Minggu, 16 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik

Suara Karya Senin, 17 Desember 2007

Bank Indonesia dan Politik(Tulisan pertama dari dua tulisan)
Oleh Maqdir Ismail

Sejarah Bank Indonesia (BI) adalah sejarah yang panjang. Sejarah yang penuh dengan liku-liku. Bahkan sejarah mencatat bahwa Bank Indonesia termasuk bank sentral yang didirikan pada abad ke 19. BI didirikan dengan nama De Javasche Bank pada tanggal 24 Januari 1928, dengan tugas berat menanggulangi kesulitan ekonomi Hindia Belanda. Kesulitan demi kesulitan dilalui hingga masa pendudukan Jepang.
Kontroversi tentang Bank Indonesia bukanlah masalah baru. Hal ini sudah terjadi pada masa awal kemerdekaan, dan terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Kalau dirunut ke belakang, ironi tentang bank sentral Indonesia ini sudah melekat dengan keberadaannya. Meskipun Indonesia telah merdeka, hingga tahun 1951 De Javasche Bank tetap menjadi bank yang diatur dan tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terjadi karena dalam Konferensi Meja Bundar De Javasche Bank disepakati sebagai bank sentral, sedangkan Bank Negara Indonesia (1946) diberi tugas sebagai bank pembangunan.
Ironi berawal ketika tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan Republik Indonesia Jusuf Wibisono melontarkan kebijakan pemerintah Indonesai untuk melakukan nasionalisasi terhadap De javasche Bank, yang pada saat itu masih merupakan bank swasta. Kebijakan ini tentu tidak dapat diterima oleh Dr Houwink sebagai presiden De Javasche Bank, karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal 19 keputusan Konferensi Meja Bundar.
Kedaan ini menimbulkan sengketa antara Presiden De Javasche Bank dan Pemerintah Indonesia yang berujung pada pengunduran diri Dr Houwink, karena merasa tidak dipercaya oleh pemerintah.
Salah seorang penentang nasionalisasi ini adalah Mr Sjafruddin Prawiranegara, yang khawatir kalau nasionalisasi dilaksanakan De Javashe Bank tidak bekerja secara efisien, sehingga berpengaruh buruk terhadap kehidupan ekonomi. Sedangkan yang setuju nasionalisasi adalah A Karim, karena dengan nasionalisasi ini akan menjadikan Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah dalam mengambil keputusan dan dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi semua bank di Indonesia dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
Ironi nasionalisasi ini berakhir setelah dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank, pada masa kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara, yang diangkat menggantikan Dr Houwink.
Ironi lain berlanjut, ketika Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara diberhentikan oleh pemerintahan Presiden Soekarno atas usul Ketua Dewan Moneter dalam rapat kabinet tanggal 30 Januari 1958, karena dituduh terlibat dalam PRRI/Permesta.
Pengganti Sjafruddin Prawiranegara adalah Mr Loekman Hakim yang diangkat sejak tanggal 8 April 1958 hingga mengundurkan diri pada bulan Agustus 1959, karena merasa wewenangnya dilangkahi oleh pemerintah. Kenapa? Beliau tidak diajak berunding oleh Perdana Menteri Ir H Djuanda yang melakukan sanering pada tanggal 25 Agustus 1959. Sejak saat itu Bank Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah, terlebih lagi setelah era Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Jusuf Muda Dalam diangkat sebagai Gubernur Bank Indonesia, pangkat yang juga disandang oleh beliau adalah menteri urusan bank sentral. Pada masa itu diintroduksi fungsi baru dari Bank Indonesia, yaitu bank berjuang. Tugasnya bukan hanya mempertahankan stabilitas moneter dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga sebagai alat mencapai tujuan politik, bank menjadi alat revolusi. Mottonya, bank berjuang di bawah "Pemimpin Besar Revolusi".
Ketika masa Orde Baru, Bank Indonesia sebagai bank sentral bertugas membantu pemerintah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan rupiah. Selain itu juga bertugas mendorong kelancaran produksi, pembangunan dan memperluas kesempatan kerja. Bank Indonesia hanya menjalankan kebijakan moneter yang dirumuskan oleh pemerintah melalui dewan moneter. Kedudukan gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat tinggi disamakan dengan menteri negara.
Dalam era reformasi, Bank Indonesia dijadikan bank sentral yang independen sebagaimana disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang dinyatakan dalam butir 22 Letter of Intent (LOI) II tanggal 15 januari 1998. Independensi diberikan, karena selama ini Bank Indonesia selelau digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan kekeuasaan. Independensi Bank Indonesia ini kemudian dituangkan dalam UU Bank Indonesia No 23 Tahun 1999.
Apa yang hendak dikemukakan dari sejarah tersebut adalah bahwa selama hayatnya Bank Indonesia selalu berimpit dengan kepentingan politik pemerintah. Bahkan tidak jarang digunakan untuk kepentingan politik, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Independensi yang diberikan kepada bank sentral, khususnya Bank Indonesia pada era reformasi, adalah untuk menghindarkan bank sentral digunakan untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, terutama agar bank sentral tidak digunakan untuk mencetak uang agar dapat membeli kekuasaan pada masa pemilihan umum (pemilu). Mengingat pemilu tidak terlalu lama lagi, sepatutnya independensi Bank Indonesia tidak diganggu gugat demi apa pun, terutama tidak boleh diganggu untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara membeli suara rakyat. (Bersambung)***
Penulis adalah pengacara

Tidak ada komentar: