Suara Karya Selasa, 18 Desember 2007
Ironi Pimpinan Bank Sentral di Indonesia(Bagian kedua dari dua tulisan)
Oleh Maqdir Ismail
Ironi, tampaknya sangat melekat, dan seperti mejadi satu kesatuan dengan pimpinan bank sentral di Indonesia. Ironi itu sepertinya berimpit dengan jabatan tinggi di Bank Indonesia. Paling kurang ada tujuh fakta yang dapat dicatat sebagai ironi dalam kepemimpinan Bank Indonesia.
Fakta pertama, ketika masih bernama De Javasche Bank di tahun 1951, Presiden De Javasche Bank Dr Houwink berhenti dari jabatannya karena berselisih dengan pemerintah Indonesia, yang waktu itu menghendaki dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank. Kemudian kedudukan Dr Houwink diisi oleh salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Mr Sjafruddin Prawiranegara, atas persetujuan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia;
Fakta kedua, pemberhentian Mr Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia terjadi karena beliau dituduh ikut dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Fakta ketiga, Mr Loekman Hakim berhenti dari jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia karena merasa dilangkahi oleh pemerintah yang direpresentasikan oleh Perdana Menteri Ir Djuanda, sebagai Ketua Dewan Moneter dalam melakukan sanering di tahun 1959, tanpa membicarakan kebijakan moneter tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Fakta keempat, Gubernur Bank Indonesia sebagai Menteri Urusan Bank Sentral Indonesia T Jusuf Muda Dalam, adalah Gubernur Bank Indonesia yang paling banyak dihujat, karena dianggap sebagai biang-keladi merosotnya ekonomi Indonesia pada masa Orde Lama. Dia juga dituding sejak tahun 1964 hingga tahun 1965 lebih banyak menggunakan kredit untuk membiayai kepentingan sendiri dan keperluan presiden.
Fakta kelima, Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono adalah Gubernur Bank Indonesia yang diberhentikan menjelang masa jabatannya berakhir. Selain itu, dia adalah juga seorang Gubernur Bank Indonesia yang ditengarai bermasalah dan dianggap bertanggung jawab terhadap pengucuran BLBI. Penyidikan perkara Gubernur Bank Indonesia J Soedradjad Djiwandono dihentikan karena diangap bukti tidak cukup. Masih terkait dengan pengucuran BLBI pada masa J Soedradjad Djiwandono memimpin Bank Indonesia, tiga orang direktur Bank Indonesia masing-masing akhirnya dihukum 1,5 tahun penjara.
Fakta keenam, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin mengalami penahanan beberapa bulan dan diadili, karena diduga terlibat dalam "skandal Bank Bali", meskipun dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh pengadilan. Catatan Syahril Sabirin sendiri mengungkap bahwa perkaranya berasal dari desakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengundurkan diri, kemudian dijanjikan untuk diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung atau duta besar.
Desakan Presiden Abdurrahman Wahid ini didasari oleh keinginan untuk mengganti Gubernur Bank Indonesia, namun desakan ini diabaikan oleh Gubernur Syahril Sabirin. Dia menolak dan melawan desakan mundur dari Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, menggunakan ketentuan UU No 23 Tahun 1999 tentang Pemberhentian Anggota Dewan Gubernur yang hanya dapat dilakukan jika yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan atau berhalangan tetap. Oleh pengadilan, Syahril Sabirin dianggap tidak terbukti melakukan tindak pidana, sehingga dia mengakhiri masa jabatannya sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Jabatannya lebih panjang dari masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Fakta ketujuh, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pada akhir tahun 2006 menyampaikan laporan kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya dugaan korupsi dan penyuapan dalam penggunaan dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar. Itu sehubungan dengan permasalahan hukum yang dihadapi mantan gubernur dan direksi Bank Indonesia, serta penyelesaian BLBI dan amandemen UU NO 23 Tahun 1999. Dalam Laporan Ketua BPK ini, yang diduga telah melakukan penyimpangan dan berindikasi telah melakukan tindak pidana korupsi adalah Dewan Gubernur Bank Indonesia. Penerima dana diseminasi dalam laporan ini adalah anggota DPR dari komisi IX.
Ironinya, salah satu dari orang yang memberikan persetujuan untuk melakukan diseminasi kepada anggota DPR untuk menyelesaikan BLBI dan amandemen UU N0.23 Tahun 1999 itu adalah sang pelapor Anwar Nasution, yang ketika itu menduduki jabatan sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Jika Laporan Ketua BPK ini mengandung kebenaran, dalam arti ada bukti formal yang kuat, ada pengakuan dari kurir, ada penerimaan uang yang dapat ditelusuri bahwa dana dari YPPI ini digunakan sebagai "sogok" untuk membeli keputusan dari DPR, maka ini akan menjadi skandal bank sentral abad ini. Bukan hanya Gubernur Bank Indonesia yang akan menjadi tersangka, tetapi juga para deputinya dan semua pejabat Bank Indonesia yang terlibat juga akan menjadi tersangka.
Dan, sudah barang tentu anggota DPR yang menerima uang akan merasakan panasnya kursi pesakitan. Namun, jika laporan Ketua BPK ini tidak mengandung kebenaran, karena dana dari YPPI untuk diseminasi kegiatan, maka ini akan menjadi cermin betapa tidak kredibelnya Ketua BPK. Laporan ini tidak sesuai dengan UU Bank Indonesia, yang mewajibkan BPK melaporkan terlebih dahulu kepada DPR hasil pemeriksaan laporan keuangan Bank Indonesia. Jika laporan ini tidak mengandung kebenaran, maka laporan ini paling kurang akan menjadi pengaduan palsu yang diancam oleh Pasal 317 atau Pasal 318 KUH Pidana dengan ancaman pidana paling lama empat tahun penjara. (Habis)***
Penulis adalah pengacara
Senin, 17 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar