Pemilihan Gubernur BI dan
Kekuasaan Pemerintah
Maqdir Ismail
Ahli hukum perbankan, pengacara
Rabu, 27 Februari 2008
Bank sentral seperti Bank Indonesia (BI) bukan lembaga politik, tetapi lembaga ekonomi. Lembaga ini independen, seperti yang ternukil dalam UU BI.
Tetapi, dalam keseharian, umumnya semua lembaga politik ingin memanfaatkan bank sentral. Keinginan lembaga politik memanfaatkan bank sentral adalah wajar dan dapat dipahami. Ini terkait posisi bank sentral yang sangat penting dan berimpit dengan ekonomi bangsa dan negara. Oleh karena itu, tidak perlu heran bila pemerintah atau partai politik ingin menguasai bank sentral.
Bank sentral, karena independen, tidak patut dikuasai partai oposisi atau pemerintah yang berkuasa. Independensi bank sentral sebenarnya hanya merupakan isolasi terhadap keseharian dalam melaksanakan kebijakan moneter. Meskipun independen, yang dilakukan bank sentral merupakan tugas negara dalam menjalankan kebijakan moneter yang begitu sentral bagi pengendalian perekonomian negara. Dengan demikian, selalu dijadikan argumen bahwa bank sentral independen adalah demi kesinambungan program ekonomi dan untuk menghindarkan bank sentral dari campur-tangan politik.
Independensi lembaga-lembaga politik--termasuk dalam menentukan pimpinan, anggota dewan pimpinan, dan dalam menentukan tanggung jawab bank sentral dalam memberikan laporan secara periodik kepada legislatif--tidaklah menjadikan lembaga tersebut seperti "negara di dalam negara" sebagaimana pernah dikatakan Kanselir Jerman Helmut Schmidt tentang Bundesbank.
Meskipun BI independen, tetapi ketika presiden menginginkan bank sentral dipimpin orang yang dipercaya, menurut undang-undang itu tidak salah. Presiden diberi kekuasaan mutlak oleh undang-undang untuk mencalonkan gubernur dan deputi senior gubernur BI. Siapa pun yang dikehendaki presiden dapat dicalonkan, kun fayakun.
Yang harus dijaga DPR dalam memilih pimpinan bank sentral adalah agar lembaga tersebut tidak dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek pemerintah dalam memperpanjang kekuasaan. Tidak boleh ada transaksi politik atau pun sikap kolutif antara presiden dan partai pendukung dalam memilih gubernur BI.
Jika terjadi transaksi politik disertai sikap kolutif, maka pada saat itu pula makna independensi BI yang telah ditegakkan dengan air mata menjadi sirna.
Selain itu, yang juga diperlukan adalah komitmen calon gubernur BI untuk tetap menjadikan BI sebagai bank sentral yang independen, tidak dijadikan sebagai "kasir" pemerintah dalam memperpanjang kekuasaan.***
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=193707
Kamis, 23 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar