Kamis, 22 November 2007

Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan Pasar

Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan Pasar[1]
Oleh Maqdir Ismail[2]

Pengantar
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Pendidikan Hukum dan sekolah hukum di Indonesia meskipun belum merupakan pendidikan tinggi sudah dimulai sejak tahun 1909 oleh Gubernur Jenderal J B. van Heuts, Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen (Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi), diundangkan dalam Stb.No. 93/1909.[3] Sedangkan pendidikan tinggi hukum itu sendiri baru diselenggarakan mulai tahun 1924, berdasarkan Hooger Onderwijs-Ordonnantie (Ordonansi Pendidikan Tinggi), Stb. No. 457/1924, Gubernur Jenderal D. Fock pada tanggal 9 Oktober 1924 yang menetapkan Reglement van de Rechtshoogeschool (Reglemen Sekolah Tinggi Hukum), Stb. No. 457/1924 dan dinyatakan berlaku efektif pada saat dibukanya Rechtshoogesschool (disingkat RHS atau RH).[4] Cerita ini untuk menunjukkan bahwa pendidikan hukum di Indonesia bukan hal yang baru. Bahkan sesudah zaman kemerdekaan ada Sekolah Hakim dan Jaksa, begitu juga ada Pendidikan Hakim Islam. Akan tetapi pembicaraan dan perbincangan yang akan dilakukan terbatas pada kurikulum Fakultas Hukum secara umum dan Fakultas Hukum UII.
Tulisan ini secara singkat akan memaparkan perkembangan pendidikan hukum di Indonesia, kemudian akan didiskusikan pula urgensi kurikulum hukum yang mengakomodasi kebutuhan pasar, selain itu akan didiskusikan pula karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pasar, impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan pengalaman empiris dalam mengikuti pendidikan hukum dan pengalaman sebagai praktisi maupun sebagai staf pengajar Fakultas Hukum.
Pendidikan Hukum di Indonesia
Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20, pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda. Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Memang dilakukan perubahan pada tahun 1946 kemudian diperbaharui dengan Hoogeronderwijs Ordonnantie 1946 (Stb. No. 47/1947) dan Universiteitsreglement 1946 (Stb. No. 170/1947). Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum di Belanda, maka pendidikan hukum di Indonesia kurikulumnya lebih menitik-beratkan pada pendidikan akademiknya (academic schooling) dan kurang memperhatikan “professional schooling”-nya.[5]
Pada masa ini, pendidikan tinggi hukum dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto[6] bertujuan,
“....yang amat sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah diberikan dengan tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Nyata bahwa program pendidikan hukum pada masa itu, di Rechtshogeschool itu, amat menonjolkan pula kemahiran berlogika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Di sini, dalam kesempatan ini, para mahasiswa dilatih untuk menguasai cara berpikir deduksi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan hukum in concreto (keputusan hukum) sebagai simpulan silogisme yang ditarik dari premis mayor yang berupa kaidah hukum positif in abstracto. Tanpa mengenali metode berpikir yang induktif untuk membuat keputusan-keputusan hukum, studi-studi hukum di Indonesia semasa pemerintahan kolonial lebih cocoklah kalau dikualifikasi ke dalam bilangan apa yang disebut Rudolf von Jhering sebagai Begriffsjurisprudenz, dan tidak sedikitpun menampakkan bertanda-tanda sebagai Tatsachenjurisprudenz.”

Hal ini berlanjut hingga tahun 1950 an dimana fakultas-fakultas hukum tetap saja menuruskan kurikulum yang digunakan pada masa sebelum perang, dimana para ahli hukum dididik untuk memenuhi kepentingan jabatan dipemerintahan dan kehakiman.[7] Sebagaimana dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto antara tahun 1942 hingga tahun 1962 tidak ada perubahan yang bermakna dan patut dicatat, meskipun hukum kolonial begitu dipersoalkan, namum tetap dipertahankan dan digunakan sebagai hukum nasional, meskipun pembagian golongan penduduk yang berwarna rasial dihilangkan.[8]
Kondisi ini mendatangkan kritik dari Presiden Soekarno, bahkan dalam pidato dihadapan Kongres Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di tahun 1961. Dalam pidatonya beliau mengungkapkan keperihatinannya terhadap kekurang pekaan dan kurang tanggapnya para yuris Indonesia terhadap perubahan yang tengah terjadi. Karena para yuris dianggap oleh beliau cenderung melihat dan menyelesaikan perkara hanya dari persfektif yuridis dan doktrinal.[9] Bahkan dulu ada ucapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal yang menyatakan, “ ........ bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.[10] Hal ini sebagai akibat dari pendidikan hukum kita yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sebagai “penjaga status quo”.[11] Kondidisi ini kemudian oleh Hikmahanto Juwana dikatakan bahwa,
“Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, 1980-an maupun 1990-an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderunglegalistik tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka”.[12]

Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan bahwa hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound.[13] Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab professional.[14]
Pembaharuan kurikulum ini terus menurus dipikirkan dan dilakukan dan kemudian menjadi baku dikenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan kurikulum ini diharapkan semua Fakultas Hukum secara proporsional mengajarkan aspek-aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan atau keilmuan hukum. Dengan demikian diharapkan setelah lulus nanti mereka memiliki bekal yang cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum.[15] Kurikulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada substansinya melainkan lebih pada (1). perubahan penamaan materi muatan kurikulum nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional (2).[16] Kurikulum 1994 ini pada dasarnya disusun dengan landasan dengan semangat, serta motivasi untuk melakukan pembaharuan pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu menyiapkan para lulusan fakultas hukum siap dalam memasuki kerja atau siap mengemban profesi hukum, sehingga dalam kurikulum 1994 ini diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat dengan bobot kemahiran hukum. Sebelum berlakunya kedua SK tersebut, kurikulum program Sarjana Hukum mengacu pada “kurikulum inti” yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Depdikbud No 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut lebih berorientasi dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan pemerintahan. [17]

Kurikulum dan kebutuhan pasar
Kalau benar asumsi bahwa pendidikan hukum kita adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka pasar yang paling besar membutuhkan apara ahli hukum adalah yang berhubungan dengan peradilan, mejadi hakim, jaksa atau advokat, dan menjadi bagian hukum pada perusahaan atau menjadi pegawai pemerintah.Hal yang harus segera dilakukan agar lulusan fakultas hukum siap pakai adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan hukum. Perubahan ditujukan agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai ketrampilan hukum, sehingga pendidikan hukum akademis dan profesi tidak disatukan dalam satu kurikulum. Penyatuan pendidikan hukum akademis dan profesi sebenarnya tidak realistis.[18] Waktu yang dialokasikan untuk mahasiswa agar memiliki pengetahuan teoritis dan praktis terlalu singkat. Untuk itu Fakultas Hukum diharapkan memiliki laboratorium hukum yang dapat dijadikan media bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan berpraktik yang baik dalam arti terhindar dari praktik “kotor” yang biasa disebut mafia peradilan. Tugas Laboratorium Hukum ini seperti dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan pendekatan-terapan melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun memacu para dosen untuk menggunakan bahan dari studi kasus, peraturan.[19]
Dengan kondisi yang dikemukan diatas yang harus dibangun adalah sikap optimis, sebagaimana pernah dikemukakan Prof. Erman Rajagukguk, S.H,. LL.M, Ph.D, dalam orasinya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum, menyimpulkan:
“… pendidikan hukum menghasilkan sarjana hukum yang mempunyai keterampilan dalam praktek hukum yang mengandung unsur internasional; di pihak lain membekali mereka dengan kemampuan menghadapi berbagai masalah yang dihadap masayarakat, termasuk memberikan jalan bantuan hukum bagi mereka yang palin terkena globalisasi”.[20]
Dengan demikian yang layak untuk segera dipikirkan dan dilakukan sekarang adalah menjadikan pendidikan hukum menjadi satu kesatuan dengan pembangunan hukum, sehingga arah dari pendidikan hukum adalah mendidik mahasiswa agar dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan dan penegakan hukum.[21] Menurut Bagir Manan,[22] selama ini, pendidikan hukum ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Struktur dan isi pendidikan hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik dan isi kaedah hukum. Akibatnya pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang fungsional dalam mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen subsistim hukum yang lain. Sehingga pendidikan hukum kita tidak akan mempunyai kontribusi apapun terhadap pembangunan hukum dan penegakan hukum. Pendidikan hukum yang mampu melahirkan mahasiswa yang mampu melakukan pembangunan hukum dan mampu menjadi penegak hukum hanya dapat dilakukan dengan cara melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian dan kegiatan peraktis. Seperti magang pada kantor Advokat, atau pada Kejaksaan dan juga dengan magang di Pengadilan.
Selain dengan kegiatan magang untuk kepentingan Mahasiswa, yang juga harus dilakukan adalah memperbincangkan kurikulum secara terus menerus dan disesuaikan dengan kebutuhan riil dalam masyarakat dan perkembangan kebutuhan praktis masyarakat, sehingga ini, “akan mengatasi kekakuan dan kekurang pekaan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sedang berubah yang hingga kini merupakan kelemahan sekian banyak universitas-universitas kita”.[23] Perbincangan terus menerus atas kurikulum bukan hanya dilakukan oleh kalangan staff pengajar, tetapi juga melibatkan para peneliti dan praktisi, baik sebagai alumni atau sebagai ahli.
Persoalan kurikulum itu bukan hanya persoalan apa yang harus diajarkan,[24] tetapi juga adalah menyangkut topik apa yang patut dan dibutuhkan oleh masyarakat pada masa yang akan datang ketika Mahasiswa sudah kembali ke masyarakat. Hal seperti ini yang disebut oleh Conant sebagai “ clinical professor”, [25] karena professor adalah seorang praktisi yang setiap hari memperaktikkan berbagai macam teori ke dalam peraktik dengan tepat . Dengan meminjam kalimat dari Prof. Mochtar Kusumatmadja, maka akan dikatakan,
“..pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keteramplan teknis, melainkan juga harus menghadapakan mahasiswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem solving attitude”.[26]

Kurikulum pendidikan hukumpun seharusnya dipikirkan seperti apa yang dilakukan oleh seorang professor yang mempraktikkan teori kedokteran ke dalam praktik dokter sehari-hari. Dengan kurikulum seperti ini Mahasiswa diharapkan dapat berpikir dan memecahkan masalah secara independent, karena mereka berkesempatan untuk memperoleh pengalaman secara langsung. Atau seperti dikatakan oleh, Richard J. Wilson,
“The methodology by which, such programs are accomplished is as broad as the creative minds of the legal educator; it may include something as simple as a short role play by students in a large lecture section or as complex as supervised representation of people involved in real legal disputes, usually referred to in the US (without any apparent sense of irony) as "live client" work. In between these two extremes are many other pedagogical devises: the role-play, gaming, small and large-scale simulations, externships or other work under the supervision of a practitioner in that person's office, or other devises. Any of these is a means by which students can understand their work as lawyers through experience, the assumption being that attempting to teach lawyering through lectures or reading alone is tantamount to learning how to drive by reading the car owner's manual”.[27]

Artinya kurikulum seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan Sarjana Hukum yang mampu melakukan pembangunan hukum dan juga mampu melakukan penegakan hukum, sebab mahasiswa mendapat bukti yang kuat dan efektif serta menerima pelajaran praktis sebagai lawyer karena berhubungan langsung dengan klien, selain itu mahasiswa juga memperoleh kesempatan memberikan kontribusi dalam penegakan hukum. Paling tidak ada dua alasan menurut Richard J. Wilson, pendidikan klinik hukum itu dilakukan, yaitu:
“First, while do not denigrate the effectiveness of other means of clinical legal education, each of which can and should have a central place in law school curricula, I believe the live client clinic has prove itself to be the most powerful and effective means by which to teach the art of lawyering. Just, experience has shown that neophyte doctors learn best when working with real patients, the same is true with neophyte lawyers and real clients. Second, and perhaps just as important, the live client clinic provides a means by which students and law schools can make a contribution toward access to justice in their communities.”[28]
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka hal pokok yang harus dipelajari oleh Mahasiswa dan harus dipersiapkan secara baik dalam perkara litigasi agar supaya siap dalam memperaktikkan pengetahuan hukum yang mereka miliki adalah pengetahuan praktik dalam menyusun gugatan, menyusun jawaban dalam perkara perdata, menyusun surat dakwaan dan tuntutan atau membuat eksepsi dan pleidooi dalam perkara pidana dan tentu saja pengetahuan untuk menyusun putusan pengadilan dalam perkara perdata atau pidana serta gugatan dan jawaban serta putusan dalam perkara tata usaha Negara. Sedangkan untuk bersiap menjadi konsultan hukum, maka mahasiswa harus dipersiapkan untuk mampu menyusun memorandum hukum, menyusun pendapat hukum, menyusun kontrak,
Karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pasar
Kalau karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pasar yang dibicarakan, maka yang harus dikaji dari awal adalah peta lapangan kerja dan kebutuhan masyarakat terhadap sarjana hukum. Secara umum dapat kita katakan bahwa Sarjana Hukum bisa masuk kesemua lapangan kerja yang tersedia. Sarjana Hukum dibutuhkan hampir oleh semua lapangan pekerjaan. Perusahaan membutuhkan Sarjana Hukum untuk bagian hukum perusahaan, yang pekerjaannya mulai dari pengurusan izin-izin sampai pada menyelasaikan masalah PHK, menyusun perjanjian. Sehingga tidak jarang Sarjana Hukum itu bisa mengerjakan apa saja. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak membutuhkan banyak pengetahuan hukum praktis seperti menjadi praktisi hukum, meskipun pengetahuan dasar untuk berpraktik tetap juga diperlukan.
Pasar kerja yang cukup luas untuk para Sarjana Hukum adalah mengisi lapangan kerja dilingkungan pengadilan. Sarjana Hukum bisa menjadi Hakim, bisa menjadi Jaksa dan bisa menjadi Pengacara. Hal ini sesuai seperti dikatakan oleh Prof. Hamid S Attamimi, bahwa dari 12 mata kuliah dari kurikulum inti keahlian hukum adalah untuk menunjang fungsi peradilan dan 3 mata kulaih menunjang fungsi pemerintahan, sedangkan 15 dari 16 mata kuliah pendalaman adalah untuk menunjang fungsi peradilan.[29] Jika asumsi ini yang benar, artinya model kurikulum yang dibutuhkan pasar adalah model kurikulum yang dibutuhkan untuk menunjang fungsi peradilan, untuk menjadi hakim, jaksa atau pengacara. Akan tetapi pengetahuan yang menunjang fungsi peradilan ini tidak akan banyak manfaatnya untuk mereka yang bergerak dalam bidang konsultan hukum, atau yang biasa kita sebut untuk kegiatan non-litigasi.
Namun pertanyaan pokok yang patut diajukan dengan kurikulum Fakultas Hukum UII 2002, sebagai penjabaran dari kurikulum nasional, Mahasiswa itu akan dididik menjadi apa ? Menjadi praktisi yang bekerja dilingkungan pengadilan, menjadi pekerja dibidang pemerintahan atau menjadi konsultan hukum yang biasa disebut non litigasi ? Kita juga tidak pernah tahu segmen pasar yang diisi oleh sarjana hukum lulusan UII.
Terus terang percaya tidak percaya melihat begitu banyaknya mata kuliah yang harus ditempuh seorang mahasiswa Fakultas Hukum UII sesuai kurikulum 2002[30] untuk mendapatkan gelar sarjana hukum. Mari kita lihat kurikulum inti – matakuliah wajib yang terdiri dari :
a. matakuliah pengembangan kepribadian (mpk) 3

1.
10000511
Pendidikan Pancasila
2 SKS
2.
10000611
Pendidikan Kewarganegaraan
2 SKS
3.
10000711
Pendidikan Agama
2 SKS

b. matakuliah keilmuan dengan kepribadian (mkk) 16

1.
41000121
Ilmu Negara
2 SKS
2.
41000221
Pengantar Ilmu Hukum
4 SKS
3.
41000321
Pengantar Hukum Indonesia
4 SKS
4.
41000421
Hukum Perdata
4 SKS
5.
41000521
Hukum Pidana
4 SKS
6.
41000621
Hukum Islam
2 SKS
7.
41000721
Hukum Tata Negara
4 SKS
8.
41000821
Hukum Administrasi Negara
4 SKS
9.
41000921
Hukum Acara Perdata
3 SKS
10.
41001021
Hukum Acara Pidana
3 SKS
11.
41001121
Hukum Acara PTUN
2 SKS
12.
41001221
Hukum Internasional
3 SKS
13.
41001321
Hukum Adat
2 SKS
14.
41001421
Hukum Lingkungan
2 SKS
15.
41001521
Hukum Dagang
2 SKS
16.
41001621
Hukum Agraria
3 SKS

c. matakuliah keahlian berkarya (mkb) 3
1.
PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEMAHIRAN (6 SKS) meliputi matakuliah :

41004131
Praktek Peradilan
2 SKS

41004231
Legal Drafting
2 SKS

41004331
Teknik Pembuatan Kontrak
2 SKS
2.
10001831
Penulisan Hukum / Skripsi
4 SKS
3.
41004431
MPH dan Metode Penulisan Hukum
3 SKS

d. matakuliah prilaku berkarya (mpb) 3
1.
41001851
Antropologi Budaya
2 SKS
2.
41001951
Sosiologi
2 SKS
3.
41002051
Hukum Dan Hak Asasi Manusia
2 SKS

Matakuliah institusional – matakuliah wajib
a. matakuliah pengembangan kepribadian (mpk) 4
b. matakuliah keilmuan dan keterampilan (mkk) 17
c. matakuliah keahlian berkarya (mkb) 2
d. matakuliah perilaku berkarya (mpb) 1
e. matakuliah berkehidupan bersama (mbb) 1

Kemudian ada lagi tambahan kurikulum institusional- matakuliah pilihan yang terdiri dari:
a. matakuliah pilihan beban wajib lulus 6 dari 60 pilihan;
b. matakuliah pilihan pendidikan kemahiran 1 dari 6 pilihan;
c. matakuliah pilihan hukum islam 1 dari 8 pilihan;

Data-data ini menunjukkan bahwa seorang mahasiswa fakultas hukum baru dapat lulus menjadi sarjana hukum kalau sudah menyelesaikan 144 SKS yang terdiri dari 78 SKS kurikulum inti dan 66 SKS kurikulum institusional, sehingga dapat diduga sarjana hukum yang diharapkan adalah sarjana hukum yang serba tahu, meskipun dapat berakibat tidak tahu apa-apa, karena “…para mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak mendalam”.[31]
Sebagai perbandingan mari kita lihat syarat matakuliah yang dapat diambil untuk lulus menjadi sarjana hukum atau BA in Law di salah satu Universitas di Inggris.[32] Seorang mahasiswa akan dianggap lulus misalnya kalau sudah mengambil mata kuliah sebagai berikut:
Part IA: Civil law I; Constitutional law; Criminal law; Law of tort

Part IB: Law of contract; Land law; International law; Sentencing and the penal system; Criminal procedure and criminal evidence

Part II: Equity; European Union law; Commercial law; Company law; Essay;

Pada tahun pertama cukup mengambil 4 mata kuliah wajib, pada tahun kedua 5 mata kuliah dan tahun ketiga 4 matakuliah serta skripsi. Tidak terlalu banyak matakuliah yang perlu diambil, tetapi dipelajari dengan cukup mendalam, bukan hanya melalui kuliah di kelas, tetapi ada juga tutorial yang sangat intensif dengan jumlah mahasiswa yang cukup terbatas pada setiap kelompok dan dibimbing oleh para staf pengajar senior dan mempunyai keahlian pada matakuliah yang diajarkan.
Dengan mengambil contoh dari kurikulum di salah satu Universitas di Inggris ini layak untuk dipikirkan untuk mengurangi jumlah matakuliah yang ada di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, terutama matakuliah yang tidak terlalu banyak hubungannya dengan kegiatan praktis pada masa yang akan datang, atau karena hal itu akan menjadi pasti untuk dihadapi sebagai seorang anak manusia. Atau bisa juga dipikirkan untuk menggabung beberapa matakuliah tertentu yang dianggap saling berhubungan dan seperti simbiosis. Selain itu patut pula dipikirkan untuk penambahan matakuliah baru seperti Common Law system dan European Union Law, serta hukum yang akan berhubungan dengan peraktik internasional, mengingat semakin banyaknya aturan-aturan hukum yang diadopsi menjadi hukum nasional.

Impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya

Memang yang menjadi persoalan pokok dalam mengimpelementasikan kurikulum adalah ketersedian staf pengajar yang mempunyai keahlian dan handal. Terutama sejak diperkenalkannya kurikulum yang berbasis kompetensi, karena “ciri dari kompetensi dapat juga dicerminkan dalam metode mengajar maupun proses belajar mengajar.”[33] Dalam arti yang diperlukan adalah staf pengajar yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk mengajar mata kuliah tententu secara terus menerus dan disesuaikan dengan perkembangan. Bukan staf pengajar yang mau dan merasa bisa mengajar apa saja sesuai dengan kebutuhan dan pesanan dari Fakultas Hukum. Hal ini diperburuk lagi oleh para pengajar yang tidak pernah memperbaharui buku diktat yang selalu didiktekan dan terus mengajar dengan cara monolog.
Hal yang berat juga kita hadapi adalah yang berkaitan erat dengan ketersediaan buku teks. Kalau kita lihat buku-buku teks yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit Amerika atau Inggris atau Australia, hampir semua buku teks pokok dan selalu menjadi standar yang penulis awalnya sudah meninggal selalu ada orang yang memperbaharui buku teks tersebut. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Bahkan buku-buku teks pokok dan standar yang penulisnya masih hidup-pun, jarang sekali ada pembaharuan terhadap isi buku teks sesuai dengan perkembangan hukum. Sebagai contoh buku teks tentang kontrak berbahasa Inggris adalah Chitty on Contract General Principles, yang terbit pertama tahun 1826 masih diperbaharui terus menerus,[34] atau Paget’s Law of Banking yang diterbitkan tahun 1904, masih juga diperbaharui dan diterbitkan.[35]
Hal lain yang juga dapat mempersulit implementasi kurikulum adalah ketersediaan buku dan Journal di perpustakaan yang tidak memadai, bahkan ada saja Universitas atau fakultas yang tidak mempunyai kemampuan menyediakan buku dan ruang belajar di perpustakaan secara memadai.
Problem lain yang cukup berat kita hadapi adalah kualitas mahasiswa Fakultas Hukum bukan berasal dari calon mahasiswa terbaik. Bahkan tidak jarang, pada awalnya mahasiswa yang mengikuti pendidikan tinggi hukum kualitas nilai pelajarannya pada tingkat sekolah menengah tidak sebaik mahasiswa fakultas tehnik atau mahasiwa fakultas kedokteran misalnya. Hal ini yang berbeda dengan di Australia dan Inggris, dimana syarat untuk menjadi calon mahasiswa Fakultas Hukum itu adalah dengan syarat terbaik kedua setelah Fakultas Kedokteran.
Mungkin ada korelasinya antara input mahasiwa fakultas hukum dengan penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank dan Bappenas bahwa umumnya sarjana hukum kita tidak mampu menuliskan secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum, padahal kemampuan menuliskan secara logis dan konsisten ini adalah satu keahlian yang harus dimiliki seorang sarjana hukum.[36] Ini artinya tantangan yang dihadapi oleh Fakultas Hukum, tidak hanya terbatas pada kurang sarana dan prasarana, tetapi juga kurang bagusnya kualitas input. Kalau asumsi ini benar, maka beban dari Fakultas Hukum untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas baik, menjadi dua kali lebih berat dari yang dihadapi oleh fakultas yang lain.

Penutup

Perubahan kurikulum kearah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengikuti perkembangan hukum adalah satu keniscayaan. Namun melakukan perubahan itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu kesabaran dan kerja keras, dan dana yang tidak sedikit disamping keberanian untuk melakukan perubahan itu sendiri.
Sudah barang tentu bahwa setiap perubahan yang besar akan mendatangkan guncangan, tetapi apapun bentuk perubahan itu adalah demi kepentingan fakultas hukum itu sendiri dan demi kebaikan bangsa pada masa yang akan datang.
Tantangan bagi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia akan menjadi imam dalam melakukan perubahan sekarang, atau akan menjadi makmum menunggu perubahan yang akan dilakukan oleh Fakultas Hukum yang lain.








Daftar Bacaaan
Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar : 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult.

Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.

Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.

Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom

Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII

Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.

Faculty Handbook University of Cambridge Faculty of Law 2003 – 2004.

Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.

Fakultas Hukum UII http://www.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8

J.E. Sahetapy : 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat, h.1, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni.

Richard J. Wilson: 1996, Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17.
Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April 2004.

Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan Reorentasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php

Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret.

Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Indonesia Pascakolonial, h.2, diakses dari http://www.huma.or.id

Willi Toisuta : 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan Mengajar, Prisma N0.2, Maret.


[1] Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya PENGKAJIAN KURIKULUM, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, pada tanggal 23 Desember 2006
[2] Advokat dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
[3] Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan Reorentasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional, h.vii, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php
[4] Ibid, h.viii.; Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Era Pascakolonial, h.2, diakses dari http://www.huma.or.id
[5] Ibid, h ix.
[6] Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Op.cit h 4-5.
[7] Ibid, h.5
[8]Ibid, h.2.
[9] Ibid, h.6.
[10] J.E. Sahetapy : 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
[11] Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April 2004.
[12] Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=252&tipe=opini, h 5-6.
[13] Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, h. 59-60.
[14] Ibid, h 67.
[15] Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Op.cit. h xii
[16] Ibid, h. 24
[17] Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus, h. 122.
[18] Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Op.cit, h. 9.
[19] Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat, h.1, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
[20] Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, h.24.
[21] Bandingkan dengan pernyataan Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.
[22] Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom
[23] Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret, h 30.
[24] Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII, h 28.
[25] Dikutip dari Toisuta, Willi: 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan Mengajar, Prisma N0.2, Maret, h 37.
[26] Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni, h. 63.
[27] Richard J. Wilson: 1996 Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17, h.1.
[28] Ibid, h. 2.

[29] Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Op. Cit, h, 123.
[30] Diakses dari http://www.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8
[31] Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusu, h. 14.
[32] Faculty Handbook University of Cambridge Faculty of Law 2003 – 2004, h. 39-54.
[33] Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Op.cit, h. 23
[34] Kebetulan copy yang ada pada saya terbitan tahun 1994.
[35] Kebetulan copy yang ada pada saya terbitan tahun 1996.
[36] Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar : 2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult, h.51.

Tidak ada komentar: