yang tidak jarang partisan.
Membangun lembaga peradilan yang efektif, memiliki integritas, dipercaya, dihormati, dapat dilakukan dan dimulai dengan melakukan rekruitmen Hakim Agung yang berimbang antara hakim karier dan hakim non karier, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan untuk hidup dengan sederhana. Meskipun hal ini akan mendapat rintangan yang berat disebabkan oleh kuatnya perlawanan dari pihak yang tidak menginginkan reformasi terhadap lembaga peradilan baik dari dalam maupun luar sistem hukum, terutama dari mereka yang kepentingan dan hak-hak utamanya akan terganggu dan terusik dengan adanya reformasi dan pembahruan terhadap lembaga peradilan. Bilamana komitmen atas reformasi lembaga peradilan dari pemerintah atau lembaga peradilan tetap rendah, maka perlu pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat terhadap lembaga peradilan, seperti membentuk lembaga pemantau peradilan disetiap pengadilan, selain membentuk lembaga pengawas yang kridibel dengan kualifikasi tinggi dan tidak tercela.
Upaya yang harus ditempuh dalam merealisasikan reformasi hukum minimal meliputi; pertama penataan kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan menggantikan peraturan perundang-undangan kolonial yang menurut salah satu penelitian masih ada lebih kurang 400 UU warisan kolonial yang tidak relevan dengan perkembangan yang terjadi,[34] untuk mewujudkan undang-undang yang bersifat modern dan dapat dilaksanakan, dalam arti menghilangkan tumpang tindih dan inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan, merumuskan kembali peraturan perundang-undangan yang kurang jelas mengakibatkan sulitnya implementasi di lapangan selain yang diakibatkan oleh ketiadaan peraturan pelaksanaan sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan yang memerlukan peraturan pelaksanaan; kedua, melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan lembaga hukum, profesi hukum dan peradilan dengan meningkatkan profesionalisme serta kualitas sistem peradilan yang terbuka, transparan dan bertanggung jawab;[35] menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; dan ketiga peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi didukung oleh pelayanan dan bantuan hukum kepada masyarakat dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit dan penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan kadar kesadaran hukum dan hak asasi manusia masyarakat termasuk para penyelenggara negara agar mereka tidak hanya mengetahui dan menyadari hak dan kewajibannya, tetapi juga mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku serta menghormati hak asasi manusia.[36]

Peranan hukum dalam masyarakat global
Pengaruh globalisasi pada saat sekarang ini tidak bisa dihindari, sebab “ketika informasi mengalir dengan kebebasan yang relative, maka penghalang geografis yang lama menjadi tidak relevan. Kebutuhan global menghasilkan produk global”.[37] Hal ini sudah barang tentu akan terjadi pada pelaksanaan pembangunan di Indonesia dan negara-negara lain terkait erat dengan komitmen-komitmen global dalam bidang ekonomi, perdagangan, transaksi keuangan, dan lain-lain. Gelobalisasi ekonomi ini akan membawa globalisasi hukum.[38]
Sebagai anggota PBB dan pelbagai lembaga lain di bawahnya, serta di gerakan Nonblok, Indonesia juga menandatangani perjanjian dagang internasional, antara lain WTO, APEC, OPEC, ASEAN, dan AFTA. Selain itu Indonesia juga terlibat dalam berbagai konvensi baik global maupun regional, bahkan Indonesia sangat berperan di dalam Kerjasama Selatan-Selatan dan terlibat secara aktif dalam program-program TCDC (Tech-nical Cooperation between Developing Countries) seperti penyelenggaraan training dan penyediaan tenaga ahli bagi Negara Negara belum berkembang di Asia dan Afrika.
Kondisi ini menjadikan Indonesia berkewajiban menyesuaikan seluruh perangkat hukumnya mengikuti standarisasi hukum internasional, terutama dalam hukum perdagangan, seperti dalam bidang penanaman modal, hak milik intelektual, bahkan dalam masalah perburuhan, sebab penyelasaian sengketa perburuhan tidak jarang mendapat perhatian dari organisasi perburuhan internasional.[39]Pada masa yang akan datang ini bukan hanya masalah yang menyangkut perdagangan atau hak asasi manusia yang akan menjadai masalah internasional dan diadili oleh pengadilan internasional, tetapi juga masalah korupsi akan dapat dipersoalkan oleh lembaga internasional dan diadili oleh pengadilan internasional. Korupsi yang dapat dipersoalkan tidak terbatas pada transaksi komersial internasional saja, tetapi juga transaksi yang bersifat lokal dengan disahkannya UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 ( KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003 ) menjadi undang-undang Nomer 7 Tahun 2006. Dengan demikian maka bararti bahwa sebenarnya sudah mulai tersusun desain hukum internasional yang diadopsi menjadi hukum nasional untuk memberantas korupsi dan suap suap, khususnya yang memiliki sifat transnasional, sehingga Indonesia tidak lagi akan menjadi surga bagi para koruptor seperti yang selama ini digunjingkan banyak orang. Selain itu kita tidak bisa melupakan bahwa dalam konteks hukum internasional, hukum nasional bisa dipandang sebagai produk hukum yang secara langsung akan "menjembatani" hak dan kewajiban hukum internasional dengan subjek-subjek hukum yang ada dalam lingkup hukum nasional.

Prospek pendidikan tinggi hukum
Pendidikan tinggi hukum diluar negeri terutama di Inggris atau Australia misalnya, adalah pendidikan tinggi yang sangat bergengsi. Mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas-universitas di dua negara ini umumnya adalah mahasiswa pilihan, karena hanya calon mahasiswa terbaik saja yang bisa masuk ke Fakultas Hukum, sedangkan calon mahasiswa yang biasa-biasa saja tidak akan diterima di Fakultas Hukum. Bahkan syarat untuk mendaftar menjadi mahasiswa fakultas hukum itu pada kedua negara ini sangat tinggi, bila dibandingkan dengan syarat yang diminta oleh fakultas yang lain. Pada dua negara ini nilai minimal untuk menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, hanya sedikit berbeda dengan Fakultas Kedokteran, tetapi selalu lebih tinggi dari Fakultas yang lain. Artinya untuk menjadi mahasiswa fakultas hukum itu harus dengan nilai tertinggi kedua sesudah fakultas kedokteran. Dan menjadi mahasiwa fakultas hukum itupun baru dapat mereka raih setelah berjuang keras dan bersaing secara ketat dengan calon mahasiswa yang lain. Di kedua negara ini Fakultas Hukum itu selalu melakukan penolakan terhadap calon Mahasiswa.
Sedangkan kondisi kita di Indonesia agak berbeda dari kondisi di Inggris dan Australia. Kita harus akui bahwa cukup banyak mahasiswa memilih masuk Fakultas Hukum setelah mereka tidak diterima pada fakultas pavorit, dan Fakultas Hukum terutama yang swasta sangat jarang menolak mahasiswa. Gengsi Mahasiwa Fakultas Hukum sangat kalah kalau dibandingkan dengan mahasiwa fakultas tehnik. Bahkan tidak jarang, pada awalnya mahasiswa yang mengikuti pendidikan tinggi hukum kualitas intelektualnya tidak sebaik mahasiswa fakultas tehnik misalnya. Dengan kualitas calon mahaiswa yang tersedia seperti ini maka untuk melahirkan alumni fakultas hukum yang baik dan mumpuni, fakultas hukum harus bekerja lebih keras dan lebih banyak dari yang dilakukan oleh fakultas yang lain. Sebab salah satu penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank dan Bappenas bahwa umumnya sarjana hukum kita tidak mampu menuliskan secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum, padahal kemampuan menuliskan secara logis dan konsisten ini adalah satu keahlia yang harus dimiliki seorang sarjana hukum.[40]
Kalau alumni Fakultas Hukum ingin berperan dan mengambil bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara secara maksimal pada masa yang akan datang, maka yang sangat layak dilakukan mulai dari sekarang adalah menyesuaikan pendidikan hukum kita untuk kebutuhan masa yang akan datang, dan sudah tentu dibutuhkan juga kesiapan kita untuk belajar dan melakukan penelitian secara terus menerus. Pendidikan hukum ini tidak akan maksimal bila sarana pendidikan, staf pengajar dan mahasiswa tidak mempersiapkan diri secara baik, karena ketiga komponen ini harus berjalan bersama dan terkait secara terus menerus dan tidak boleh ada yang tertinggal apalagi terabaikan.
Terlebih lagi dalam dunia yang semakin menjadi global, dunia bisnis yang sekarang cenderung menjadi satu seperti sekarang ini, dan juga karena uang tidak dibatasi oleh batas nagara dan pemilik uang mempunyai hak yang sangat istimewa dimanapun mereka berada, maka yang kita butuh dimasa yang akan datang adalah para ahli hukum yang sangat istimewa untuk mengatur kehidupan bebangsa dan bernegara. Ahli hukum yang istimewa itu, hanya bisa dilahirkan dengan pendidikan yang baik dan terencana.Hal yang harus segera dilakukan agar lulusan fakultas hukum siap pakai adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan hukum. Perubahan ditujukan agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai ketrampilan hukum, sehingga pendidikan hukum akademis dan profesi tidak disatukan dalam satu kurikulum. Penyatuan pendidikan hukum akademis dan profesi sebenarnya tidak realistis.[41] Waktu yang dialokasikan untuk mahasiswa agar memiliki pengetahuan teoritis dan praktis terlalu singkat. Untuk itu Fakultas Hukum diharapkan memiliki laboratorium hukum yang dapat dijadikan media bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan berpraktik yang baik dalam arti terhindar dari praktik “kotor” yang biasa disebut mafia peradilan, namun pendidikan profesi secara mendalam dapat diberikan setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan S1, walaupun tidak setara dengan S2.
Dengan kondisi yang dikemukan diatas yang harus dibangun adalah sikap optimis, sebagaimana pernah dikemukakan Prof. Erman Rajagukguk, S.H,. LL.M, Ph.D, dalam orasinya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum, menyimpulkan:
Fakultas Hukum dalam era globalisasi harus mempersiapkan mahasiswanya dengan pendidikan yang cukup. Disatu pihak pendidikan hukum menghasilkan sarjana hukum yang mempunyai keterampilan dalam praktek hukum yang mengandung unsur internasional; di pihak lain membekali mereka dengan kemampuan menghadapi berbagai masalah yang dihadap masayarakat, termasuk memberikan jalan bantuan hukum bagi mereka yang palin terkena globalisasi”.[42]
Dengan demikian yang layak untuk segera dipikirkan dan dilakukan sekarang adalah menjadikan pendidikan hukum menjadi satu kesatuan dengan pembangunan hukum, sehingga arah dari pendidikan hukum adalah mendidik mahasiswa agar dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan dan penegakan hukum.[43] Tanpa arah pendidikan seperti ini maka pendidikan hukum kita tidak akan mempunyai kontribusi apapun terhadap pembangunan hukum dan penegakan hukum. Pendidikan hukum yang mampu melahirkan mahasiswa yang mampu melakukan pembangunan hukum dan mampu menjadi penegak hukum hanya dapat dilakukan dengan cara melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian dan kegiatan peraktis. Seperti magang pada kantor Advokat, atau pada Kejaksaan dan juga dengan magang di Pengadilan.
Selain dengan kegiatan magang untuk kepentingan Mahasiswa, yang juga harus dilakukan adalah memperbincangkan kurikulum secara terus menerus dan disesuaikan dengan kebutuhan riil dalam masyarakat dan perkembangan kebutuhan praktis masyarakat, sehingga ini, “akan mengatasi kekakuan dan kekurang pekaan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sedang berubah yang hingga kini merupakan kelemahan sekian banyak universitas-universitas kita”.[44] Perbincangan terus menerus atas kurikulum bukan hanya dilakukan oleh kalangan staff pengajar, tetapi juga melibatkan para peneliti dan praktisi, baik sebagai alumni atau sebagai ahli.
Persoalan kurikulum itu bukan hanya persoalan apa yang harus diajarkan,[45] tetapi juga adalah menyangkut topik apa yang patut dan dibutuhkan oleh masyarakat pada masa yang akan datang ketika Mahasiswa sudah kembali ke masyarakat. Hal seperti ini yang disebut oleh Conant sebagai “ clinical professor”, [46] karena professor adalah seorang praktisi yang setiap hari memperaktikkan berbagai macam teori ke dalam peraktik dengan tepat . Dengan meminjam kalimat dari Prof. Mochtar Kusumatmadja, maka akan dikatakan,
“..pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keteramplan teknis, melainkan juga harus menghadapakan mahasiswa-mahaiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving attitude”.[47]

Kurikulum pendidikan hukumpun seharusnya dipikirkan seperti apa yang dilakukan oleh seorang professor yang mempraktikkan teori kedokteran ke dalam praktik dokter sehari-hari. Dengan kurikulum seperti ini Mahasiswa diharapkan dapat berpikir dan memecahkan masalah secara independent. Atau seperti dikatakan oleh, Richard J. Wilson,
“The methodology by which, such programs are accomplished is as broad as the creative minds of the legal educator; it may include something as simple as a short role play by students in a large lecture section or as complex as supervised representation of people involved in real legal disputes, usually referred to in the US (without any apparent sense of irony) as "live client" work. In between these two extremes are many other pedagogical devises: the role-play, gaming, small and large-scale simulations, externships or other work under the supervision of a practitioner in that person's office, or other devises. Any of these is a means by which students can understand their work as lawyers through experience, the assumption being that attempting to teach lawyering through lectures or reading alone is tantamount to learning how to drive by reading the car owner's manual”.[48]

Artinya kurikulum seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan Sarjana Hukum yang mampu melakukan pembangunan hukum dan juga mampu melakukan penegakan hukum. Paling tidak ada dua alasan menurut Richard J. Wilson, yaitu,
“First, while do not denigrate the effectiveness of other means of clinical legal education, each of which can and should have a central place in law school curricula, I believe the live client clinic has prove itself to be the most powerful and effective means by which to teach the art of lawyering. Just, experience has shown that neophyte doctors learn best when working with real patients, the same is true with neophyte lawyers and real clients. Second, and perhaps just as important, the live client clinic provides a means by which students and law schools can make a contribution toward access to justice in their communities.” [49]

Kesimpulan
Peranan hukum dalam pembangunan itu begitu penting. Pentingannya peranan hukum bukan hanya dalam hal penyelesaian masalah hukum yang timbul, tetapi didalam meletakkan dasar dari pembangunan itu sendiri. Krisis ekonomi di Indonesia yang begitu buruk dan panjang tidak terlepas dari kondisi hukum yang tidak siap menopang pembangunan ekonomi.
Untuk menghindari kesulitan pada masa yang akan datang, maka reformasi terhadap hukum mutlak untuk dilakukan. Reformasi itu harus disesuaikan dengan kebutuhan hukum Indonesia menuju dunia global.
Dalam menyambut dunia yang semakin kehilangan batas ini, Indonesia harus menyiapkan ahli hukum yang mumpuni dari segi teoritis dan dari segi praktis. Untuk itu perubahan kurikulum dalam arti mengikuti perkembangan kurikulum fakultas hukum yang bersifat internasional sudah layak untuk dipersiapkan.Tugas itu menjadi beban yang tidak ringan bagi Fakultas Hukum.




Bibliografi

Abdul Hakim G Nusantara : 2005. Menuju Negara Hukum Indonesia: Refleksi keadaan publik dan prospek Transisi demokrasi di Indonesia, diakses dr http://portal.komnasham.go.id/pls/portal.

Anne Booth:2001, Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia Pustaka Utama.

Bryant G. Garth : 2005, Preliminary Paper for Globalization and Its Discontents, h 13-14., diakses dari http://www.law.nyu.edu/weilerj/spring05/globalization/Bryant_Garth.pdf.

Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII.

Drs.C.S.T. Kansil,S.H.,:1988, Kabinet dan Departemen di Indonesia, IND.HILL.Co.

Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.
Erman Rajagukguk: 2003, Hukum Ekonomi Indonesia : memperkuat Perastuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Paper disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Depasar 14-18 Juli 2003.
Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim (Penyunting): 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan ke 5, CYBERconsult.

Hikmahanto Juwana : 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=252&tipe=opini.

J.E. Sahetapy: 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ?, diakses dari http://www.komisihukum.go.id.

John Perkins : 2004, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publisher, Inc., San Francisco.

Justice for the Poor – Wolrld Bank, diakses dari http://www.jusiticeforthrpoor.or.id, 11 Agustus 2006.

Kenichi Ohmae: 1991, Dunia Tanpa Batas, Binarupa Aksara.

Lan Cao: 1997, Book Review Law and Economic Development: A New Bargaining ? Texas International Law Journal, Vo. 32.

Lawrence H. Friedman: 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu Basuki, PT. Tatanusa.

Fauzie Hasibuan, S.H., MH., dkk: 2002, Hutang Di Balik Listrik Swasta, Menggugat Kontrak PLN – Paiton 1, Jakarta Fauzie & Partners.

Loekman Soetrisno: 1997, Beberapa Faktor Dalam dan Luar Negeri yang Berpengaruh pada kelestarian Pembangunan di Indonesia, dalam Loekman Soetrisno,Demokratisasi Ekonomi & Pertumbuhan Politik, Penerbit Kanisius.
Marc Galantar, Modernisasi Sistem Hukum dalam Myron Weiner, Modernisasi : Dinamika Peretumbuhan, Voice of America Forum Lecturer.

Mardjono Reksodipuro: 2003, Reformasi Menyeluruh dan Pemulihan Ekonomi, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article - opinion.
Masyarakat Transparansi Indonesia, Pokok Pikiran Kajian GBHN Tahun 1999 Bidang Hukum, diakses dari http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian11.html.
Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni.

Naskah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR-RI pada tanggal 18 Maret 2005, Bab IV, Arah Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Paul H. Brietzke: 2000, Pembeharuan Hukum di Indonesia, Ceramah yang disampaikan kepada Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada tanggal 21 Februari 2000.

Refleksi Perjalanan Bangsa 2005 dan Persfektif 2006, 4 Januari 2006, The Habibie Center.

Richard J. Wilson: 1996 Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17.

Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret.

Sudradjad Djiwandono: 2000, Membangun Kembali Ekonomi Indonesia dengan Paradigma Baru, diakses http://www.pacific.net.id/pakar/sj/000627.html.
T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum: 1986, Pengantar, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia.
The Kian Wie: 1983, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif, dalam The Kian Wie (Penyunting), Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif, LP3ES.

Willi Toisuta : 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan Mengajar, Prisma N0.2, Maret.

Wolfgang G. Friedman: 1986, Peranan Hukum dan Fungsi Ahli Hukum di Negara Berkembang, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia.
[1] Tulisan ini berasalah dari Kuliah Umum yang disampaikan dalam kunjungan Praktik Kerja Lapangan Mahasiswa FH Universitas Prof. Dr. Hazairin di Universitas Al Azhar Indonesia, tanggal 16 Agustus 2006.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Advokat di Jakarta.
[3] T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum: 1986, Pengantar, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, h. ix.
[4] Lan Cao: 1997, Book Review Law and Economic Development: A New Bargaining ? Texas International Law Journal, Vo. 32, h. 546.
[5] Erman Rajagukguk: 2003, Hukum Ekonomi Indonesia : memperkuat Perastuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Paper disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Depasar 14-18 Juli 2003, h. 1.
[6] Lan Cao : 1997, Op. Cit, h 547.
[7] Ibid, h 550.
[8] Marc Galantar, Modernisasi Sistem Hukum dalam Myron Weiner, Modernisasi : Dinamika Peretumbuhan, Voice of America Forum Lecturer, h. 102 – 104.
[9] Bryant G. Garth : 2005, Preliminary Paper for Globalization and Its Discontents, h 13-14., diakses dari http://www.law.nyu.edu/weilerj/spring05/globalization/Bryant_Garth.pdf
[10] Kontrak pertama dengan PT Freeport untuk 30 tahun ditandatangani sekitar tahun 1967, sebagai kontrak PMA pertama pemerintah Suharto, setelah disahkannya UU investasi asing yang baru (UU No.1/1967). Sebelum masanya habis maka Freeport minta perpanjangan yang diberikan setelah ada review dan disetujui beberapa perbaikan dalam pasal-pasalnya yang lebih menguntungkan Pemerintah RI, walaupun (anehnya) yang akhir ini disangkal oleh Ginanjar Kartasasmita, yang pada waktu review itu menjadi menteri ESDM (lihat berita di harian Koran Tempo, 3 Maret 2006, hal. A7).
[11]Menurut Bryant G. Garth PT. Freeport Indonesia ini adalah klien pertama dari ABNR Law Firm, lihat Bryant G. Garth, Op. cit, h. 16.
[12] John Perkins : 2004, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publisher, Inc., San Francisco, khususnya bab 3 – bab 8.
[13] Lihat Fauzie Hasibuan, S.H., MH., dkk: 2002, Hutang Di Balik Listrik Swasta, Menggugat Kontrak PLN – Paiton 1, Jakarta Fauzie & Partners.
[14] Menurut Bryant G. Garth, Frank Morgan adalah salah seorang lawyer Amerika yang dating ke Jakarta pada tahun 1970 dan mulai megembangkan bidang corporate setelah bersama Prof. Mochtar Kusumaatmadja mendirikan MKK, lihat Bryant G. Garth, Op. cit, h 16.
[15] Wolfgang G. Friedman: 1986, Peranan Hukum dan Fungsi Ahli Hukum di Negara Berkembang, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, h. 4.
[16] Lawrence H. Friedman: 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, terjemahan Wishnu Basuki, PT. Tatanusa, bab 13, h. 327 -360.
[17] Sejak zaman Kabinet Dwikora sampai dengan Kabinet Pembangunan V , yang menjadi Jaksa Agung adalah Brigjen. Sutardhio; Letjen. Sugih Arto; Lerjen. Ali Said; Letjen. Ismail Saleh; Mayjen. Hari Suharto, dan Laksamana Muda Sukarton Marmosudjono ( Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesia. ) diakses Agustus 2006; Lihat juga Drs.C.S.T. Kansil,S.H.,:1988, Kabinet dan Departemen di Indonesia, IND.HILL.Co, h, 125 – 170.
[18] Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim (Penyunting): 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan ke 5, CYBERconsult, h. 51.
[19] J.E. Sahetapy: 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ?, diakses dari http://www.komisihukum.go.id
[20] Abdul Hakim G Nusantara : 2005. Menuju Negara Hukum Indonesia: Refleksi keadaan publik dan prospek Transisi demokrasi di Indonesia, h. 2. diakses dr http://portal.komnasham.go.id/pls/portal
[21] Lihat system pemerintahan menurut penjelasan UUD 45.
[22] Masyarakat Transparansi Indonesia, Pokok Pikiran Kajian GBHN Tahun 1999 Bidang Hukum, diakses dari http://www.transparansi.or.id/kajian/kajian11.html
[23] Anne Booth:2001, Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia Pustaka Utama, h. 191.
[24] Sudradjad Djiwandono: 2000, Membangun Kembali Ekonomi Indonesia dengan Paradigma Baru, h. 3, diakses http://www.pacific.net.id/pakar/sj/000627.html.
[25] Masyarakat Transparansi Indonesia, Op. cit.
[26] Loekman Soetrisno: 1997, Beberapa Faktor Dalam dan Luar Negeri yang Berpengaruh pada kelestarian Pembangunan di Indonesia, dalam Loekman Soetrisno,Demokratisasi Ekonomi & Pertumbuhan Politik, Penerbit Kanisius, h. 172.
[27] The Kian Wie: 1983, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif, dalam The Kian Wie (Penyunting), Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif, LP3ES, h. 23.
[28] Mardjono Reksodipuro: 2003, Reformasi Menyeluruh dan Pemulihan Ekonomi, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article - opinion.
[29] Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim (Penyunting), Op. cit, h. 144.
[30] Ibid, h. 145.
[31] Ratusan kasus yang diputus oleh pengadilan dimana terdakwanya dihukum karena dianggap menentang pemerintah, seperti kasus Malari, Mahasiswa 77/78, Tanjung Priok (termasuk HR. Dharsono, AM Fatwa, Ir. HM Sanusi dan pengeboman BCA), Komando Jihad, Kasus Mahaiswa ITB, kasus penghinaan terhadap Presiden oleh Mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta dan lain-lain.
[32] RUU dan naskah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR-RI pada tanggal 18 Maret 2005, Bab IV, Arah Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, h. 37.
[33] Justice for the Poor – Wolrld Bank, diakses dari http://www.jusiticeforthrpoor.or.id, 11 Agustus 2006.
[34] Refleksi Perjalanan Bangsa 2005 dan Persfektif 2006, 4 Januari 2006, The Habibie Center, h. 7.
[35] Paul H. Brietzke: 2000, Pembeharuan Hukum di Indonesia, Ceramah yang disampaikan kepada Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada tanggal 21 Februari 2000, h. 5.
[36] Bandingkan dengan naskah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR-RI pada tanggal 18 Maret 2005, Bab IV, Arah Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, h. 39-40.
[37] Kenichi Ohmae: 1991, Dunia Tanpa Batas, Binarupa Aksara, h 23.
[38] Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, h. 15.
[39] Kasus pemutusan hubungan kerja antara Serikat Pekerja Mandiri dengan Hotel Shangri-La di tahun 2001, adalah salah satu contoh bahwa organisasi internasional tidak jarang ikut menekan pemerintah Indonesia untuk ikut membantu menyelesaikan sengketa perburuhan. Dalam beberapa kali sidang ILO, masalah PHK ini sempat dipertanyakan kepada Pemerintah.
[40] Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim: 2002, Op. cit, h.51.
[41] Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=252&tipe=opini
[42] Erman Rajagukguk: 1997, Op. cit, h.24.
[43] Bandingkan dengan pernyataan Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.
[44] Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret, h 30.
[45] Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII, h 28.
[46] Dikutip dari Toisuta, Willi: 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan Mengajar, Prisma N0.2, Maret, h 37.
[47] Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni, h. 63.
[48] Richard J. Wilson: 1996 Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17, h.1.


[49] Ibid, h. 2.

Tidak ada komentar: