Kamis, 22 November 2007

Bank Sentral dalam Konstitusi

Bank Sentral dalam Konstitusi[1]
Maqdir Ismail[2]
Pengantar
Bank sentral itu adalah produk sejarah yang panjang, keberadaan bank sentral di dunia telah mengalami banyak perubahan politik dan perkembangan ekonomi sejak abad ke-17. Umumnya didirikan oleh swasta kemudaian diambil oleh negara, bahkan ada juga yang tetap menjadi milik “swasta”. Sejarah tentang bank sentral mencatat bahwa bank sentral yang tertua adalah Sveriges Riksbank di Swedia yang didirikan pada tahun 1668, kemudian disusul Bank of England yang didirikan pada tahun 1694 dan dianggap sebagai cikal bakal bank sentral modern.[3] Sedangkan The Federal Reserve di Amerika Serikat, yang didirikan di tahun 1913 dianggap sebagai bank sentral independen sejak didirikan.[4] Adapun De Javasche Bank yang merupakan cikal bakal Bank Indonesia yang semula sebagai perusahaan swasta[5] didirikan berdasarkan “ Order in Council no. 28 of 1827 (IS 83,No.111)”.[6]
Secara esensial tugas pokok bank sentral adalah menjalankan fungsi stabilisasi sistem keuangan negara.[7] Termasuk dalam tugas pokok itu adalah menjaga agar inflasi tidak menjadi tinggi, menjaga interest rate, dan menjaga kestabilan mata uang, yakni mempertahankan stabilitas keuangan pemerintah, menjadi bankers dari bank-bank, mengatur foreign exchange, dan mengatur kredit.[8] Mengingat bank sentral umumnya adalah milik negara atau bank milik pemerintah,[9] karena umumnya bank sentral dipersiapkan oleh pemerintah dan merupakan institusi yang didirikan oleh pemerintah,[10] maka setiap pembicaraan untuk menjadikan bank sentral sebagai bank sentral yang independen selalu menjadi topik diskusi yang menarik, terutama menyangkut isu mengenai bagaimana bank sentral berfungsi sebagai pemegang otoritas moneter yang independen dan bukan merupakan subordinasi pemerintah.[11] Diskusi dan perdebatan tentang bank sentral ini pada pokoknya adalah mengenai independensi bank sentral dari lembaga politik, khususnya dari pemerintah.[12]
Dalam diskusi ini saya ingin mengajak kita semua mendiskusikan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam konstitusi. Untuk diskusi ini akan dimulai dengan melihat pengakuan terhadap bank sentral dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, kemudian mendiskusikan Penyebutan Independensi Bank Indonesia dalam konstitusi dan Bank Indonesia sebagai badan hukum terakhir penutup.
Bank Sentral dalam konstitusi Republik Indonesia
Dalam semua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan kedudukan bank sentral selalu diakui secara tegas keberadaannya, meskipun dengan sebutan yang berbeda. Dalam Pasal 23 ayat 4 UUD 1945 dinyatakan, “Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang”, sedangkan dalam penjelasan Pasal 23 ayat 1,2, 3 dan 4 alinea ke 7 (tujuh) misalnya dinyatakan, “ Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang”.
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1950, dinyatakan dalam Pasal 164 ayat 4 dan Pasal 165. Pasal 164 ayat 4 menyatakan, “ Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat ataupun oleh Bank Sirkulasi”. Pasal 165 ayat (1) “ Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi; ayat (2) Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang Federal”.
Adapun dalam UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) hal ini diatur pada Pasal 109 ayat 4, “ Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank Indonesia”, sedangkan Pasal 110 (1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi; ayat (2). Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang”. Sedangkan dalam UUD 1945 setelah amandemen keempat pada Pasal 23 D dinyatakan, “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”.
Tabel 1 menunjukkan perbedaan penyebutan bank sentral atau bank sirkulasi dalam empat Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia.

Tabel 1.
Perbandingan sebutan Bank Sentral dalam Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia.



UUD 45
Konstitusi RIS
UUDS 1950
UUD 45 Setelah Amandemen keempat
Batang Tubuh
Pasal 23 ayat 4

Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang.
Pasal 164 ayat 4.

Pengeluaran alat-alat pembayar yang sah dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat ataupun oleh Bank Sirkulasi;

Pasal 165.
(1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi;
(2). Penunjukan sebagai Bank Sirkulasi dan pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang Federal.
Pasal 109 ayat 4.

Pengeluaran alat-alat pembayaran yang sah dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank Indonesia.

Pasal 110.
(1). Untuk Indonesia ada satu Bank Sirkulasi;
(2). Penunjukan sebagai Bank- Sirkulasi dan Pengaturan tataan dan kekuasaannya dilakukan dengan Undang-undang.
Pasal 23 D

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Penjelasan Pasal demi pasal.
Pasal 23 Ayat 1, 2, 3 dan 4, alinea 7.

Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang.




Dari keempat Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia ini hanya UUD 1945 hasil amandemen keempat yang menyebut secara tegas tentang independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral, sedangkan Undang-undang Dasar yang lain tidak menyebutkan soal independensi ini. Masuknya Bank Indonesia dalam amandemen UUD 1945 ini mengundang perdebatan, terutama yang berhubungan dengan perlu atau tidaknya secara tegas dicantumkannya Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam UUD 1945 dan perlu atau tidaknya independensi secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Perbedaan pendapat tentang perlu dan tidaknya nama Bank Indonesia dan independensi bank sentral dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar ini terungkap pada Rapat Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR dan juga termuat dalam Surat Kabar. Perbedaan pendapat itu terjadi antara Pemerintah dan Bank Indonesia dengan pendukungnya masing-masing.
Pemerintah termasuk yang tidak menyetujui masuknya nama Bank Indonesia dan penyebutan independensi dalam Undang-undang Dasar. Pendapat pemerintah yang tidak setuju itu misalnya diwakili oleh Menteri Keuangan Boediono, sebagaimana dikemukakan pada Rapat Pleno ke-5 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 21 Februari 2002, yang melihat kemungkinan bersatunya bank sentral dikawasan Asia seperti yang terjadi di Eropa, maka nama itu tidak menjadi penting dimasukkan kedalam Undang-undang Dasar.[13] Mengenai independensi, Boediono juga berpandangan cukup dimuat dalam Undang-undang, sebab menurut dia yang penting adalah bank sentral itu independen dalam melaksanakan tugasnya memelihara nilai mata uang rupiah.
Dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak setuju mencantumkan nama Bank Indonesia dalam UUD ’45 misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari F-PDIP,[14] dengan alasan yang sudah dibicarakan adalah mengenai fungsi, bukan nama dan ini bisa diatur dalam undang-undang. Pendapat lain dikemukakan oleh Soewarno dari F-PDIP yang berpendapat, karena adanya kekhawatiran Bank Indonesia sebagai bank sentral itu bankrut, sehingga perlu jalan keluar untuk mengatasinya.[15]
Sementara pendapat yang setuju untuk memasukkan nama Bank Indonesia misalnya diwakili oleh Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin,[16] dengan alasan historis. Syahril Sabirin juga berpandangan bahwa independensi dan pengaturannya perlu dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, karena diperlukan aturan yang lebih tegas dan agar independensi itu tidak terganggu kalau terjadi perubahan terhadap Undang-undang.
Pendapat yang setuju untuk mencantumkan nama Bank Indonesia kedalam batang tubuh UUD ’45, dengan alasan yang beragam misalnya dikemukakan oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP,[17] dengan alasan mudah meminta pertanggungjawaban, Hatta Mustafa dari F-UD,[18] karena ada kekhawatiran adanya lembaga lain yang akan menyulitkan pertanggungjawaban sementara itu. T.M. Nurlif dari F-PG,[19] beralasan bahwa nama Bank Indonesia itu tercantum dalam penjelasan dan implikasinya akan banyak jika dihilangkan. Dalam pada itu Mayjen TNI Affandi F-TNI/POLRI,[20] berpendapat kata Bank Indonesia perlu tetap dipertahankan untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sedangkan Soedijarto dari F-UG berpandapat, pencantuman nama Bank Indonesia bukan hanya karena sejarahnya, tetapi banyak yang mencantumkan nama negaranya, seperti sudah menjadi tradisi; adapun Anthonius Rahail dari F-KKI tidak secara tegas mengemukakan alasannya untuk mencantumkan nama Bank Indonesia kedalam batang tubuh UUD ‘45.[21]
Dari catatan perdebatan yang dikemukakan diatas, argumen perlunya mencantumkan bank sentral dalam konstitusi lebih kuat dari argumen yang menolak pencantuman tersebut. Bukan hanya hanya sekedar mengikuti kecenderungan pemikiran, argumen bahwa pencantuman bank sentral dan independensinya kedalam konstitusi akan lebih melindungi posisi bank sentral dan lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada bank sentral dalam menjalankan fungsinya melakukan stabilisasi sistem keuangan negara.

Penyebutan Independensi Bank Indonesia dalam konstitusi
Adapun mengenai pencantuman independensi kedalam batang tubuh UUD ’45 khususnya dalam pasal 23 D terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam Risalah Rapat Pleno ke 14 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 14 Maret 2002. Pendapat yang setuju misalnya diwakili oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP, dengan pertimbangan karena masa lalu bank sentral selalu begitu mudah diintervensi oleh pemerintah, maka larangan terhadap intervensi ini harus dilakukan dengan cara menegaskan independensi bank sentral dalam UUD.[22] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB, dengan alasan bahwa sudah ada kesepakatan dalam amandemen UU No.23 Tahun 1999 untuk mempertahankan independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya.[23] Alasan Happy Bone Zulkarnaen, untuk setuju mencantumkan independensi dalam batang tubuh UUD,[24] pertama karena independensi itu sudah menjadi satu keniscayaan bagi negara; kedua independensi ini penting dan sudah menjadi keharusan dalam era globalisasi; ketiga untuk mendukung kepercayaan pasar.
Pendapat yang tidak setuju pencantuman independensi dalam batang tubuh UUD ’45, misalnya diwakili oleh Pataniari Siahaan dari F-PDIP, yang berpendapat bahwa independensi itu cukup dicantumkan dalam undang-undang, karena bank sentral itu hanya independen dari kekuasaan pemerintah.[25] Pendapat seperti ini juga disetujui oleh Mayjen TNI Affandi dari F-TNI/POLRI, dengan alasan akan timbul implikasi politik, karena akan timbul multi interpretasi selain menimbulkan kekakuan.[26] Tidak perlunya independensi ini dicantumkan dalam UUD juga dinyatakan oleh Soedijarto dari F-UG, karena menurut dia independensi ini cukup dinyatakan dalam undang-undang,[27] pendapat ini juga menjadi pendapat dari A.M. Luthfi dari F-Reformasi.[28]
Perbedaan pendapat masih berlanjut hal ini dapat juga dilihat dari Risalah Rapat Pleno ke 26 Panitia Ad Hoc 1, Badan Pekerja MPR, tanggal 11 Juni 2002. Pendapat yang setuju misalnya diwakili oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, dengan alasan pencantuman nama Bank Indonesia itu sudah dilakukan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945,[29] dan pendapat seperti ini juga disetujui misalnya oleh T.M. Nurlif dari F.PG.[30] Sementara yang tidak setuju misal diwakili oleh Mayjen. Pol (purn) Drs. Sutjipto dari PDIP,[31] dan Fuad Bawazir dari F. Reformasi, yang lebih cenderung untuk menyebutkan otoritas moneter.[32]
Dari pemberitaan Surat Kabar dapat juga dicatat adanya diskusi dan perbedaan pendapat mengenai pencantuman Bank Indonesia dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar. Sebagaimana dikemukakan oleh T Muhammad Nurlif angota PAH I BP MPR, ada tiga alasan pencantuman nama Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam amandemen UUD 1945, yaitu pertama secara historis nama Bank Indonesia sudah disebut dalam UU No. 11 Tahun 1953; kedua kinerja Bank Indonesia yang tidak memuaskan bukan karena nama Bank Indonesia, tetapi karena belum ada Undang-undang yang mengatur tentang Bank Indonesia seperti UU No. 23 Tahun 1999; dan ketiga apabila nama Bank Indonesia dicantumkan dalam UUD 1945, maka akan menciptakan ketegasan bagi pelaku pasar, terutama mengenai produk yang dikeluarkan dan diedarkannya.[33]
Adapun yang secara tegas menyetuji masuknya nama Bank Indonesia dalam pasal UUD 1945 misalnya seperti dikemukakan oleh Slamet Efendy Yusuf, yang beralasan bahwa selama ini penyebutan Bank Indonesia hanya dalam penjelasan, karena penjelasan UUD akan dihapus maka sebaiknya nama Bank Indonesia masuk kedalam pasal 23 D.[34] Pendapat ini disetujui oleh Umar Juoro, yang berpendapat perlunya secara ekplisit dicantumkan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam UUD, karena konstitusi akan terus berkembang dan akan memberi jaminan terhadap stabilitas ekonomi, khususnya moneter,[35] selain alasan historis, karena sejak dulu nama Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah ada.[36] Alasan lain nama Bank Indonesia perlu dimasukkan kedalam konstitusi adalah agar tidak menimbulkan multi interpretasi.[37] Menurut Jimly Asshiddiqie alasan yang tidak menghendaki dicantumkannya kata BI dalam konstitusi dengan alasan Bank Indonesia bisa bangkrut terlalu dicari-cari.[38] Menurut pendapat Syahril Sabirin, dengan adanya klausula Bank Indonesia yang independen masuk ke UUD 1945, akan memperkuat independensi yang telah berlangsung, dan bank sentral akan lebih leluasa menjalankan tugasnya sebagai otoritas moneter tanpa campur tangan pihak lain,[39] dan tanpa intervensi dari pihak manapun.[40] Selain itu menurut Yusril Ihza Mahendra, dengan diatur secara eksplisit dalam konstitusi akan membuat posisi bank sentral menjadi kuat dan tidak bisa di intervensi oleh pemerintah sesuai kondisi politik.[41]
Pendapat lain dicatat oleh Media Indonesia,
“Dengan tercantumnya sebuah pasal yang menyebut nama BI dalam konstitusi, penguasa tidak mudah mencampuri kemandirian bank sentral itu. Sebab dengan tercantumnya nama BI dalam sebuah konstitusi, artinya mencampuri bank sentral sama halnya dengan mempermainkan konstitusi negeri ini”.[42]

Usul yang tegas mengenai Bank Indonesia yang independen masuk kedalam Konstitusi ini di usulkan KOMISI KONSTITUSI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Usulan Komisis Konstitusi ini dinyatakan dalam Pasal 23 D ayat 1, “ Negara memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia”; ayat 2 “ Susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensi Bank Indonesia diatur dengan undang-undang”.[43]
Pendapat yang tidak setuju nama Bank Indonesia masuk dalam amandemen UUD 1945, misalnya dikemukakan oleh Revrisond Baswir, dengan alasan karena keberadaan istitusi ini perlu ditinjau kembali termasuk kekuasaan dan kewenangannya.[44] Sementara itu alasan Fraksi Utusan Golongan MPR lebih cenderung menyebut otoritas moneter dalam amandemen UUD 1945, bukan mencantumkan Bank Indonesia.[45]
Pendapat lain adalah pendapat yang tidak terlalu mempersoalkan masuk atau tidaknya Bank Indonesia kedalam konstitusi, tetapi yang penting adalah masuknya kata independensi bank sentral kedalam UUD 1945. Mengani hal ini cukup banyak alasan, seperti misalnya dikemukakan oleh Didik J Rachbini, bahwa perlunya bank sentral dan independensinya dijamin oleh UUD 1945, karena bank sentral yang tidak independen sangat rawan dengan konflik kepentingan.[46] Sedangkan Jimly Asshiddiqie berpendapat, dengan dicantumkannya independensi dalam konstitusi, maka tidak perlu ada kekhawatiran akan adanya intervensi kekuasaan pada bank sentral.[47]
Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa independensi Bank Indonesia tidak perlu dimasukkan dalam konstitusi atau UUD 1945, cukup dimasukkan kedalam undang-undang mengenai bank sentral seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono[48] dan Pradjoto, karena yang penting menurut Pradjoto adalah memisahkan kepentingan politik yang mencampuri tugas dan wewenang Bank Indonesia.[49]
Meskipun tidak ada pernyataan secara tegas nama Bank Indonesia kedalam salah satu pasal konstitusi, tetapi pasal 23 D UUD 1945 menyebut Negara mempunyai satu bank sentral, dan bank sentral itu secara faktual adalah Bank Indonesia. Apalagi mengingat bunyi pasal 1 ayat 20 UU No. 10 Tahun 1998, yang menyatakan, “ Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku” dan menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1999 juncto UU No.3 Tahun 2004 “Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia”. Ini harus ditafsirkan bahwa bank sentral yang dimiliki oleh Negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 23 D UUD 1945 ini tiada lain adalah Bank Indonesia. Ini berarti hanya Bank Indonesia yang diakui sebagai bank sentral oleh konstitusi, bukan karena tidak adanya bank sentral yang lain, tetapi karena hanya ada Bank Indonesia yang diakui dalam peraktik sebagai bank sentral di Indonesia dan hanya Bank Indonesia yang merupakan bank sentral di Indonesia. Selain itu dalam pasal konstitusi yang menyebut keberadaan bank sentral tidak membuka peluang untuk mendirikan bank sentral yang baru.[50] Dengan demikian, maka Bank Indonesia dan independensinya adalah sebagai bank sentral yang dijamin oleh konstitusi keberadaannya, sehingga eksistensi Bank Indonesia yang independen dijamin oleh UUD 1945 meskipun nama Bank Indonesia tidak dinyatakan dalam pasal 23D. Oleh karena itu tanpa perlu dilakukan penafsiran historis seperti dikemukakan Agus Santoso,[51] maka yang dimaksud oleh pasal 23 D UUD, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”, tiada lain selain Bank Indonesia. Dengan meminjam istilah dari Stern,[52] maka pasal 23 D UUD 1945 bukan hanya mandat dari konstitusi tetapi secara bersamaan adalah jaminan dari konstitusi bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang independen.
Kalau dilihat pada teks menimbang No. 1, maka UU NO. 23 Tahun 1999 dan UU No. 3 tahun 2004, secara tegas menjadikan pasal 23 dan 23D UUD ’45 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga ini berarti UU tentang Bank Indonesia disusun dengan mengingat jiwa dari pasal 23 dan pasal 23D UUD ‘45. Dengan meminjam cara penafsiran terhadap UU No. 7 /1992 tentang Perbankan yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie,[53] maka akan dikemukakan bahwa dengan dijadikannya konsideran mengingat No.1. “...Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, maka kebijakan yang dipilih untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia adalah sebagai satu kebijakan yang dianggap merupakan penjabaran dari pasal 23 UUD ’45 khususnya pasal 23D. Artinya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia didasarkan pada jiwa pasal 23D UUD ’45 dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan pasal 23D UUD ’45.
Dengan menggunakan cara penafsiran yang sama maka akan dikemukakan bahwa dengan dijadikannya konsideran mengingat No.1. “....... dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, dalam UU No. 23 tahun 1999 dan dalam UU No. 3 Tahun 2004 yang juga menyatakan, “......dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, maka kebijakan yang dipilih untuk memberikan independensi kepada Bank Indonesia adalah sebagai satu kebijakan yang dianggap merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD ’45. Artinya independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia didasarkan pada jiwa Pasal 33 UUD ’45 dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 UUD ’45. Sehingga dapat disimpulkan bahwa independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tidak bertentangan dengan cita-cita luhur dari Pasal 33 UUD ’45.
Sebagai bahan penilaian terhadap pentingnya independensi bank sentral dinyatakan dalam Undang-undang Dasar dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,[54] terhadap 60 (enam puluh) negara, ada 15 negara yang secara tegas mencantumkan independensi Bank Sentral-nya di dalam Konstitusi (UUD) antara lain Finlandia, Jerman, Swedia, Swiss, Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Chech dan lain-lain.[55] Dari penelitian ini dikatakan masuknya pasal independensi bank sentral dalam konstitusi, pada negara-negara tua (established) seperti Jerman, Swedia dan Finlandia, menunjukkan pengalaman ketatanegaraan mereka menghendaki adanya ketegasan independensi bank sentral dalam konstitusi; sedangkan masuknya pasal independensi bank sentral kedalam konstitusi negara-negara baru seperti Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Chech, menunjukkan signifikansi keberadaan dan kepentingan bank sentral dalam memulihkan dan menjaga laju inflasi dan pemeliharaan ekonomi moneter.
Ini bermakna bahwa pentingnya independensi bank sentral masuk kedalam konstitusi akan memperkuat kedudukan bank sentral yang independen, sebagaimana diakatakan oleh Lijphart, “ A central bank can be made particularly strong if its independence is enshrined not just in a central bank charter but in the constitution”.[56] Atau seperti dikemukakan oleh Jon Elster, “…they cannot be changed through the ordinary legislative process but require a more stringent procedure”.[57]
Sebagaimana dalam konstitusi Jerman yang menganut faham welfare state kepada Bundesbank diberikan independensi sejak awal dan independensi ini diakui oleh konstitusi secara tegas.[58] Menurut Amtenbrink garansi dari konstitusi terhadap independensi ini adalah untuk memberi pangakuan prinsip keadilan sosial dan negara kesejahteraan, dengan alasan, “..this principle obliges the State to enforce monetary stability, which in return can only be provided for by an independent monetary institution”.[59] Apalagi mengingat pengakuan independensi Bundesbank dari pemerintah oleh konstitusi ini hanya terbatas pada hak tertentu sebagaimana dikatakan oleh Stern adalah “..will not find that the Bundesbank is independent per se, but rather that it is independent in respect of certain functions”.[60] Ini berarti itu apa yang dilakukan oleh Bundesbank adalah untuk membantu ekonomi dari pemerintah dengan tujuan menciptakan keadilan sosial dan menciptakan kemakmuran, karena menurut Amtenbrink, “... a healthy currency and monetary sistem is certainly an important element supporting a democracy based on the principle of social justice and the welfare state,..”.[61]
Apa yang terjadi di Jerman ini diharapan dapat dilakukan di Indonesia, sehingga terhadap Bank Indonesia diberikan independensi. Diharapkan Bank Indonesia yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah, terutama dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Sebab menurut penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999, kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar adalah merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuhnya perekonomian berkelanjutan yang akan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dengan demikian argumen bahwa pencantuman independensi bank sentral dalam konstitusi bukan hanya lebih logis dari argumen yang menolaknya, tetapi independensi ini perlu dijamin oleh konstitusi agar bank sentral tidak mudah digunakan untuk kepentingan politik pemegang kekuasaan terutama dalam menpertahankan kekuasaannya. Pencantuman independensi kedalam konstitusi ini bukan hanya untuk menjaga signifikansi keberadaan bank sentral, tetapi juga adalah untuk memberikan ketegasan bahwa bank sentral adalah entity tersendiri[62] dan bank sentral yang independen itu terlepas dari pengaruh pemerintah, legislatif dan yudikatif.
Bank Indonesia sebagai badan hukum
Kalau dicermati Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, kedudukan bank sentral atau bank sirkulasi tidak pernah ditegaskan sebagai lembaga tinggi negara atau sebagai alat perlengkapan Negara. Dalam UUD 45 sebelum dilakukan amandemen hanya Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, [63] Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung, yang diakui sebagai lembaga tinggi negara, kemudian penegasan lembaga tinggi negara ini dilakukan dalam Pasal 1 ayat 2 Tap. MPR No. III/MPR/1978. Sedangkan dalam UUD Sementara 1950, yang ditegaskan sebagai alat perlengkapan Negara adalah Presiden dan Wakil Presiden; Menteri-menteri; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.[64] Adapun dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yang disebutkan sebagai alat-alat perlengkapan Federal Republik Indonesia Serikat adalah Presiden; Menteri-menteri, Senat; Dewan Perwakilan Rakyat; Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan Pengawas Keuangan.[65]
Dalam pasal-pasal UUD yang pernah berlaku di Indonesia semua menunjukkan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral atau pada UUD tertentu disebut sebagai bank sirkulasi tidak pernah dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara, meskipun Gubernur Bank Indonesia diangkat sebagai pejabat tinggi negara disamakan dengan menteri negara[66] seperti pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tetapi pemerintah tetap memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah.
Dengan diakuinya independensi bank sentral oleh konstitusi, maka posisi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral mutatis mutandis diakui pula oleh UUD 1945, sehingga kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral diakui pula independensinya, artinya Bank Indonesia adalah lembaga negara yang terpisah dari Pemerintah. Tetapi terpisahnya Bank Indonesia dari pemerintah harus dilihat terpisah dalam menjalankan fungsinya, sedangkan secara institusi tetap merupakan bagian dari pemerintah, dengan kata lain, “Bank Indonesia berada di luar kabinet tetapi tetap dalam struktur Pemerintahan”,[67] Bank Indonesia tetap menjadi bagian integral dari Pemerintah.[68] Sehingga hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah adalah hubungan koordinatif khususnya dalam bidang moneter,[69] sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia. Dalam menjalankan fungsinya maka Bank Indonesia dapat dikategorikan sama dengan fungsi kementerian negara, tetapi bukan bagian dari kabinet,[70] dan Peraturan Bank Indonesia dapat disejajarkan dengan Keputusan Menteri, sebagaimana dikatakan oleh pejabat Departemen Kehakiman dalam Rapat ke 15, penyusunan Undang-Undang Bank Indonesia tanggal 25 Maret 1999,[71] atau dengan istilahnya Stern “the highest executive state bodies”.[72]
Secara akademis kalau dicermati dari sisi konstitusi, khususnya studi terhadap lembaga negara, maka penyebutan “Bank Indonesia adalah lembaga negara.......” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 juncto UU No. 3 Tahun 2004 ini tidak dikenal dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia. Hal yang sama juga tidak dikenal dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang menyebutkan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara, sedangkan Presiden, DPA, DPR, BPK dan Mahkamah Agung dikatakan sebagai lembaga tinggi negara. Jika dihubungkan dengan pasal 24 C Undang Undang Dasar 1945 maka Kedudukan Bank Indonesia sebagai kembaga negara bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, akan tetapi kewenangannya sebagai lembaga diatur oleh undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 23 D UUD ’45. Dengan demikian maka penyebutan Bank Indonesia sebagai lembaga negara dapat dikatakan tidak mempunyai landasan konstitusional, bahkan dapat menimbulkan kerancuan[73] sehingga mudah menimbulkan tafsir yang beragam tehadap posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Sebagai upaya menghindari kerancuan dan multi tafsir tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara maka seharusnya dalam undang-undang tentang Bank Indonesia penyebutan Bank Indonesia sebagai “lembaga negara” dihilangkan, dan cukup dinyatakan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral[74] yang independen. Hal ini akan menegaskan posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen, bukan sebagai lembaga negara yang tidak jelas posisinya.

Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebutan bank sentral dalam konstitusi adalah penting, bukan saja karena alasan sejarah tetapi karena dari sisi fungsinya bank sentral setara dengan lembaga tinggi negara yang lain seperti Mahkamah Agung. Hal lain yang penting lagi sebagai alasan untuk memasukkan bank sentral dalam konstitusi agar posisi bank sentral sebagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan rakyat Indonesia secara keseluruhan tidak terlalu mudah untuk diabaikan untuk segala kepentingan termasuk kepentingan politik. Dalam pada itu untuk menghindarkan posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dan menimbulkan multi tafsir terhadap kedudukannya sebagai lembaga negara, maka penyebutan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang tidak ada landasan konstitusionalnya dalam undang-undang harus dihilangkan.




[1] Paper disampaikan pada “Lokakarya Aspek-aspek Kebanksentralan Dalam Persfektif Ketatanegaraan” di Kantor Bank Indonesia Bandung tanggal 12 April 2007, diselenggarakan oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.
[2] Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
[3] M.H. De Kock, : 1961, Central Banking, Staples Press, London, h. 11.
[4] Laurence H. Meyer: 2000, “The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability,” Remarks at the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, BIS Review 94, h. 4.
[5] John O. Sutter : 1959, Indonesianisasi; Politics in a Changing Economy, 1940-1955, Vol. I, Data paper Number 36-IV, Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York, h 87; M Dawam Rahardjo, dkk: 1995, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, h 3.
[6] J.T.M. van Laanen: 1980, Money and Banking 1816 – 1940, Martinus Nijhoff Publisher BV, The Hague, h. 33.
[7] R.S. Sayers : 1958, Central Banking After Bagehot, Oxford, At The Clarendon Press, h. 1.
[8] William Blair Q.C,: 1998, “The Legal Status of Central Bank Investments under English Law,” CLJ, 57(2), h. 375.
[9] Stanley Fischer : 1994, “Modern Central Banking,” dalam Forrest Capie, Charles Goodhart, Stanley Fischer & Norbert Schnadt, The Future of Central Banking, Cambridge University Press, h. 263.
[10] Brian Burkit and Mark Baimbridge: 1994, An independent Central Bank: An End to Democratic Economic Policies ?, Full Employment Forum, h. 2.
[11] Rosa Maria Lastra,: 1996, Central Banking and Banking Regulation, Financial Markets Group, LSE, h. 10.
[12] Misalnya, Bicentennial Symposium, “Independence and Accountability, Developments in Central Banking” di Paris tanggal 30 Mei 2000; The Tercentenary Symposium of the Bank of England 9 Juni 1994, yang hasilnya diterbitkan dalam Forerest Capie, Charles Goodhart, Stanley Fischer, & Norbert Schnadt l :1994 , The Future of Central Banking, Cambridge University Press; lihat juga Forest Capie: 1995, “The Evolution of General Banking,” Policy Research Working Paper 1534, The World Bank.
[13] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 1, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 274.
[14] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 2, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 186.
[15] Ibid, h 206.
[16] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 1,Op.cit, h. 281.
[17] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 2, Op.cit , h. 181.
[18] Ibid, h 182.
[19] Ibid, h 187.
[20] Ibid, h 190.
[21] Ibid, h 195.
[22] Ibid, h, 181.
[23] Ibid, h, 192.
[24] Ibid, h, 201.
[25] Ibid, h. 186.
[26] Ibid, h. 190.
[27] Ibid, h. 193.
[28] Ibid, h. 209.
[29] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: 2002, Buku Kedua Jilid 3, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI ke-1s.d 10 tanggal 11 Januari 2002 s.d 5 Maret 2002, Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, h. 340.
[30] Ibid, h. 345.
[31] Ibid, h. 342.
[32] Ibid, h. 347.
[33] MPR Akan Masukkan Nama Bank Indonesia Dalam UUD, Suara Karya, 1 Mei 2002.
[34] BI Diusahakan Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 1 Juli 2002.
[35] Independensi BI tidak Perlu Masuk UUD 1945, Media Indonesia, 31 Mei 2002.
[36] Nama BI Diupayakan Masuk UUD 1945, Suara Pembaruan, 1 Juli 2002.
[37] Jimly: Lebih Baik Kata BI Dimasukkan Dalam UUD, Republika, 27 Juli 2002.
[38] Loc.cit.
[39] FUG tolak ‘BI’ masuk UUD, Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2002.
[40] Syahril: Independensi BI agar dijamin UUD, Bisnis Indonesia, 23 April 2002.
[41] Amandemen UU BI dan RUU Keuangan Negara, Sebaiknya Tunggu Amandemen UUD, Suara Pembaruan, 14 April 2001.
[42] Perlukah Bank Indonesia Masuk Amandemen UUD 1945, Media Indonesia, 2 Agustus 2002.
[43] Buku II Persandingan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi : 2004, h 17. Saya beruntung mendapatkan naskah ini atas jasa baik dari Ketua Komisi Konstitusi Bapak Prof. Dr. H.R. Sri Soemantri M, S.H.
[44] BI Bisa Masuk dalam Amandemen UUD ’45, Media Indonesia, 1 Mei 2002.
[45] FUG tolak ‘BI’ masuk UUD, Bisnis Indonesia, 2 Agustus 2002, Op. cit.
[46] BI Bisa Masuk dalam Amandemen UUD ’45, Media Indonesia, 1 Mei 2002, Op. cit.
[47] Jimly: Lebih Baik Kata BI Dimasukkan Dalam UUD, Republika, 27 Juli 2002.
[48] Independensi BI Diusulkan Masuk UUD 45, Media Indonesia, 26 Februari 2002.
[49] Independensi BI tidak Perlu Masuk UUD 1945, Media Indonesia, 31 Mei 2002, Op.cit.
[50] Agus Santoso: 2003, Status, Tugas dan Kedudukan Bank Indonesia Menurut Pasal 23 D UUD 1945, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol.1, No.1, h. 28, diakses, Agustus 2004 dari http://www.bi.go.id
[51] Ibid, h. 29.
[52] Klaus Stern: 1999, The Note-Issuing Bank within the State Structure, in Deutsche Bundesbank (ed): Fifty Years of the Deutsche Mark, Central Bank and the Currency in Gemany since 1948, Oxford University Press, h. 105.
[53] Jimly Asshidiqie : 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, h. 241.
[54] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Arsil: 2002, Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h. 38-42.
[55] Kelima belas negara tersebut Menurut Jimly Asshiddiqie, adalah Alabania, Armenia, Azerbaijan, Bulgaria, Fiji, Finlandia, Lithuania, Macedonia, Polandia, Swedia, Czechnya, Georgia, Peru, Philipina dan Rusia, lihat Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, S.H: tt, Pengaturan Konstitusional Independensi Bank Central dalam Wilayah Kekuasaan Eksekutif, Monograph, h. 6.
[56] Arend Lijphart : 1999, Patterns of Democracy, Government forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, h. 302.
[57] Jon Elster : 1995, The Impact of Constitutions on Economic Performance, Proceedings of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, h. 212.
[58] Pasal 88 Konstitusi Jerman, “The Federation establishes a note issuing and currency bank as the Federal Bank (Bundesbank). Its tasks and powers can, in the context of the European Union, be transferred to European Central Bank Which is independent and primarily bound by the purpose securing stability of policies.”
[59] Fabian Amtenbrink : 1999, The Democratic Accountability of Central Bank, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, h.161.
[60] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 150.
[61] Fabian Amtenbrink : 1999, Op. cit, h.162.
[62] Lihat Putusan Trendtex Trading Corp. v Central Bank of Nigeria [1997] Q.B. 529.
[63] Dihapus dalam Perubahan IV 10 Agustus 2001.
[64] Pasal 44 UUD Sementara 1950.
[65] Bab III, Perlengkapan Indonesia Serikat Ketentuan Umum, Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
[66] J. Soedradjat Djiwandono : 2001, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa Krisis, LP3ES, h. 286.
[67] H. Soelaiman Biyamiho, dalam Sekretariat Komisi VIII: 1999, Buku II, Op. cit, Rapat Kerja I, tgl 2 Maret 1999, h. 36.
[68] Nico Daryanto dalam ibid, h 41.
[69] Suwadji M, SIP, dalam ibid, h 29.
[70] Hendra Nurtjahjo, Mustafa Fakhri, Fitra Asril: 2002, Op. cit, h 88.
[71] Sekretariat Komisi VIII, Sekretariat Jenderal DPR RI: 1999, Buku IV, Rapat ke 15, tanggal 25 Maret 1999, Op. cit, h. 79.
[72] Klaus Stern : 1999, Op. cit, h. 111.
[73] Sutan Remy Sjahdeini: 2001, Tingkatkan Peran DPR untuk pertajam akuntabilitas BI, Bisnis Indonesia, 5 Februari 2001.
[74] Loc. cit.

Tidak ada komentar: