Selasa, 14 September 2010

Menelisik UU OJK

Menelisik UU OJK

Oleh: Maqdir Ismail
Pengantar
Dalam UUD 1945 hasil perubahan ke IV dikatakan, “ Negara memiliki suatu bak sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Itulah kata-kata ajaib tentang bank Sentral di Indonesia yang bernama Bank Indonesia. Kata-kata ajaib yang menyebabkan Bank Indonesia menjadi bank sentral yang Independen, bahkan pernah dikatakan sebagai ‘negara dalam negara’, meskipun sebenarnya independensi bank sentral terutama dalam menjalankan kebijakan moneter sudah dipraktikkan tatkala dibawah Sjafruddin Prawiranegara.
Independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dengan UU No. 23 tahun 1999, diberikan setengah hati. Taring pengawasan bank yang baru diterima pelimpahannya dari Departemen Keuangan sesuai dengan Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 akan ditanggalkan, karena dalam Pasal 34 pengawasan bank akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang akan dibentuk paling lambat 31 Desember 2002. Kemudian tatkala dilakukan amandemen terhadap UU No. 23 tahun 1999 dengan UU No. 3 tahun 2004, ada perpanjangan waktu pembentukan lembaga pengawasan bank akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Dengan tanggalnya kewenangan mengawasi bank yang akan diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai bunyai Pasal 34 UU Bank Indonesia, maka yang akan menjadi tugas Bank Indonesia tinggal, ‘menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran’, sedangkan tugas mengatur menurut Pasal 34 tidak diserahkan, karena yang diserahkan hanya tugas mengawasi bank yang akan berpindah tangan menjadi wewenang lembaga baru yang akan bernama otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan RUU yang mulai dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

Draft UU OJK
Menilik draft UU OJK ini ada bebarapa hal yang patut dicermati:

1. Tugas OJK
Pada bab II, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan tugas pengaturan dan pengawasan secara terpadu,independen, dan akuntabel terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan dibidang perbankan;
b. …..
c. …
(2)…..
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peraturan pelaksanaan kegiatan jasa keuangan dibidang Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia;
(4) Tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengawas Perbankan.

Sedangkan yang menjadi dasar hukum penyusunan draft UU OJK ini adalah Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan
(1)Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
(2)Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”

Dengan mempersandingkan bunyi Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 dan Pasal 4 Draft RUU OJK, paling kurang yang kasat mata adalah penambahan tugas OJK, yaitu termasuk melakukan pengaturan selain melakukan pengawasan.
Implikasi langsung dari pengesahan UU Otoritas Jasa Keuangan, adalah hilangnya kekuasaan Bank Indonesia dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank, meskipun dalam Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004 dan penjelasannya masih menyisakan tugas mengatur bank sebagaimana disebut dalam Pasal 8 ayat 3 UU No. 23 Tahun 1999 jo UU NO. 3 Tahun 2004. Dengan kata lain, kalau diartikan secara kata perkata Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004 beserta penjelasannya, maka yang dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, terbatas pada pengawasan bank, sedangkan pengaturan bank tetap berada di Bank Indonesia. Meskipun dalam drfat OJK pengaturan Bank ini akan menjadi wewenang OJK.
Dengan semata-mata menafsirkan bunyi Pasal 34 UU No. 3 tahun 2004, maka implikasi lain dari keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, adalah ketentuan Bab VI UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, mulai dari Pasal 24 sampai dengan Pasal 35, harus dilakukan rekonstruksi ulang.

2. Dewan Komisioner
Menurut Pasal 5 draft RUU OJK, maka OJK nanti akan dipimpin oleh 7 orang yang disebut Dewan Komisioner yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden, yang terdiri dari 2 orang anggota masyarakat dimana salah satunya akan menjadi Ketua, 1 orang dari Bank Indonesia, 1 orang dari Kementerian Keuangan dan 3 orang dari Otoritas Jasa Keuangan yang akan merangkap sebagai eksekutif.
Adapun menganai pencalonan anggota Dewan Komisioner, ketentuan yang mengaturnya bervariasi. Untuk calon dari masyarakat dipilih Presiden atas usul Menteri Keuangan. Calon anggota Komisioner Deputy Gubernur BI diusulkan oleh Gubernur BI melalui Menteri Keuangan. Kemudian calon yang berasal dari Pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan di usulkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan calon anggota Komisioner yang akan merangkap Kepala Eksekutif diusulkan oleh Dewan Komisioner memalui Menteri Keuangan. Masa jabatan anggota Dewan Komisioner ini selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Tatacara pencalonan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan ini akan sangat berbahaya, karena potensi untuk terjadinya like and dislike, karena dalam ketentuan dan persyaratannya tidak ada yang diatur secara jelas.
Selain itu yang juga tidak kalah penting untuk dicermati yang potensial akan menjadi masalah adalah batas umur seorang anggota Dewan Komisioner. Karena dalam Pasal 8 draft RUU, batas maksimal pada saat ditetapkan adalah berusia 65 tahun. Sehinga kalau seorang anggota Dewan Komisioner mulai menjadi anggota pada usia 65 tahun, dan kemudian terpilih kembali maka dia akan pensiun pada usia 75 tahun. Mungkin ini adalah usia paling tinggi dari seorang pejabat negara yang bekerja dalam lingkaran eksekutif.
Dengan usia yang relatif tidak muda ini, dan secara umum usia 65 tahun memasuki pensiun justru diberikan kesempatan untuk berkarir dengan karir yang terhormat, maka potensial penunjukan anggota Dewan Komisioner ini hanya akan menjadi pembagian kekuasaan diantara para kroni. Sebab untuk anggota Dewan Komisioner dari Bank Indonesia dia akan berhenti, kalau sudah tidak menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sedangkan bagi pejabat setingkat eselon I pada kementerian Keuangan akan berhenti kalau tidak menjadi pejabat setingkat eselon I di Departemen Keuangan. Sedangkan dua orang anggota masyarakat yang berusia 65 tahun itu bisa saja pensiunan dari Kementerian Keuangan yang sepenuhnya wewenang Menteri Keuangan untuk mencalonkannya.
Hal ini semakin nyata dimana syarat untuk menjadi anggota Dewan Komisioner yang tidak akan dipunyai oleh banyak orang adalah syarat “mempunyai pengalaman atau keahlian dibidang jasa keuangan”, meskipun tanpa batas minimal pengalaman. Ini dapat mengindikasikan hanya pejabat-pejabat dari Departemen Keuangan saja yang bisa menjadi anggota Dewan Komisioner.
3. Tugas Pengaturan
Menurut Pasal 13 Draft RUU dengan merujuk kepada Pasal 4 Draft, maka tugas pengaturan bank akan menjadi wewenang dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Dalam draft Pasal 13 ini, Dewan Komisioner dinyatakan antara lain menetapkann peraturan pelaksanaan undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan dibidang Jasa Keuangan. Selain itu Dewan Komisioner menurut Pasal 14 Draft, dapat mendelegasikan wewenang menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jasa Keuangan kepada Kepala Eksekutif.
Pendelegasian kewenangan kepada Kepala Eksekutif ini sangat luar biasa besarnya, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 21 draft RUU OJK. Kepala Eksekutif bukan hanya mempunyai kewenangan melakukan pengaturan tetapi juga diberi kewenangan memberi sanksi administrasi dan tentu saja dapat menjatuhkan hukuman yang keras dengan kewenangan mencabut izin usaha.
Peralihan kewenangan pencabutan izin usaha perbankan ini adalah bentuk pengembalian kewenangan dari Bank Indonesia kepada Departemen Keuangan sebelum adanya UU No. 23 Tahun 1999, meskipun tidak langsung ke Departemen Keuangan tetapi kepada perpanjangan tangan Departemen Keuangan.
Sinkronisasi UU dan Pasal
Sebagai akibat langsung dari lahirnya UU OJK, akan banyak undang-undang yang harus diamandemen, karena dari undang-undang tersebut ada beberapa ketentuan yang sudah masuk dan menjadi wewenang dari OJK. Sebagai contoh UU Bank Indonesia UU No. 23 tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004, Undang-undang Perbankan UU No. 7 tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998, UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPSK, UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Bukan hanya pemisahan fungsi pengawasan bank yang terjadi dengan dibentuknya OJK. Secara teoretis, pemisahan otoritas keuangan dan moneter dilakukan dalam rangka menjaga independensi bank sentral dan otoritas jasa keuangan, sehingga terjadi efisiensi dan saling mengawasi untuk menghindari penyimpangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, negara-negara yang selama ini me¬nganut pemisahan tersebut, sejak terjadi krisis, sudah mulai mendiskusikan penggabungan kembali kedua fungsi tersebut dalam satu lembaga, yaitu bank sentral seperti yang terjadi di Amerika dan Inggris.
Secara khusus pembentukan OJK ini akan berpengaruh terhadap beberapa ketentuan dalam UU Bank Indonesia. Pasal-pasal dalam UU OJK yang juga harus di-sesuaikan dengan UU BI paling kurang harus dilakukan terhadap Bab VI, Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, Pasal 24–35. Artinya, melaksanakan perintah Pasal 34 UU BI tidak hanya berhenti pada pembentukan OJK, tetapi juga harus ada sinkronisasi kedua UU mengenai tugas mengatur dan mengawasi bank.
Sinkronisasi ini terutama berhubungan dengan sanksi terhadap bank yang melaku¬kan pelanggaran sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 UU BI, Pasal 26 ketentuan di bidang perizinan, termasuk mencabut izin usaha, pembukaan dan penutupan serta pemindahan kantor bank, izin pemilikan bank dan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan tertentu. Pasal 28 UU Bank Indonesia mengenai kewajiban menyampaikan laporan. Pasal 29 pemeriksaan bank secara berkala atau pe¬meriksaan sesuai dengan keperluan. Pasal 31, kewena¬ngan menghentikan sementara kegiatan yang diduga merupakan tindak pidana perbankan. Pasal 32, mengenai sistem informasi antarbank. Lalu yang tidak kalah pentingnya lagi adalah mengenai ketentuan Pasal 11 UU No 23 Tahun 1999 jo UU No 3 Tahun 2004 jo UU No 6 Tahun 2009, tentang fasilitas pembiayaan darurat. Semua ketentuan ini pasti akan saling terkait dengan fungsi pengawasan bank.
Selain itu hal ini juga berkaitan dengan Bab IV UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998, mulai dari Pasal 16 sampai dengan Pasal 28 (perizinan tentang penghimpiunan dana hingga pembukaan kantor cabang, kepemilikan dan perubahannya).
Juga harus diperhatikan ketentuan Bab V UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan Pengawasan dari Pasal 29 hingga Pasal 37, pemeriksaan hinga melakukan tindakan agar pemegang saham menambah modal, sampai melakukan tindakan untuk pencabutan izin atau memerintahkan bank untuk melakukan merger atau konsolidasi.
Harus diperhatikan pula ketentuan Bab VI Pasal 38 dan Pasal 39, UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Dewan Komisaris, Direksi dan Tenaga Asing, dimana perubahan-perubahannya wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Dalam arti harus ada pemisahan yang tegas antara kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Hal yang potensial akan menjadi sumber konflik adalah berakitan dengan mencabut izin usaha bank, penutupan dan pemindahan kantor bank dan tentu saja mengenai persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank serta izin menjalankan kegiatan usaha tertentu.
Yang juga tidak kalah pentingnya lagi adalah memikirkan singkronisasi pelaksanaan tugas bidang moneter dan fiskal yang juga harus melibatkan OJK. Ini pasti akan menjadi pekerjaan rumah yang besar dan lama. Mengingat Bank Indonesia dan OJK adalah lembaga independent yang terikat dengan aturannya sendiri, sedangkan Kementerian Keuangan sepenuhnya akan terikat secara ketat dengan aturan dan kebiajakan pemerintah yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.

Penutup
Pembentukan OJK ini kalau kita ikuti perdebatan dalam menyusun UU Bank Indonesia dan amandemen UU Bank Indonesia, tidak bisa tidak harus dikatakan sebagai bentuk ketidak relaan Kementerian Keuangan melapaskan pengawasan perbankan dari genggaman Kementerian Keuangan. Sedangkan pengawasan dibidang pasar modal dan jasa keuangan dibidang Industri Keuangan Non Bank selama ini tetap melekat pada Kementerian Keuangan. Sehingga pembentukan OJK ini sah saja kalau dianggap sebagai cover up, bagi Kementerian Keuangan untuk mengambil kembali tugas pengawasan bank yang sebelum reformasi selalu berada dibawah kendali.
Daripada kita merusak sistem keuangan dan perbankan kita yang baru mulai ditata dalam waktu sepuluh tahun terakhir oleh Bank Indonesia, dengan membentuk OJK, karena melaksanakan Pasal 34 UU Bank Indonesia dan menyerahkan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK, mungkin akan lebih banyak manfaat daripada mudharatnya, kalau Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 saja yang diamandemen dengan menegaskan bahwa pengawasan sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia.
Dengan demikian tidak perlu ada OJK, pengawasan dibidang pasar modal dan jasa keuangan dibidang Industri Keuangan Non Bank tetap berada di Kementerian Keuangan, sedangkan pengawasan perbankan tetap berada di Bank Indonesia.

Paper disampaikan dalam Dialog Publik dan Buka Bersama, Otoritas Jasa Keuangan: Mencari Format Kontrol Dalam Sistem Keuangan Nasional, di The Acacia Hotel, 3 September 2010.
Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia.
Pasl 23 D UUD 1945

Ketua KPK dan Kasus Politik

Ketua KPK dan Kasus Politik
Maqdir Ismail
Advokat, dosen FH Universitas Al Azhar Indonesia

Suara Karya, Selasa, 14 September 2010
Tantangan serius bakal dihadapi pejabat baru Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siapa pun nanti yang dipilih DPR sebagai Ketua KPK, M Busyro Muqoddas atau Bambang Wijayanto, dia harus menghadapi kasus korupsi yang sarat muatan politis.

Ada dua kasus besar yang berimpit dengan politik ini. Pertama, penetapan status tersangka terhadap 26 anggota dan mantan anggota DPR dalam dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom. Sebagian besar tersangka bukan pendukung pemerintah, sehingga berpotensi penetapan status itu bisa melahirkan politik balas dendam.

Kedua, perkara Bank Century yang oleh kalangan anggota DPR dianggap mengandung unsur pidana.

Sengaja atau tidak, kasus-kasus itu mengingatkan kita kepada Antasari Azhar ketika baru saja terpilih sebagai Ketua KPK. Ketika itu, Antasari dan kawan-kawan dibenturkan dengan kasus suap oleh BI kepada anggota DPR dalam rangka amandemen UU BI. Meski tidak maksimal, kasus tersebut mengakhiri jabatan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan memenjarakan Aulia Pohan yang merupakan besan SBY.

Meski kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI hanya melibatkan beberapa anggota DPR aktif, toh masing-masing tersangka diduga terkait dengan uang ratusan juta rupiah saja, tetapi di antara mereka terdapat banyak tokoh yang ditunggu oleh pengapnya dinding penjara. Ada mantan menteri, mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga mantan sekretaris fraksi di DPR.

Apakah KPK siap melanjutkan rekomendasi DPR untuk meneruskan proses hukum kasus "korupsi" kasus Bank Century? Namun, sampai sekarang memang belum pernah ada kejelasan justisi atas kasus itu.

Sudah tentu Ketua KPK yang baru bakal ditunggu kasus-kasus lama yang belum terselesaikan. Seperti pesulap yang menyebut mantra "abra kadabra" untuk menjadikan tersangka, kasus ini sudah lama dipilin-pilin dan diselidiki, tetapi baru sekarang ditetapkan tersangkanya.

Sulit untuk menyangkal bahwa penetapan kasus yang melibatkan sejumlah tersangka mantan pejabat dan tokoh politik ini bukan tanpa tujuan. Pasti ada maksud untuk mempersiapkan pekerjaan besar bagi Ketua KPK yang baru, sekaligus menguji nyalinya. Apakah Ketua KPK yang baru mampu dan sanggup menuntaskan kasus-kasus besar yang melibatkan lembaga politik dan partai politik?

Tentu kita harus yakin bahwa kedua kasus besar itu mencuat terutama demi penegakan hukum. Jadi, bukan karena ada agenda "balas dendam" untuk mengancam oposisi yang tidak pernah bisa ditakut-takuti.

Konon, kasus itu akan dibarter dengan keadaan politik tertentu. Ini menyusul suara-suara tentang impeachment terhadap Presiden yang makin kencang disuarakan. Tentu kita sebagai anak bangsa tidak menghendaki lembaga penegak hukum seperti KPK digunakan oleh kelompok kepentingan tertentu untuk mengancam atau menakut-nakuti lawan politik penguasa.

Sekali lembaga penegak hukum dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu, itu sangat mahal harganya bagi penegakan demokrasi. Sebab, akan terlalu sulit untuk mengembalikannya kepada posisi netral. Pembaga penegak hukum agar lebih fokus dalam membidani dan menukangi kasus tertentu. Apalagi lembaga seperti KPK yang tidak mengenal mekanisme penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Batu uji bagi Ketua KPK yang baru terlalu berbahaya bagi kelangsungan dan kemandirian penegakan hukum oleh KPK. Meski masih tertatih-tatih membenahi diri, Ketua KPK yang baru bakal menghadapi setumpuk masalah pelik--yang dihadapi pimpinan lama.***
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=261663

Susno Duadji Menggugat Pasal Whistleblower

Jakarta, 3 September 2010
Kepada Yth:
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No.6
Jakarta Pusat 10110

HAL: KESIMPULAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 10 ayat (2) UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP UNDANG – UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

Dengan hormat,
Kami yang bertanda-tangan di bawah ini :
H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH.
Mohamad Assegaf, SH.
Dr.Maqdir Ismail, SH, LLM.
Ari Yusuf Amir, SH. MH.
Dr. H. M. Efran Helmi Juni, SH., M.Hum.
Erwin Moeslimin Singajuru, SH.
Zul Armain Aziz, SH.
H. M. Husni Maderi, S.Sos., SH.
Dr.T.N. Syamsah,SH.MH.
Hj.Kartika Putri Yosodiningrat, SH, LLM
H. Radhitya Aristodiningrat, SH.
Akhmad Fahmi Budiman, SH, MH.
Agus salim,SH MH.
Elly Muzdalifah,SH

Para Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih domisili hukum di Hotel Kartika Chandra, Gedung Perkantoran Lantai 5 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 12060, berdasarkan Surat Kuasa Khusus terlampir, bertindak selaku Kuasa Hukum dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama :
Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. beralamat di Jalan Cibodas 1 A-3 No 7, Puri Cinere, Depok , Jawa Barat;
Perorangan warga Negara Indonesia yang menjadi korban Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006; dengan ini mengajukan Kesimpulan Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635 (”UU No. 13 Tahun 2006”) (Bukti P-1) terhadap Undang-undang Dasar 1945 (Bukti P-2). Selanjutnya, disebut sebagai ”Permohonan”.


A. Pendahuluan
Kalau dihubungkan dengan pemberantasan Korupsi, mungkin paradigma yang berasal dari pepatah lama kita, “ Diam adalah emas”, harus kita tinggalkan. Karena dengan diam itulah korupsi menjadi merajalela. Korupsi tumbuh subur diseluruh sektor kehidupan. Paradigma baru yang harus dikembangkan adalah jadilah whistleblower yang baik untuk menghindarkan negara dari kebangkrutan karena banyaknya korupsi.

Apa yang dilakukan oleh Pemohon prinsipal dalam mengungkap perkara Gayus Tambunan dapat kita katakan sebagai pengejawantahan dari paradigma baru tadi, bahwa dalam mengungkap perkara korupsi diam itu bukan emas. Membuka suara itu membawa kebaikan bagi bangsa, meskipun bisa menjadi mala-petaka bagi diri sendiri dan keluarga, karena undang-undang dapat ditafsirkan sendiri oleh pelaksana undang-undang yang lain. Dengan tidak diamnya Pemohon prinsipal, maka kita saksikan bersama terungkapnya kasus korupsi luar biasa besarnya yang melibatkan seorang Gayus Tambunan. Seorang pegawai Pajak golongan III di Direktorat Jendral Pajak. Untuk mengatur dan mengurus perkaranya ditingkat penyidikan dan penuntutan serta pengadilan dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 20 milyar. Dengan membayar uang sebesar itu, Gayus Tambunan dibebaskan.

Dengan membuka rahasia penyidikan di Bareskrim Polri, Pemohon prinsipal, membuka mata kita bahwa “ persekongkolan” dalam mengatur perkara bukan hanya bualan, tetapi adalah hal yang sangat nyata. Mafia hukum itu, bukan cuma gossip jalanan. Persekongkolan itu melibatkan seluruh jajaran aparat penegak hukum, ada penyidik, ada pengacara, ada perantara, ada jaksa dan ada hakim.

Mafia hukum sebagai program teratas yang hendak diberantas oleh pemerintahan Presiden SBY dan Boediono benar belaka adanya, meskipun baru berdasarkan laporan Pemohon prinsipal ini sajalah mafia hukum yang diungkap secara transparan dan terbuka. Sehingga menjadi sangat patut kalau pemerintahan Presiden SBY dan Boediono memberikan tempat terhormat kepada pemohon prinsipal dan tempat yang layak itu bukan rumah ditahanan Brimob Kelapa Dua, tetapi melakukan pemberantasan korupsi dan mafia hukum.

Posisi Pemohon prinsipal ini disebut sebagai Whistleblower atau sang peniup terompet dan ada juga yang menyebutnya si tukang cerita. Di banyak negara para peniup terompet ini oleh undang-undang dilindungi. Mereka tidak dijadikan tersangka.

Menurut Jeremy Pope dalam Confronting Corrupstion: The Element Of national Integrty System, pekerja atau pejabat yang tahu mengenai pelanggaran di dalam tempat kerjanya sering di hadapkan pada empat pilihan: yakni bisa
(1) berdiam diri atau
(2) melaporkan kekhawatiran melalui prosedur intern atau
(3) melaporkan ke khawatiran ke lembaga luar atau
(4) membeberkan hal bersangkutan ke media.
Namun budaya yang ada di dalam tempat bekerja sering membuat takut para pegawainya untuk berbicara apalagi melaporkan keatasan, walaupun sebenarnya staf dari orang dalam inilah yang paling tahu bila ada sesuatu yang salah, tapi mereka takut melaporkan karena takut menjadi sasaran tembak (aksi balas dendam), kehilangan pekerjaan, promosi, dan di hindari oleh rekan-rekan sekerjanya. Gejala inilah yang dikatakan Jeremy Pope terutama di temukan dikalangan pegawai muda yang tahu mengenai perilaku korupsi oleh atasan tapi takut melaporkannya. Dan Inilah yang kemungkinan terjadi di tubuh Kepolisian tempat dimana Pemohon mengabdi dan berkarya.
Oleh karena itu, perilaku yang menjadi skandal seperti di tubuh Kepolisian ini sedini mungkin sebenarnya dapat dicegah sebelum meluas dan berurat akar dengan pengawasan efektif, namun pengawasan ini tidak akan dapat berbuat banyak jika tidak ada saluran baru yang lebih jelas dan tepat yang dilekatkan dalam fungsi pengawasan internal. Dalam konteks inilah kita berbicara mengenai perlindungan para pengungkap fakta (Public Interest Disclosures) atau biasa yang disebut whistleblower. Instrumen perlindungan whistleblower bisa menjadi alat efektif dalam mengawasi kinerja aparat publik walaupun bukanlah satu satunya upaya, namun sayangnya di Indonesia konsep instrumen ini justru tidak pernah dianggap penting. Padahal Di berbagai Negara seperti Australia, Amerika dan Inggris sudah menggunakan instrumen ini. Inggris misalnya, telah mengunakannya mulai tahun 1998 dengan dilahirkannya Public Disclossure Act, Queensland Australia menggunakan tahun 1994 sejak diundangkannya Whistleblower Protection Act, dan Amerika sejak tahun 1989 dengan diundangkannya Whistleblower Protection Act.
Perlindungan para pengungkap fakta atau whistleblower di buat dengan maksud untuk memberikan sebuah landasan hukum dan skema perlindungan khusus bagi pengungkapan yang terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan, maladministrasi, korupsi, melanggar hukum, kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan, keselamatan umum dan termasuk bahaya terhadap lingkungan. Skema perlindungan ini tidak hanya mendorong pegawai publik untuk pura-pura tidak tahu bila ada pelanggaran di tempat kerjanya tetapi juga menanamkan rasa aman pada pegawai untuk menyuarakan pikiranya. Dan para atasan (terlapor) yang tetap bersikeras untuk membalas para pengungkap fakta tersebut akan harus membayar mahal dengan mekanisme perlindungan whistleblower ini.
Sebagai bahan perbandingan bagaimana pelaksanan perlindungan terhadap saksi terutama terhadap Whistleblower dapat dilihat dari ringkasan pada bebrapa negara dibawah ini.

Amerika Serikat
Di Amerika Serikat pernah dibuat satu undang-undang yang dikenal dengan sebutan, “The False Claims Act” (31 USC Bagian 3729-33) juga disebut "UU Lincoln," " Undang-Undang informan," atau "Qui Tam Act,". Ini diperkenalkan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863, sebagai upaya mengahalangi penjualan mesiu palsu kepada pemerintah selama Perang Saudara. Undang-undang ini mulai berlaku selama Perang Saudara. Qui Tam adalah singkatan dari frase Latin "qui tam pro domino rege quam pro sic ipso in hoc parte sequitur", yang berarti "dia yang menggugat untuk Raja sebagai layaknya untuk dirinya sendiri." Ketentuan ini memungkinkan orang swasta, dikenal sebagai tukang cerita, untuk mengajukan gugatan atas nama Amerika Serikat, di mana orang swasta memiliki informasi bahwa ada orang yang secara telah sengaja dimasukkan atau menyebabkan pengajuan klaim palsu atau penipuan ke Amerika Amerika. Hal ini pada awalnya ditargetkan untuk menghentikan pemasok tidak jujur kepada militer Amerika Serikat pada saat perang saudara, karena situasinya tidak memungkinkkan pemerintah untuk menyelidiki dan menuntut penipuan itu sendiri. The False Claims Act dimaksudkan sebagai tawaran insentif bagi individu yang melaporkan perusahaan atau individu menipu pemerintah. Dalam bentuknya yang sekarang, False Claims Act digunakan memberdayakan Amerika Serikat untuk memulihkan dan menuntut kerugian dua kali lipat atas orang-orang yang membuat atau menyebabkan terjadinya klaim palsu atau yang memberikan informasi palsu untuk mendukung klaim. Hal ini dianggap penting untuk memulihkan adanya klaim palsu yang telah menimbulkan image buruk dan mencegah terjadinya penipuan terhadap pemerintah yan akan terpaksa membayar atau memberikan pelayanan tertentu karena adanya klaim palsu.
Meskipun hampir satu abad dan sukses mencegah para penipu, ketentuan qui tam telah diubah pada tahun 1943, perubahan terutama untuk mengurangi besarnya insentif bagi individu swasta sang pembuat cerita. Salah satu perubahan itu adalah mengurangi besarnya insentif dari sebesar 50% hasil yang diperoleh dari cerita whistleblower sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang 1863, dengan cara mempersulit prosedur sebagai pelapor, namun akibatnya, penipuan terhadap Pemerintah menjamur.
Pada tahun 1986, Presiden Ronald Reagan menandatangani perubahan undang-undang False Claims Act. Perubahan Undang-Undang telah membantu mengembalikan miliaran dolar ke kas sejak 1986 dan mencegah banyak penipuan. Menurut Undang-Undang, yang baru sipembuat cerita atau juga sering disebut relators sukses berhak memperoleh minimal 15% dan sampai 30% dari dana yang diterima Pemerintah. Selain itu, pelapor dilindungi dari pembalasan untuk kegiatan yang berkaitan dengan tindakan qui tam, tukang cerita harus membuktikan dengan bukti yang kuat bahwa terdakwa dengan sengaja mengajukan klaim palsu untuk pembayaran atau persetujuan kepada Pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa False Claims Act termasuk cikal bakal perlindungan terhadap whistleblower. Meskipun dalam perkembangannya masing-masing negara bagian mempunyai undang-undang dan pengaturan sendiri untuk melindungi para peniup terompet ini.
Selain itu masih ada lagi Whistleblower Protection Act 1989,yang memberikan perlindungan dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara. Ancaman, ganguan dan tindakan diskriminasi. Bahakan Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002, undang-undang yang lahir setelah kasus skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan dua perusahaan raksasa, WorldCom dan Enron, disebutkan bahwa perusahaan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengintimidasi, atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melaporkan penyimpangan yang terjadi diancam dengan pidana maksimal 10 tahun.
Inilah alasan bahwa diam itu adalah emas tidak sesuai dengan kontek The False Claims Act, sebab dengan diam mereka tidak akan menikmati pembagian hasil dari bunyi terompetnya. Justru dengen membuka suaralah mereka akan menghasilkan uang.
Inggris

Setidaknya sejak kasus Initial Services v Putterill [1968] 1 QB 396 , undang-undang telah memberikan pengecualian terhadap prinsip tidak boleh memberikan informasi rahasia bilamana ada kesalahan sepanjang hal itu untuk kepentingan umum. Namun, pengungkapan harus dberikan kepada seseorang yang memiliki minat, dalam hal ini, Lord Denning, berpendapat bahwa media memiliki ketertarikan yang cukup untuk tujuan ini. Dalam Lion Laboratories Ltd v Evans [1985] QB 526, dua karyawan memberikan salinan dokumen internal kepada surat kabar nasional, yang diragukan telah dibuat oleh majikan mereka. Perusahaan meminta pengadilan mengeluarkan perintah untuk mencegah publikasi informasi atas dasar pelanggaran kepercayaan. Permohonan ini gagal, karena karyawan dianggap bersikap adil dan mempunyai alasan untuk mengungkapkan informasi tentang perusahaan. Meskipun, Pengadilan Banding memutuskan bahwa pers tidak selalu menjadi media yang tepat untuk mengungkapkan rahasia perusahaan. Selanjutnya, dalam Re a Company’s Application [1989] IRLR 477, Pengadilan Tinggi menolak untuk memberi perintah pengadilan untuk mencegah seorang karyawan di sektor jasa keuangan mengungkapkan informasi rahasia mengenai perusahaan untuk badan pengawas, walaupun pengungkapan mungkin termotivasi oleh kebencian. Dalam hal ini Hakim Scott, berpendapat bahwa tugas seorang karyawan kepercayaan tidak mencegah mereka mengungkapkan hal-hal tertentu kepada badan pengawas yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki.
Public Interest Disclosure Act (PIDA), 1998 memberikan perlindungan kepada pengungkap atau pembuka rahasia atau whistleblower atau pekerja. Dalam perkara , Kraus v Penna plc [2004] IRLR 260, perlindungan yang diberikan kepada pembuka rahasia meliputi komunikasi lisan maupun tulisan. Hal yang perlu dicatat bawha peniup terompet itu akan dilindungi sepanjang mengungkapkan suatu informasi untuk kepentingan publik dan kepada orang yang tepat.
Perlindungan itu diberikan kepada mereka yang mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana atau tindakan melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, kerusakan lingkungan, membahayakan kesehatan individu dan keamanan atau penyembunyian salah satu malpraktek. Dalam hal keterbukaan Informasi terhadap majikan akan dilindungi sepanjang dilakukan dengan itikad baik. Keterbukaan Informasi yang melibatkan media dilakukan secara ketat, dan harus dilakukan dengan itikad baik. Cerita whistleblower harus dapat dipercaya dan informasi tersebut secara substansial benar, tidak dilakukan untuk keuntungan pribadi.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa para peniup terompet itu dilindungi dari ancaman pidana.
Canada
Di Kanada, perlindungan terhadap whistleblower sudah lama menjadi janji dari pemerintah, bahkan pada tahun 1993 pada saat Perdana Menteri Jean Chrétien dari Partai Liberal berkuasa dia menjanjikan untuk membersihkan pemerintahan, dan memberikan perlindungan kepada whistleblower adalah bagian dari janji itu.
Di Kanada, seperti pada negara-negara lain, terutama Amerika Serikat, sejumlah undang-undang, akan memberikan perlidungan terhadap karyawan yang memberikan laporan dari sikap balas dendam karena telah melaporkan majikan yang melakukan perbuatan melawan hukum khususnya mengenai pelanggaran terhadap kesehatan lingkungan dan keselamatan kerja.
Oleh karena itu di Kanada, whistleblowers baik di sektor publik dan swasta dilindungi oleh undang-undang, khususnya hukum pidana. Sehingga "loyalitas" termasuk kewajiban untuk melakukan tugas dengan tekun dan terampil, untuk menahan diri dari membuka rahasia terkait dengan kontrak kerja, dan tidak mendiskreditkan majikan dinyatakan tidak berlaku bagi whistleblower. Artinya tugas seorang karyawan untuk menyimpan rahasia ditempat bekerja dapat diabaikan serpanjang untuk kepentingan publik.
Bahkan dalam Bill C-25, the Public Servants Disclosure Protection Act, klausul 15 melarang seseorang atasan melakukan pembalasan terhadap pegawai negeri. Bahkan jika seorang whistleblower mekaporkan adanya pembalasaan oleh atasannya maka dalam waktu 30 hari laporan tersebut akan diperiksa oleh Komite pemeriksa.
Apa yang hendak kami tegaskan bahwa di Kanada perlindungan yang diberikan kepada whistleblower itu adalah perlindungan dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindak apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.
Australia

Seluruh negara bagian di Australia telah memperkenalkan undang-undang yang relevan untuk sektor kebijakan publik sejak tahun 1993, pada semua negara bagian para pengungkap reahasia atau whistleblower selalu dilindungi dari tindakan hukum atau ancaman hukum.
Sebagai contoh di New South Wales perlindungan diberikan terhadap karyawan dengan tindakan :
- Identitas dirahasiakan;
- Perlindungan dari tindak pembalasan;
- Tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata;
- Perlindungan dari “defame” (tuntutan pencemaran nama baik);
- Perlindungan kondisional apabila nama dilepaskan ke media;

Di Australia diakui bahwa kesediaan pejabat publik untuk mengungkapkan kesalahan dalam organisasi mereka adalah elemen penting dalam demokrasi yang kuat, sama pentingnya dengan pekerjaan auditor-umum atau ombudsman. Itulah pula yang menjadi alasan memebrikan perlindungan kepada para pembuka rahasia atau whistleblower,

Afrika Selatan

Selama masa transisi demokrasi Afrika Selatan ditandai dengan tingginya tingkat kejahatan, termasuk korupsi yang meluas. Beberapa inisiatif telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan akuntabilitas dan memerangi korupsi. Upaya ini meliputi pembentukan badan khusus seperti Unit Investigasi Khusus, menjadi penyelenggara konferensi anti-korupsi (November 1998, April 1999 dan November 1999), serta mengesahkan undang-undang seperti Promotion of Access to Information Act and the Protected Disclosures Act.
Salah satu kendala utama dalam memerangi korupsi adalah kenyataan bahwa, tanpa ada perlindungan hukum, individu sering terlalu takut untuk berbicara atau 'meniup peluit' ketika melihat kegiatan korupsi yang terjadi di tempat mereka kerja. Meskipun mereka mungkin memiliki kewajiban untuk melaporkan kesalahan yang berhubungan dengan kondisi kerja mereka, orang-orang selalu akan manahan diri karena khawatir akan menjadi korban seperti di intimidasi.
Di Afrika Selatan, Protected Disclosures Act (no 26 of 2000) membuat ketentuan dan prosedur dalam hal karyawan di sektor publik dan swasta yang mengungkapkan informasi perilaku melanggar hukum atau korupsi oleh majikan mereka atau sesama karyawan, dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan mereka. Hal ini dianggap penting karena dapat digunakan sebagai senjata penting dalam upaya anti-korupsi, terutama mendorong karyawan untuk melaporkan kesalahan dan ketidak jujuran di lingkungan kerja, baik di sektor publik dan swasta.
Dalam bentuk sekarang, UU membuat ketentuan dan prosedur yang memungkinkan dapat membantu karyawan di sektor swasta dan publik untuk melaporkan perilaku melanggar hukum atau kejahatan dari majikan mereka atau rekan kerja. Berbagai jenis pengungkapan informasi yang dilindungi ditegaskan dalam UU, termasuk dugaan tindak pidana, perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan hukum.
Karyawan pemberi informasi tertentu dilindungi dari kerugian atas pekerjaan mereka. Termasuk yang dikenakan tindakan disipliner, dipecat, ditunda, diturunkan pangkatnya, dilecehkan, diintimidasi, dipindah ketempat yang tidak sesuai kualifikasinya. Undang-undang melarang majikan melakukan tindakan yang merugikan karyawan karena telah menjadi whistleblower. Jika tindakan majikan merugikan merugikan pekerja yang dikaitkan dengan membuka rahasia yang dilindungi, maka whistleblower yang bertibdak jujur dan bonafide akan dilindungi dan majikan tidak akan diizinkan untuk mengabaikan atau merugikan karyawan.

Hal ini, pada dasarnya, adalah bukti bahwa hukum melindungi para peniup terompet.

Indonesia sebenarnya punya kesempatan menggunakan instrumen ini saat pemerintah dan DPR melakukan pembahasan RUU perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian menjadi UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun konsep perlindungan pengungkap fakta ini justru tidak masuk dalam pembahasan. Akhirnya hilanglah kesempatan untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang memiliki potensi untuk melakukan reformasi sektor publik ini. Mudah-mudahan saja di masa depan, Indonesia dapat memiliki instrumen hukum ini. Seandainya saja para pajabat dan staf di lembaga publik Indonesia mulai berani menyuarakan suara mereka dari dalam tanpa rasa takut maka reformasi di institusi publik Indonesia akan banyak terbantu dan akan banyak kasus-kasus korupsi dan mafia hukum akan terungkap, seperti kasus Gayus, kasus penyuapan KPK, dan dahulu terungkap kasus Artalyta-Urip.

Berdasarkan hal tersebut maka tidaklah berlebihan dan sudah menjadi kewajiban Pemohon untuk lebih mengefektifkan dan mendorong keberadaan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi khususnya keberadaan pasal 10 ayat (2) yang berpotensi menghambat dan menimbulkan ketakutan orang-orang yang mau mengungkap kasus-kasus skandal besar di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Legal Standing Pemohon

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. Mahkamah Konstitusi (“MK”) berwenang melakukan pengujian terhadap Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”);

2. Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (”UU MK”), menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).

Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”

Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, …”

3. Sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang;

4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.


II. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa :

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.

Selanjutnya penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan :

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak mengatur mengenai kewenangan konstitusional, namun dengan menganalogikannya dengan definisi “hak konstitusional” maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur dalam UUD 1945.

2. Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sesuai Bukti P-3 yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) yang mengatur:

“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

3. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang sesuai Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan dimana Pemohon melaporkan adanya kejahatan yang terjadi secara sistematis dan terstruktur ditubuh Kepolisian Republik Indonesia kasus :
Kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (SATGAS) pada tanggal 18 Maret 2010 dan 12 April 2010 sesuai bukti P-4 dengan melaporkan :
- Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan.
- Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari
- Penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Polda-Polda seluruh Indonesia.
Kepada komisi III DPR RI pada tanggal 8 April 2010, sesuai bukti P-5 dengan melaporkan:
- Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan.
- Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari

4. Terbukti bahwa Pemohon telah memberikan kesaksian di media massa baik cetak maupun elektronik tentang dugaan tindak pidana korupsi yang secara sistematis dan terstruktur juga melibatkan oknum aparat hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan oknum Hakim di Pengadilan sesuai dengan Bukti P-5;

5. Bahwa atas partisipasi Pemohon tersebut telah direspon dengan baik oleh pihak-pihak berwenang termasuk pihak Kepolisian yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Laporan-laporan Pemohon tersebut khususnya Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan dan saat ini prosesnya sedang terus berjalan;

6. Bahwa terbukti Pemohon telah mengajukan permohonan perlindungan saksi kepada Lembaga Perlindungan saksi dan Korban pada tanggal 4 Mei 2010 sesuai dengan Bukti P-6 terhadap kasus-kasus yang telah Pemohon laporkan kepada DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan selanjutnya telah dibuatkan Perjanjian Perlindungan No: PERJ-007/I.3/LPSK/05/2010 antara LPSK dengan Pemohon sesuai Bukti P-7;

7. Bahwa terbukti atas laporan Pemohon yang lain yaitu Tindak pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari, penyidikan pihak Kepolisian, Pemohon telah dipanggil oleh BARESKRIM POLRI sebagai Saksi atas laporan polisi No.Pol: LP/272/IV/2010/Bareksrim, tanggal 21 April 2010 dengan surat Panggilan Nomor : S.Pgl/234/IV/2010/Pidkor&WCC yaitu pada tanggal 30 April 2010 dan berdasarkan surat Panggilan Nomor : S.Pgl/283/V/2010/Pidkor &WCC tanggal 7 Mei 2010, sesuai dengan Bukti P-8;

8. Bahwa terbukti pada tanggal 11 Mei 2010 yaitu pada saat Pemohon memenuhi Panggilan Kepolisian sebagai saksi, selanjutnya Polri meningkatkan status Pemohon menjadi Tersangka dan selanjutnya melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan terhadap Pemohon atas perkara yang dilaporkan pemohon yaitu Tindak pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/12/V/2010/Pidkor&WCC dan selanjutnya Pemohon ditempatkan di rumah tahanan Negara Jakarta Pusat di Mako Korps Brimob Polri sejak tanggal 11 Mei 2010, sesuai dengan Bukti P-9;

9. Bahwa terbukti tindakan penahanan yang dilakukan oleh BARESKRIM POLRI terhadap Pemohon juga didasarkan atas keterangan Kadiv Humas Mabes Polri dibeberapa mass media baik cetak maupun elektronik sesuai Bukti P-10 yang pada intinya mengatakan tindakan penahanan terhadap Pemohon juga didasari atas adanya ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) yang berbunyi:
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”

10. Bahwa terbukti Pemohon setelah menjalani penahanan juga dikenakan status Tersangka dalam perkara tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Penggunaan dan pertanggungjawaban Anggaran Hibah dari Pemprov Jawa Barat tahun 2008 oleh Polda Jawa Barat dan jajarannya, berdasarkan laporan polisi No.Pol : LP/261/IV/2010/BARESKRIM tanggal 12 April 2010, sebagaimana tercantum dalam BAP Pemohon sebagai Tersangka tanggal 10 Juni 2010 sesuai dengan Bukti P-10;

11. Bahwa terbukti kedudukan Pemohon yang sebelumnya adalah saksi pelapor dan telah meminta perlindungan hukum sebagai saksi pelapor di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban namun secara tiba-tiba telah dijadikan tersangka dan sekaligus dengan seketika telah dilakukan tindakan penahanan, adalah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalnya dan Pemohon telah dirugikan dengan penafsiran yang salah dari ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban oleh pihak Kepolisian;

12. Bahwa terbukti sebagai akibat dari adanya penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka tersebut, Pemohon mengalami kerugian konstitusional yaitu :
Pertama, Pemohon telah kehilangan hak untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan ini hilang karena Pemohon telah ditahan oleh Penyidik dengan alasan selain sebagai Saksi, Pemohon juga telah ditetapkan sebagai tersangka;
Kedua, Pemohon telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Ketiga, Pemohon telah kehilangan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
Keempat, Pemohon telah kehilangan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

13. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji undang-undang terthadap Undang-Undang Dasar, Pemohon mempunyai legal standing. Syarat pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan. Ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya undang-undang yang dimohon. Kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan.

14. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Pemohon (Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
Bahwa berdasarkan kwalifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon Warga Negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”), karena kedudukannya sebagai saksi dapat dijadikan tersangka dalam kasus yang sama. Sehingga haknya untuk mendapat perlindungan menjadi hilang. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

C. Fakta Persidangan

I. Fakta-fakta berdasarkan keterangan Pemohon Prinsipal

1. Bahwa pemohon ketika menyampaikan informasi adanya mafia hukum di Bareksrim bukan sebagai tersangka dan bukan sebagai orang yang menjadi terperiksa dalam kasus arwana, kasus rekening gendut ataupun kasus pilkada di jawa barat.
2. Bahwa pemohon datang ke Satgas pemberantasan mafia hukum untuk menyampaikan informasi adanya mafia hukum di lingkungan penyidik.
3. Bahwa pemohon ketika masih menjabat sebagai Kabareksrim belum sempat melaporkan ke satgas karena pada saat menjabat Kabareskrim kasus ini belum terungkap, karena penanganan kasus sejak menerima laporan dari PPATK sampai diproses kasus money laundrey di Direktorat II, kasus ini tidak pernah dilaporkan kepada pemohon, jadi sengaja dari awal digelapkan. Namun demikian, satu atau dua bulan sebelum Pemohon turun dari Kabareskrim, ada informasi bahwa telah terjadi pemecahan/pengurangan barang bukti dari 28 milyar menjadi 370 juta , dan pemohon langsung mengecek kepada penyidik, kepada kepala unit dan kepada direktur dan ternyata benar adanya.
4. Bahwa tidak hanya mengurangi alat bukti tetapi juga telah mengurangi jumlah tersangka dari semula 2 orang menjadi 1 orang dengan memalsukan laporan polisi. Atas perbuatan itu Pemohon telah memrintahkan kepada Direktur II pada saat itu Brigjen Edmon agar kasus diproses sebagaimana adanya, barang bukti 28 milyar tidak boleh dicairkan harus diproses tersendiri dan kasus korupsinya harus segera diungkap. Kemudian penyidik menyanggupinya.
5. Bahwa satu bulan setelah itu, Pemohon turun dari Kabareskrim, ternyata dana telah dicairkan oleh Direktur II yang baru, pencairan dilakukan 2 hari setelah Pemohon mendapatkan surat perintah untuk menyerahkan jabatan.
6. Bahwa pasal yang digunakan terhadap Tersangka dikurangi, pasal korupsi sudah tidak ada, pasal lain juga tidak ada, yang ada hanya pasal 372.
7. Bahwa 4 bulan setelah pemohon turun, atau sekitar awal bulan Maret, Pemohon mendapatkan informasi bahwa apa yang diperintahkan untuk mengungkap kasus secara tuntas dan mengungkap korupsi pajaknya tidak dijalankan bahkan sudah dicairkan.
8. Bahwa tgl 18 Maret Pemohon datang ke Satgas bukan hanya menyampaikan mafia hukum kasus Gayus Tambunan juga mafia hukum dalam penanganan kasus PT. Arwana Lestari yang omsetnya sampai 200 milyar. Pelakunya hamper sama dan modus operasinya juga hampir sama dengan membuat saksi palsu. Orang yang dijadikan saksi palsu juga sama adalah Andi Kosasih dan pengacaranya juga sama dan otak mafianya juga sama. Selain itu juga kami menyampaikan penggunaan anggaran pilkada dan diskusi mengenai 12 rekening gendut yang ditanyakan oleh Satgas yang terjadi pada jaman Kaplori Sutanto.
9. Bahwa anehnya terhadap kasus-kasus tersebut yang pemohon bukan sebagai tersangka dan bukan sebagai terperiksa, satu hari setelah memberikan pelaporan yaitu tanggal 19, Pemohon telah dijadikan tersangka pencemaran nama baik namun tidak berjalan sampai sekarang.
10. Bahwa beredar juga dipers berita berita bahwa Pemohon telah mendapat dana 5 milyar untuk kasus Gayus tetapi tidak berkembang sampai sekarang. Khusus kasus Arwana, pelapornya adalah pemohon yang mengungkap kasus tersebut, anehnya sampai sekarang kasus mafianya tidak jalan, tidak ada yang diperiksa yang terkait dengan mafia, justru Pemohonlah yang dijadikan tersangka atas keterangan dari seorang mafia yang bernama Syahril Johan bahwa katanya sekitar bulan Desember 2008 Pemohoan telah mendapat suap dari dia sebanyak 500 juta. Kasus pokoknya tidak jalan justru pemohon dijadikan tersangka dan saat ini telah dijadikan terdakwa hanya berdasarkan keterangan seorang mafia Syahril Johan.
11. Bahwa dalam kasus ini Pemohon masih polisi aktif dan pernah menjabat Kabareskrim, alangkah bodohnya jika pemohon terlibat dalam kasus tersebut dan Pemohon juga yang mengungkap kasus tersebut.
12. Bahwa Pemohon justru menghambat keinginan dari penyuap yang menginkan kasus perdata ini menjadi kasus pidana, kemudian Pemohon tidak mau dan maunya menunggu proses banding, dan menang orang yang dijadikan tersangka.
13. Bahwa kasus Arwana menurut keterangan mafia SJ, pemegang sahamnya adalah atasan Pemohon , yaitu mantan Wakapolri, jadi bagaimana mungkin Pemohon menerima suap dari perusahaan yang milik mantan atasan pemohon, dan faktanya sekarang pemohon sudah menjadi Terdakwa untuk perkara itu.
14. Bahwa kemudian Pemohon dikenakan kasus lain karena pemohon berbicara mengenai penggunaan anggaran dan justru dicarikan kasus anggaran di jawa barat yaitu hibah pilkada. Bahwa pemohon yakin penggunaan dan pembukuan dan pertanggungjawaban dana hibah di jawa barat adalah yang terbaik pertanggungjawabannya di Indonesia, namun anehnya yang dikorek korek hanya satu polda saja, yaitu Polda Jabar sedangkan polda yang lainnya tidak.
15. Kemudian terkait dengan rekening gendut, nama pemohon juga dikaitkan dan nama dalam rekening gendut itu Pemohon tidak bersama-sama dengan 23 atau 30 perwira yang disinyalir. Bahwa Kejadiannya pemohon sendirilah yang membuka yaitu sekitar bulan mei atau juni 2009, karena rekening pemohon dipakai oleh anak pemohon untuk transaksi jual rumah dan tanah, dan agar uangnya tidak hilang, pinjam rekening Pemohon dipinjam, dan Pemohon telah melaporkan ke Kapolri, karena tahun 2009 Pemohon masih menjabat sebagai kabareskrim. Pemohon menyampaikan rekeningnya dipakai, Ada bukti jual beli, bukti surat perjanjian, bukti kepemilikan, bukti kwitansi dan bukti transfer, bahkan pembeli belum melunasi masih ada sisa 200 juta dikarenakan sertifikat belum jadi oleh pengembang.
16. Bahwa anehnya dalam rekening gendut, justru rekening yang lainnya aman, kecuali rekening pemohon. Dari sini Nampak jelas bahwa Pemohon seolah-olah ingin dijadikan target harus dijadikan tersangka harus diseret ke pengadilan, Pemohon tidak tahu apakah ini balas dendam atau merupakan pemberian hadiah, yaitu hadiah ditahan dan sudah hampir 106 hari Pemohon telah ditahan. Dan mungkin jika Pemohon bebas karena jangka waktunya telah habis demi hukum untuk kasus , maka Pemohon akan ditunggu lagi dengan kasus kedua, kasus ketiga. Inilah yang pemohon alami.
17. Bahwa keinginan Pemohon menyampaikan di forum MK keinginan pemohon untuk menyampaikan uji materil bukan semata-mata untuk kepentingan pemohon, melindungi Pemohon, tetapi Pemohon menginginkan agar kejadian yang pahit ini tidak dialami oleh whistle blower atau orang lain. Karena dalam pengungkapan kasus korupsi sangat diperlukan orang dari dalam. Karena korupsi bergerak dari pimpinan, pemegang otoritas keuangan dan pimpinan proyek. Tetapi jseorang Kabareskrim dan seorang perwira polri yang aktif masih diperlakukan seperti, dicurigai dan untuk meminta penangguhan penahanan saja tidak bisa karena dicurigai akan melarikan diri, bayangkan jika seorang rakyat biasa atau pegawai kantor kecil yang mengetahui adanya korupsi akan bagaimana?
18. Bahwa sekali lagi ini tidak semata-mata untuk kepentingan Pemohon, tetapi untuk yang lain, dan untuk kepentingan pengungkapan kasus korupsi di Indonesia sesuai dengan amanat Bpk presiden bahwa beliau akan memimpin langsung pemberantasan kasus korupsi.
19. Bahwa apa yang pemohon sampaikan adalah benar adanya dan walaupun masyarakat Indonesia masih menunggu kenapa belum sampai pada level atasnya. Bahwa Pemohon mengatakan pengungkapan kasus mafia pajak kalau benar kita ungkap dengan baik akan meningkatkan penerimaan pajak kita sehingga akan meningkatkan samapi 2000 triliyun dan pembayaran gaji pegawai negeri akan naik.
20. Bahwa pemohon dalam hati masih belum menerima, apa yang dilakukan pemohon belum sampai membuahkan hasil yang diharapkan. Dan akibat dari apa yang disampaikan ini Pemohon terpisah dari keluarga, dan pemohon sebagai seorang penyidik merasakan bagaiamana kehidupan dalam sel dan merasakan berbagai hikmah bahwa ternyata penegakan hukum kita belum baik, belum sesuai harapan dan masih menimbulkan ketakutan.
21. Bahwa menurut pemohon kepastian hukum belum ada, dan hak Pemohon untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 belum terwujud dengan Pemohon diperlakukan seperti ini.
22. Bahwa pemohon memohon dengan hormat kepada Majelis Hakim sudilah kiranya agar permohonan yang diajukan kuasa hukum pemohon dapat dikabulkan.
23. Bahwa mengenai LPSK, pemohon sudah mengajukan untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK, dan LPSK sudah menetapkan pemohon sesuai prosedur dalam perlindungan LPSK dalam rapat paripurna LPSK dinyatakan bahwa Pemohon sah sebagai saksi Pelapor dan sebagai Whistle blower, namun perlindungan itu baru terwujud diatas kertas resmi skarang statusnya dalam perlindungan LPSK, namun secara fisik belum bisa diwujudkan, karena pemohon saat ini statusnya sebagai tahanan kejaksaan, penuntut umum. Karena masih status dalam tahanan, maka kekhawatiran-kekhawatiran untuk menyampaikan informasi-informasi tetap ada dalam diri Pemohon.

II. Pokok-Pokok Keterangan Pemerintah

Bahwa terhadap alasan argumentative dari pemohon, pemerintah memberikan penjelasan sbb:

1. UU No 13 Tahun 2006 ttg LPSK dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam perkara pidana. Pasal 4 UU tsb menyebutkan perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman terhadap saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam setiap proses pidana, sehingga tidak ada rasa takut dari ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak-pihak tertentu. UU ini equivalen dengan victim and whitnes protection act yang dijumpai di berbagai Negara, seperti amerika utara dan Australia. Berkaitan dengan whistle blower atau pemukul kentongan yang disebutkan oleh pemohon, terdapat ketetuan khusus yang diatur dalam whistle blower act yang tidak dimasukan dalam victim and whitnes protection act, dan ketentuan ini memang belum dijumpai di Negara RI.
Pasal 10 ayat (1) yang mengawali Pasal 10 ayat (2) merupakan. Pasal yang menegakkan kembali persfektif HAM dan hukum dari Negara terhadap saksi dan korban serta pelapor, sedangkan pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 yang mengatakan
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”

2. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) tsb mempunyai makna atau penegasan bahwa UU ini menolak adanya impuinity, seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana tidak dapat dibebaskan karena semata-mata karenaia telah memberikan keterangan sebagai saksi. Pasal ini justru menegakkan prinsip rule of low yang dijunjung tinggi oleh Negara RI sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Pasal 10 ayat (1) yang mengawali pasal 10 ayat (2) ini menegaskan bahwa perlindungan HAM kepada saksi dan korban diberikan dengan dilarangnya dilakukan atau dituntutnya secara hukum baik secara pidana atau perdata atas laporan kesaksiannya yang akan datang, yang sedang atau telah diberikan oleh masing-masing korban atau saksi sendiri dan bukan yang diberikan oleh orang lain. Oleh sebab itu pasal 10 ayat (2) ini tidak datang dengan tiba-tiba akan tetapi dilandasi dan merupakan substimasi dari nilai nilai keadilan yang menjadi aturan dalam integrated system yang dijunjung oleh Negara RI.

3. Dengan demikian ketentuan pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 telah sangat mudah dipahami sehingga tidak lagi memerlukan penafsiran. Oleh karenanya pernyataan bahwa akan terjadinya penafsiran merupakan pendapat yang sulit dipertahankan. Apabila rumusan pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 dipahami secara benar maka dapat diketahui secara jelas bahwa ketentuan ini menegakan prinsip prinsip dasar hak setiap WNI dihadapan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), pasal 28 G ayat (1), pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Pasal 27 ayat (1) mengatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Pasal 28D ayat (1) , yang menyatakan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dan Pasal 28G ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

Kemudian Pasal 28J ayat (2) menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

4. Selanjutnya UUD 1945 menegaskan bahwa Negara RI adalah Negara hukum dan bukan atas kekuasaan belaka, hal ini berarti bahwa Negara RI adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi HAM, menjamin p seluruh WNI dalam hukum, pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya. Hukum mempunyai peran dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hukum menetapkan apa yang boleh dan apa yang dilarang dilakukan. Sebagai Negara hukum, karenanya kepastian hukum harus ditegakkan. Oleh sebab itu pengekangan kebebasan bergerak yang dialami oleh pemohon akibat dilakukannya penahanan terhadap diri pemohon adalah merupakan implementasi dari prinsip persamaan dimuka hukum (equality above the law) yang merupakan bagian bagian dari acses to justice, suatu prinsip yang sangat terkait persamaan manusia dihadapan hukum. Karena semua manusia sama dalam arti siapapun yang telah melakukan tindak pidana maka terhadap pelaku tindak pidana tersebut harus diperlakukan sama dihadapan hukum dan tidak boleh dikecualikan. Dengan demikian ketentuan pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 ttg LPSK tidak bertentangan dengan UUD 1945.


III. Pokok-Pokok Keterangan DPR

Terhadap Pengujian terhadap pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 ttg PSK terhadap UUD 1945, DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa untuk memahami roh dari norma pasal 10 ayat (2) haruslah memperhatikan latar belakang perumusan pasal tersebut. Makna yang terkandung dalam pasal 10 ayat (2) penting untuk dipahami, dasar perumusan pasal aquo tidak dipahami secara subjektif tetapi dilakukan dari sudut pandang objektif dengan melihat kepada perbuatan. Perdebatan mengenai perumusan pasal 10 ayat (2) ini dapat diteliti dibaca dalam risalah rapat pembahasan panitia kerja RUU PSK tgl 24 Mei 2006 dapat disampaikan sebagai berikut:
Di Dim No 53 yaitu pasal 10, yaitu seorang saksi dan juga seorang tersangka tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiaannya dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan atas pidana yang akan dijatuhkan. Ide dasarnya adalah kemadirian, namun pelaksanaannya adalah di Kepolisian yang sampai saat ini mempunyai alat untuk memberikan perlindungan terhadap saksi itu. (vide buku I proses pembahasan RUU Perlindungan saksi dan korban, Jakarta sekjen DPR RI, hal 515)

2. Bahwa terhadap perumusan Pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan seorang saksi dan juga seorang tersangka tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, kendati demikian kesaksian seorang saksi yang juga menjadi tersangka dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan atas pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Atas dasar itu DPR berpendapat bahwa sesungguhnya ketentuan pasal 10 ayat (2) aquo yang terkait dengan Pasal 10 ayat (1) UU aquo mengandung norma hukum yang jelas dan pasti memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan pelapor yaitu pada dasarnya saksi dan pelapor diberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas laporannya, kesaksian yang sedang atau akan diberikan, namun ketentuan ini harus dimaknai bahwa saksi dan korban tersebut tidak tersangkut dengan tindak pidana atau perkara-perkara yang dilaporkan. Oleh karenanya ketentuan pasal 10 ayat (2) aquo tidak berlaku bagi saksi dan korban manakala terlibat dengan tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan atau penyelidikan.

3. Bahwa pemohon dalam permohonan aquo tidak menguraikan secara konkret alasan yuridis permohonan pengujian terhadap Pasal 10 ayat (2) UU aquo dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1), pasal 28 G ayat (1), pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga sesungguhnya tidak mampu menguraikan secara actual tentang timbulnya kerugian secara konstitusional yang secara nyata dialami oleh pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU aquo. Seadaiyapun saat ini mengalami kerugian karena ditetapkan sebagai tersangka, menurut DPR hal ini sama sekali tidak ada relevansinya atau bukan disebabkan karena norma yang terkandung dalam pasal 10 ayat (2) UU aquo. Oleh karena itu DPR berpendapat bahwa ketentuan pasal 10 ayat (2) UU aquo secara hukum normanya sudah benar, jelas dan pasti, yaitu seorang saksi yang sekaligus tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini berlaku bagi setiap orang yang menjadi saksi dan juga sekaligus sebagai tersangka, artinya seorang saksi yang tidak berstatus sebagai tersangka belum tentu mendapat perlindungan hukum yang berbeda dengan seorang saksi yang sekaligus menjadi tersangka

4. Bahwa DPR berpandangan ketentuan pasal 10 ayat (2) UU aquo sama sekali tidak menghalangi dan mengurangi hak konstitusional pemohon untuk memberikan pengakuan, perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, juga hak mendapat perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat dan harta benda, serta berhak mendapat perlindungan atas ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) dan pasal 28 G ayat (1), UUD 1945. Bahwa pemohon baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka tetap mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Oleh karena itu ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU aquo sudah sesuai dengan dan sejalan dengan perlindungan HAM yang diberikan dan dijamin oleh Pasal 28 D ayat (1), pasal 28 G ayat (1), UUD 1945. Tentu saja ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi pemohon yang meskipun menjadi saksi manakala terbukti secara sah dan meyakinkan secara kuat terlibat melakukan perbuatan tindak pidana. Dengan demikian kerugian hak konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon tidak ada relevansi dengan jaminan yang diberikan oleh Pasal 28 D ayat (1), pasal 28 G ayat (1), UUD 1945.

5. Bahwa adanya perbedaan penafsiran antara LPSK dengan penyidik polri terhadap makna yang terkandung dalam pengertian Pasal 10 ayat (2)UU aquo yang didalilkan oleh pemohon, menurut DPR hal ini bukan merupakan persoalan konstitusionalitas melainkan semata-mata hanya terjadi perbedaan pemahaman atau tafsir atas suatu ketentuan perUUan yang dimungkinkan dari implementasi terhadap penerapan hukum. Namun demikian perlu kami sampaikan bahwa apa yang terkandung dalam pasal 10ayat (2) sudah jelas sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 10 ayat (2).
Bahwa berdasarkan rapat dengan pendapat antara komisi III dengan LPSK pada tanggal 3 Juni 2010 disampaikan pokok2 pembicaraan diantaranya sbb:
- Anggota komisi III DPR mengusulkan kepada LPSK jika LPSK menemukan hambatan atas UU PSK yang berlaku, maka LPSK diminta secara aktif mengusulkan perubahan, dengan ditemukan hambatan maka komisi III akan membantu LPSK dalam proses legislasi
- Komisi III mendesak LPSK agar proaktif mengungkap kasus-kasus yang diungkap oleh saksi-saksi karena UU telah memberikan kewenangan yang lex spesialis kepada LPSK untuk mengungkap kasus kasus tersebut
- Komisi III meminta LPSK komitmen yang tinggi atas pelaksanaan tugas pokok dalam fungsi memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban khususnya para whistle blower.
- Komisi III mendukung langkah LPSK untuk menyusun naskah akademik perubahan UU No 13 Tahun 2006 dan dapat menjadi agenda prioritas dalam program legislasi tahun 2010.
- Komisi III mendukung LPSK untuk menjalankan kewenangan dalam memberikan perlindungan terhadap seluruh saksi dan korban yang meminta perlindungan hukum kepada LPSK dan memberikan manfaat terhadap penegakan hukum termasuk kepada Komjen Pol Drs Susno Duadji selaku whistle blower dalam mengungkap kasus mafia hukum, dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait yang intensif kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung serta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan perlindungan tersebut dapat segera diberikan.


IV. Pokok-Pokok Keterangan Ahli

1. Ahli Prof. Saldi Isra

1. Pengujian Pasal 10 ayat (2) harus memahami secara seksama konsideran menimbang yang ada dalam UU No 13/2006. Didalam konsiderans menimbang itu baik huruf a, b dan c dalam pemahaman ahli itu adalah gambaran betapa diperlukannya keterangan saksi dan /korban baik yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri, karena selama ini untuk banyak kejahatan terutama korupsi dan praktek mafia hukum lainnya itu terbentur atau tidak bisa diungkap seluruhnya karena sulit mendapatkan keterangan saksi yang bisa membongkar secara tuntas tindak pidana yang dilakukan itu.

2. Oleh karena itu dirasa perlu adanya suatu UU khusus yang bisa memberikan perlindungan khsusus kepada orang-orang yang bisa memberikan keterangan yang sering disebut whistle blower.Kenapa ini diperlukan? Sebetulnya di dalam konsideran itu karena selama ini ahlipun punya pengalaman bagaimana mengungkap kasus korupsi di Sumatera Barat. Kenapa orang menjadi enggan menjadi pelapor atau saksi karena adanya ancaman terhadap orang yang melaporkan itu. Untuk kejahatan besar seperti korupsi biasanya orang berhadapan dengan kekuatan-kekutan yang maha dahsyat baik itu di struktur pemerintahan ataupun yang di luar termasuk juga yang ada disekitar penegak hukum. Jadi tiga konsiderans ini menurut ahli memperlihatkan adanya alasan urgensi UU No 13/2006.
Namun kemudian kehadiran pasal 10 ayat (2) yang menyatakan
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”

3. Dalam pemaham ahli ketentuan ini berpotensi merusak atau menggagalkan maksud awal pembentukan UU No 13/2006. Disini ada silang pendapat ada yang mengatakan ini clear rumusannya namun ada yang mengatakan ini tidak. Namun dalam pemahaman ahli ketentuan yang ada dalam Pasal 10 ayat (2) kalau kita rujuk dalam penjelasannya itu dikatakan cukup jelas saja. Dalam pemahaman ahli ini bisa menimbulkan banyak ruang penafsiran untuk seorang saksi yang juga tersangka, untuk frasa itu saja bisa menimbulkan banyak penafsiran, apakah orang itu jadi saksi duluan ataukah jadi tersangka duluan, jadi ini bisa menimbulkan kekeliruan dalam penerapannya yang paling tidak itu yang dialami oleh pemohon principal yang diajukan dalam permohonannya ini. Itu salah satu yang bisa menimbulkan perdebatan. Menurut ahli kata “juga” dalam frasa itu, itu mestinya tersangkanya lebih dulu ketimbang ia memberikan kesaksian yang terkait dengan kasus konkrit yang dihadapi.

4. Ahli menyebutkan dengan mengambil contoh kasus yang dialami Susno Duadji mengirimkan pesan yang jelas bahwa UU No 13/2006 tidak mampu memberikan perlindungan terhadap saksi. Tadi sudah dijelaskan dengan posisi setinggi Susno Duadji saja UU tidak bisa memberikan proteksi, apalagi terhadap orang yang posisinya lebih rendah dari itu, dan dalam pemahaman ahli, Pasal ini dalam pelaksanaannya ini menjadi kabarpetakut bagi orang yang ingin membongkar skandal besar termasuk koruspsi dan praktek mafia hukum. Kalau pasal 10 ayat (2) kita rujuk dengan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan salah satu yang menjadi asas disitu adalah kejelasan tujuan merupakan asas pembentukan peraturan perUUan, yang kemudian dalam penjelasannya disebutkan yang dmaksud dengan kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

5. Tadi ahli sudah menjelaskan diawal tujuan apa yang hendak dicapai dengan membentuk UU ini itu sebetulnya bisa dibaca baik secara implicit maupun ekspilist dalam konsideran menimbang huruf a, b dan c UU No 13/2006. Dalam Pasal 10 ayat (2) itu kalau digunakan pendekatan sistemik pasal itu berada dalam bab 2 tentang perlindungan saksi dan korban. Seharusnya, dlaam pemahaman ahli, semua norma yang ada dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Namun ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 tidak saja sejalan dengan maksud dalam bab 2, karena kehadiran ketentuan tersebut justru tidak memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Secara terang terangan kehadiran Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 justru dapat mengancam saksi dan korban. Itulah yang dialami oleh Pemohon principal dalam kasus ini.

6. Selain itu frasa “tidak dapat dibebaskan”, jadi ada frasa lain dalam pasal yang sama… tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, berpotensi menimbulkan tafsir ganda atau multi interpretasi dan ambigu. Rumusan yang demikian tidak sesuai dengan pasal 5 huruf f UU No Tahun 2004 yang menyatakan bahwa aturan perundang-undangan berdasarkan asas kejelasan rumusan. Dalam pemahaman teori perUUan apa yang dimaksud dengan kejelasan rumusan adalah rumusan tersebut tidak mengandung makna ganda, ambigu atau bisa ditafsirkan bermacam-macam. Di dalam penjelasan pasal 5 huruf f, yang dimaksud dengan kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perUUan harus memenuhi prasyarat teknis penyusunan peraturan perUUan, sistematika dann pilihan kata atau terminology. Bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan bermacam-macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Kalau tadi pemohon principal menyebutkan adanya perbedaan pemahaman antara LPSK dengan kepolisian salah satu muncul karena ada ruang interpretasi yang ada dalam Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006. Dalam konteks yang lebih luas, ketentuan pasal 10 ayat (2) dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan harus ada kepastian hukum yang adil. Selengkapnya;
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Tentu kalau ada saksi yang memposisikan dirinya sebagai whistle blower itu tentu berbeda dengan saksi-saksi lain yang bukan whistle blower. Jadi whistle blower memang diakui sebagai saksi tapi tidak semua saksi adalah whistle blower. Kalau menyapadankan frasa ini mesti juga disepadangkan dengan posisi saksi yang juga whistle blower. Itu penjelasan ahli terkait dengan asas kepastian hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri.

8. Yang kedua, ahli akan menjelaskan dari asas manfaat.
Dalam konteks pemberantasan korupsi dan mafia hukum, ketentuan yang terdapat dalam Pasla 10 ayat (2) UU no 13/2006 tidak hanya merusak kepastian hukum tetapi juga berpotensi tujuan hukum lain yang tidak kalah fundamentalnya yaitu asas kemanfaatan. Secara sederhana ketentuan tersebut dapat menimbulkan ketakutan baru bagi seseorang yang diharapkan bersedia memberikan keterangan terkait dengan tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana, suap, korupsi dan praktek mafia hukum.
Ahli menjelaskan beberapa argumentasi atau argumentasi lain yang dapat menegaskan bahwa pasal 10 ayat (2) tidak member manfaat dalam agenda pemberantasan korupsi dan praktek mafia hukum.
a) Ketentuan itu dapat memberikan pesan kepada masyarakat bahwa UU No 13 /2006 tidak dapat memberikan jaminan bagi saksi dan korban.
b) ketentuan tersebut semakin menyulitkan mendapatkan saksi kunci dalam kasus korupsi dan praktek mafia hukum terutama kategori skandal, atau kasus kasus besar seperti kasus korupsi.
c) Penegakan hukum akan semakin sulit membongkar korupsi dan praktek mafia hukum dilingkungan aparat penegak hukum itu sendiri. Apa yang dialami pemohon principal dalam permohonannya ini sebetulnya itu bisa menjadi sinyal bagi semua penegak hukum, orang sekelas Susno Duadji saja bisa mendapatkan perlakuan seperti itu apalagi aparat hukum yang berada dilevel yang rendah.
d) Saksi yang memberikan keterangan dapat saja menjadi tersangka.

9. Itulah beberapa alasan/argument ahli mengatakan bahwa keberadaan/eksistensi Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 tidak memperhatikan asas manfaat, terutama pertimbangan-pertimbangan pentingnya kehadiran UU No 13/2006. Ketentuan masalah whistele blower di beberapa Negara, dalam pemahaman ahli, itu tidak lebih karena ada manfaat yang diperoleh dalam memberikan perlindungan kepada saksi. Menurut pendapat ahli ketentuan-ketentuan yang ada di Negara-negara lain itu juga dengan maksud agar mempermudah penangan hukum terutama yang terkait dengan kasus korupsi.

10. Sebagai bagian akhir, ahli hendak menyampaikan, mungkin ada yang berpandangan bahwa ini clear dan ada yang berpandangan tidak, jadi pada tempatnyalah kemudian MK mengambil posisi bagaimana posisi pasal 10 ayat (2) dalam konteks yang lebih besar tidak hanya terkait dengan kasus Susno Duadji tetapi juga harus diletakkan dalam skala yang lebih besar yaitu agenda pemberantasan korupsi dan agenda pemberantasan mafia hukum. Dalam pemahaman ahli kalau kemudian orang merasa terancam dalam memberikan keterangan terkait dengan skandal korupsi korupsi atau praktek mafia hukum lainnya kita hari demi hari kedepannya akan semakin sulit menemukan orang yang mau mewakafkan waktunya, mau mewakafkan dirinya untuk menjadi saksi yang nanti bisa membongkar praktek2 mafia hukum termasuk praktek korupsi. Oleh karena itu dalam pandangan ahli, pasal ini harusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini dilihat dalam konteks yang lebih luas terutama bagaimana mempercepat atau mensukseskan agenda pemberantasan korupsi.

2. Ahli Dr. Edy Oemar Syarif
Apakah ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No 13 tahun 2006 bertentangan dengan ketentuan Pasal-pasal dalam UUD 1945, ahli akan menyampaikan pendapat sebagai berikut:

Pertama, Dengan menggunakan interpretasi hystoris mengenai sejarah whistle Blower.
1. Interpretasi hystoris adalah penafsiran makna UU menurut terjadinya dengan cara meneliti sejarah terjadinya UU tsb. Interpretasi hystoris juga meliputi secara hukum yakni penentuan makna dari sebuah kaedah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara konteks kemasyarakatan dimasa lampau.
2. Menurut sejarahnya whistle blower itu sendiri sangat erat kaitannya dengan organisasi kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di italia yang berasal dari palemo cicilia, sehingga sering disebut cicilia mafia atau costa nostra.
3. Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso bergerak dalam perdagangan heroin dan berkembang di berbagai belahan dunia, sehngga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai Negara seperti mafia di rusia, cartel di Colombia, triad di Cina dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi mafia tersebut sehingga orang-orang mereka bisa menguasasi berbagai sector kekuasaan, apakah itu eksekutif, legislative dan yudikatif, termasuk aparat penegak hukum.
4. Tidak jarang suatu sindikat bisa terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang “berkhianat”, artinya salah seorang dari mereka berfungsi sebagai peniup pluit atau whistle blower untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan. Sebagai imbalannya si whistleblower tersebut dibebaskan dari tuntutan pidana. Dengan demikian ketentuan pasal 10 ayat (2) UU aquo bertentangan dengan smangat whistle blower itu sendiri.
Yang berikut adalah interpretasi doktriner.
Yang dimaksud dengan interpretasi doktriner adalah memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu doktrin tertentu yang dalam hal ini adalah doktrin mengenai whistle blower. Ada 3 hal mengenai whistle blower yang perlu mendapat perhatian:
1. Harus sesegera mungkin si whistleblower diberi perlindungan, hal ini dimaksud agar dia tidak dibunuh oleh komplotannya.
2. Informasi dari whistle blower dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan tersebut
3. Jika whistle blower memberikan informasi sehingga bisa membongkar sindikat kejahatan sampai keakar-akarnya maka hal ini dipakai sebagai alasan penghapus tuntutan pidana.

Tiga ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU aquo tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower, karena ybs tersebut tetap akan dijatuhi pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut. Artinya disatu sisi pasal tsb memberikan perlindungan namun disisi lain whistle blower tidak mendapat jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana atas kesaksian yang diberikan. Dengan demikian Pasal 10 ayat (2) tidak memberikan kepastian hukum kepada whistle blower.

Yang berikut adalah interpretasi Gramatikal.
Yaitu ketentuan UU ditafsirkan dengan cara menguraikan menurut bahasa umum sehari-hari. Ketentuan pasal 10 ayat (2) UU Aquo bersifat ambigu, tidak memenuhi prinsip lexetra dalam hukum pidana dan cenderung contralegem dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1). Bila diuraikan secara gramatikal menimbulkan tiga kerancuan
1. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama akan menghilangkan hak eksisasi terdakwa, padahal hak eksisisasi terhadap terdakwa adalah salah satu unsure objektifitas peradilan. Di satu sisi ketika orang tersebut sebagai saksi di pengadilan, keterangannya sah sebagai alat bukti jika diucapkan dibawah sumpah, namun disisi lain ketika ybs berstatus sebagai terdakwa, keterangan yang diberikan tidak dibawah sumpah.
2. Kalimat tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersifat ambigu dan menimbulkan pertanyaan siapakah yang bisa disidangkan lebih dahulu apakah si whistle blower atau pelaku yang dilaporkan si whistleblower ataukah akan disidangkan secara bersamaan.
3. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) bersifat contra legem dengan ketentuan Pasal 10ayat (1) pada hakekatnya menyatakan bahwa “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”,

Yang berikut adalah Interpretasi Sistematis atau Logis.
Menafsirkan ketentuan perUUan dengan menghubungkannya dengan semua pasal dalam UU tersebut pada aturan hukum atau dengan UU lain atau dengan keseluruhan system hukum.
Dalam metode penemuan hukum khususnya hukum pidana, paling tidak ada 7 prinsip, salah satu prinsip tersebut adalah prinsip titulus et lex dan rubrica et lex
Prinsip yang pertama disebut berarti bahwa judul perUUan yang menentukan, sedangkan prinsip yang kedua berarti rubric atau bagian perUUan lah yang menetukan. In casu aquo, Pasal 10 ayat (2) secara rubric et lex berada dalam bab 2 tentang perlindungan dan hak saksi dan korban, sedangkan susbstansi pasal tersebut tidak menjamin perlindungan hukum kepada whistle blower dari tuntutan hukum terutama hukum pidana. Demikian pula secara titulus et lex, judul perUUan tersebut adalah Perlindungan Saksi dan Korban, jadi apapun status dari saksi tersebut harus tetap diberi perlindungan.
Kelima ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU aquo terlepas dari konteks perlindungan itu sendiri, dengan demikian ketentuan tersebut tidak menjamin kepastian hukum dan perlindungan HAM

Yang terakhir adalah Interpretasi komparatif.
Interpretasi dengan membandingkan ketentuan tersebut di Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Australia, Canada, dan Inggris. Bahwa interpretasi komparatif biasanya juga melihat UU diberbagai Negara yang timbul dari perjanjian internasional, dalam konteks yang demikian Indonesia pernah meratifikasi United Nation Anti Corruption Convention Ratification…dengan UU No 7 tahun 2006.
Ketentuan pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 secara substansi bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat 1 konvensi PBB mengenai anti korupsi yang secara eksplisit menyatakan setiap Negara pihak wajib mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan system hukum nasionalnya dan dalam kewenangannya memberikan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau intimidasi terhadap saksi yang memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan sesuai konvensi, dan sebagaimana layaknya bagi keluarga mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka.
Pada akhirnya ahli berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat, dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dimaksud UUD 1945.

D. Alasan-alasan Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)

1. Bahwa terbukti sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil;
2. Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berthak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
3. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
4. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
5. Bahwa demikian juga menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 28G ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hartabenda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asas”.

Namun pada kenyataannya, undang-undang tentang hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu masih mengandung kelemahan yang mendasar, karena dengan alasan pada saat yang bersamaan seseorang dapat ditetapkan sebagai saksi dan sebagai tersangka, tanpa ada perlindungan yang jelas terhadap kedudukan sebagai saksi;

6. Bahwa Pasal 10 ayat (1) secara jelas berhubungan dan tidak terpisahkan dari Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2006, yang menyatakan, “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”. Perlindungan terhadap saksi ini secara umum dikenal dengan sebutan perlindungan terhadap “whistleblower” yang tidak dapat dihukum. Dalam hubungan ini, Stephen M. Kohn, menyatakan, “….courts have recognized that the speech of government employees must be protected, even if it includes direct criticisms of their employing agencies. Courts have frequently recognized that “an employee’s First Amendment interest is entitled to more weight where he is acting as a whistleblower exposing government corruption”. As the Supreme Court noted, government employee speech on matters of public concern often occupies the “highest rung” in the “hierarchy of First Amendment values” and is “entitled to special protection” (Stephen M. Kohn : 2001, Concept and Procedures in Whistleblower Law, Quorum Books, h. 120)

7. Bahwa terbukti perlindungan terhadap saksi di Indonesia terutama yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi, tidak semata-mata berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006, karena pada tanggal 18 April 2006 Indonesia telah mendatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dimana dalam Pasal 32 dari UN Convention Against Corruption 2003 yang sudah ditandatangani oleh Indonesia memberikan perlindungan kepada saksi-saksi yang memberikan keterangan dan memberikan perlindungan kepada orang yang melaporkan adanya tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 32 ayat (1), dinyatakan,
“Each State Party shall take appropriate measures in accordance with its domestic legal system and within its means to provide effective protection from potential retaliation or intimidation for witnesses and experts who give testimony concerning offences established in accordance with this Convention and, as appropriate, for their relatives and other persons close to them”.

Kemudian dinyatakan pula dalam Pasal 32 ayat (2),

The measures envisaged in paragraph 1 of this article may include, inter alia, without prejudice to the rights of the defendant, including the right to due process:
(a) Establishing procedures for the physical protection of such persons, such as, to the extent necessary and feasible, relocating them and permitting, where appropriate, non-disclosure or limitations on the disclosure of information concerning the identity and whereabouts of such persons;

(b) Providing evidentiary rules to permit witnesses and experts to give testimony in a manner that ensures the safety of such persons, such as permitting testimony to be given through the use of communications technology such as video or other adequate means.

8. Bahwa oleh karena Indonesia telah menanda tangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), dan mengesahkannya menjadi UU No. 7 Tahun 2006, maka bagi Indonesia ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) mengikat secara hukum, sehingga Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan kepada saksi yang melaporkan adanya perbuatan korupsi sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003);

9. Bahwa dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) dinyatakan,
”bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana”;

Dinyatakan pula dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.
Selain itu dinyatakan juga dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”)
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribad keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

10. Bahwa terbukti beberapa negara memberikan perlindungan terhadap Saksi seperti dapat dilihat pada table dibawah ini :


No.
Nama Negara

Perlindungan kepada Saksi
Aturan yang mengatur
Status Tersangka
1. Amerika Serikat Perlindungan dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindakan diskriminasi. Whistleblower Protection Act 1989 Tidak
2. Afrika Selatan Perlindungan dari occupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan; Pasal 3 Protected Disclosures Act No. 26 Tahun 2000
Tidak
3. Kanada Perlindungan dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindak apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi. Section 425.1 Criminal Code of Canada
4. Indonesia Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan pidana.

Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2006



Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 Pasal 10 ayat (2)
Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dapat dituntut.
5. New South Wales, Australia - Identitas dirahasiakan;
- Perlindungan dari tindak pembalasan;
- Tidak ada pertanggungjawaban secara pidana atau perdata;
- Perlindungan dari “defame” (tuntutan pencemaran nama baik);
- Perlindungan kondisional apabila nama dilepaskan ke media; Pasal 20 dan 21 Protected Disclosures Act 1994 Tidak
6. United Kingdom - Tidak boleh dipecat karena menjadi whistleblower
- Perlindungan dari viktimisasi dan perlakuan yang merugikan/merusak Pasal 1 dan 2 Public Interest Disclosure Act 1998 Tidak


11. Bahwa khusus mengenai kedudukan seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) menyatakan :
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”;

12. Bahwa terbukti keberadaan Pasal 10 ayat (2) dapat dikatakan secara tiba-tiba muncul dan mengatur sesuatu yang tidak diatur dalam UU No. 13 tahun 2006. Pasal 10 ayat (2) ini secara hukum tidak mempunyai sandaran yang jelas dan kuat dengan hal-hal yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2006, khususnya pada pasal-pasal sebelum Pasal 10;

13. Bahwa terbukti norma dan atau masalah hukum yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, dikenal dalam doktrin dan praktik hukum di negara-negara yang menganut system Anglo-Saxon sebagai “Plea Bargaining”. Dalam praktik plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan sebut “guilty plea”. Dengan pernyataan bersalah inilah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman (Andrew Ashworth: 2000, Sentencing & Criminal Justice, third edition, Butterworths, h. 24); karena plea bargaining, sebagaimana dikemukakan oleh John Sprack, paling kurang mengandung empat pengertian,
“It can mean an agreement between the judge and the accused that if he pleads guilty to some or all of the offences charged against him the sentence will or will not take a certain form…….. Second, plea bargaining can mean an undertaking by the prosecution that if the accused will admit to certain charges they will refrain from putting more serious charge into the indictment or will ask the judge to impose relatively light sentence……. Thirdly, plea bargaining may refer to the prosecution agreeing with the defence that if the accused pleads guilty to a lesser offence they accept the plea…. Lastly, it may refer to the prosecution agreeing not to proceed on one or more counts in the indictment against the accused if he will plead guilty to the remainder” (John Sprack: 2002, EMMINS ON CRIMINAL PROCEDURE, Ninth Edition, Oxford, h. 251);

14. Bahwa terbukti rezim hukum yang mengatur kedudukan saksi dan korban sangat berbeda dengan rezim hukum yang mengatur “saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama”. Ketentuan hukum yang mengatur hak saksi dan korban secara jelas dan tegas diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006, sedangkan rezim hukum yang mengatur kedudukan saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama diatur oleh KUHAP UU No. 8 Tahun 1981, terbatas pada memberikan perlindungan terhadap kepentingan tersangka atau terdakwa, belum memberikan perlindungan kepentingan saksi atau korban perbuatan pidana;
Eddy O.S Hiariej berpandapat,
“Kalau mengacu pada ketentuan Pasal 10 ayat (2), Saksi yang juga Tersangka, dalam konteks hukum pidana terminologi ini tidak benar, Saksi ya Saksi, Tersangka ya Tersangka. Dalam hal kata-kata Saksi yang juga Tersangka pasti ini terjadi deelneming, terjadi yang namanya kroongetuige, Saksi Mahkota, sebab kalau Saksi dan sekaligus dia Tersangka adalah tunggal maka dia pasti disebut sebagai Tersangka atau Terdakwa, dia memberikan keterangan pengadilan adalah keterangan Terdakwa bukan keterangan Saksi.

Karena itu ketentuan Pasal 10 ayat (2) itu lalu merancukan Saksi Korban, Saksi Pelapor, karena Saksi menjadi Tersangka, ini menandakan kalau Saksi yang juga adalah Tersangka maka pasti di sini terjadi penyertaan, pasti lebih dari 1 orang pelakunya. Maka sebetulnya kata-kata Saksi yang juga Tersangka ini lebih merujuk kepada kroongetuige. Memang kroongetuige di satu sisi ini untuk mempermudah pembuktian, tetapi ini merusak objektifitas peradilan. Ada 4 objektifitas peradilan, sidang terbuka untuk umum, sidang diperiksa oleh Hakim Majelis, Putusan Hakim menganut pertimbangan-pertimbangan dan yang keempat ada hak ingkar dari Terdakwa. Sebab ketika saksi tersangka bersumpah dia sudah tidak punya hak ingkar lagi. Bisa-bisa diancam dengan sumpah palsu. Karena itu orang Saksi ya Saksi, Terdakwa atau Tersangka adalah Tersangka”.

MengenaI SAKSI MAHKOTA ini, patut dicermati pendapat dan catatan Prof. Mr. G.P.M.F. Mols dan Mr. G. Spong : 1997, De kroongetuige in het Octopus-proces, Gouda Quint, hal 31 menyatakan,
“Mijn defenitie van een ‘kroongetuige’ zou zijn : een persoon die in het criminele circuit actief is als dader van strafbare feiten en die daar uittreedt en justitie vervolgens informatie geeft over de structuur van een criminele organisatie, de door die organisatie gepleegde strafbare feiten en dergelijke, wardoor justitie grip kan op die organisatie, en die in ruil daarvoor in aanmerking komt voor van beloning. Wie die beloning geeft (het openbaar ministerie of de rechter) is voor mijn definitie niet van blang”.

Terjemahan bebasnya,
“Definisi yang akan saya berikan dari seorang ‘Saksi Mahkota’ adalah : seorang yang dalam sirkuit kriminalitas aktif sebagi pelaku perbuatan-perbuatan pidana dan kemudian keluar dari sirkuit tersebut, lalu kemudian memberikan informasi kepada kehakiman tentang struktur suatu organisasi kriminal, perbuatan-perbuatan pidana dan sebagainya yang dilakukan oleh organisasi yang bersangkutan, sehingga kehakiman bisa memperoleh pegangan atas organisasi tersebut, dan sebagai gantinya dipertimbangkan untuk mendapat suatu bentuk imbalan. Siapa yang memberi imbalan tersebut (kejaksaan atau kehakiman) tidak penting untuk definisi saya”.

Kemudian pada hal 34, yang antara lain menyatakan,
“ De deskundige Manunza verklaart, zakelijk weergegeven:
Sinds 1977 bestaat in Italie een kroongetuigenregeling.
Aanvankelijk was deze nog slechts gericht op terroristische activiteiten, sinds 1981 ook op ontvoeringen, sinds 1990 op verdovende middelen en sinds 1992 op deelname aan een criminele maffia-organisatie (dus niet een ‘gewone criminal organisatie). De groep delicten werd telkens uitgebreid nadat een schokkende gebeurtenis had plaatsgevonden. In 1992 vonden bijvoorbeeld aanslagen op rechters plaaats. Naar aanleiding daarvan is de regeling opgesteld die het mogelijk maakt aan mensen die reeds zijn veroordeeld, gunsten te verlenen in ruil voor verklaringen.
Verdachten die verklaren over strafbare feiten van anderen en die daardoor gevaar lopen, kunnen in aanmerking komen voor bescherming in de zin van een ‘fictieve immuniteit’”.

Terjemahan bebasnya,
“ Ahli Manunza menyatakan, secara pokok:
Sejak tahun 1977 di Italia terdapat peraturan saksi mahkota.
Pada mulanya peraturan tersebut hanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan teroris, sejak tahun 1981 juga pada penculikan, sejak tahun 1990 pada obat-obat bius dan sejak tahun 1992 pada penyertaan dalam satu organisasi kejahatan mafia ( jadi tidak dalam suatu organisasi kriminal biasa). Kelompok delik setiap kali diperluas setelah terjadi peristiwa yang mengguncangkan. Dalam tahun 1992 misalnya terjadi penyerangan terhadap Hakim. Sebagai akibatnya disusun peraturan yang memunkin orang-orang yang sudah dipidana, diberi imbalan sebagai ganti untuk keterangan.
Para tersangka yang memberikan keterangan tentang tindak pidana orang lain dan karena itu rawan terhadap bahaya, dapat dipertimbangkan untuk dilindungi dalam arti ‘imunitas fiktif’ ”.

Dari uraian diatas terbukti posisi Pemohon Prinsipal tidak dapat diketegorikan sebagai ‘Saksi Mahkota’, karena Pemohon prinsipal bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang meminta keringanan hukuman. Tetapi adalah orang melaporkan adanya kejahatan di tubuh Penyidik Polri, sehingga Pemohon adalah Whistleblower seperti juga dinyatakan oleh oleh Ahli Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej;

15. Bahwa ketentuan tentang kedudukan seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU No. 13 Tahun 2006”) pada kenyataannya bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.


16. Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal. Salah satu asas hukum yang diakui eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia adalah perlindungan terhadap saksi;

17. Bahwa terbukti secara faktual Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesi berdasarkan Surat Perintah Penangkapan tanggal 10 Mei 2010 hanya bersumber dari keterangan saksi yang menjadi Tersangka dalam perkara yang Pemohon laporkan kepada Komisi III DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum didukung oleh alat bukti yang lain, atau dengan kata lain Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka, ditangkap, ditahan dan disidik sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri tanpa didasarkan kepada alat bukti yang cukup, sesuai dengan bukti P-9;

18. Bahwa dengan demikian maka terbukti bahwa penangkapan, penahanan dan penyidikan Pemohon sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri adalah berdasarkan “pengkondisian” situasi oleh penyidik dan kebohongan yang dilakukan oleh terperiksa atas permintaan penyidik, dan tidak berdasarkan bukti yang sah menurut hukum;

19. Bahwa meskipun sebelumnya Pemohon telah meminta perlindungan kepada LPSK sesuai dengan Surat Pemohon tanggal 4 Mei 2010 sesuai bukti P-6, namun Pemohon tetap ditangkap dan ditahan oleh Penyidik Bareskrim, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan Penyidik telah sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, yang menyatakan,
“Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”;

20. Menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Norma-norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap manusia, termasuk di dalamnya Pemohon;

21. Bahwa terbukti ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 telah membuka peluang bagi Penyidik untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan LPSK tanpa kontrol dari cabang kekuasaan yudikatif, karena penetapan seorang saksi menjadi Tersangka dan kemudian melakukan penahanan dapat dilakukan secara sepihak oleh Penyidik tanpa mempertimbangkan adanya kewenangan lembaga negara lain yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dalam perkara pidana;

22. Bahwa terbukti dikarenakan tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap kedudukan “saksi” dan “tersangka” serta dalam kondisi bagaimana seseorang dapat dijadikan “tersangka” ketika pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai “saksi pelapor” telah menimbulkan multi-tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir yang inkonstitusional, oleh karenanya maka ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan hak-hak konstitusional sebagaimana di atur dalam UUD 1945;

23. Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

24. Bahwa pada dasarnya ketentuan Pasal 28 UU 1945, adalah memberikan perlindungan kepada warga negara dari perlakuan oleh warga negara yang lain dan juga dari negara. Misalnya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Rumusan Pasal 28 mengandung norma konstitusi yang dapat membatasi hak seseorang dan negara (melalui undang-undang), namun pembatasan tersebut dilakukan dengan syarat-syarat yang sifatnya terbatas, yaitu “dengan maksud semata-mata untuk menjamin … dan untuk memenuhi tuntutan yang adil …”. Dengan perkataan lain, konstitusi membatasi hak-hak tertentu dari warga negara (sepanjang pembatasan itu dilakukan melalui undang-undang) dan pembatasannya harus dilakukan secara proporsional sesuai dengan tujuan atau kepentingan lain yang hendak dilindungi oleh undang-undang.

25. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) ini juga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, karena Pasal 10 ayat (2) mengandung konflik dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sebab pasal ini potensial membatasi “ penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, terutama berhubungan dengan kedudukan sebagai “whistleblower”. Dengan kata lain, keberadaan pasal ini, mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;

26. Bahwa adanya dugaan tindak pidana yang melibatkan Pemohon seharusnya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006, “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”, karena saksi harus mendapat perlindungan dan penghargaan demi tercapainya kepastian hukum;
Hal tersebut sesuai dengan pendapat ahli Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej;

27. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah maka pasal aquo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak saksi dan korban. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;


28. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk menghambat partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, terutama dalam membuat laporan adanya kejahatan dilingkungannya, seperti adanya korupsi dan atau mafia hukum sebagaimana dilaporkan oleh Pemohon;

29. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum, karena seseorang yang menjadi Pelapor atau saksi adanya kejahatan, dapat dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu dan dapat dituntut secara pidana atas kejahatan yang dialporkannya sebagaimana terjadi pada Pemohon sesuai dengan Bukti P-11;

30. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi menghilang hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi pelapor atau saksi satu kejahatan karena dapat dijadikan sebagai bagian dari kejahatan itu yang dapat dituntut;

31. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi sebagaimana biasa dilakukan oleh “whistleblower”, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;

32. Bahwa terbukti Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
(1) Pemohon telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik dan dicari-carikan kesalahan lainnya;
(2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk memberikan kesaksian kepada lembaga yang dipercayainya dan kebebasan menyatakan pendapat;
(3) Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
(4) Pemohon telah mengalami intimidasi selama dalam penahanan;
(5) Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat;

33. Bahwa terbukti penangkapan, penahan dan pemeriksaan Pemohon sebagai Tersangka oleh penyidik tidak ada urgensinya, selain perwujudan dari balas dendam terhadap Pemohon sebagai contoh permasalahan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran hibah dari Pemprop Jawa Barat Tahun 2008 yang disangkakan kepada pemohon sesuai Bukti P-12, permasalahan yang terjadi tahun 2008 ini telah pernah diaudit oleh BPK dan dinyatakan tidak bermasalah, bahkan atas keberhasilan Pemohon di Polda Jawa Barat, Pemohon telah dipromosikan menjadi Kabareskrim. Setelah Pemohon memberikan kesaksian adanya praktek mafia hukum di institusi Kepolisian maka permasalahan tersebut dipersoalkan dan Pemohon ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini secara nyata-nyata mengungkap perbuatan tidak terpuji dari penyidik Polri dan aparat penegak hukum lain serta anggota masyarakat (mafia hukum) yang bekerjasama melakukan kejahatan secara terencana, sistematis dan terstruktur.

34. Bahwa terbukti sangat mendesak untuk mencegah Penyidik Polri menggunakan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, sebab hal ini penting untuk memberikan kepercaayaan masyarakat terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dalam memberikan perlindungan terhadap Whistleblower yang membuka dan atau melaporkan secara terbuka kepada masyarakat adanya korupsi di lingkungan tempatnya bekerja dalam rangka memberantas korupsi; selain itu adalah juga mendesak untuk mengakhiri sengketa kewenangan anatar Penyidik Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang melibatkan Presiden Republik Indonesia;

35. Bahwa oleh karena itu terbukti sangat relevan dan signifikan diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 terhadap UUD adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi pemohon sebagai manusia apabila norma hukum Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional Pemohon apabila menjadi terdakwa padahal dasar hukum atau pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.

36. Bahwa terbukti secara faktual ada perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, terhadap makna yang terkandung dalam pengertian “saksi yang juga tersangka” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

37. Perbedaan terbukti penafsiran tentang kasus penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka Pemohon antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Penyidik Polri, telah melibatkan Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Pemerintahan, karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban kepada Presiden (LPSK) telah meminta Presiden untuk menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa kewenangan antara Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban kepada Presiden (LPSK) hal tersebut sesuai dengan Bukti P-13;

38. Bahwa dengan adanya perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, tentang tempat yang layak karena merasa sama-sama memiliki posisi dan kewenangan dalam persoalan Pemohon, maka sepatut dan sepantasnya posisi Pemohon dikembalikan dalam keadaan semula sebagai orang bebas, sebelum adanya penangkapan, penahanan dan penyidikan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polri;

39. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan sendiri dengan merugikan kepentingan rakyat, pencari keadilan dan kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia;

40. Bahwa Pemohon sebagai warga negara Indonesia, juga berhak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya tidaklah berlebihan Pemohon juga mengemukakan fakta hukum, bahwa seorang Saksi pelapor yang memberikan keterangan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tidak atau belum dituntut secara pidana, yaitu antara lain sesuai Bukti P-14:
a. Kasus suap Miranda Gultom yang ditangani oleh KPK, untuk saksi pelapor Agus Tjondro telah dibebaskan dari tuntutan hukum sebagai Tersangka.
b. Kasus korupsi dana Yayasan Bank Indonesia, untuk saksi Anwar Nasution, sebagai pemberi informasi dibebaskan oleh KPK untuk tidak dijadikan tersangka.

41. Bahwa oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi penghormatan hak asasi manusia, untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mengandung “cacat ” yang dapat diinterperatsikan sekenanya dan sesuai dengan kepentingannya oleh pemegang otoritas tertentu;

42. Bahwa terbukti perlindungan terhadap saksi pada hakekatnya, agar pelapor, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No.13 Tahun 2006, mendapat “…perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu”, termasuk penyidik.

43. Seluruh uraian di atas membuktikan bahwa penetapan seorang saksi menjadi tersangka yang dapat ditangkap, ditahan dan disidik sebagai Tersangka oleh penyidik telah menciderai atau setidak-tidaknya berpotensi menciderai independensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang betugas memberikan perlindungan kepada saksi dan korban yang melaporkan adanya perbuatan pidana;

44. Bahwa dengan melihat fakta trersebut, maka sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalankan tugas yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai dengan semangat amanat UUD 1945 kepada MK, MK adalah the guardian of the Constitution dan the final interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas MK di mohonkan untuk menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dan oleh karena itu inkonstitusional maka dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

45. Bahwa Pemohon juga menyadari, apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka akan terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, PEMOHON memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan untuk memberikan tafsir konstitusional atas pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tersebut, harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlabih dahulu sebelum memberikan kesaksian dalam perkara tersebut; karena MK adalah the final interpreter of the Constitution maka MK dimohonkan untuk setidaknya memberikan tafsiran yang konstitusional tersebut;

46. Bahwa perlunya tafsir konstitusional terhadap Pasal 10 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006, sejalan dengan Keterangan Tertulis LPSK tanggal 30 Agustus 2010, pada butir 30 dinyatakan,

“……oleh karena itulah diperlukan sebuah penafsiran baru terhadap pasal tersebut. Kami memandang MK dapat memberikan penafsiran yang lebih operasional terhadap Pasal 10. Namun kami berharap penafsiran-penafsiran tersebut haruslah diselaraskan dengan semangat dan tujuan dibentuknya Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”;

E. Kesimpulan

1. Bahwa Pemohon mempunyai legal Standing dalam perkara pengajuan permohonan ini;

2. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia telah melakukan kewajibannya untuk memberikan laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum di beberapa kasus antara lain: Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan, Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari, serta Penggunaan dana APBN, Hibah, Kredit Export oleh Mabes Polri dan Polda-Polda seluruh Indonesia;

3. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional:
Pertama, Pemohon telah kehilangan hak untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak untuk berpartisipasi dalam hukum dan pemerintahan ini hilang karena Pemohon telah ditahan oleh Penyidik dengan alasan selain sebagai Saksi, Pemohon juga telah ditetapkan sebagai tersangka;
Kedua, Pemohon telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Ketiga, Pemohon telah kehilangan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
Keempat, Pemohon telah kehilangan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, terutama yang berhubungan dengan “pencegahan korupsi” sebagaimana dijamin oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

4. Bahwa Pemohon telah ditangkap, ditahan dan ditetapkan sebagai Tersangka dan disidik sebagai Tersangka berdasarkan keterangan saksi yang diberikan karena adanya “pengkondisian” situasi oleh penyidik dan kebohongan yang dilakukan oleh terperiksa atas permintaan penyidik, dan tidak berdasarkan bukti yang sah menurut hukum;

5. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, berpotensi untuk menghambat partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam hukum dan pemerintahan, terutama dalam membuat laporan adanya kejahatan dilingkungannya, seperti adanya korupsi dan atau mafia hukum sebagaimana dilaporkan oleh Pemohon;

6. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 aquo, berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum, karena seseorang yang menjadi Pelapor atau saksi adanya kejahatan, dapat dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu dan dapat dituntut secara pidana atas kejahatan yang dialporkannya sebagaimana terjadi pada Pemohon;

7. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, berpotensi menjadi preseden buruk sehingga menghilangkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi pelapor atau saksi satu kejahatan karena dapat dijadikan sebagai bagian dari kejahatan itu yang dapat dituntut;

8. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut, berpotensi menadi preseden buruk dan berpotensi mencegah orang untuk melakukan “tuntutan yang adil sesuai dengan moral dan nilai-nilai keagamaan” seperti melakukan pencegahan dan atau pengungkapan korupsi sebagaimana biasa dilakukan oleh “whistleblower”, karena akan berakibat buruk bagi saksi atau pelapor dalam perkara korupsi, sebab saksi atau pelapor itu dapat dijadikan sebagai saksi dan sekaligus sebagai Tersangka;
9. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena :
a. Pemohon telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik dan dicari-carikan kesalahan lainnya;
b. Pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk memberikan kesaksian kepada lembaga yang dipercayainya dan kebebasan menyatakan pendapat;
c. Pemohon telah kehilangan hak untuk berkomunikasi secara layak dan manusiawi;
d. Pemohon telah mengalami intimidasi selama dalam penahanan;
e. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat;
f. Bahwa penangkapan, penahan dan penyidikan Pemohon sebagai Tersangka oleh penyidik tidak ada urgensinya, selain perwujudan dari balas dendam terhadap Pemohon yang telah secara nyata-nyata mengungkap perbuatan tidak terpuji dari penyidik Polri dan aparat penegak hukum lain serta anggota masyarakat (mafia hukum) yang bekerjasama melakukan kejahatan secara terencana, sistematis dan terstruktur;

10. Bahwa secara faktual ada perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, terhadap makna yang terkandung dalam pengertian “saksi yang juga tersangka” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

11. Bahwa dengan adanya perbedaan penafsiran antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Penyidik Polri, tentang tempat yang layak karena merasa sama-sama memiliki posisi dan kewenangan dalam persoalan Pemohon, maka sepatut dan sepantasnya posisi Pemohon dikembalikan dalam keadaan semula sebagai orang bebas, sebelum adanya penangkapan dan penahanan oleh Penyidik Polri;

12. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan dengan merugikan kepentingan rakyat dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia;

13. Bahwa perlindungan terhadap saksi pada hakekatnya, agar pelapor mendapat perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya adalah oknum aparat hukum itu sendiri, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu, termasuk penyidik;

14. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006, a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak saksi dan korban. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

15. Bahwa untuk melindungi hak asasi Pemohon tidak terus menerus dilanggar dan tidak melahirkan ketidak pastian hukum, maka putusan provisi dalam perkara Pemohon dalam menguji Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 terhadap UUD adalah sangat mendesak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi Pemohon apabila norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional hak Pemohon apabila tetap menjadi tersangka berdasarkan Keputusan dan atau penggunaan kewenangan pejabat yang tidak berhak atau pejabat yang telah berakhir masa jabatannya.

F. TANGGAPAN DAN SANGGAHAN PEMOHON TERHADAP JAWABAN PEMERINTAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

A. TERHADAP JAWABAN PEMERINTAH

1. Bahwa Pemohon menolak seluruh dalil dari Pemerintah kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya oleh Pemohon;

2. Bahwa Pemohon memohon agar apa yang telah disampaikan dalam Pernohonan dan Kesimpulan Pemohon secara mutatis mutandis dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari Jawaban terhadap Pemerintah ini;

3. Bahwa benar UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban equivalent Whistleblower Protection Act 1989 di Amerika, Pasal 3 Protected Disclosures Act No. 26 Tahun 2000 Afrika Selatan, Section 425.1 Criminal Code of Canada, Pasal 20 dan 21 Protected Disclosures Act 1994 New South Wales Australia dan Pasal 1 dan 2 Public Interest Disclosure Act 1998 di Inggris. Namun yang membedakannya pada negara-negara tersebut semua saksi dilindungi dan tgidak dijadikan tersangka sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Sakdi dan Korban;

4. Bahwa tidak sepenuhnya benar jawaban Pemerintah yang menyatakan pada negara tersebut ada pemisahan secara tegas antara the Whistleblower act dan Victim and Witness Protection Act, karena seperti di Canada perlindungan terhadap saksi tersebut justru dilakukan melalui Section 425.1 Criminal Code of Canada atau seperti di Inggris perlindungan itu dilakukan melalui Pasal 1 dan 2 Public Interest Disclosure Act 1998;

5. Bahwa andaikata benar – quod non- keterangan Pemerintah posisi whistleblower yang rumit mengakibatkan ketentuan tentang whistleblower tidak dimasukkan dalam UU No. 13 Tahun 2006. Namun pelapor seperti Pemohon telah diberikan perilindungan oleh LPSK sesuai Perjanjian antara LPSK dan Pemohon, yaitu Perjanjian Perlindungan No: PERJ-007/I.3/LPSK/05/2010 antara LPSK dengan Pemohon (Bukti P-7). Bahkan sesuai keterangan tertulis LPSK, tanggal 30 Agustus 2010, butir 2, dikatakan,

“ Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dicakup juga sebuah proteksi yang ditujukan kepada para pelapor yakni orang-orang yang melaporkan tindak pidana atau kejahatan kepada aparat penegak hukum. Walaupun perlindungan yang diberikan tersebut belumlah mencakup pelapor dalam konteks perlindungan terhadap Whistleblower yang telah banyak dipraktekkan di beberapa Negara. Namun sebagai sebuah titik awal, regulasi tersebut masih memandatkan LPSK untuk melindungi para pelapor”.

6. Bahwa benar belaka Pasal 4 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban, dan secara faktual kedudukan Pemohon Prinsipal adalah saksi yang harus dilindungi seperti diterangkan oleh Ahli Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej. Bahkan kedua ahli tersebut menyatakan secara tegas bahwa Pemohon Prinsipal adalah Saksi dan sekaligus Whistleblower;

7. Bahwa kedudukan Pemohon sebagai whistleblower juga diakui dalam Jawaban Dewan Perwakilan Rakyat dan dengan kedudukan itu adalah sepatutnya jika kepada Pemohon diberikan perlindungan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 4 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

8. Bahwa benar tidak boleh ada impunity terhadap pelaku kejahatan dan jika seorang yang terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum karena menjadi saksi. Namun yang pasti dan nyata dalam kasus Pemohon Prinsipal belum ada satupun orang yang dilaporkan oleh Pemohon Prinsipal telah melakukan perbuatan pidana telah terbukti melakukan perbuatan pidana, tetapi justru yang di sidik terlebih dahulu adalah Pemohon Prinsipal sebagai tersangka;

9. Bahwa aturan yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) Saksi yang juga tersangka telah diatur dengan rezim hukum yang berbeda dengan UU. No. 13 Tahun 2006 yaitu KUH Pidana khususnya dalam bentuk penyertaan Pasal 55 KUH Pidana dan juga dalam KUHAP;

10. Bahwa sebagaimana telah ditegaskan oleh Pemohon dalam Permohonan butir 13 masalah hukum yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, dikenal dalam doktrin dan praktik hukum di negara-negara yang menganut system Anglo-Saxon sebagai “Plea Bargaining”. Dalam praktik plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan sebut “guilty plea”. Dengan pernyataan bersalah inilah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman (Andrew Ashworth: 2000, Sentencing & Criminal Justice, third edition, Butterworths, h. 24); karena plea bargaining sebagaimana dikemukakan oleh John Sprack, paling kurang mengandung empat pengertian,

Pertama, ada perjanjian antara hakim dan terdakwa bahwa jika dia mengaku bersalah untuk beberapa atau semua tindak pidana yang didakwakan. Kedua, perundingan antara terdakwa dan penuntut bahwa jika terdakwa akan membayar dengan jumlah tertentu, penuntut tidak akan menuntut biaya yang lebih serius ke dalam surat dakwaan atau akan meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman relatif ringan. Ketiga, perundingan menuju kepada penuntutan yanag lebih ringan jika terdakwa mengaku bersalah dengan ancaman hukuman yang lebih rendah. Terakhir, mungkin timbul kesepakatan untuk menghentikan dakwaan terhadap terdakwa jika ia akan mengaku bersalah sisanya "
Dalam kalimatnya John Sprack dikatakan,
“It can mean an agreement between the judge and the accused that if he pleads guilty to some or all of the offences charged against him the sentence will or will not take a certain form…….. Second, plea bargaining can mean an undertaking by the prosecution that if the accused will admit to certain charges they will refrain from putting more serious charge into the indictment or will ask the judge to impose relatively light sentence……. Thirdly, plea bargaining may refer to the prosecution agreeing with the defence that if the accused pleads guilty to a lesser offence they accept the plea…. Lastly, it may refer to the prosecution agreeing not to proceed on one or more counts in the indictment against the accused if he will plead guilty to the remainder” (John Sprack: 2002, EMMINS ON CRIMINAL PROCEDURE, Ninth Edition, Oxford, h. 251);

11. Bahwa tidak benar argumen Pemerintah yang mengatakan bahwa pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tidak datang secara tiba-tiba. Apalagi dalam Jawaban tersebut Pemerintah tidak mampu menunjukkan adanya pembahasan yang cukup mengenai pentingnya, termasuk alasan pentingnya menempatkan Pasal 10 ayat (2) tersebut pada Bab II UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagaimana sudah disampaikan oleh Pemohon satu-satunya pembicaraan menganai Pasal 10 ayat (2) ini terjadi pada Rapat Panitia Kerja Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen hukum dan Ham, pada Hari Rabu tanggal 24 Mei 2006, dengan acara Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) no. 48 s/d 56; dan yang membicarakan masala inipun hanya satu orang yaitu Ketua rapat;

12. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diterangkan oleh Ahli Saldi Isra,
“kalau dirujuk kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada tujuan yang jelas yang hendak dicapai……. Seharusnya semua norma yang ada dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Namun ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tidak saja tidak sejalan dengan maksud yang ada dalam Bab II karena kehadiran ketentuan itu justru tidak memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Secara terang-terangan kehadiran Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 justru dapat mengancam Saksi dan Korban”;

13. Bahkan ahli Saldi Isra menyatakan,
“Frasa tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah berpotensi menimbulkan tafsir ganda atau multi interpretasi dan ambigu. Perumusan yang demikian tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan berdasarkan asas kejelasan rumusan. Dalam pemahaman teori perundang-undangan apa yang dimaksud dengan kejelasan rumusan adalah rumusan tersebut tidak mengandung makna ganda, ambigu atau bisa ditafsirkan bermacam-macam”;

14. Bahwa tidak benar alasan Pemerintah yang menyatakan pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mudah difahami dan tidak lagi memerlukan penafsiran, hal tersebut tebukti dengan adanya perbedaan penafsiran antara LPSK dan Penyidik Polri, bahkan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon butir 37 Alasan Permohonan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah meminta Presiden menjadi fasilitator dalam penyelesaian sengketa kewenangan antara Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
15. Bahwa tidak benar klaim Pemerintah yang menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak bertentangan dengan UUD 2945. Sebab sebagaimana dikemukan oleh ahli Saldi Isra,
“Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan harus ada kepastian hukum yang adil, selengkapnya setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kalau ada saksi yang memposisikan dirinya sebagai whistleblower itu tentu berbeda dengan Saksi-Saksi lain yang bukan whistleblower. Jadi whistleblower memang diakui sebagai Saksi tapi tidak semua Saksi adalah whistleblower. Jadi, kalau mengepadankan frasa ini, mesti juga disepadankan dengan posisi Saksi yang whistleblower”;

Dengan kalimat yang berbeda ahli Eddy O.S Hiariej menyatakan,

“…..ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.


16. Bahkan dalam kontek manfaat dari Pasal 10 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 ahli Saldi Isra menyatakan,
“Dalam konteks agenda pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia hukum, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tidak hanya merusak kepastian hukum, tetapi juga berpotensi merusak tujuan hukum lain yang tidak kalah fundamentalnya, yaitu asas kemanfaatan, karena Pasal 10 ayat (2) tidak memberi manfaat dalam agenda pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia hukum, sebab :
Pertama, ketentuan itu dapat memberi pesan kepada masyarakat bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak memberikan jaminan bagi Saksi dan Korban.
Kedua, ketentuan itu semakin menyulitkan mendapatkan Saksi Kunci dalam penyelesaian kasus korupsi dan praktik mafia hukum, terutama yang terkategori skandal atau kasus-kasus besar seperti skandal-skandal korupsi.
Ketiga, penegakan hukum akan semakin sulit membongkar praktik korupsi dan praktik mafia hukum di lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri. Jadi apa yang dialami oleh Pemohon Prinsipal dalam permohonan ini, sebetulnya itu bisa menjadi sinyal bagi semua penegak hukum, orang sekelas Susno Duadji saja itu bisa menerima perlakuan seperti itu, apalagi penegak hukum yang ada di level yang lebih rendah.
Keempat, Saksi yang memberikan keterangan dapat saja menjadi Tersangka. Jadi itu beberapa alasan atau argumen, Ahli mengatakan bahwa keberadaan atau eksistensi Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 itu kemudian tidak memperhatikan asas manfaat, terutama pertimbangan-pertimbangan pentingnya kehadiran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006”.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukan diatas, maka sepatutnya dan selayaknya Jawaban Pemerintah dikesampingkan dan dinyatakan tidak dapat diterima.



B. TERHADAP DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

1. Bahwa Pemohon menolak seluruh dalil dari Dewan Perwakilan Rakyat kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya oleh Pemohon;

2. Bahwa Pemohon memohon agar apa yang telah disampaikan dalam Pernohonan dan Kesimpulan Pemohon serta Tanggapan dan Sanggahan Pemohon terhadap Pemerintah secara mutatis mutandis dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari Jawan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat ini;

3. Bahwa benar dalil Dewan Perwakilan Rakyat pembicaraan dalam Rapat Panitia Kerja Komisi III DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen hukum dan Ham, pada Hari Rabu tanggal 24 Mei 2006, dengan acara Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) no. 48 s/d 56. Satu-satunya pembicara dalam rapat tersebut adalah Ketua Rapat yang antara lai menyatakan,
“ Dim 53 Pasal 10, seorang saksi yang termasuk sebagai tersangka, ini dia saksi juga, tetapi tersangka juga dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya dapat dujadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Itu menghapus usul Pemerintah yang diatas, tentang tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata itu. Setuju ya ? Kalau ini perlu seorang pak ? Kerana dia saksi dan bisa juga jadi pelaku, kalau saksi kan umum. Ini seorang saksi, jadi tersangka juga. KPK takala kita ambil dari Kejaksaan atau Kepolisian ujungujungnya begitu lagi, tetapi apapun ceritanya kita sepakat ide dasarnya adalah kemandirian, hanya pelaksanaannya tetap di bawah Pold yang sampai saat ini mempunyai alat untuk melindungi para Saksi itu. Itu saya kira”.

4. Bahwa pernyataan ini tidak dapat digunakan dan dijadikan sebagai pisau anlisis untuk “memahami roh” dari ketentuan norma yang ada dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana di dalilkan dalam Jawaban Dewan Perwakilan Rakyat. Pernyataan ini tidak menerangkan argumen perlunya ada Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tidak juga menerangkan Philosophy dari Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 sehingga Pasal 10 ayat (2) ini perlu dijadikan sebagai satu kesatuan dalam Bab II yaitu Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, pernyataan ini tidak menjelaskan hubungan antara Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban dengan kedudukan saksi yang juga tersangka;

5. Bahwa pernyataan ini lebih didasarkan pada fakta dan praktik dalam pemisahan perkara dimana ada kemungkinan seorang saksi menjadi tersangka dalam satu perkara sebagaimana lazimnya terjadi dalam praktik perkara pidana yang kekurangan alat bukti untuk membuktikan dakwaan. Denga kata lain, pernyataan ini hanya sekedar membenarkan proses pembuktian yang salah dan telah terjadi sebagai satu kebanaran dalam praktik peradilan pidana;

6. Bahwa aturan yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) Saksi yang juga tersangka telah diatur dengan rezim hukum yang berbeda dengan UU. No. 13 Tahun 2006 yaitu KUH Pidana khususnya dalam bentuk penyertaan Pasal 55 KUH Pidana dan juga dalam KUHAP;

Dalam hal ini Ahli Eddy O.S Hiariej menyatan,
“Karena itu ketentuan Pasal 10 ayat (2) itu lalu merancukan Saksi Korban, Saksi Pelapor, karena Saksi menjadi Tersangka, ini menandakan kalau Saksi yang juga adalah Tersangka maka pasti di sini terjadi penyertaan, pasti lebih dari 1 orang pelakunya. Maka sebetulnya kata-kata Saksi yang juga Tersangka ini lebih merujuk kepada kroongetuige. Memang kroongetuige di satu sisi ini untuk mempermudah pembuktian, tetapi ini merusak objektifitas peradilan. Ada 4 objektifitas peradilan, sidang terbuka untuk umum, sidang diperiksa oleh Hakim Majelis, Putusan Hakim menganut pertimbangan-pertimbangan dan yang keempat ada hak ingkar dari Terdakwa. Sebab ketika saksi tersangka bersumpah dia sudah tidak punya hak ingkar lagi. Bisa-bisa diancam dengan sumpah palsu. Karena itu orang Saksi ya Saksi, Terdakwa atau Tersangka adalah Tersangka”.

7. Bahwa sebagaimana telah ditegaskan oleh Pemohon dalam Permohonan butir 13 masalah hukum yang diatur oleh Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, dikenal dalam doktrin dan praktik hukum di negara-negara yang menganut system Anglo-Saxon sebagai “Plea Bargaining”. Dalam praktik plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan sebut “guilty plea”. Dengan pernyataan bersalah inilah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman (Andrew Ashworth: 2000, Sentencing & Criminal Justice, third edition, Butterworths, h. 24); karena plea bargaining sebagaimana dikemukakan oleh John Sprack, paling kurang mengandung empat pengertian,

Pertama, ada perjanjian antara hakim dan terdakwa bahwa jika dia mengaku bersalah untuk beberapa atau semua tindak pidana yang didakwakan. Kedua, perundingan antara terdakwa dan penuntut bahwa jika terdakwa akan membayar dengan jumlah tertentu, penuntut tidak akan menuntut biaya yang lebih serius ke dalam surat dakwaan atau akan meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman relatif ringan. Ketiga, perundingan menuju kepada penuntutan yanag lebih ringan jika terdakwa mengaku bersalah dengan ancaman hukuman yang lebih rendah. Terakhir, mungkin timbul kesepakatan untuk menghentikan dakwaan terhadap terdakwa jika ia akan mengaku bersalah sisanya " . Dalam Kalimatnya John Sparck dikatakan,
“It can mean an agreement between the judge and the accused that if he pleads guilty to some or all of the offences charged against him the sentence will or will not take a certain form…….. Second, plea bargaining can mean an undertaking by the prosecution that if the accused will admit to certain charges they will refrain from putting more serious charge into the indictment or will ask the judge to impose relatively light sentence……. Thirdly, plea bargaining may refer to the prosecution agreeing with the defence that if the accused pleads guilty to a lesser offence they accept the plea…. Lastly, it may refer to the prosecution agreeing not to proceed on one or more counts in the indictment against the accused if he will plead guilty to the remainder” (John Sprack: 2002, EMMINS ON CRIMINAL PROCEDURE, Ninth Edition, Oxford, h. 251);

8. Bahwa uraian Pemohon pertentangan norma Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 sudah terang benderang dan jelas, begitu juga dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon sangat nyata. Dengan bersandar kepada keterangan ahli Saldi Isra, dan meminjam kalimat Ahli Saldi Isra Pemohon menyatakan,
“Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan harus ada kepastian hukum yang adil, selengkapnya setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kalau ada saksi yang memposisikan dirinya sebagai whistleblower itu tentu berbeda dengan Saksi-Saksi lain yang bukan whistleblower. Jadi whistleblower memang diakui sebagai Saksi tapi tidak semua Saksi adalah whistleblower. Jadi, kalau mengepadankan frasa ini, mesti juga disepadankan dengan posisi Saksi yang whistleblower”;

Dengan kalimat yang berbeda ahli Eddy O.S Hiariej menyatakan,

“…..ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

9. Bahwa Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diterangkan oleh Ahli Saldi Isra,
“kalau dirujuk kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada tujuan yang jelas yang hendak dicapai……. Seharusnya semua norma yang ada dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Namun ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tidak saja tidak sejalan dengan maksud yang ada dalam Bab II karena kehadiran ketentuan itu justru tidak memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Secara terang-terangan kehadiran Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 justru dapat mengancam Saksi dan Korban”;

10. Bahkan ahli Saldi Isra menyatakan,
“Frasa tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah berpotensi menimbulkan tafsir ganda atau multi interpretasi dan ambigu. Perumusan yang demikian tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan berdasarkan asas kejelasan rumusan. Dalam pemahaman teori perundang-undangan apa yang dimaksud dengan kejelasan rumusan adalah rumusan tersebut tidak mengandung makna ganda, ambigu atau bisa ditafsirkan bermacam-macam”;

11. Bahwa dalam Jawaban Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat “….mengusulkan kepada LPSK agar jika LPSK menemukan hambatan atas Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku maka LPSK diminta untuk aktif mengusulkan perubahan karena ditemukan hambatan atas undang-undang tersebut Komisi III DPR-RI akan membantu segala hambatan LPSK dalam bidang legislasi. Komisi III DPR-RI meminta untuk proaktif dalam mengungkap kasus-kasus dalam Saksi-Saksi yang melindungi karena Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan kewenangan secara lex specialis kepada LPSK untuk mengungkap kasus-kasus. Komisi III DPR-RI meminta agar LPSK meminta keberanian komitmen tinggi untuk pelaksanaan tugas-tugas pokok, fungsi dalam melindungi Saksi dan Korban khususnya para whistle blower”. Hal ini untuk masa yang akan datang dan secara obyektif tidak secara langsung berhubungan dengan permohonan Pemohon sekarang ini, meskipun secara faktual hal ini terjadi karena adanya hambatan pelaksanaan tugas LPSK yang berhubungan dengan Pemohon. Dalam pada itu apa yang dikemukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat tersebut sebenarnya adalah kewajiban hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam negara Demokrasi.

12. Bahwa dukungan Dewan Perwakilan Rakyat kepada LPSK untuk menyusun draft akademik Rancangan Undang-undang tentang Perubahan UU No. 13 Tahun 2006, menurut hemat Pemohon adalah kewajiban hukum dari Dewan Perwakilan rakyat dan hal itu adalah hal yang patut karena untuk kepentingan bangsa yang lebih besar terutama untuk memberikan perlindungan terhadap para Whistleblower yang akan mewakafkan hidupnya dalam pemberantasan korupsi.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukan diatas, maka sepatutnya dan selayaknya Jawaban Dewan Perwakilan Rakyat dikesampingkan dan dinyatakan tidak dapat diterima.
G. PETITUM

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

- Dalam Pokok Perkara:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian undang – undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

4. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain dan mengangap Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsiran konstitusional terhadap Pasal 10 ayat (2) UU NO. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana tafsir tersebut, dengan pengertian bahwa seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tersebut, harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi tersebut memberikan kesaksian dalam perkara tersebut, sehingga bagi saksi yang telah dan sedang memberikan kesaksiannya pada saat dirinya belum dijadikan tersangka maka harus diberlakukan Pasal 10 ayat (1) UU No 13 Tahun 2006 yang menegaskan bahwa saksi tersebut tidak dapat dituntut pidana atas perkara yang dilaporkannya dan saksi tersebut masuk dalam kategori saksi yang beritikad baik.


5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat Kuasa Hukum Pemohon


H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH. Mohamad Assegaf, SH.


Dr.Maqdir Ismail, SH, LLM. Ari Yusuf Amir, SH. MH.


Dr. H. M. Efran Helmi Juni, SH., M.Hum. Erwin Moeslimin Singajuru, SH.



Zul Armain Aziz, SH. H. M. Husni Maderi, S.Sos., SH.


Dr.T.N. Syamsah,SH.MH Hj.Kartika Putri Yosodiningrat, SH, LLM

H. Radhitya Aristodiningrat, SH. Akhmad Fahmi Budiman, SH, MH.


Agus salim, SH MH. Elly Muzdalifah,SH