Rabu, 30 Januari 2008

Suksesi di Bank Indonesia

Suksesi di Bank Indonesia(Bagian pertama dari dua tulisan)Oleh Maqdir Ismail
Rabu, 30 Januari 2008Secara umum, suksesi itu bukanlah merupakan hal yang luar biasa, meskipun suksesi bisa saja terjadi karena ada keadaan darurat atau karena adanya tekanan yang kuat dari luar yang menghendaki terjadinya suksesi. Tapi, yang pasti, suksesi adalah satu keniscayaan alamiah. Dikehendaki atau tidak dikehendaki, dirancang secara baik atau tidak dirancang secara sempurna, suksesi pasti akan terjadi.
Dalam sejarah Bank Indonesia (BI) suksesi tidak selamanya terjadi karena keahlian dalam mengurus bank sentral. Ada yang terjadi secara kebetulan dan ada yang terjadi karena dikehendaki. Dr. Houwink diangkat menjadi Presiden De Javsche Bank karena presiden yang lama Dr Smith meninggal dunia secara mendadak.
Mr Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Presiden De Javasche Bank kemudian menjadi Gubernur BI yang pertama atas permintaan direksi De Javasche Bank yang mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda. Pengangkatan Mr Loekman Hakim sebagai Gubernur BI, karena Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara diberhentikan oleh pemerintah sebab beliau dianggap terlibat dalam "pemberontakan" PRRI/Permesta tahun 1958.
Setelah Mr Loekman Hakim mengundurkan diri akhir tahun 1959, maka pimpinan BI dipegang oleh pemangku jabatan Gubernur BI Mr Soetikno Slamet. Sedangkan Mr Soemarno diangkat sebagai Gubernur BI tahun 1962 sebagai pengganti dari pemangku jabatan Gubernur BI. Pada tahun 1963, ketika jabatan Gubernur Bank Sentral ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral, maka yang ditunjuk untuk memangku jabatan itu adalah Teuku Jusuf Muda Dalam.
Pada tanggal 27 Maret 1966 terjadi pergantian kepemimpinan di Bank Negara Indonesia Unit I, di mana Drs. Radius Prawiro diangkat sebagai Gubernur Bank Negara Indonesia Unit I menggantikan Menteri Urusan Bank Sentral dan Gubernur Bank Sentral T Jusuf Muda Dalam. Penggantian ini mengikuti pembubaran Kabinet Dwikora, karena Letnan Jendral Soeharto (almarhum) ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk Kabinet Ampera.
Penggantian Gubernur BI selama masa pemerintahan Orde Baru selalu terjadi tanpa gejolak. Terjadi tanpa perdebatan yang serius, selain dari bisik-bisik yang tidak jelas dan dikaitkan dengan "agama yang dianut" oleh Sang Gubernur. Para gubernur BI selama masa pemerintahan Orde Baru selalu dianggap sebagai ahli. Dan, umumnya adalah intelektual terkemuka dan dapat dikatakan sebagai orang-orang yang bebas politik. Masa jabatanya secara umum bersamaan dengan masa jabatan kabinet. Satu-satunya gubernur BI yang mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur sebelum berakhirnya masa jabatan kabinet adalah J Soedradjad Djiwandono, yang diberhentikan oleh Presiden Soeharto, menjelang akhir masa jabatan.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, Gubernur BI yang berkarier dari awal di BI hanya Rahmat Saleh. Meskipun Radius Prawiro dapat dikatakan sebagai orang BI, tetapi kariernya tidak diawali di BI. Sementara gubernur BI yang lain, bukanlah orang-orang yang selama kariernya berada di BI.
Gubernur BI Syahril Sabirin memegang jabatan gubernur sebagai pengganti dari J Soedradjad Djiwandono. Syahril Sabirin mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur setelah mengalami proses politik yang berakhir dengan proses hukum yang berpihak kepada dirinya. Upaya dari pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengganti kedudukan Syahril Sabirin dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari upaya iming-iming untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, menjadi duta besar sampai ancaman penahanan. Keteguhan Syahril Sabirin untuk tidak mengundurkan diri karena berpegang teguh pada ketentuan Pasal 48 UU Bank Indonesia No 23 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa "Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan tetap".
Presiden Abdurrahman Wahid bahkan kemudian meminta beberapa anggota Dewan Gubernur mengundurkan diri. Hal ini dipenuhi oleh beberapa orang, namun keadaan ini tetap tidak dapat digunakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberhentikan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Dan, ternyata karena bertahan dengan ketentuan UU BI ini masa jabatan Syahril Sabirin lebih panjang dari masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid, dan jabatan sebagai gubernur baru berakhir setelah pemilihan gubernur yang pertama dilakukan oleh DPR.
Menjelang pertengahan tahun 2008 adalah waktu untuk berakhirnya masa jabatan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Tidak dapat disangkal bahwa jabatan Gubernur BI adalah satu jabatan yang sangat prestisius di negeri ini. Jabatan ini adalah jabatan pejabat publik yang paling tinggi gajinya, karena beberapa kali lipat lebih besar dari gaji ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) atau Menteri Keuangan. Karena itu cukup banyak orang yang merasa mempunyai kemampuan berkehendak untuk menduduki jabatan tersebut. Serangan terhadap Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah telah dilontarkan, melalui laporan kepada Komisi Pemberantrasan Korupsi, bahkan kemudian menjadi konsumsi politik dalam pemilihan pimpinn KPK.
Cara-cara penggantian pimpinan lembaga negara yang dilakukan dengan intimidasi atau ancaman bukanlah cara yang sehat. Cara seperti ini tidak akan pernah mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang demokratis. Cara penggantian seperti ini akan melahirkan preman-preman baru, melahirkan calo-calo jabatan dan penipu-penipu. Cara pergantian pimpinan lembaga tinggi negara yang buruk ini akan berpengaruh buruk terhadap pendidikan demokrasi. Selain itu cara penggantian pimpinan lembaga tinggi negara yang buruk akan merusak kredibilitas lembaga itu sendiri. Rusaknya kredibilitas bank sentral bukanlah perkara mudah mengembalikannya. Bukan hanya dibutuhkan orang yang tepat, tetapi juga dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tak terkira besarnya.
Sudah saatnya kita berlomba menuju kebaikan dengan cara yang baik dan terhormat, bukan dengan cara menghujat dan "mengumbar aib" yang belum tentu benar sebagai aib.*** (Bersambung)
Penulis adalah pengamat hukum perbankan
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=191613

Tidak ada komentar: